Jenderal Polisi (Purn.)
Chairuddin Ismail (lahir 27 Desember 1947) adalah pensiunan perwira Polri. Ia pernah menjadi Pejabat Sementara Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Pjs. de facto Kapolri) menggantikan Jenderal Suroyo Bimantoro, dan pernah menjadi tim sukses pasangan capres Jusuf Kalla-Wiranto.
Polemik kisruh di tubuh Polri
Pada masa kepemimpinan Suroyo Bimantoro terjadi polemik kekisruhan di tubuh Polri. Presiden dan para pendukungnya memang belakangan sukses membujuk parlemen agar menerima pengangkatan Bimantoro, meski dengan syarat. Tetapi belakangan, muncul ironi baru: Presiden mengulangi kekeliruan dengan "memecat" Bimantoro dan mengangkat
Chairuddin tanpa persetujuan parlemen. Dan situasi berbalik, Bimantoro menjadi salah satu pion DPR dalam perang politiknya melawan Presiden. Bagaimanapun, masa bulan madu antara Bimantoro dan Presiden memang hanya sebentar. Baru satu bulan menjadi Kapolri, Bimantoro sudah berseberangan pikiran dengan Presiden. Mereka berbeda dalam penanganan gerakan Papua Merdeka. Presiden Gus Dur memperbolehkan pengibaran Bendera Bintang Kejora, simbol Organisasi Papua Merdeka, sedangkan Bimantoro tegas tidak menoleransinya. Perbedaan pendapat itulah yang menurut Kepala Badan Hubungan Masyarakat Mabes Polri menjadi awal mula kerenggangan hubungan antara Polri dan Istana.
Hubungan baik tidak dapat diraih, keretakan semakin bertambah, dan Bimantoro semakin tidak populer di mata Presiden. Kasus penangkapan 2 eksekutif perusahaan asuransi berkebangsaan Kanada yang diduga terlibat dalam pembelian saham ganda menjalar menjadi persoalan diplomatik Indonesia-Kanada. Lewat Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, Presiden gagal menghentikan persoalan ini di polisi. Penuntutan kasus itu baru bisa dihentikan setelah Jaksa Agung Marzuki Darusman ikut turun tangan. Seiring dengan memanasnya suhu politik nasional, ketika DPR menelorkan Memorandum II pada Mei lalu, lagi-lagi polisi dituding tidak bersikap adil oleh Presiden. Polisi, misalnya, dituding terlalu ketat melakukan razia terhadap para pendukung Presiden yang hadir ke Jakarta untuk mengikuti "doa politik" mempertahankan Presiden Abdurrahman Wahid, sementara mereka membiarkan demonstran yang membawa pedang ke Istana. Puncak ketegangan hubungan Presiden dengan Kapolri terjadi menyusul penanganan demonstrasi para pendukung Abdurrahman Wahid di Pasuruan, Jawa Timur, Juni lalu. Dalam insiden itu, jatuh 1 pendukung Presiden, tewas diterjang peluru aparat. Presiden marah besar. Ia menuduh polisi tidak proporsional menembak orang yang, kata dia, sedang berada di warung makan.
Pada awal Juni itu, hampir bersamaan waktu dengan pergantian 5 menteri dan Jaksa Agung, Presiden meminta Bimantoro mengundurkan diri. Namun, Bimantoro menolak. Pada tanggal 2 Juni 2001, Presiden melantik Inspektur Jenderal Polisi
Chairuddin Ismail sebagai Wakil Kapolri. Yang menarik, jabatan Wakil Kapolri ini sebenarnya telah dihapuskan oleh Presiden sendiri melalui Keppres No. 54/2001 tertanggal 1 April 2001. Kasus ini telah memuncakkan dualisme dalam tubuh kepolisian dan perseteruan Presiden dengan parlemen.
Pengangkatan
Chairuddin memunculkan penolakan 102 jenderal polisi yang tidak menghendaki ada politisasi di tubuh Polri. Masalah Polri ini semakin berlarut-larut. Bertepatan dengan peringatan Hari Bhayangkara, 1 Juli, Presiden mengumumkan pemberhentian Kapolri nonaktif Bimantoro, dan akan menugasi mantan Asisten Operasi Mabes Polri itu sebagai Duta Besar RI di Malaysia. Beberapa jam kemudian, lagi-lagi Bimantoro menolak. Situasi Mabes Polri semakin panas, apalagi muncul pernyataan sikap para perwira menengah Polri, meminta Bimantoro ikhlas mundur, ditambah lagi berita akan ditangkapnya Bimantoro karena dianggap telah membangkang terhadap perintah Presiden. Bimantoro tidak goyah, dan memaksa Presiden melakukan langkah lebih dramatis. Pada tanggal 20 Juli 2001, dia melantik
Chairuddin Ismail resmi sebagai Pejabat Sementara Kapolri, meski dengan bayaran yang mahal. Pelantikan itu memicu krisis politik baru: DPR meminta MPR segera menyelenggarakan sidang istimewa, meski Presiden mengangkat
Chairuddin hanya sebagai Pejabat Sementara Kapolri dengan pangkat jenderal penuh bintang 4. Setelah Presiden Megawati Soekarnoputri dilantik,
Chairuddin dicopot dari jabatannya.
Referensi
Lihat pula
Kepolisian Negara Republik Indonesia