Menurut konstitusi
Belanda, Amsterdam adalah
Ibu kota Belanda, meskipun parlemen dan pemerintah
Belanda telah berada di Den Haag sejak 1588, demikian pula dengan Mahkamah Agung dan Dewan Negara. Sejak revisi Konstitusi tahun 1983, Pasal 32 secara khusus menyebutkan bahwa "Raja yang akan disumpah dan dilantik sesegera mungkin di
Ibu kota, Amsterdam", sebagai satu-satunya referensi dalam Konstitusi yang menyatakan bahwa Amsterdam adalah
Ibu kota.
Hanya sekali selama sejarah Amsterdam di mana ia sekaligua adalah "
Ibu kota" dan pusat pemerintahan. Antara tahun 1808 dan 1810, selama masa Kerajaan
Belanda, Raja Louis Napoleon menetap di Amsterdam dan menyatakan
kota itu sebagai
Ibu kota kerajaan dan pusat pemerintahannya. Untuk mengakomodasi kemauan raja, Balai
kota Amsterdam yang megah dari abad ke-17, suatu contoh utama arsitektur yang menampilkan nilai-nilai republik yang telah melazim cukup lama di
Belanda, lalu diubah menjadi sebuah Istana Kerajaan.
Pada 1810,
Belanda dianeksasi oleh Kekaisaran Prancis dan Raja Louis Napoleon digantikan dengan seorang gubernur Prancis, yang bertempat tinggal di Istana Kerajaan di Amsterdam. Dari 1810 hingga 1813, Amsterdam dapat dikatakan tetap berposisi sebagai
Ibu kota, karena Kaisar Napoleon menyatakan
kota itu sebagai
kota ketiga terpenting dalam Kekaisaran (setelah Paris dan Roma) dan sebagai tempat kekudukan kekaisaran. Pada bulan Desember 1813, setelah kejatuhan Napoleon dan kenaikan Pangeran William VI Oranye sebagai Penguasa
Belanda, Den Haag dikembalikan lagi sebagai pusat pemerintah.
Latar belakang sejarah
Meskipun status hukum yang jelas dari Amsterdam sebagai
Ibu kota Belanda baru dibuat belum terlalu lama,
kota ini secara umum telah diakui sebagai
Ibu kota sejak tahun 1814. Hal ini sebagian karena ia merupakan
kota Raja, tidak hanya digunakan untuk pelantikan raja-raja tetapi juga untuk pernikahan kerajaan (namun perhatikan bahwa penguburan kerajaan berlangsung di Delft), dan juga karena posisinya yang dominan dalam sejarah
Belanda. Sejak akhir abad ke-16,
kota ini tumbuh dengan pesat sehingga menjadi
kota yang terbesar dan terkuat di
Belanda dan sebagai pusat jual-beli, perdagangan, keuangan, dan budaya.
Asal-usul pemisahan antara Amsterdam sebagai
Ibu kota dan Den Haag sebagai pusat pemerintah terletak pada sejarah ketatanegaraan
Belanda yang unik. Sejak pertengahan ke abad keenam belas, Den Haag telah menjadi pusat pemerintahan dari Kabupaten Holland dan tempat kediaman Bupati Holland. Amsterdam pada masa itu sedang tumbuh menjadi
kota yang semakin penting. Setelah berdirinya Republik
Belanda Bersatu pada 1572/1581, Dordrecht sempat menjadi pusat pemerintahan dari Provinsi Bersatu tersebut, serta tempat kedudukan dari Dewan Umum, Dewan Negara, dan Pangeran Oranye sebagai Kepala Daerah (Stadtholder). Pada tahun 1588, berbagai institusi pemerintahan utama tersebut dipindahkan ke Den Haag, yang sejak saat itu dan seterusnya terus menjadi pusat pemerintah untuk seluruh republik. Amsterdam tetap setia kepada kekaisaran Spanyol/Burgundi sampai relatif cukup lama dalam Delapan Tahun Perang, yang memungkinkan
kota itu banyak peluang perdagangan, tapi tidak cocok sebagai pusat pemerintahan dari suatu negara yang semakin 'memberontak'.
Sebelum berdirinya Republik Batavia pada 1795,
Belanda bukan sebuah negara kesatuan, tetapi lebih dari sebuah konfederasi yang independen dari provinsi,
kota besar, dan
kota kecil yang dapat dikatakan cukup otonom secara politik. Selama abad ketujuh belas, Pangeran Kepala Wilayah sebagai pejabat di wilayah Negara
Belanda beberapa kali bentrok dengan pemerintah
kota Amsterdam mengenai kebijakan, bahkan sampai pada titik di mana
kota itu dikepung oleh tentara. Hingga 1795, terdapat permusuhan keras antara faksi Oranye dan faksi republik dalam perpolitikan
Belanda. Faksi Oranye mendukung gagasan kepemimpinan politik turun-temurun yang diberikan kepada para pangeran Oranye sebagai Kepala Wilayah, dan memiliki pusat kekuatan di Den Haag dan daerah-daerah pedesaan. Faksi republik mendukung kemerdekaan sipil dan mempunyai pendukung terutama di perkotaan besar dan kecil di
Belanda, di mana Amsterdam adalah sumber dan perwakilannya yang paling vokal.
Ketika kerajaan baru terbentuk pada tahun 1814, penunjukan dari Amsterdam sebagai
Ibu kota, yang masih merupakan
kota paling menonjol di kerajaan itu, adalah juga suatu sikap untuk menjalin perdamaian dari faksi Oranye terhadap
kota itu, dan sebuah pengakuan atas dasar nilai-nili sipil dan republik yang kuat dari kerajaan baru tersebut.
Lihat pula
Daftar negara-negara dengan beberapa
Ibu kota
Referensi