Bahasa Melayu Kotawaringin (basa Teringin; Jawi: باسا تريڠين) adalah sebuah dialek
Bahasa Melayu yang dituturkan oleh masyarakat beretnis
Melayu dan Dayak di Kabupaten
Kotawaringin Barat, Kabupaten Lamandau, dan beberapa daerah di Kabupaten Sukamara. Oleh penuturnya,
Bahasa ini dikenal dengan sebutan basa Teringin, Kutaringin, atau Waringin.
Bahasa ini terdaftar di Program Merdeka Belajar Episode ke-17 Kemendikbud sebagai "
Bahasa Melayu dialek
Kotawaringin".
Sejarah
Bahasa Melayu Kotawaringin adalah sebutan untuk
Bahasa yang digunakan oleh masyarakat beretnis
Melayu Kabupaten
Kotawaringin Barat dan daerah di sekitarnya. Penuturnya lebih sering menyebutnya sebagai basa Teringin, begitupun dengan identitas mereka yang diakui sebagai urang Teringin.
Bahasa ini digunakan sebagai
Bahasa penghubung diwilayah Kabupaten
Kotawaringin Barat sehingga membuat
Bahasa ini juga dituturkan oleh masyarakat Dayak maupun suku-suku pendatang,
Bahasa ini juga memiliki banyak kemiripan dengan
Bahasa-
Bahasa pada
Bahasa-
Bahasa Melayu yang ada di Kalimantan Barat dan Sarawak.
Bahasa Melayu Kotawaringin juga memiliki banyak kosakata serapan dari
Bahasa Banjar.
Akulturasi budaya dan
Bahasa antara Banjar dengan masyarakat
Melayu Kotawaringin ini terjadi pada masa berdirinya Kesultanan
Kotawaringin di
Kotawaringin Lama. Pengaruh
Bahasa Banjar tersebut bisa terjadi dikarenakan pendiri Kesultanan
Kotawaringin adalah seorang pangeran Kesultanan Banjar yang bernama Adipati Antakasuma, ia adalah anak dari Sultan Banjar ke-4 Sultan Mustainbillah dan saudara dari Sultan Banjar ke-5 Sultan Inayatullah. Rombongan Adipati Antakasuma datang ke
Kotawaringin untuk mendirikan sebuah pemerintahan dan membuat perjanjian dengan masyarakat
Melayu setempat yang sebelumnya sudah mempunyai riwayat pemerintah namun runtuh, selain itu orang dari Kesultanan Banjar juga melakukan perjanjian dengan para kepala suku Dayak setempat, perjanjian itu dilaksanakan di desa Pandau antara Adipati Antakasuma dengan Demang Petinggi kepala suku Dayak setempat pada masa itu. Perjanjian tersebut dilakukan dengan bermaterai darah dari dua orang yang dikorbankan. Hingga saat ini, perjanjian itu dikenal dengan nama Panti Darah Janji Samaya yang monumennya masih terletak di desa Pandau, kecamatan Arut Utara. Perjanjian tersebut akhirnya membuat rombongan Adipati Antakasuma yang mayoritas merupakan masyarakat Muslim Banjar dapat hidup berdampingan dengan masyarakat setempat, sehingga terjadilah akulturasi budaya.
Bahasa Melayu Kotawaringin sudah digunakan sejak sebelum ibukota Kesultanan
Kotawaringin dipindahkan ke Pangkalan Bun oleh Sultan Imanuddin, Sultan
Kotawaringin ke-9 pada awal abad ke-19 (sekitar tahun 1806–1811), hal ini dibuktikan dengan masih digunakannya
Bahasa Melayu Kotawaringin di
Kotawaringin Lama dan bahkan Kota Pangkalan Bun diresmikan oleh Sultan Imanuddin dengan nama "Sukabumi Kutaringin Baru Pongkalan Bu'un", dimana nama "Pongkalan Bu'un" diambil dari nama Sungai Bu'un. Hingga saat ini,
Bahasa Melayu Kotawaringin masih terus digunakan di Pangkalan Bun dan bahkan penuturnya terus berkembang.
Penulisan
= Abjad Jawi (Arab-Melayu)
=
Sebagai
Bahasa yang dituturkan oleh masyarakat
Melayu dan dipengaruhi oleh
Bahasa Banjar,
Bahasa Melayu Kotawaringin dapat dituliskan ke dalam abjad Jawi (Arab-
Melayu). Walaupun akan terlihat sumbang jika
Bahasa Melayu Kotawaringin dituliskan ke dalam abjad Jawi, karena
Bahasa Melayu Kotawaringin yang banyak menggunakan huruf [o] akan susah dituliskan dengan huruf [و] dalam abjad Jawi, hal tersebut dapat menyebabkan miskomunikasi antara penulis dan pembaca misalnya بوسار yang seharusnya dibaca bosar bisa saja malah dibaca busar kemudian لوچو yang seharusnya dibaca loco bisa saja dibaca lucu.
= Alfabet Latin
=
Sampai saat ini,
Bahasa Melayu Kotawaringin umum dituliskan menggunakan alfabet Latin. Namun tidak adanya bentuk baku dalam penulisan
Bahasa Melayu Kotawaringin menyebabkan beberapa perbedaan dalam penulisannya di kalangan masyarakat. Bentuk paling umum adalah penulisan kata usik, isik, atau sik yang berarti 'tidak', pelafalan huruf [k] pada kata sik sama dengan pelafalan huruf [k] pada kata 'tidak', namun banyak juga masyarakat yang menuliskan kata sik dengan tulisan usi, isi, atau si dengan pelafalan yang sama.
Seni sastra
= Pantun seloka
=
Pantun seloka atau hanya disebut seloka merupakan sastra lisan yang hingga saat ini masih dilestarikan di Kabupaten
Kotawaringin Barat dan sekitarnya. Kata seloka berasal dari
Bahasa Sansekerta 'sloka'. Seloka merupakan sebuah bait yang terdiri dari empat baris dan bersajak a-a-a-a serta dilantunkan dengan syair. Menurut Owen Sarumbi, seorang budayawan
Melayu Kotawaringin, ia berpendapat bahwa seloka berawal dari kebiasaan orang-orang zaman dahulu, menurutnya orang-orang zaman dahulu memberikan nasihat ataupun sindiran berupa syair karena merasa malu atau sungkan untuk menyatakannya secara langsung.
Seloka dianggap sebagai seni budaya yang menjadi kebanggaan masyarakat Teringin, bahkan setiap tahunnya diadakan lomba seloka mulai dari tingkat pelajar hingga tingkat umum se-
Kotawaringin Barat. Balai
Bahasa Kalimantan Tengah juga rutin menyelenggarakan festival seloka setiap tahunnya di Pangkalan Bun guna melestarikan kesenian ini.
Bahasa Melayu Kotawaringin juga selalu diterapkan dalam susunan bait seloka dan dilantunkan dengan nada syair yang merdu dan khas sehingga menjadikannya sebagai kesenian tradisional masyarakat Teringin.
= Kosakata
=
Berikut adalah beberapa contoh kosakata dalam
Bahasa Melayu Kotawaringin.
= Partikel
=
Partikel atau kata tugas sangat penting dalam penggunaan
Bahasa Melayu Kotawaringin. Jika suatu kalimat tidak menggunakan partikel, maka kalimat tersebut akan terdengar hiatus. Berikut ini beberapa contoh partikel yang digunakan dalam
Bahasa Melayu Kotawaringin.
= Ciri khas
=
Penggunaan huruf [o]
Bahasa Melayu Kotawaringin memiliki ciri khas pada padanan katanya, yakni mengganti huruf [a] atau [e] pertama pada suku kata menjadi [o].
Namun tidak semua huruf [e] dan [a] pertama pada suku kata diganti menjadi huruf [o], ada yang tetap menggunakan huruf [a], seperti pada kata tega, sepak, dan rela. Juga terdapat huruf [e] pertama pada suku kata yang diganti menjadi huruf [a], seperti pada kata galas.
Penggunaan kata ma
Kata ma dapat diartikan sebagai 'saja' dalam
Bahasa Indonesia. Dalam percakapan
Bahasa Melayu Kotawaringin, kata ma hampir selalu terdengar dan menjadi ciri khasnya. Apabila seseorang bercakap di Sampit atau Palangka Raya, kemudian ia mengucapkan kata ma, lawan bicaranya dapat menebak kalau ia berasal dari Pangkalan Bun atau daerah sekitarnya. Dalam
Bahasa Banjar juga dapat ditemukan kata serupa, yakni mah. Perbedaannya terletak dalam penggunaan huruf [h], dalam
Bahasa Melayu Kotawaringin tidak menggunakan huruf [h] dibelakangnya. Penggunaan kata ma tidak hanya sebatas sebagai kata 'saja', akan tetapi penggunaanya lebih luas, seperti pada kalimat sik ma yang memiliki arti 'tidak kok' dan haja ma yang memiliki arti 'sengaja'.
Dialek
Terdapat setidaknya dua dialek utama dalam
Bahasa Melayu Kotawaringin. Karena digunakan di sekitar daerah aliran sungai, dialek-dialek ini dinamai menurut aliran sungai tempat persebarannya.
= Sungai Arut
=
Bahasa Melayu Kotawaringin yang dituturkan oleh masyarakat di daerah aliran Sungai Arut meliputi Pangkalan Bun, Runtu, Kenambui, Sulung, dan daerah lain disekitarnya. Ciri khas dalam dialek ini ditandai dengan penggunaan partikel /-tay/ dan /-bay/.
= Sungai Lamandau
=
Bahasa Melayu Kotawaringin yang dituturkan oleh masyarakat di daerah aliran Sungai Lamandau meliputi
Kotawaringin Lama, Rungun, Kondang, daerah lain disekitarnya. Ciri khas dalam dialek ini juga ditandai dengan penggunaan partikel /-tay/ dan /-bay/, namun dengan menghilangkan huruf [y] sehingga menjadi /-ta/ dan /-ba/.
Referensi