Christine Goodwin v.
United Kingdom adalah sebuah perkara yang diputuskan oleh Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia pada 11 Juli 2002.
Latar belakang
Perkara ini terkait dengan
Christine Goodwin, seorang wanita trans asal Britania Raya yang mengklaim bahwa ia menghadapi berbagai masalah dan pelecehan seksual di tempat kerja setelah melakukan operasi ganti kelamin. Ia juga menyatakan bahwa karena ia harus tetap menggunakan nomor asuransi nasional yang sama, atasannya dapat mengetahui bahwa ia pernah mempunyai gender dan nama yang berbeda. Selain itu, haknya untuk pensiun pada umur 60 tahun ditolak karena ia masih dianggap sebagai laki-laki sehingga harus bekerja sampai berumur 65 tahun. Lebih lagi, ia tidak dapat menikahi laki-laki lain karena ia masih dianggap sebagai laki-laki. Dengan ini, ia mengklaim bahwa telah terjadi pelanggaran Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 8 mengenai hak atas kehidupan pribadi, Pasal 12 mengenai hak untuk menikah, Pasal 13 mengenai hak untuk memperoleh pemulihan hukum yang efektif, serta Pasal 14 mengenai asas non-diskriminasi.
Putusan
= Hak atas kehidupan pribadi (Pasal 8)
=
Mahkamah HAM Eropa pertama-tama mendapati bahwa telah terjadi interferensi terhadap hak atas kehidupan pribadi
Goodwin akibat penolakan pemerintah Britania Raya untuk mengakui jati diri
Goodwin sebagai seorang perempuan. Setelah itu Mahkamah mencoba meninjau berdasarkan Pasal 8(2) Konvensi HAM Eropa apakah interferensi tersebut dapat dijustifikasi. Sebelumnya, dalam perkara Sheffield and Horsham v
United Kingdom (1998), Mahkamah pernah menyatakan bahwa tengah muncul konsensus Eropa mengenai pemberian pengakuan hukum setelah dilakukannya perubahan gender, tetapi masih belum ada pendekatan bersama mengenai bagaimana menanggulangi dampak pengakuan gender terhadap bidang hukum lainnya, termasuk pernikahan. Dalam perkara
Goodwin, Mahkamah menegaskan bahwa walaupun belum ada pendekatan bersama di Eropa perihal masalah-masalah praktis yang timbul dari pengakuan gender, terdapat "tren internasional" yang mendukung penerimaan kaum transeksual secara sosial dan juga pengakuan hukum terhadap identitas seksual mereka yang baru. Tren ini dianggap sebagai hal yang dapat menentukan jalannya perkara ini. Sesudah itu, Mahkamah menyoba menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang terlibat dalam perkara
Goodwin. Mahkamah kemudian menyatakan bahwa esensi dari Konvensi HAM Eropa adalah perlindungan martabat manusia dan kebebasan manusia. Untuk Pasal 8, gagasan otonomi individu merupakan asas yang mendasari penafsiran terhadap jaminan-jaminan pasal tersebut. Menurut Mahkamah, hak kaum transeksual tidak dapat lagi dianggap sebagai isu kontroversial, dan masalah yang dihadapi oleh kaum transeksual setelah operasi tak lagi dapat dipertahankan. Selain itu, Mahkamah tidak menemukan bukti bahwa pengakuan hukum akan membebankan kepentingan umum, dan Mahkamah juga menyatakan bahwa masyarakat dapat diharapkan untuk menoleransi individu agar dapat hidup dengan martabat sesuai dengan identitas seksual yang mereka inginkan. Pada akhirnya Mahkamah memutuskan telah terjadi pelanggaran Pasal 8 Konvensi HAM Eropa.
= Hak untuk menikah (Pasal 12)
=
Terkait dengan apakah
Goodwin dapat menikahi laki-laki lain setelah menjadi perempuan, Mahkamah mengakui bahwa lebih sedikit negara yang mengakui bahwa transseksual dapat menikah sesuai dengan gender barunya bila dibandingkan dengan negara yang mengakui perubahan gender itu sendiri secara hukum. Namun, Mahkamah menegaskan bahwa isu tersebut tidak sepenuhnya masuk ke dalam margin apresiasi negara, karena margin tersebut tidak dapat membenarkan pelarangan pernikahan untuk transeksual. Oleh sebab itu, Mahkamah tidak dapat menemukan justifikasi apapun untuk membuat kaum transeksual tidak dapat menikmati hak untuk menikah, sehingga Mahkamah memutuskan telah terjadi pelanggaran Pasal 12 Konvensi HAM Eropa.
Referensi