Islam adalah agama minoritas
di Kepulauan Nias. Umumnya penduduk
Nias menganut Kekristenan dan agama tradisional
Nias yang disebut sebagai Fanömba Adu. Para penganut
Islam di Kepulauan Nias kebanyakan tinggal
di wilayah pesisir.
Islam mayoritas dianut oleh perantau Minangkabau yang berasal dari Sumatera Barat, kemudian suku Aceh, dan sedikit dari suku
Nias yang menganut
Islam — mereka disebut sebagai Ndrawa dalam bahasa
Nias; Ndrawa berarti 'orang asing' atau merujuk kepada 'orang yang beragama
Islam', nama tersebut diabadikan menjadi nama salah satu gua
di Pulau
Nias, yakni Tögi Ndrawa. Penduduk asli
Nias yang beragama
Islam umumnya dapat ditemukan
di Gunungsitoli,
Nias (Bozihöna),
Nias Selatan (Pulau-Pulau Batu Timur dan Teluk Dalam), dan
Nias Utara (Lahewa, Sawo, dan Tuhemberua).
Sejarah
Islam pertama kali tiba
di Kepulauan Nias pada abad ke-17, dibawa oleh Teuku Polem yang berasal dari Kesultanan Aceh. Penyebaran
Islam bermula ketika Teuku Polem berlayar ke selatan Sumatra dan tiba
di Pulau
Nias pada tahun 1642. Ia merupakan putra sulung Teuku Cik, kepala pemerintahan
di Aceh bagian barat. Pada mulanya, Teuku Polem tiba
di Nias tepat
di muara Luaha Laraga Idano dan disambut baik oleh pemimpin masyarakat setempat, Balugu Harimao. Setahun kemudian, Teuku Polem menikah dengan Bowo'ana'a, putri dari Balugu Harimao. Setelah mengucapkan syahadat, Bowo'ana'a menjadi orang
Nias pertama yang memeluk
Islam. Tak lama setelahnya, kerabatnya Acah Herefa juga masuk
Islam. Kemudian keturunannya tinggal
di Kampung Miga
di Ori Tabaloho Dahana, Gunungsitoli. Keturunan yang lain, Kehomo Harefa tinggal
di Kampung Mudik, Gunungsitoli dan sebagian
di Sifahandro, Tuhemberua.
Pada tahun 1691, tepat 49 tahun setelah Teuku Polem sampai
di Pulau
Nias, Injik Puncak Alam, seorang bangsawan Minangkabau sampai ke Pulau
Nias beserta rombongannya. Kedatangan Datuk Raja Ahmad pada awalnya hanya sekedar berlindung dari badai
di lautan antara
Nias dan Sumatra. Namun kemudian, Datuk Raja Ahmad bersedia tinggal
di Pulau
Nias atas permintaan dari raja-raja
Nias. Setelah Datuk Raja Ahmad tinggal
di Nias, dalam waktu yang tidak lama, dia bisa berinteraksi dengan masyarakat terutama dengan Si Tolu Tua yang dianggapnya sebagai saudaranya sendiri.
Siti Zohora, putri Teuku Polem kemudian dinikahkan dengan Datuk Ahmad, seorang bangsawan Minangkabau dari Padang Pariaman, pada tahun 1690. Keturunannya tinggal
di Hele Duna yang terus berkembang hingga dikenal sebagai Kampung Mudik. Mereka kemudian berbaur dan menikah dengan penduduk asli
Nias. Salah satu anak Datuk Ahmad tinggal
di Ilir, Gunungsitoli. Kampung berpenduduk
Islam, Ilir dan Mudik berkembang sepanjang sungai Kali Nou, dan meneruskan tradisi kesultanan. Raja Sulaeman (1755–1790) mengadakan pesta adat (owasa) pada tahun 1756. Ketika Belanda masuk ke
Nias pada tahun 1840, tiga tahun kemudian Belanda mengangkat Datuk Rajo Bendahara
di Mudik dan penerusnya tetap mengadakan owasa hingga Raja Mohammad Aiyub (1896–1920). Sejak itu, jabatan raja Mudik dihapus dan diganti dengan sebutan sawala (kepala kampung).
Demografi
Islam umumnya berkembang diantara orang
Nias (tidak hanya meliputi penduduk asli
Nias, tetapi juga perantau Minangkabau dan Aceh) yang tinggal
di wilayah pesisir, hal ini dikarenakan sulitnya akses untuk menuju ke pedalaman
Nias dan masyarakatnya yang terisolasi oleh kondisi alam
di Kepulauan Nias. Berikut ini tabel persentase agama berdasarkan kabupaten dan kota
di Kepulauan Nias menurut sensus 2020:
Peninggalan
= Penyematan marga
=
Salah satu peninggalan jejak
Islam di Kepulauan Nias adalah adanya marga keturunan Aceh
di Kampung Mudik dan Ilir, yakni marga Polem dan Duha. Menurut penuturan Makmur Polem, penyematan marga Polem dilakukan sejak tahun 1920-an oleh pendahulu mereka. Alasannya, sebagai bentuk ketergantungan identitas dengan Aceh. Begitupun juga sebagai bagian dari diplomasi budaya Aceh dengan budaya
Nias yang menggunakan marga, menjaga keutuhan klan, selain mempertahankan identitas Aceh mereka. Nama Polem sendiri didasari dari catatan sejarah, orang yang membawa
Islam pertama ke
Nias dari Aceh pada 1641–1643 M, yakni Teuku Polem.
Menurut alasan lain, penyematan marga Polem bukan hanya sekedar menjaga identitas Aceh. Menurut informasi dari beberapa orang keturunan Aceh
di Kampung Mudik, Polem juga menjadi pembeda antara marga Aceh yang masih beragama
Islam, dengan marga keturunan Aceh yang sudah keluar dari
Islam (murtad), yakni mereka yang bermarga Duha. Namun dalam beberapa catatan budaya
Nias, Duha sendiri diakui sebagai bagian marga-marga (mado)
Nias yang telah mengakar
di sana, dibanding marga Polem yang baru dibentuk pada awal abad ke-20. Diantara alasan konversi keyakinan menjadi Kristen (terutama Protestan) yang diawali pada abad ke-19 M, tampak karena kuatnya intervensi politik agama
di Nias pada masa itu. Khusus
di Nias, tingginya pengiriman zending dari Belanda dan Jerman, serta pembelian lahan tanah dari warga lokal, menjadi penyebab bergesernya keyakinan masyarakat setempat.
Mengenai keturunan Aceh yang telah keluar dari agama
Islam, dalam catatan sejarah Belanda (Schroder, 1917, dalam buku Pasukan Belanda
di Kampung Para Penjagal, 2013), bahwa
di salah satu pusat penjualan budak, tepatnya Lolowa'u (sekarang Gomo) hidup orang keturunan Aceh yang telah menjadi kafir, dan mereka juga terlibat dalam bisnis tersebut. Namun, tak dijelaskan dan disebutkan secara spesifik siapa orang-orang Aceh tersebut. Karena itu, siapa saja orang yang menggunakan marga Polem
di Nias, dia sudah pasti keturunan Aceh dan masih beridentitas
Islam. Disebutkan komunitas mereka terlalu banyak, sedangkan mayoritas marga Polem hanya menetap
di Kampung Ilir dan Mudik. Selain orang Aceh yang menyematkan marga Polem dan Duha, juga ada diaspora orang Bugis dari bagian selatan Sulawesi yang menyematkan marga Marunduri dan Bulu Aro, mereka umumnya beragama
Islam.
= Penamaan tempat
=
Penamaan beberapa tempat
di Nias dengan bahasa Melayu (Ilir, Mudik, Teluk Dalam, dan tempat-tempat lainnya) erat kaitan dengan peran dan pengaruh
Islam dari Aceh dan Minangkabau khususnya
di wilayah pesisir, yang turut serta mempengaruhi akulturasi budaya yang terjadi
di sana. Mengenai keterkaitan budaya Melayu-Aceh, dapat dilihat dalam buku Warisan Budaya Melayu-Aceh karya Soelaiman (ed), 2003.
= Meriam dan makam bergaya Aceh
=
di Gunungsitoli, terdapat dua meriam yang dibawa Teuku Simeugang, Datuk Ahmad, dan Acah Harefa, keturunan Teuku Polem dari Aceh yang menyebarkan
Islam di Nias pada abad ke-17. Selain itu, terdapat makam bergaya Aceh yang terletak
di kompleks makam Sibatua, pada puncak bukit
di Ononamolo Talafu. Menurut Septy Aro, makam tersebut adalah makam mualaf yang gugur dalam perang.
Lihat juga
Islam di Sumatera Utara
Kepulauan Nias
Suku
Nias
Referensi
Pranala luar
(Indonesia) Jejak Aceh
di Negeri Tano Niha-
Nias (2)
(Indonesia) Makam Tipe Aceh Berada Dalam Kompleks Makam Sibatua dan Megalitik Ononamolo
di Kabupaten
Nias