Cerita Panji Aksara Jawa: ꦕꦼꦫꦶꦠꦥꦤ꧀ꦗꦶ atau Lingkup
Cerita Panji merupakan sekumpulan
Cerita yang berkisar pada, atau memiliki keterkaitan dengan, dua tokoh utamanya, yaitu Raden
Panji Inu Kertapati (atau Kudawaningpati atau Asmarabangun), seorang pangeran dari Kerajaan Janggala, dan Dewi Sekartaji (atau Galuh Candrakirana), seorang puteri dari Kerajaan Kadiri. Kedua bangsawan tersebut saling mencinta dan
Cerita-
Cerita sering kali berakhir dengan persatuan cinta tersebut. Karena
Cerita-
Cerita tersebut saling berdiri sendiri dengan banyak variasi atau kembangan, tidak disatukan dalam suatu
Cerita induk, namun selalu berkisar pada dua tokoh utama tersebut, dapat dikatakan bahwa
Cerita-
Cerita Panji merupakan suatu lingkup sastra (literary cycle).
Tema klasik
Cerita ini terutama terkait dengan petualangan dari dua tokoh utama tersebut, meskipun juga ada yang mengenai perjuangan hidup tokoh lain. Asal-muasal
Cerita Panji tidak diketahui tetapi jelas memiliki latar belakang era Kerajaan Kadiri, ketika para pujangga mulai merangkai karya sastra dengan
Cerita yang tidak lagi India-sentris, melainkan bernafaskan kehidupan lokal Jawa.
Cerita-
Cerita Panji mencapai kepopuleran pada era Majapahit, dan mendapat posisi didaktik yang tinggi, sehingga sejumlah candi peninggalan kerajaan ini berhiaskan relief yang mengabadikan tidak hanya epik
Cerita dari India, seperti Ramayana dan Mahabharata, namun juga kisah-kisah dari lingkup
Cerita Panji maupun yang sezaman.
Pada masa Majapahit akhir dan setelahnya,
Cerita-
Cerita Panji mulai dijadikan karya sastra dalam bentuk puisi maupun prosa berbagai keraton dan dituturkan secara lisan di kalangan umum, sehingga beberapa di antaranya menjadi
Cerita rakyat populer, seperti
Cerita Keong Emas, Ande Ande Lumut, Cinde Laras, Enthit, dan Golek Kencana. Berbagai
Cerita ini lalu menyebar sampai sejumlah kerajaan di Nusantara (Indonesia dan Malaysia), bahkan kemudian sampai ke Siam (Thailand), Khmer (Kamboja), Birma (Myanmar), dan mungkin pula Filipina. Di kawasan Indocina,
Cerita Panji diadaptasi sesuai dengan situasi setempat. Tokoh Raden Inu Kertapati diadaptasi dalam karya sastra dan drama tari dengan nama yang bervariasi, seperti Inao/อิเหนา (Siam), Inav/Eynao (Khmer), atau E-naung (Birma), sementara Dewi Sekartaji dikenal sebagai Bussaba/Bessaba. Di Sulawesi, ada
Cerita Panji yang ditulis dalam bahasa Makassar, yang disebut Hikayat Cekele (Bahasa Melayu: Cekel).
Sejak tahun 2017, berbagai naskah (manuskrip)
Cerita Panji telah dimasukkan oleh UNESCO ke dalam Warisan Ingatan Dunia, setelah setahun sebelumnya diajukan oleh berbagai perpustakaan dari Kamboja, Indonesia, Belanda, Malaysia, dan Britania Raya.
Penamaan "
Cerita Panji" didasarkan pada beberapa tokohnya, termasuk tokoh utamanya, yang memakai gelar "
Panji". Ini adalah gelar kebangsawanan di Jawa yang sudah dikenal sejak masa Kediri. Istilah tersebut merupakan nama gelar atau jabatan yang masih berhubungan dengan lingkungan istana yang mengacu kepada tokoh ksatria laki-laki yaitu seorang raja, putra, mahkota, pejabat tinggi kerajaan, kepala daerah, dan pemimpin pasukan. Istilah “
Panji” atau ‘apanji” atau “mapanji” ini terus digunakan secara umum hingga masa Singhasari dan Majapahit. Gelar Raden
Panji masih digunakan sampai sekarang di kalangan bangsawan Jawa Timur.
= Tokoh-tokoh utama atau dasar
=
Raden
Panji Inu (atau Ino atau Hino) Kertapati /
Panji Asmarabangun / Kuda (atau Cekel) Wanengpati / Ande-ande Lumut / Enthit
Dewi Sekartaji / Galuh Candrakirana
Panji Semirang / Kuda Narawangsa (Dewi Sekartaji dalam penyamaran sebagai lelaki)
Ragil Kuning / Dewi Onengan
Dewi Kili Suci
Prabu Gunung Sari
Klana Sewandana / Klana Tunjung Seta
= Tokoh-tokoh pendukung
=
= Tokoh-tokoh kembangan
=
Sri Tanjung
Timun Mas
Cerita-
Cerita dalam Lingkup
Panji banyak digunakan dalam berbagai pertunjukan tradisional. Di Jawa,
Cerita Panji digunakan dalam pertunjukan Wayang Gedog, wayang orang, dan kethoprak. Di Bali, yang dikenal di sana sebagai "Malat", pertunjukan Arja juga memakai lakon ini. Kisah ini juga menjadi bagian tradisi dari Suku Banjar di Kalimantan Selatan meskipun kini mulai kurang dikenal oleh masyarakat. Di Thailand terdapat seni pertunjukan klasik yang disebut "Inao" (Bahasa Thai:อิเหนา) yang berasal dari nama "Inu"/"Ino". Begitu pula Kamboja yang mengenal lakon ini sebagai "Eynao".
Relief
Cerita Panji dapat ditemukan pada beberapa candi di Jawa Timur yang dibangun dalam masa Majapahit. Arkeolog Agus Aris Munandar bahkan mengatakan bahwa
Cerita Panji merupakan "Kisah Nasional Majapahit" karena seringnya digambarkan pada relief dinding candi di masanya. Candi Penataran di Kabupaten Blitar, candi Mirigambar di Kabupaten Tulungagung, dan candi Surawana di Kabupaten Kediri memiliki relief yang menceritakan tokoh
Panji. Ciri khas tokoh
Panji dalam penggambaran relief adalah figur pria yang digambarkan memakai tekes penutup kepala serupa blangkon Jawa gaya Sala/Surakarta. Badan bagian atas tokoh tersebut digambarkan tidak mengenakan pakaian, sedangkan bagian bawahnya digambarkan memakai kain yang dilipat-lipat hingga menutupi paha. Beberapa relief atau arca menggambarkan
Panji membawa keris yang diselipkan di bagian belakang pinggang, atau ada juga yang digambarkan membawa senjata seperti tanduk kerbau (sebagaimana yang dipahatkan pada Candi Gajah Mungkur di lereng Gunung Penanggungan (Kepurbakalaan (Kep.) XXII) (Bernet Kempers 1959:325-6).
Meskipun demikian, tidak semua tokoh bertekes menggambarkan
Panji, karena tokoh Sidapaksa (suami Sri Tanjung dalam
Cerita Sri Tanjung) yang dipahatkan di Candi Surawana dan Jabung, atau tokoh Sang Satyawan yang dipahatkan pada pendopo teras II kompleks Panataran, serta dua figur pria dalam relief
Cerita Kuñjarakarna di Candi Jago, juga digambarkan mengenakan tekes.
Lalu bagaimana penggambaran relief tokoh
Panji yang dikenal dalam
Cerita Panji? W.F.Stutterheim (1935) secara gemilang telah berhasil menjelaskan satu panel relief dari daerah Gambyok, Kediri yang nyata-nyata menggambarkan tokoh
Panji beserta para pengiringnya. Pendapat Stutterheim tersebut didukung oleh para sarjana lainnya, seperti Poerbatjaraka (1968) dan Satyawati Suleiman (1978).
Penggambaran relief
Panji Gambyok tersebut menurut Poerbatjaraka sesuai dengan salah satu episode kisah
Panji Semirang, yaitu saat
Panji bertemu dengan kekasihnya yang pertama, Martalangu, di dalam hutan (1968:408). Pada panil digambarkan adanya tokoh pria bertopi tekes yang sedang duduk di bagian depan kereta, tokoh itu tidak lain ialah
Panji. Sementara tokoh yang duduk di hadapannya di atas tanah ialah Prasanta. Tokoh paling depan di antara empat orang yang berdiri ialah Pangeran Anom, di belakangnya ialah Brajanata, saudara
Panji berlainan ibu. la digambarkan tinggi besar dengan rambutnya yang keriting tetapi dibentuk seperti telces. Dua tokoh berikutnya adalah para kudeyan yaitu Punta dan Kertala. Dalam relief digambarkan bahwa keretanya belum dilengkapi kuda, karena sesuai dengan
Cerita bahwa mereka baru merencanakan akan membawa Martalangu ke kota malam itu. Sementara sikap kedinginan yang ditunjukkan oleh para tokoh adalah sesuai juga dengan
Cerita, yaitu mereka berada di luar saat malam yang dingin (Poerbatjaraka 1968:408).
Naskah-naskah Panji
Hingga sekarang tidak ditemukan naskah-naskah
Panji berangka tahun dari periode Majapahit, meskipun berbagai relief candi yang didirikan pada masa kerajaan itu mengabadikan
Cerita-
Cerita tersebut. Penulisan
Cerita Panji baru dilakukan jauh setelahnya. Naskah
Panji tertua yang tersimpan di Indonesia adalah naskah asal Palembang berjudul
Panji Angreni. Naskah ini berangka tahun 1795 TM ini dikoleksi oleh Perpustakaan Nasional RI.
Perpustakaan Universitas Leiden menyimpan 260 naskah
Cerita Panji dalam delapan bahasa. The British Library mengoleksi berbagai naskah
Panji dalam sejumlah bahasa: terdapat delapan naskah berbahasa Jawa (mulai dari yang bertanggal 1785 M) serta sepuluh naskah berbahasa Melayu yang kebanyakan diperoleh dari daerah Semenanjung yang memiliki tradisi wayang kulit (Kelantan dan Kedah), dengan naskah berangka tahun tertua 1787 M.
Sebagai suatu karya sastra yang berkembang dalam masa Jawa Timur klasik, kisah
Panji telah cukup mendapat perhatian para ahli. Ada yang telah membicarakannya dari segi kesusastraannya (Cohen Stuart 1853), dari segi kisah yang mandiri (Roorda 1869), atau diperbandingkan dengan berbagai macam
Cerita Panji yang telah dikenal (Poerbatjaraka 1968), serta dari berbagai segi yang lainnya lagi'.
Menurut C.C.Berg (1928) masa penyebaran
Cerita Panji di Nusantara berkisar antara tahun 1277 M (Pamalayu) hingga ± 1400 M. Ditambahkannya bahwa tentunya telah ada
Cerita Panji dalam bahasa Jawa Kuno dalam masa sebelumnya, kemudian
Cerita tersebut disalin dalam bahasa Jawa Tengahan dan Bahasa Melayu. Berg (1930) selanjutnya berpendapat bahwa
Cerita Panji mungkin telah populer di kalangan istana raja-raja Jawa Timur, tetapi terdesak oleh derasnya pengaruh Hinduisme yang datang kemudian. Dalam masa selanjutnya
Cerita tersebut dapat berkembang dengan bebas dalam lingkungan istana-istana Bali'.
R.M.Ng. Poerbatjaraka membantah pendapat Berg tersebut, berdasarkan alasan bahwa
Cerita Panji merupakan suatu bentuk revolusi kesusastraan terhadap tradisi lama (India). Berdasarkan relief tokoh
Panji dan para pengiringnya yang diketemukan di daerah Gambyok, Kediri, Poerbatjaraka juga menyetujui pendapat W.F. Stutterheim yang menyatakan bahwa relief tersebut dibuat sekitar tahun 1400 M. Akhirnya Poerbatjaraka menyimpulkan bahwa mula timbulnya
Cerita Panji terjadi dalam zaman keemasan Majapahit (atau dalam masa akhir kejayaan kerajaan tersebut) dan ditulis dalam Bahasa Jawa Tengahan (1968:408–9). Penyebarannya ke luar Jawa terjadi dalam masa yang lebih kemudian lagi dengan cara penuturan lisan.
Hubungan dengan Sejarah
Cerita di dalam lakon
Panji berhubungan dengan tokoh-tokoh nyata dalam sejarah Jawa (terutama Jawa Timur). Tokoh
Panji Asmarabangun dihubungkan dengan Sri Kamesywara, raja yang memerintah Kediri sekitar tahun 1180 hingga 1190-an. Permaisuri raja ini memiliki nama Sri Kirana adalah puteri dari Jenggala, dan dihubungkan dengan tokoh Candra Kirana. Selain itu ada pula tokoh seperti Dewi Kilisuci yang konon adalah orang yang sama dengan Sanggramawijaya Tunggadewi, puteri mahkota Airlangga yang menolak untuk naik tahta.
Rujukan
Pranala luar
Ppanji.org: Sumber, publikasi dan daftar rekaman bertema
Panji
= Bacaan
=
Baried, Siti Baroroh dkk. 1987.
Panji: Citra Pahlawan Nusantara. Jakarta: Depdikbud.
Bernet Kempers, A.J. 1959. Ancient Indonesia Art. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.
Dumarqay, J. 1986. The Temples of Java. Singapore: Oxford University Press.
Galestin, Th.P. 1936. Houtbouw op Ost-Javaansche tempel-reliefs. Distertasi, Leiden.
Krom, N.J. 1923 Inleiding tot De Hindoe-Javaansche Kunst III. 's Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1968 Tjerita Pandji dalam Perbandingan. Diterjemahkan oleh Zuber Usman, Djakarta: Gunung Agung.
Quaritch Wales, H.G. 1953. The Mountain of God: A Study in Early Religion and Kingship. London:
Romondt, V.R. van, 1951. Peninggalan-peninggalan Purbakala di Gunung Penanggungan. Djakarta: Dinas Purbakala Republik Insonesia.
Soepomo, S. 1972. Lord of The Mountains in The Fourteenth Century Kakawin BKI. No. 128 hal 281–95.
Stutterheim,W.F. 1935. Enkele Interessante t'Reliefs van Oost-Java. Djawa, halaman 139—dst,