Ghumah Baghi atau Rumah
Baghi, atau
Ghumah Tatahan, merupakan rumah adat tradisional di Provinsi Sumatera Selatan yang dibangun oleh Suku Besemah (atau disebut juga Pasemah). Secara etimologis dalam Bahasa Indonesia
Ghumah artinya Rumah, sedangkan
Baghi (dibaca: bari) artinya tua. Selain diartikan sebagai rumah lama, tua atau kuno, bisa juga
Ghumah Baghi disebut sebagai "rumah peninggalan zaman dahulu kala".
Bagi komunitas masyarakat Suku Besemah
Ghumah Baghi tidak sekadar tempat tinggal saja, melainkan juga sebagai simbol strata bagi si pemilik rumah dan dianggap sakral.
Bentuk Rumah
Semua
Ghumah Baghi berbentuk rumah panggung dengan tinggi 2 meter dari permukaan tanah. Kolong rumah biasanya dijadikan tempat penyimpanan kayu bakar. Selain itu fungsinya adalah dalam rangka keamanan pemilik rumah. Agar binatang buas tidak bisa masuk sembarangan ke dalam rumah. Hal ini mengingat dahulu kala lingkungan sepi dan dikelilingi hutan belantara.
Bangunan rumah tradisional ini sangatlah kuat. Bahan dasar pembuatannya adalah kayu-kayu berkualitas (misal kayu entenam) yang diambil dari hutan-hutan sekitar. Tidak hanya sebagai pondasi, tapi juga untuk dinding, lantai, dan kayu ukiran. Kayu-kayu ini jugalah yang membuat
Ghumah Bhagi terkenal sangat kokoh.
Selain kuat
Ghumah Baghi juga tahan gempa. Tiang
Ghumah Baghi menempal di atas sebuah batu. Jadi ketika ada gempa bumi, tiang-tiang itu bergerak dinamis, hanya bergeser saja tidak sampai merobohkan bangunan. Sebagai bukti kekuatannya, ada
Ghumah Baghi di Desa Bangke sudah berusia 300 tahun.
Ghumah Baghi (besemah) sebagian besar berbentuk menyerupai perahu besar. Contohnya yang berada di Kecamatan Dempo Utara, akan terlihat jika tiang rumahnya dilepas. Tidak mengherankan, karena nenek moyang Suku Besemah adalah pelaut. Mereka datang ke Besemah menaiki perahu.
Atapnya terbuat dari serabut pohon aren dan kerangkanya menggunakan bambu. Sisi depan atap sepintas mirip rumah tradisional orang Minangkabau, runcing seperti tanduk. Namun jika dilihat dengan teliti, ternyata tidak seruncing Rumah Adat Suku Minangkabau. Sisi depan yang runcing itu terbuat dari kayu yang sudah dibentuk terlebh dahulu.
Konsep konstruksi
Ghumah Baghi menggunakan pasak yang menghubungkan bagian rangka. Uniknya, bagian-bagian terhubung tidak menggunakan paku. Untuk lembaran-lembaran papan dinding dipasang kepada kerangka dinding melalui lubang alur sebagai pengunci agar menempel kuat layaknya seperti dipaku.
Ghumah Baghi tidak memiiki jendela. Hanya ada satu daun pintu di tengah yang terbuat dari sekeping kayu dengan engsel sumbu, dimana posisinya ada di atas dan di bawah daun pintu. Jika pintu dibuka atau ditutup terdengar bunyi yang khas. Fungsinya menyerupai bel, sebagai tanda panggilan untuk empunya rumah.
Lalu menjadi pertanyaan, bagaimana orang-orang Suku Besemah membawa kayu-kayu berat itu dari hutan? Konon yang membawa kayu-kayu tersebut adalah kekuatan gaib. Makanya saat
Ghumah Baghi hendak dibangun warga disekitarnya dilarang keluar rumah pada malam hari, karena akan ada pengiriman kayu. Keesokan harinya pada pagi hari kayu-kayu untuk membangun sudah ada di area pembangunan.
Proses pembangunan
Ghumah Baghi didahului dengan musyawarah adat dan melewati serangkaian upacara adat. Ada empat upacara yang berkaitan dengan
Ghumah Baghi, yakni Upacara Memancang Tiang (Sedekah Negah Ka Tiang), Naikkan Bumbungan (Sedekah Negah Mubungan), Menempati
Ghumah (Sedekah Nunggu
Ghumah) dan Upacara Menguji
Ghumah Baghi (Sedekah Nyimak
Ghumah)
Bagian Dalam
Lantai
Ghumah Baghi terbuat dari bambu. Tidak ada sekat atau kamar di dalam
Ghumah Baghi. Ini merupakan simbol dari kebersamaan anggota keluarga inti. Meskipun demikian terdapat bagian tertentu di dalam rumah yang lantainya dibuat berjenjang, sesuai strata yang berlaku dalam Suku Basemah. Jenjang paling atas untuk Jurei Tue (sesepuh), di bawahnya untuk Pangeran Tue dan Pangeran Mude. Lalu jenjang paling bawah ditempati Cincingan, Cerite Layang, dan Rabu Samad. Hanya saja lantai berjenjang saat ini hanya dipakai bilamana ada upacara penjemputan pusaka yang pada umumya diadakan hanya sekali dalam empat tahun. Acara ini dilaksanakan jika sang sesepuh mempunyai firasat untuk menjemput pusaka.
Motif Ukiran
Ciri khas
Ghumah Baghi adalah adanya ukiran. Rumah ini terbagi dalam dua jenis, Rumah Tatahan, yang menggunakan ukiran dan Rumah Digedelapan, tidak menggunakan ukiran. hal tersebut menunjukkan bahwa pemilik Rumah Tatahan memiliki status sosial lebih tinggi daripada pemilik Rumah Digedelapan. Biaya membangun
Ghumah Baghi dengan ukiran tentu saja lebih besar daripada yang tidak menggunakan ukiran. Ditambah lagi kayu Rumah Tatahan lebih berkualitas ketimbang Rumah Digedelapan.
Dahulu kala, pengukir
Ghumah Baghi merupakan profesi bergengsi, karena mereka bekerja kepada orang-orang "berkelas" yang tingkat ekonominya tinggi. Seperti yang telah dikatakan tadi, Hanya orang-orang kaya saja yang sanggup membangun Rumah Tatahan.
Biaya membuat ukiran saja bisa seharga sepertiga dari harga pembuatan rumah. Menjadi sangat mahal karena yang mengerjakan ukiran adalah orang yang memiliki keterampilan dibidang itu dan sangat jarang. Pengerjaannya pun membutuhkan waktu lama. Proses mengukir satu rangkaian balok kayu bisa hingga tiga bulan.
Tahap memahat ukirannya pun tidak boleh sembarangan. Setiap selesai satu kayu diukir, si empunya rumah harus memotong seekor ayam. Hal ini dilakukan untuk menghormati nenek moyang mereka.
Motif ukiran di Rumah
Baghi biasanya adalah bunga, seperti bunga matahari dan teratai. Motif lainnya yang sering digunakan umumnya adalah lingkaran, atau bubulan. Posisi bunga bisa vertikal dan horizontal.
Bunga vertikal merupakan simbol dari doa dan pengharapan si pemilik rumah agar rezeki mereka terus bertambah. Sedangkan bunga horizontal melambangkan persatuan dan gotong royong.
Motif lainnya yang sering dipahat umumnya adalah lingkaran, atau bubulan, biasanya terletak di samping dinding rumah. Hal ini simbol bahwa ada kekompakan antara sesama penghuni rumah. Pada bagian tengah bubulan umumnya terdapat lubang untuk mengintip bagaimana situasi di luar rumah.
Diambang Kepunahan
= Faktor
=
Keberadaan
Ghumah Baghi semakin lama semakin sedikit jumlahnya. Tidak diketahui pasti berapa total
Ghumah Baghi yang tersisa di Sumatera Selatan. Sebagai gambaran, sekitar tahun 1977 diperkirakan masih berdiri tegak 40-an rumah tradisional ini di Desa Bangke, Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat. Namun pada tahun 2017 hanya tinggal sekitar 13 unit saja.
Banyak
Ghumah Baghi yang tidak terawat dengan baik karena tidak dihuni, atau bahkan lebih parah lagi, ditinggalkan oleh pemiliknya begitu saja. Tentu saja kondisi rumah menjadi rusak, kayunya dimakan rayap.
Kalaupun hendak merenovasinya, jenis kayu
Ghumah Baghi semakin sulit didapat. Kondisi ini diperparah lagi dengan habisnya kemampuan pengukir karena tidak ada regenerasi. Seandainya pun dilakukan, tanpa sadar keaslian rumah malah hilang setelah direnovasi.
Faktor lain yang tidak kalah penting adalah karena keunikan motif ukirannya dan kualitas kayunya yang baik (berumur ratusan tahun), jadilah
Ghumah Baghi diburu oleh kolektor barang-barang antik.
= Diminati Kolektor
=
Lucunya, peminat
Ghumah Baghi justru bukan dari Suku Besemah. Setelah dibeli lantas mereka mempretelinya satu persatu untuk kemudian dijual ke Pulau Jawa atau Bali,
Ketidakmampuan merawat
Ghumah Baghi dan adanya penawaran dengan harga yang tinggi, membuat pemilik atau pewaris tergoda untuk menjual saja rumah bersejarah tersebut.
Untuk beberapa keping papan bisa dihargai sampai Rp 4,5 juta. Bahkan ada kolektor yang sampai menawar Rp. 100 juta untuk tiang rumahnya saja. Jika tidak ada intervensi dari pemerintah bukan tidak mungkin akan punah.
Lihat pula
Arsitektur Sumatera Selatan
Referensi