Genosida Yunani (oleh orang
Yunani disebut juga Pembantaian (η Σφαγή), Malapetaka Besar (η Μεγάλη Καταστροφή), atau Tragedi Besar (η Μεγάλη Τραγωδία)), sebagiannya disebut
Genosida Pontos, adalah pemusnahan sistematis penduduk
Yunani Utsmaniyah Kristen dari tanah air historis mereka di Anatolia selama Perang Dunia I dan sesudahnya (1914–23). Peristiwa ini dilakukan oleh pemerintah Kesultanan Utsmaniyah terhadap warga
Yunani di wilayah Kesultanan dan meliputi pembantaian, deportasi paksa yang melibatkan perjalanan maut, pengusiran di tempat, eksekusi acak, dan penghancuran unsur budaya, sejarah, dan monumen Ortodoks Kristen. Menurut berbagai sumber, beberapa ratus ribu orang
Yunani Utsmaniyah tewas akibat peristiwa ini. Sebagian besar pengungsi dan korban selamat melarikan diri ke
Yunani, jumlahnya sekitar lebih dari seperempat dari total penduduk
Yunani saat itu. Beberapa lainnya, terutama dari provinsi-provinsi Timur, mengungsi ke Kekaisaran Rusia. Akibatnya, setelah Perang
Yunani-Turki 1919–22 berakhir, sebagian besar orang
Yunani di Asia Kecil telah pergi atau dibunuh. Mereka yang tetap tinggal di Kesultanan Utsmaniyah dipindahkan ke
Yunani sesuai perjanjian pertukaran penduduk antara
Yunani dan Turki 1923, yang mengesahkan eksodus dan melarang kembalinya para pengungsi. Suku bangsa lain juga diserang oleh Kesultanan Utsmaniyah pada masa itu, termasuk Asiria dan Armenia, dan beberapa sejarawan serta organisasi menganggap penyerangan tersebut sebagai bagian dari kebijakan pemusnahan yang sama.
Pihak Sekutu Perang Dunia I mengutuk pembantaian yang didukung pemerintah Utsmaniyah ini dan menyebutnya kejahatan terhadap kemanusiaan. Tahun 2007, Asosiasi Peneliti
Genosida Internasional mengesahkan sebuah resolusi yang mengakui bahwa kampanye Utsmaniyah terhadap minoritas Kristen di wilayah Kekaisaran, termasuk bangsa
Yunani, adalah
Genosida. Sejumlah organisasi lainnya juga telah mengeluarkan resolusi yang menyebut kampanye ini
Genosida, begitu pula dengan parlemen
Yunani, Siprus, Swedia, Armenia, Belanda, Jerman dan Austria.
Latar belakang
Keberadaan bangsa
Yunani di Asia Kecil berakar setidaknya sejak masa Homeros sekitar 800-an SM. Geografer Strabon menyebut Smyrna sebagai kota
Yunani pertama di Asia Kecil. Orang
Yunani menyebut Laut Hitam sebagai "Euxinos Pontos" atau "laut ramah" dan sejak abad kedelapan SM mereka mulai melayari pesisirnya serta bermukim di sepanjang pantainya. Kota-kota
Yunani yang paling terkenal di Laut Hitam adalah Trebizond, Sampsounta, Sinope dan Heraclea Pontica.
Selama periode Hellenistik (334 SM - abad ke-1 SM) yang mengikuti penaklukan Aleksander Agung, kebudayaan dan bahasa
Yunani mulai mendominasi Asia Kecil bahkan sampai ke kawasan tengahnya. Hellenisasi kawasan tersebut dipercepat di bawah kekuasaan Romawi dan Bizantium awal, dan pada abad-abad awal Masehi bahasa-bahasa Anatolia India-Eropa lokal telah punah, digantikan oleh bahasa
Yunani Koine.
Kebudayaan
Yunani di Asia Kecil terus berkembang selama milenium berikutnya di bawah Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) yang berbahasa
Yunani, yang penduduknya disebut orang
Yunani Bizantium. Penduduk Asia Kecil merupakan bagian besar dalam penduduk Kristen Ortodoks penutur bahasa
Yunani di kekaisaran tersebut, sehingga, banyak tokoh penutur bahasa Yunan terkenal dalam periode seribu tahun ini (abad ke-4 sampai ke 15 M) merupakan orang
Yunani Asia Kecil, termasuk Santo Nikolas (270-343 M), retorikawan Yohanes Khrysostomos (349-407 M), arsitek Hagia Sophia Isidore dari Miletos (abad ke-6 M), beberapa dinasti kekaisaran (Phokas (abad ke-10), Komnenos (abad ke-111)), serta cendekiawan Renaisans Georgios dari Trebizond (1395–1472 M) dan Basilios Bessarion (1403-1472 M).
Ketika bangsa Turk memulai penaklukan Abad Pertengahan akhir mereka, warga
Yunani Bizantium merupakan kelompok penduduk pribumi terbesar yang menempati Asia Kecil. Bahkan setelah penaklukan Turk di bagian dalam Asia Kecil, pesisir Laut Hitam dan pegunungan daerah itu tetap menjadi tempat negara
Yunani, yaitu Kekaisaran Trebizond, hingga akhirnya ditaklukan oleh Utsmaniyah pada 1461.
Setelah Perang Dunia I pecah, Asia Kecil memiliki keragaman etnik yang besar. Penduduknya terdiri dari bangsa Turk, Azeri,
Yunani, Armenia, Kurdi, Zaza, Kirkasia, Asiria, Yahudi, dan Laz.
Salah satu penyebab Turki menindas penduduk
Yunani adalah ketakutan bahwa mereka akan membantu musuh-musuh Kesultanan Utsmaniyah, serta kepercayaan di kalangan masyarakat Turk bahwa demi membentuk negara bangsa modern mereka perlu mentingkirkan suku bangsa asing di wiayah negaranya yang dianggap dapat mengancam integritas negara bangsa Turki modern.
Menurut seorang atase militer Jerman, menteri perang Utsmaniyah Ismail Enver menyatakan pada Oktober 1915 bahwa ia ingin "menyelesaikan persoalan
Yunani selama perang... dengan cara yang sama seperti yang ia yakini dapat menyelesaikan persoalan Armenia."
Peristiwa
= Pasca Perang Balkan
=
Menyusul kesepakatan serupa yang dibuat dengan Bulgaria dan Serbia, Kesultanan Utsmaniyah menetapkan persetujuan pertukaran populasi kecil sukarela dengan
Yunani pada 14 November 1913. Perjanjian lainnya semacam ini disepakati pada 1 Juli 1914 untuk pertukaran sejumlah "penduduk Turk" dari
Yunani dengan sejumlah penduduk
Yunani dari Aydin dan Thrakia Barat, setelah Utsmaniyah mengusir para warga
Yunani ini dari rumah-rumah mereka sebagai balasan atas perebutan beberapa pulau oleh
Yunani. Pertukaran ini tidak pernah diselesaikan karena meletusnya Perang Dunia I. Pola Utsmaniyah ini, menggunakan pertukaran penduduk untuk mengesahkan pengusiran penduduk yang telah dilaksanakan, akan terulang dengan pertukaran penduduk antara
Yunani dan Turki, yang mengesahkan dan menjadikan permanen eksodus penduduk
Yunani Asia Kecil sebelumnya akibat
Genosida Yunani.
Bermula pada musim semi 1913, Utsmaniyah menerapkan program pengusiran dan migrasi paksa, berfokus pada orang
Yunani di kawasan Aigeia dan Thrakia timur, yang keberadaannya di daerah ini dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional. Walaupun perbincangan untuk pertukaran penduduk masih dilakukan, satuan-satuan Organisasi Khusus (Teşkilat-ı Mahsusa) menyerang desa-desa
Yunani dan memaksa warganya meninggalkan rumah-rumah mereka, digantikan oleh para pengungsi Muslim. Pemerintah Utsmaniyah mengadopsi "mekanisme jalur ganda," memungkinkannya untuk menyangkal tanggung jawab dan pengetahuan sebelumnya mengenai tindakan intimidasi ini, mengosongkan pedesaan Kristen. Insiden semacam ini terjadi di Phokaia pada 12 Juni 1914, sebuah kota di Anatolia barat sekitar dua puluh lima mil (40 km) sebelah barat laut Smyrna, di mana pasukan ireguler Turki membantai penduduknya. Dalam peristiwa tersebut, jenazah-jenazah dilemparkan ke dalam sumur, sedangkan warga yang selamat melarikan diri ke
Yunani.
Keterlibatan militer lokal dan fungsionaris sipil pada beberapa kasus dalam merencanakan dan melakukan kekerasan serta penjarahan anti-
Yunani memicu para duta besar
Yunani dan negara-negara kuat serta Patriarkat mengajukan keluhan kepada Utsmaniyah. Sebagai protes terhadap diamnya pemerintah terkait serangan-serangan ini dan apa yang disebut "boikot Muslim" terhadap produk
Yunani yang telah dimulai pada 1913, Patriarkat menutup gereja dan sekolah
Yunani pada Juni 1914.
Menanggapi tekanan internasional dan domestik, Talat Pasya melakukan kunjungan ke Thrakia pada April 1914 dan kemudian ke Aigeia untuk menyelidiki laporan dan berusaha menenangkan ketegangan bilateral dengan
Yunani. Walaupun mengaku bahwa ia tidak memiliki kterlibatan dan pengetahuan mengenai peristiwa itu, Talat bertemu dengan Kuşçubaşı Eşref, kepala operasi "pembersihan" di pesisir Aigeia, selama perjalanannya dan menasihatinya untuk lebih berhati-hati agar tidak terlalu "terlihat".
Pada musim panas 1914 Organisasi Khusus, dibantu oleh pejabat pemerintah dan angkatan bersenjata, merekrut pria
Yunani dengan usia militer dari Thrakia dan Anatolia barat untuk diikutsertakan ke dalam Batalion Buruh di mana ratusan ribu anggotanya meninggal. Dikirim ratusan mil jauhnya ke pedalaman Anatolia, para anggota batalion ini ini dikerahkan dalam pembuatan jalan, konstruksi bangunan, penggalian terowongan serta kerja lapangan lainnya. Jumlah mereka banyak menyusut akibat privatisasi serta perlakukan yang buruk atau oleh pembantaian langsung oleh petugas Utsmaniyah. Kebijakan penyiksaan dan pembersihan etnis diperluas ke wilayah-wilayah lainnya di Kesultanan termasuk Pontos, Kappadokia dan Kilikia.
Pengusiran paksa penduduk Kristen di Anatolia barat, terutama warga
Yunani Utsmaniyah, memiliki banyak kemiripan dengan kebijakan terhadap orang Armenia, seperti diamati oleh duta besar AS Henry Morgenthau dan sejarawan Arnold Toynbee. Pejabat Utsmaniyah tertentu, seperti Şükrü Kaya, Nazım Bey dan Mehmed Reshid, memainkan peranan penting dalam dua peristiwa tersebut, satuan-satuan Organisasi Khusus dan Batalion Buruh terlibat dalam kedua kampanye itu, dan rencana ganda yang menggabungkan kekerasan tak resmi serta penutupan kebijakan penduduk negara diterapkan dalam kedua kasus.
= Perang Dunia I
=
Setelah November 1914 kebijakan Utsmaniyah terhadap penduduk
Yunani berubah; kebijakan negara sejak itu dibatasi pada imigrasi paksa penduduk
Yunani yang tinggal di kawasan pantai, terutama daerah Laut Hitam, dekat dengan front Turki-Rusia. Perubahan kebijakan ini disebabkan oleh permintaan Jerman agar penganiayaan terhadap orang
Yunani Utsmaniyah dihentikan, setelah Eleftherios Venizelos menyatakan kepada duta besar Jerman di Athena bahwa hal ini adalah syarat bagi netralitas
Yunani. Venizelos juga mengancam akan melakukan kampanye serupa terhadap warga Muslim yang tinggal di
Yunani seandainya kebijakan Utsmaniyah tidak berubah. Walaupun pemerintah Utsmaniyah berusaha menerapkan perubahan kebijakan ini, upaya tersebut tidak berhasil, dan serangan, bahkan pembunuhan, terus berlangsung tanpa ada hukuman apapun dari pejabat lokal di provinsi-provinsi yang bersangkutan, meskipun insruksi berulang dikirimkan dari pemerintah pusat. Kekerasan sewenang-wenang dan perampasan uang semakin meningkat, memicu Venizelos berpendapat bahwa
Yunani harus bergabung dengan Entente.
Pada Juli 1915, chargé d'affaires
Yunani menjelaskan bahwa deportasi tersebut "jelas-jelas bukanlah isu lainnya melainkan merupakan suatu perang mepemusnahan terhadap bangsa
Yunani di Turki dan mereka memaksa penduduk setempat pindah agama ke Islam dengan tujuan jika setelah perang ada intervensi Eropa demi melindungi umat Kristen, maka jumlahnya di Turki tinggal sedikit." Menurut George W. Rendel dari British Foreign Office, pada 1918 "...lebih dari 500.000 warga
Yunani dideportasi, namun relatif sedikit yang selamat." Dalam memoarnya, duta besar Amerika Serikat untuk Kesultanan Utsmaniyah antara 1913 dan 1916 menulis, "Di berbagai tempat orang-orang
Yunani dikumpulkan dalam kelompok-kelompok dan, di bawah perlindungan pihak yang disebut polisi Turki, mereka digiring ke pedalaman, sebagian besarnya dengan berjalan kaki. Jumlah penduduk [
Yunani] yang diusir dengan cara ini tidak diketahui pasti, diperkirakan antara 200.000 sampai 1.000.000 jiwa."
Meskipun ada perubahan kebijakan, penggosongan permukiman dan pemindahan penduduk
Yunani terus berlangsung walau dalam skala terbatas. Kebijakan ini menyasar kawasan tertentu yang dianggap rawan secara militer, bukan seluruh penduduk
Yunani. Seperti tercantum dalam catatan Patriarkat 1919, evakuasi banyak desa disertai dengan penjarahan dan pembunuhan, dengan banyak orang yang meninggal karena tidak diberi cukup waktu untuk menyiapkan perbekalan yang memadai atau karena dipindahkan ke tempat yang sulit ditinggali.
Kebijakan negara terhadap penduduk
Yunani Utsmaniyah berubah lagi pada musim gugur 1918. Dengan pasukan Entente menduduki Lesbos, Khios dan Samos sejak musim semi, pasukan Rusia maju ke Anatolia, dan
Yunani diperkirakan akan memasuki perang dengan memihak Sekutu, persiapan dilakukan untuk deportasi penduduk
Yunani yang tinggal di kawasan perbatasan. Yang menjadi perhatian khusus bagi pemerintah Utsmaniyah adalah orang
Yunani Pontos dan orang
Yunani Kaukasus di Anatolia timur laut serta daerah Kars Oblast di Kaukasus Selatan, yang dituduh bertempur bersama atau berkomplot dengan Pasukan Kaukasus Rusia yang telah mengalahkan divisi Utsmaniyah pada Pertempuran Sarikamish.
Pada 1917 Talat Pasya mengirim pesan untuk deportasi penduduk
Yunani dari distrik Samsun "tiga puluh hingga lima puluh kilometer ke pedalaman" untuk berhati-hati agar "tidak ada serangan terhadap warga maupun harta bendanya". Akan tetapi, pelaksanaan dekret pemerintah, yang mengambil bentuk sistematis sejak Desember 1916, ketika Behaeddin Syakir mendatangi daerah tersebut, tidak dilakukan seperti yang diperintahkan: para pria dimasukkan ke dalam batalion buruh, wanita dan anak-anak diserang, desa-desa dijarah oleh tetangga-tetangga Muslimnya. Germanos Karavangelis, uskup Samsun, melaporkan kepada Patriarkat bahwa tiga ribu orang telah dipindahkan ke wilayah Ankara dan konvoi orang-orang tersebut telah diserang, dengan banyak yang terbunuh. Talat Pasya memerintahkan penyelidikan untuk penjarahan dan pengrusakan desa-desa
Yunani oleh para bandit. Pada 1917, perintah diberikan untuk mengesahkan pejabat militer dengan kendali operasi untuk memperluas jangkauannya, kini mencakup penduduk dari kota-kota di wilayah pantai. Akan tetapi di beberapa tempat penduduk
Yunani tidak dipindahkan.
Orang-orang
Yunani dikirim untuk tinggal di desa-desa
Yunani di provinsi-provinsi pedalaman atau, dalam beberapa kasus, desa-desa yang ditinggali penduduk Armenia sebelum mereka dideportasi. Desa-desa
Yunani yang dikosongkan selama perang akibat kecemasan militer kemudian ditempati oleh imigran dan pengungsi Muslim. Menurut pesan yang dikirim ke provinsi-provinsi pada masa tersebut, harta benda bergerak maupun tidak bergerak milik penduduk
Yunani tidak dilikuidasi, seperti milik orang Armenia, melainkan "disimpan".
Pada 14 Januari 1917, Cosswa Anckarsvärd, duta besar Swedia untuk Konstantinopel, mengirimkan pesan seputar keputusan deportasi penduduk
Yunani Utsmaniyah:
Tindakan yang terlihat seperti kekejaman yang tak perlu adalah bahwa deportasi tidak diterapkan pada kaum pria saja, tetapi juga pada wanita dan anak-anak. Hal ini diduga dilakukan agar pemerintah lebih mudah menyita properti mereka.
Metode penghancuran yang mengakibatkan korban jiwa secara tidak langsung, seperti deportasi yang melibatkan perjalanan maut, kelaparan di kamp buruh, kamp konsentrasi, dll, disebut sebagai "pembantaian putih". Pejabat Utsmaniyah Rafet Bey terlibat aktif dalam
Genosida bangsa
Yunani. Pada November 1916 ia menyatakan, "Kita harus memusnahkan bangsa
Yunani sebagaimana yang pernah dilakukan pada bangsa Armenia... Hari ini saya mengirimkan pasukan ke pedalaman untuk membunuh setiap orang
Yunani yang terlihat."
= Perang Yunani-Turki
=
Menurut dokumen resmi Utsmaniyah, pada Januari 1919 pemerintah Utsmaniyah mengizinkan pemulangan sejumlah orang
Yunani yang dideportasi, memberikan bantuan keuangan, dan mengembalikan harta benda mereka. Pengadilan militer Turki 1919–20 mengadili tuduhan terhadap sejumlah pejabat Utsmaniyah terkemuka atas keterlibatan mereka dalam memerintahkan pembantaian terhadap bangsa
Yunani dan Armenia.
Dalam suatu laporan pada Oktober 1920, seorang perwira Britania mejelaskan dampak pembantaian di Iznik di Anatolia barat laut di mana ia menyebutkan sedikitnya terdapat 100 jenazah pria, wanita, dan anak-anak yang sudah busuk dan dimutilasi. Jenazah-jenazah tersebut ada di dalam dan sekitar sebuah gua besar sekitar 300 yard dari dinding kota.
Pembantaian dan deportasi sistematis warga
Yunani di Asia Kecil, sebuah program yang diterapkan tahun 1914, adalah penyebab kekerasan yang dilakukan pasukan
Yunani dan Turki saat Perang
Yunani-Turki, konflik yang mengikuti pendaratan di Smyrna pada Mei 1919 dan berlangsung sampai perebutan kembali Smyrna oleh pasukan Turk dan Kebakaran Besar Smyrna bulan September 1922. Sekitar 50.000 sampai 100.000 orang
Yunani dan Armenia tewas dalam kebakaran dan pembantaian setelahnya. Menurut Norman M. Naimark, "perkiraan yang lebih realistis [untuk korban Kebakaran Besar Smyrna] berkisar antara 10.000 sampai 15.000". Sekira 150.000 hingga 200.000 warga
Yunani terusir akibat kebakaran ini, sementara 30.000 warga
Yunani dan Armenia kelas pekerja dideportasi ke pedalaman Asia Kecil, sebagian besar di antara mereka dibunuh dalam perjalanan atau meninggal akibat kondisi yang brutal. George W. Rendel dari British Foreign Office, serta para diplomat lainnya, mengamati pembantaian dan deportasi bangsa
Yunani selama Perang
Yunani-Turki dan memperkirakan bahwa Utsmaniyah membantai sekitar 348.000 orang
Yunani Anatolia.
Ada pula pembantaian warga Turk oleh pasukan
Yunani selama pendudukan Anatolia barat sejak Mei 1919 sampai September 1922.
Untuk pembantaian yang terjadi sepanjang Perang
Yunani-Turki 1919–1922, sejarawan Britania Arnold J. Toynbee menulis bahwa pendaratan pasukan
Yunani adalah peristiwa yang mendorong kekerasan yang terjadi kemudian:
...penduduk
Yunani di 'Pontos' dan penduduk Turk di wilayah yang diduduki
Yunani dalam tingkat tertentu merupakan korban dari kesalahan perhitungan awal oleh Venizelos dan Lloyd George di Paris...
= Bantuan
=
Pada 1917, sebuah organisasi bantuan bernama Komite Bantuan untuk Orang
Yunani Asia Kecil dibentuk sebagai tanggapan atas deportasi dan pembantaian warga
Yunani di Kesultanan Utsmaniyah. Komite ini bekerja sama dengan Bantuan Timur Dekat dalam mendistribusikan bantuan kepada penduduk
Yunani Utsmaniyah di Thrakia dan Asia Kecil. Organisasi ini dibubarkan pada musim panas 1921 namun penyaluran bantuan terus dilakukan oleh organisasi-organisasi bantuan lainnya.
= Catatan kontemporer
=
Diplomat Jerman dan Ausria-Hungaria, serta memorandum 1922 yang disusun oleh George W. Rendel tentang "Pembantaian dan Penganiayaan oleh Turki", memberikan bukti untuk rangkaian pembantaian dan pembersihan etnis sistematis bangsa
Yunani di Asia Kecil. Kutipan-kutipannya diatribusikan pada beragam diplomat, terutama duta besar Jerman Hans Freiherr von Wangenheim dan Richard von Kühlmann, wakil konsul Jerman Samsoun Kuchhoff, duta besar Austria Pallavicini dan konsul Samsoun Ernst von Kwiatkowski, dan agen tak resmi Italia di Angora Signor Tuozzi. Kutipan lainnya berasal dari pendeta dan aktivis, terutama misionaris Jerman Johannes Lepsius, dan Stanley Hopkins dari Bantuan Timur Dekat. Jerman dan Austria-Hungaria adalah sekutu Utsmaniyah dalam Perang Dunia I.
Catatan-catatan itu menggambarkan pembantaian, pemerkosaan, dan pembakaran sistematis desa-desa
Yunani, dan menyebutkan niatan oleh pejabat Utsmaniyah, yaitu Wazir Agung Utsmaniyah Mahmud Sevket Pasya, Rafet Bey, Talat Pasya dan Enver Pasya.
Selain itu, The New York Times dan koresponden-korespondennya menampilkan banyak rujukan terkait peristiwa itu, mencatat pembantaian, deportasi, pembunuhan individu, pemerkosaan, pembakaran keseluruhan desa
Yunani, penghancuran gereja dan biara Ortodoks
Yunani, perekrutan Batalion Buruh, penjarahan, terorisme, serta kekejaman-kekejaman lainnya terhadap orang
Yunani, Armenia dan warga serta pejabat pemerintah Britania dan Amerika. Surat kabar tersebut dianugerahi Penghargaan Pulitzer pertamanya pada 1918 "untuk layanan publik paling netral dan berjasa yang dilaksanakan oleh surat kabar Amerika-peliputan perang lengkap dan akurat". Lebih banyak lagi media saat itu melaporkan kejadian dengan judul-judul serupa.
Henry Morgenthau, duta besar Amerika Serikat untuk Kesultanan Utsmaniyah pada 1913 hingga 1916 menyebut bahwa pemerintah Ustmaniyah melakukan "kampanye teror yang hina, penyiksaan kejam, pemaksaan wanita menjadi harem, pelacuran gadis tak berdosa, penjualan banyak perempuan seharga 80 sen masing-masingnya, pembunuhan ribuan orang serta deportasi ke dan kelaparan di gurun terhadap ratusan ribu orang lainnya, [serta] penghancuran ratusan desa dan banyak kota", semua ini merupakan bagian dari "eksekusi disengaja" dari "rencana untuk memusnahkan penduduk Kristen Armenia,
Yunani dan Syria di Turki." Akan tetapi, pada bulan-bulan sebelum Perang Dunia I, 100.000 orang
Yunani dipindahkan ke pulau-pulau
Yunani atau pedalaman yang disebutkan oleh Morgenthau, "sebagian besarnya adalah depportasi bermanfaat; yaitu, penduduk
Yunani sesungguhnya dipindahkan ke tempat baru dan tidak terkena pembantaian. Kemungkinan ini adalah alasan mengapa dunia barat tidak memprotes deportasi ini..."
Konsul-Jenderal AS George Horton melaporkan, "Salah satu pernyataan paling cerdas yang diedarkan oleh para penyebar propaganda Turki adalah yang menyebutkan kaum Kristen yang dibantai adalah sama buruknya seperti pembantai mereka, bahwa itu adalah '50–50.' " Terkait hal ini ia berkomentar, "Seandainya bangsa
Yunani, setelah pembantaian di Pontos dan Smyrna, membantai semua orang Turk di
Yunani, catannnya akan menjadi 50–50—hampir." Sebagai saksi mata, ia juga memuji bangsa
Yunani atas "perlakukan [mereka] [...] terhadap ribuan orang Turk yang tinggal di
Yunani, sementara pembantaian mengerikan sedang berlangsung...", yang menurut pendapatnya merupakan "salah satu hal paling mengnspirasi dan indah dalam sejarah negara itu."
= Korban
=
Menurut berbagai sumber, jumlah korban jiwa
Yunani di kawasan Pontos di Anatolia berkisar antara 300.000 jiwa sampai 360.000 jiwa. Perkiraan korban jiwa di kalangan
Yunani Anatolia secara keseluruhan jauh lebih tinggi, sebuah tim peneliti asal Amerika Serikat pada periode awal pascaperang menemukan bahwa jumlah orang
Yunani yang dibunuh mungkin mendekati angka 900.000 jiwa. Pakar ilmu politik Adam Jones juga mengajukan jumlah korban 750.000 jiwa.
Sejarawan Rudolph Rummel menyusun beragam angka dari beberapa penelitian untuk memperkirakan batas bawah dan atas untuk jumlah kematian antara 1914 dan 1923. Pekiraannya berkisar antara 289.000 hingga 459.000 jiwa akibat
Genosida Yunani selama periode ini. Menurut jumlah dari pemerintah
Yunani dan Patriarkat, sebanyak satu juta orang diperkirakan tewas dibantai dalam peristiwa ini.
Menurut International League for the Rights and Liberation of Peoples, antara 1916 dan 1923, hingga 350.000 orang
Yunani Pontos dilaporkan dibunuh dalam pembantaian, penyiksaan dan perjalanan maut. Merrill D. Peterson menyebutkan jumlah 360.000 korban jiwa untuk orang
Yunani Pontos. Menurut George K. Valavanis, "Jumlah korban jiwa di kalangan
Yunani Pontos sejak Perang Besar [Perang Dunia I]sampai Maret 1924 diperkirakan mencapai 353.000 akibat pembunuhan, penggantungan, serta akibat hukuman, penyakit, dan kondisi sulit lainnya."
Constantine G Hatzidimitriou menulis bahwa, "jumlah korban jiwa di kalangan
Yunani Anatolia selama PDI dan setelahnya mencapai 735.370". Edward Hale Bierstadt menyatakan bahwa, "Menurut kesaksian resmi, bangsa Turk sejak 1914 telah membantai 1.500.000 orang Armenia dan 500.000 orang
Yunani, pria, wanita, dan anak-anak, tanpa provokasi sedikit pun.". Di konferensi Lausanne pada akhir 1922, Menteri Luar Negeri Britania Lord Curzon mengatakan, "satu juta orang
Yunani telah dibunuh, dideportasi, atau meninggal dunia." Pada 1916, Emanuel Efendi, seorang deputi Utsmaniyah, mengatakan bahwa "550.000 orang
Yunani...telah dibunuh."
Akibat
Artikel 142 dalam Perjanjian Sèvres tahun 1920, yang dipersiapkan setelah Perang Dunia I, menyebut Utsmaniyah sebagai "teroris" dan mengandung ketentuan "untuk memulihkan sebaik mungkin segala keburukan yang ditimpakan kepada orang-orang dalam peristiwa pembantaian" yang dilakukan oleh Utsmaniyah selama perang. Perjanjian Sèvres tidak pernah diratifikasi oleh pemerintah Turki dan pada akhirnya digantikan oleh Perjanjian Lausanne. Perjanjian itu ditambahi "Deklarasi Pengampunan," tanpa menyebutkan ketentuan apapun terkait hukuman untuk kejahatan perang.
Pada 1923, pertukaran penduduk antara
Yunani dan Turki mennghasilkan lenyapnya hampir seluruh keberadaan etnis
Yunani di Turki serta hampir lenyapnya seluruh keberadaan etnis Turki di sebagian besar
Yunani. Menurut sensus
Yunani tahun 1928, 1.104.216 orang
Yunani Utsmaniyah telah pergi ke
Yunani.
Pada 1955, Pogrom Istanbul menyebabkan sebagian besar penduduk
Yunani di Istanbul bermigrasi dari sana. Sejarawan Alfred-Maurice de Zayas mengidentifikasi Pogrom Istanbul sebagai sebuah kejahatan yang amat serius terhadap kemanusiaan dan ia menyatakan bahwa sedikit korban
Yunani dan terutama migrasi besar orang
Yunani setelah pogrom berkaitan dengan kriteria "niat untuk memusnahkan seluruh atau sebagian" dalam Konvensi
Genosida.
Pengakuan
= Diskusi akademis
=
Pada Desember 2007 International Association of Genocide Scholars (IAGS) meloloskan resolusi yang menegaskan bahwa kampanye tahun 1914–23 terhadap orang
Yunani Utsmaniyah merupakan
Genosida. Menggunakan istilah "
Genosida Yunani", resolusi ini menegaskan bahwa penduduk
Yunani Utsmaniyah menjadi korban
Genosida bersama kelompok lainnya seperti orang Armenia dan Asiria. Resolusi tersebut diadopsi pada 1 Desember 2007 dan rilis persnya diedarkan oleh organisasi itu pada 16 Desember. Reolusi IAGS ini diloloskan dengan dukungan mayoritas yang amat besar. Beberapa sejarawan yang meneliti
Genosida Armenia seperti Peter Balakian, Taner Akçam, Richard Hovannisian dan Robert Melson menyatakan bahwa masalah ini mesti diteliti lebih jauh sebelum suatu resolusi dapat diloloskan."
Sejarawan Mark Mazower menyatakan bahwa deportasi orang
Yunani oleh Utsmaniyah berlangsung dalam "skala yang relatif kecil dan tidak tampak seperti telah dirancang untuk berakhir dengan kematian korban. Apa yang terjadi pada orang Armenia adalah sesuatu yang berbeda". Manus Midlarsky mengamati perbedaan antara pernyataan niat
Genosida terhadap orang
Yunani oleh pejabat Utsmaniyah dengan tindakan mereka, pengurungan pembantaian di arean "sensitif" pilihan dan banyaknya orang
Yunani yang selamat. Karena ikatan kebudayaan dan politik orang
Yunani Utsmaniyah dengan negara-negara Eropa, Midlarsky berpendapat bahwa
Genosida "bukanlah pilihan yang baik bagi Utsmaniyah dalam kasus mereka." Taner Akçam merujuk kepada catatan kontemporer yang menunjukkan perbedaan dalam hal perakukan terhadap orang
Yunani Utsmaniyah dan Armenia selama Perang Dunia I dan menyimpulkan bahwa "terlepas dari kebijakan masa perang yang parah, secara khusus selama periode antara akhir 1916 dan bulan-bulan pertama 1917, perlakukan pemerintah terhadap orang
Yunani -meskipun dalam beberapa cara sebandiing dengan tindakan terhadap orang Armenia- berbeda dalam hal cakupan, niat, dan motivasi". Niall Ferguson membuat perbandingan antara pembantaian sporadis dalam masyarakat
Yunani Pontos setelah 1922 dan nasib orang Armenia. Terkait resolusi IAGS, sejatawan
Genosida seperti Dominik J. Schaller dan Jürgen Zimmerer menyatakan bahwa "ciri-ciri
Genosida dalam kampanye pembunuhan terhadap orang
Yunani tampak sangat jelas". Historian Angelos Elefantis "menyampaikan rasa terkejutnya atas penggunaan kata "
Genosida" hanya terkait pada pembantian Smyrna",
Seminar dan kuliah di beberapa universitas barat membahas peristiwa ini, termasuk di College of Charleston, Universitas Michigan–Dearborn, yang memiliki satuan riset yang berdedikasi. dan Universitas New South Wales.
= Politik
=
Menyusul inisiatif dari anggota parlemen yang disebut sayap "patriotik" dalam kelompok partai PASOK yang berkuasa serta anggota parlemen berpikiran serupa dari Demokrasi Baru yang konservatif, parlemen
Yunani meloloskan dua hukum mengenai nasib orang
Yunani Utsmaniyah; yang pertama pada 1994 dan yang kedua pada 1998. Dekret-dekret ini diterbiatkan dalam Lembaran Berita Pemerintah
Yunani pada 8 Maret 1994 dan 13 Oktober 1998. Dekret 1994 menegaskan adanya
Genosida di kawasan Pontos di Asia Kecil dan menetapkan tangal 19 Mei sebagai hari peringatannya, sedangkan dekret 1998 menegaskan
Genosida orang
Yunani di Asia Kecil secara keseluruhan dan menetapkan tanggal 14 September sebagai hari peringatannya. Kedua hukum ini ditandatangani oleh Presiden
Yunani namun tidak langsung diratifiksi setelah adanya intervensi politik. Surat kabar kiri Avgi ("Fajar") memiliki inisiatif untuk membekukan penerapan hukum ini. Topik ini kemudian menjadi pusat debat politik antara berbagai politisi
Yunani, dengan kelompok kiri menentangnya. Presiden partai Synaspismos koalisi kiri-ekologis Nikos Konstantopoulos dan A. Elefantis, dikenal karena bukunya mengenai komunisme
Yunani, merupakan beberapa politisi yang menyampaikan tentangan pada dekret ini. Akan tetapi, tidak semua kelompok kiri seperti itu, intelektual nasionalis sayap kiri nonparlemen dan penulis, George Karabelias, dengan keras mengkritik Elefantis dan sejumlah orang lainnya, terutama di kelompok kiri, yang menentang pengakuan
Genosida serta menyebut mereka "sejarawan revisionis," menuduh sayap kiri umum Yunanai mengandung "evolusi ideologi yang meyimpang". Ia juga menyebut bahwa bagi sayap kiri
Yunani, 19 Mei adala "hari amnesia".
Sebagai tanggapan atas hukum tahun 1998, pemerintah Turki mengeluarkan pernyataan yang mengklaim bahwa menggambarkan peristiwa tersebut sebagai
Genosida adalah "tanpa dasar sejarah apapun". Menteri Luar Negeri Turki menyatakan bahwa pemerintah Turki mengecam resolusi tersebut, ia mengatakan, "Dengan resolusi ini, kenyataannya Parlemen Yunanai yang harus meminta maaf kepada bangsa Turki atas penghancuran dan pembantaian berskala besar yang dilakukan oleh pihak
Yunani di Anatolia, [resolusi ini] tidak hanya meneruskan kebijakan tradisional
Yunani dalam mengubah sejarah, melainkan juga menunjukkan bahwa mentalitas ekspansionis
Yunani masih ada."
Pada akhir 2000-an Partai Komunis
Yunani mengadopsi istilah "
Genosida Bangsa
Yunani di Pontos" dalam surat kabar resminya serta berpartisipasi dalam acara peringatan. Siprus juga secara resmi mengakui peristiwa ini sebagai suatu
Genosida. Pada 11 Maret 2010, Riksdag Swedia meloloskan mosi yang mengakui adanya "tindakan
Genosida pembunuhan terhadap bangsa Armenia, Asiria/Suryani/Khaldea dan
Yunani Pontos pada 1915". Pada 14 Mei 2013, pemerintah New South Wales memperoleh mosi pengakuan genoside oleh Fred Nile dari Partai Demokratik Kristen, dan kemudian meloloskannya, menjadikan pemerintah New South Wales sebagai lembaga politik keempat yang mengakui
Genosida tersebut. Pada Maret 2015, Majelis Nasional Armenia mengadopsi resolusi yang mengakui
Genosida Yunani dan Asiria. Pada April 2015, Dewan Negara Belanda meloloskan resousi yang mengakui
Genosida Yunani dan Asiria.
= Penyebab sedikitnya pengakuan
=
Perserikatan Bangsa-Bangsa, parlemen Eropa dan Dewan Eropa belum membuat pernyataan apapun terkait
Genosida Yunani. Menurut Constantine Fotiadis, dosen Sejarah
Yunani Modern di Universitas Aristoteles Thessaloniki, terdapat beberapa alasan mengapa ada kekurangan pengakuan secara luas dan penundaan dalam hal permintaan pengakuan, antara lain: Perjajian Lausanne pada 1923 tidak menyebutkan ketentuan apapun mengenai
Genosida Yunani; perjanjian damai berikutnya (Perjanjian Persahabatan
Yunani-Turki pada Juni 1930) di mana
Yunani memberikan sejumlah konsesi untuk menyelesaikan semua permasalahan antara dua negara demi perdamaian di kawasan tersebut; Perang Dunia II, Perang Saudara, Junta militer dan kericuhan politik di
Yunani yang terjadi kemudian, memaksa
Yunani untuk berfokus pada urusan dalam negerinya sendiri dan permasalahan lainnya allih-alih mencari pengakuan untuk peristwiwa
Genosida; dan lingkungan Perang Dingin di mana
Yunani dan Turki diharapkan menjadi sekutu - menghadapi Komunisme sebagai musuh bersama - bukannya musuh atau pesaing.
Dalam bukunya With Intent to Destroy: Reflections on Genocide, Colin Tatz berpendapat bahwa Turki menolak
Genosida agar tidak membahayakan "mimpinya selama sembilan puluh lima tahun untuk menjadi lentera demokrasi di Timur Dekat". Sementara sejumlah alasan mengenai penolakan Turki menurut Elizabeth Burns Coleman dan Kevin White, dalam buku mereka Negotiating the Sacred: Blasphemy and Sacrilege in a Multicultural Society, antara lain: risiko rasa bersalah dan malu jika bangsa yang mengaku sebagai "pejuang dan lentera demokrasi" melakukan pembantaian etnis; rasa takut bahwa pengakuan akan berujung pada tuntutan ganti rugi; pemikiran bahwa pengakuan akan membahayakan masa-masa awal Turki sebagai negara yang beru melakukan transisi; dan pemikiran bahwa penolakan pengakuan tidak akan mengalami banyak hambatan.
Tugu peringatan
Banyak tugu peringatan penderitaan
Yunani Utsmaniyah didirikan di seluruh
Yunani dan sejumlah negara lain seperti Jerman, Kanada, Amerika Serikat, dan Australia.
Lihat pula
Genosida Armenia
Genosida Asiria
Penolakan
Genosida
Pengungsi
Yunani
Pogrom Istanbul
Hak asasi manusia di Turki
The Twenty Classes
Megali Idea
Republik Pontus
Yunani Kapadokia
Catatan kaki
Daftar pustaka
Avedian, Vahagn (2009), The Armenian Genocide 1915: From a Neutral Small State's Perspective: Sweden (PDF) (unpublished master thesis paper), Uppsala University, diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-12-30, diakses tanggal 2013-05-19 .
Bierstadt, Edward Hale (1924), The Great Betrayal; A Survey of the Near East Problem, New York: RM McBride & Co .
Bloxham, Donald (2005), The Great Game of Genocide: Imperialism, Nationalism, and the Destruction of the Ottoman Armenians, Oxford: Oxford University Press .
Ferguson, Niall (2006), The War of the World: Twentieth-century Conflict And the Descent of the West, New York: Penguin, ISBN 1-59420-100-5 .
Fotiadis, Constantinos Emm (2004), The Genocide of the Pontus Greeks by the Turks, 13, Thessaloniki: Herodotus .
90-411-1222-7.
Horton, George (1926), The Blight of Asia, Indianapolis: Bobbs-Merrill, diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-01-01, diakses tanggal 2013-05-19
Hull, Isabel V (2005), Absolute Destruction: Military Culture and the Practices of War in Imperial Germany, Ithaca: Cornell University Press .
Jones, Adam (2006), Genocide: A Comprehensive Introduction, Routledge .
——— (2010) [2006], Genocide: A Comprehensive Introduction, Taylor & Francis, ISBN 978‐0‐415‐48618‐7 .
King, William C (1922), Complete History of the World War: Visualizing the Great Conflict in all Theaters of Action 1914–1918, MA, US: The History Associates, diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-01, diakses tanggal 2013-05-19 .
Levene, Mark (1998), "Creating a Modern "Zone of Genocide": The Impact of Nation- and State-Formation on Eastern Anatolia, 1878–1923", Holocaust and Genocide Studies, 12 (3): 393–433, diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-02, diakses tanggal 2013-05-19 .
Morgenthau, Henry sr (1918), Ambassador Morgenthau's Story (PDF), Doubleday, Page & Co, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-01-24, diakses tanggal 2013-05-19 .
——— (1919) [1918], Ambassador Morgenthau's Story, Doubleday, Page & Co .
Peterson, Merrill D (2004), Starving Armenians: America and the Armenian Genocide, 1915–1930 and After, Charlottesville: University of Virginia Press .
Rendel, GW (20 March 1922), On Turkish Massacres and Persecutions of Minorities since the Armistice (memorandum), Foreign Office .
Tatz, Colin (2003), With Intent to Destroy: Reflections on Genocide, Essex: Verso, ISBN 1-85984-550-9, diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-31, diakses tanggal 2013-05-19
Toynbee, Arnold J (1922), The Western question in Greece and Turkey: a study in the contact of civilisations, Boston: Houghton Mifflin .
Travis, Hannibal (2009), "The Cultural and Intellectual Property Interests of the Indigenous Peoples of Turkey and Iraq", Texas Weleyan Law Review, Texas Wesleyan University School of Law, 15: 601–80, diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-24, diakses tanggal 2013-05-19
Valavanis, GK (1925), Σύγχρονος Γενική Ιστορία του Πόντου (dalam bahasa Greek), Athens Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link) .
Referensi
Ascherson, Neal (1995). Black Sea, New York: Hill and Wang, ISBN 0-8090-3043-8.
Bassioun, M. Cherif (1999). Crimes Against Humanity in International Criminal Law, The Hague: Kluwer, ISBN *Hulse, Carl (2007). U.S. and Turkey Thwart Armenian Genocide Bill Diarsipkan 2023-04-17 di Wayback Machine., The New York Times, 26 October 2007
King, Charles (2005). The Black Sea: A History, Oxford: Oxford University Press
Koromila, Marianna (2002). The Greeks and the Black Sea, Panorama Cultural Society.
Lieberman, Benjamin (2006). Terrible Fate: Ethnic Cleansing in the Making of Modern Europe, Ivan R. Dee.
Mildrasky, Manus I. (2005). The Killing Trap, Cambridge: Cambridge University Press.
Naimark, Norman M. (2001). Fires of Hatred: Ethnic Cleansing in Twentieth-Century Europe, Cambridge and London: Harvard University Press.
Rummel, RJ. "Statistics of Democide". Chapter 5, Statistics of Turkey's Democide Estimates, Calculations, and Sources. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-25. Diakses tanggal 4 October 2006.
"Massacre of Greeks Charged to the Turks Diarsipkan 2012-08-04 di Archive.is",The Atlanta Constitution, 17 June 1914.
Shaw, Stanford J; Shaw, Ezel Kural, History of the Ottoman Empire and Modern Turkey, Cambridge University .
Taner, Akcam (2006). A Shameful Act
Halo, Thea (2001). Not Even My Name, New York: Picador.
Totten, Samuel; Jacobs, Steven L (2002). Pioneers of Genocide Studies (Clt). New Brunswick, NJ: Transaction Publishers. ISBN 0-7658-0151-5. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-31. Diakses tanggal 2013-05-19.
Bacaan lanjutan
= Buku
=
Akcam, Taner. From Empire to Republic: Turkish Nationalism and the Armenian Genocide, New York: Zed Books, 2004.
Andreadis, George, Tamama: The Missing Girl of Pontos, Athens: Gordios, 1993.
Barton, James L (1943), The Near East Relief, 1915–1930, New York: Russell Sage Foundation .
———; Sarafian, Ara (1998), "Turkish Atrocities": Statements of American Missionaries on the Destruction of Christian Communities in Ottoman Turkey, 1915–1917 .
Compton, Carl C. The Morning Cometh, New Rochelle, NY: Aristide D. Caratzas, 1986.
Documents (PDF), Ataa, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2018-10-05, diakses tanggal 2013-05-19 .
Karayinnides, Ioannis (1978), Ο γολγοθάς του Πόντου (dalam bahasa Greek), Salonica Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link) .
Morgenthau, Henry sr (1974) [1918], The Murder of a Nation, New York: Armenian General Benevolent Union of America .
——— (1929), I Was Sent to Athens, Garden City, NY: Doubleday, Doran & Co, diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-27, diakses tanggal 2013-05-19 .
——— (1930), An International Drama, London: Jarrolds .
Hofmann, Tessa, ed. (2004), Verfolgung, Vertreibung und Vernichtung der Christen im Osmanischen Reich 1912–1922 (dalam bahasa German), Münster: LIT, hlm. 177–221, ISBN 3-8258-7823-6 Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link) .
Housepian Dobkin, Marjorie. Smyrna 1922: the Destruction of a City, New York, NY: Newmark Press, 1998.
de Murat, Jean. The Great Extirpation of Hellenism and Christianity in Asia Minor: the historic and systematic deception of world opinion concerning the hideous Christianity’s uprooting of 1922, Miami, FL (Athens, GR: A. Triantafillis) 1999.
Papadopoulos, Alexander. Persecutions of the Greeks in Turkey before the European War: on the basis of official documents, New York: Oxford University Press, American branch, 1919.
Pavlides, Ioannis. Pages of History of Pontus and Asia Minor, Salonica, GR, 1980.
Tsirkinidis, Harry. At last we uprooted them... The Genocide of Greeks of Pontos, Thrace, and Asia Minor, through the French archives, Thessaloniki: Kyriakidis Bros, 1999.
Ward, Mark H. The Deportations in Asia Minor 1921–1922, London: Anglo-Hellenic League, 1922.
= Artikel
=
Bjornlund, Matthias, "The 1914 cleansing of Aegean Greeks as a case of violent Turkification", Journal of Genocide Research, Volume 10, Issue 1, March 2008, pp. 41–58.
Hlamides, Nikolaos, "The Greek Relief Committee: America’s Response to the Greek Genocide Diarsipkan 2013-01-03 di Archive.is", Genocide Studies and Prevention, Volume 3, Issue 3, December 2008, pp. 375–83.
Vryonis, Speros, "Greek Labor Battalions in Asia Minor", The Armenian Genocide: Cultural and Ethical Legacies (ed. Hovannisian, Richard), New Brunswick, NJ: Transaction Publishers, 2007, pp. 275–90.
Taner, Akcam (2009), "The Greek 'Deportations' and Massacres of 1913–1914, A Trial Run for the Armenian Genocide", The Academic Conference on the Asia Minor Catastrophe (paper), IL, USA, diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-05-16, diakses tanggal 2013-05-19 .
Sait, Çetinoğlu (17–19 September 2010), "The Pontus Independence Movement and the Greek Genocide", Three Genocides, One Strategy (international conference), Athens, diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-25, diakses tanggal 2013-05-19 .