Air Mata Iboe adalah film Hindia Belanda (sekarang Indonesia) yang disutradarai dan ditulis Njoo Cheong Seng. Ini adalah film terakhir yang diproduksi Majestic Film Company milik Fred Young. Dibintangi oleh Fifi Young, Rd Ismail, A. Sarosa, Ali Yugo dan Soerip, film ini mengisahkan seorang ibu yang membesarkan anaknya tetapi dikhianati oleh putra tertuanya. Film ini banyak menggunakan musik keroncong.
Air Mata Iboe, saat ini diduga hilang, dirilis pada bulan Desember 1941. Beberapa sumber melaporkan film ini rampung pada masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942–1945) oleh Tan Tjoei Hock. Film ini dibuat ulang dengan judul yang sama pada tahun 1957.
Alur
Sugiati (Fifi Young) adalah ibu empat anak, tiga laki-laki (Achmad Rd. Ismail, Idris S. Poniman, Sumadi A. Sarosa) dan satu perempuan bernama Supinah (Sulami). Ia mencintai semuanya, tetapi Sumadi mendapat perhatian lebih karena ia tidak terlalu diperhatikan ayahnya, Subagio (Ali Yugo). Tanpa sepengetahuan keluarganya, Subagio menjalani hidup sebagai perampok dan setelah ditangkap, Sumadi menyatakan dirinya sebagai pelaku dan diasingkan. Dengan rasa bersalah, Subagio jatuh sakit dan meninggal dunia sehingga Sugiati harus bertahan hidup sendirian. Anak-anaknya yang kaya, Achmad dan Idris, menolak mengurusnya. Putrinya, Supinah, mau mengurusnya tetapi dirinya sendiri terlalu miskin. Akibatnya, Sugiati harus mencari tempat tinggal dan bergantung pada belas kasih orang lain. Setelah pulang dari pengasingan, Sumadi membalas dendam terhadap saudara-saudaranya.
Produksi
Majestic Film Company asal Malang mengumumkan
Air Mata Iboe pada Juni 1941 bersama dua film lain, Boedi Terbenam dan Bachtera Karam. Produksi langsung dimulai setelah itu. Film ini disutradarai dan ditulis Njoo Cheong Seng dengan nama pena M. d'Amour dan diproduseri Fred Young, pemilik Majestic. Film ini dibintangi istri Njoo, Fifi Young (tidak ada hubungan dengan Fred), Rd. Ismail, A. Sarosa, dan Ali Yugo. Njoo sebelumnya menyutradarai Djantoeng Hati (1941) yang juga berakhir tragis. Akan tetapi, ini adalah film pertama yang dibintangi istrinya di Majestic; ia sakit saat syuting film sebelumnya. Dibantu penata rias, Young memerankan Sugiati muda dan tua.
Film hitam putih ini disertai sebelas lagu keroncong yang digubah pengarah musik R. Koesbini. Lima pemeran film ini adalah penyanyi keroncong yang cukup terkenal, Soerip, Titing, Soelami, Ning Nong, dan Poniman.
Produksi
Air Mata Iboe dimulai pada tahun 1941 dan menghabiskan anggaran besar. Berdasarkan kesaksian sutradara Tan Tjoei Hock,
Air Mata Iboe masih belum rampung saat pendudukan Jepang dimulai pada awal 1942. Pendudukan tersebut berujung pada penutupan nyaris semua studio film di Hindia Belanda. Njoo sudah mendirikan grup teaternya sesaat setelah pendudukan dimulai dan didukung Fred dan Fifi Young. Menurutnya, Tan menyelesaikan film ini antara tahun 1942 dan 1945. Sejumlah iklan dan ulasan yang diterbitkan di berbagai koran Surabaya mencantumkan bulan Desember 1941.
Rilis dan tanggapan
Air Mata Iboe tayang perdana di Sampoerna Theater, Surabaya, pada tanggal 24 Desember 1941. Film ini juga diiklankan dengan judul Belanda Tranen Eener Moeder, sebagai "ekstravaganza musikal". Sebuah ulasan anonim di Soerabaijasch Handelsblad mencatat banyaknya penggunaan musik keroncong dan memuji akting dan pembawaan lagu oleh aktor-aktornya. Ulasan tersebut juga memperkirakan banyak penonton pribumi yang mau menonton film ini.
Air Mata Iboe adalah film terakhir yang dibuat Majestic Film Company, yang kemudian ditutup pasca-pendudukan Jepang. Versi daur ulangnya yang disutradarai Fred Young dibuat tahun 1957 setelah Indonesia merdeka. Fifi Young kembali berperan sebagai Sugiati, sedangkan Rd. Ismail sebagai Subagio. Para pemeran di film daur ulang ini tidak terlibat dalam film aslinya.
Film ini diduga telah hilang. Antropolog visual Amerika Serikat Karl G. Heider menulis bahwa semua film Indonesia yang dibuat sebelum 1950 tidak diketahui lagi keberadaan salinannya. Akan tetapi, Katalog Film Indonesia yang disusun J.B. Kristanto menyebutkan beberapa film masih disimpan di Sinematek Indonesia dan Misbach Yusa Biran menulis bahwa sejumlah film propaganda Jepang masih ada di Dinas Informasi Pemerintah Belanda.
Catatan kaki
Referensi
Daftar pustaka