Pemberontakan Mandor (Hanzi: 工頭叛亂), disebut juga Perang Kongsi Ketiga, adalah
Pemberontakan etnis Tionghoa yang dibantu suku Dayak melawan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1884 dan 1885.
Kronologi di bawah ini merupakan sudut pandang Belanda; wilayah ini berada di bawah kekuasaan Belanda, tetapi diancam oleh
Pemberontakan. Sudut pandang pemberontak berbeda karena mereka menganggap dirinya sebagai pelindung terakhir Republik Lanfang, federasi kongsi yang sudah berdiri sejak akhir abad ke-18, dari "serbuan Belanda" yang membubarkan negara tersebut pada 1884-85.
Latar belakang
Di Kalimantan barat, orang-orang Tionghoa mendirikan permukiman tambang pertama pada tahun 1760 dan menyingkirkan para pemukim Belanda dan pangeran Melayu setempat, lalu mendirikan negara sendiri, Republik Lanfang. Republik Lanfang adalah satu dari tiga federasi kongsi terbesar yang menguasai Kalimantan barat. Pada tahun 1819, mereka terlibat konflik dengan pemerintahan Belanda yang baru dan dianggap "tidak sejalan" dengan program pemerintah, tetapi Belanda membutuhkan mereka untuk membangun daerah tersebut. Karena itu, daerah ini mengalami rentetan konflik sebelum
Pemberontakan besar pecah pada tahun 1884-1885.
Sebagian besar federasi kongsi dibubarkan oleh Belanda usai Perang Kongsi. Republik Lanfang adalah salah satu federasi kongsi terakhir yang bertahan karena membuat kesepakatan otonomi dengan Belanda. Lanfang masih bisa memilih pemimpin sendiri, tetapi atas persetujuan Belanda. Pada pertengahan abad ke-19, Belanda berusaha membatasi kekuasaan Republik Lanfang.
Kronologi
Ketika orang-orang Tionghoa di
Mandor mendadak memberontak pada 23 Oktober 1884, Kontrolir De Rijk dan 4 atau 5 ajudannya tewas di dalam atau di dekat rumahnya.
Pemberontakan meluas sangat cepat karena orang-orang Tionghoa dibantu oleh suku Dayak. Mereka segera membentuk kelompok bersenjata dan menyerang tentara patroli Belanda. Mereka dicap "geng" oleh pemerintah Belanda dan bisa dikelompokkan sebagai kelompok gerilya.
Kelanjutan
Catatan kolonial Belanda merincikan insiden dan tentara yang tewas (ditulis "Eropa" atau "Pribumi"). Catatan-catatan ini tidak mencantumkan motivasi atau alasan
Pemberontakan orang Tionghoa dan Dayak sehingga mereka langsung dilawan dan diredam.
Insiden berikut ini dicatat oleh pemerintah:
Tanggal 24 Desember 1884, konvoi patroli bergerak melintasi Landak untuk mencari ketua suku Dayak, Goenang Pa, yang diduga menyembunyikan dua tokoh pemberontak Tionghoa. Namun, di Kampung Sebadoe, mereka diserang oleh pemberontak Tionghoa dan Dayak yang menembak dari persembunyian. Belanda terpaksa mundur dan meninggalkan tentara Eropa bernama van den Berg (No. 16923) yang terluka parah.
Tanggal 3 Januari 1885, patroli pengintaian ditembaki di dekat Mamie dan terpaksa mundur. Dalam serangan ini, kapten infanteri A.J. Tengbergen terluka.
Tanggal 6 Januari di dekat Theo Toe Kong, 30 tentara patroli yang dipimpin letnan pertama L.T.H. Cranen berhadapan dengan "geng" yang sama. Dalam peristiwa ini, Sersan Eropa bernama A.H. Schwartz (No. 12698) tewas, sedangkan komandan patroli dan tiga tentara Eropa terluka.
Setelah patroli Belanda dipukul mundur dengan jumlah korban yang tinggi beberapa kali, pemberontak Tionghoa semakin ceroboh dan berkali-kali menyerang konvoi pasokan antara Ko Phiang dan
Mandor.
Dalam penyerangan konvoi tanggal 20 Januari 1885, tentara Eropa bernama Schoonheere (No. 4923) dan tentara Pribumi bernama Bangoeloeng (No. 9606) tewas. Tiga tentara lainnya luka-luka.
Dalam konvoi tanggal 24 Januari 1885, tentara Eropa bernama Ramel (No. 9606) tewas.
Tanggal 25 Januari, konvoi diserang lagi. Kopral Eropa bernama De Bruyn (No. 14788), tentara Eropa bernama Segalas (no. 1157) dan tentara Pribumi bernama Batong (No. 9152) tewas. Tentara Pribumi bernama Inan (No. 13915) luka parah dan meninggal tidak lama kemudian; letnan pertama E. van Dijk tewas di tengah perjalanan akibat suhu panas.
Dalam penyerangan kapal uap Emanuel yang berlayar dari Pontianak ke Mentidoeng, tentara bernama Simoel (No. 13,976) terluka. Ia jatuh ke Sungai Mempawah dan tenggelam.
F. van Braam Morris, kontrolir Distrik Mempawah, dan satu detasemen tentara, dibantu oleh beberapa orang Dayak. Mereka mencoba merebut pos di Mentidoeng yang dikosongkan pada 27 Januari dan diduduki orang Tionghoa. Serangan ini gagal dan menewaskan kontrolir van Braam Morris. Tentara Eropa bernama Zuurveen (No. 5994) luka parah dan meninggal tanggal 7 Februari. Tentara Pribumi bernama Sajat juga terluka.
Tanggal 3 Februari 1885, survei dari
Mandor ke Theo Toe Kong dilaksanakan dengan pengawalan 100 tentara bayonet dan dua tentara mortir. Di tengah perjalanan dari Theo Toe Kong, konvoi pengawalan dihujani tembakan dari benteng di hutan. Tentara Pribumi bernama May (No. 90561) luka parah dan meninggal.
Pemerintah kolonial Belanda mendirikan tugu untuk mengenang para tentara yang tewas dalam
Pemberontakan Mandor tahun 1889 di Pontianak.
Di depan tugu terdapat lempengan marmer bertuliskan nama-nama berikut ini:
F. van Braam Morris, Kontrolir. Mentidoeng, 5 Februari 1885.
E. van Dijk, infanteri, letnan pertama,
Mandor, 25 Juni 1885.
J.C. de Rijk, Kontrolir,
Mandor, 23 Oktober 1884.
Teks di bawahnya bertuliskan: Gugur dalam pertempuran.
Teks di belakangnya bertuliskan: Mengenang:
Sersan Schwartz, Kopral de Bruyn.
Regu Penembak Van den Berg, Ramel, Schoonheere, Segalas, Zuurveen, Bangoeloeng, Batong, Inan, Simoel, May. 1884-
Mandor - 1885.
Jumlah dan nama pemberontak Tionghoa dan Dayak yang tewas tidak dicatat serinci itu.
Referensi
1929. Het
Mandor-monument. Indisch Militair Tijdschrift. nummer 12. NV Drukkerij Visser & Co. Bandoeng.
Heidhues, Mary Somers (1996). "Chinese Settlements in Rural Southeast Asia: Unwritten Histories". Sojourners and Settlers: Histories of Southeast China and the Chinese. University of Hawaii Press. hlm. 164–182. ISBN 978-0-8248-2446-4.