Islam di Papua Barat adalah agama minoritas yang dipeluk oleh 38,06% penduduk provinsi ini,dari keseluruhan jiwa 1.150.000 penduduk berdasarkan sensus tahun 2021.
Islam diperkirakan masuk ke
Papua Barat melalui beberapa kerajaan
di Kepulauan Maluku, yang kekuasaannya mencapai bagian
Barat Pulau
Papua. Populasi muslim
Papua Barat saat ini terkonsentrasi
di wilayah kepulauan dan pesisir, seperti
di Raja Ampat, Sorong, Teluk Bintuni, Fakfak, Kaimana, dan Manokwari.
Sejarah
= Awal masuknya Islam
=
Hikayat Bacan menceritakan bahwa sekitar tahun 1512 ada seorang saudara muda Sultan Bacan bernama Kaicil Jelman yang diangkat menjadi penguasa Pulau Misool, yang kemudian menjadi penguasa muslim pertama
di wilayah itu. Demikian pula terjadi pada Waigeo dan pulau-pulau lainnya yang pernah berada
di bawah pengaruh Kesultanan Bacan. Pada masa pertengahan abad ke-15, penyebaran agama yang dilakukan Kesultanan Bacan membuat banyak kepala-kepala suku
di pesisir
Barat Pulau
Papua mulai memeluk
Islam.
= Teori masuknya Islam di Tanah Papua
=
Setidaknya ada tujuh teori sumber masuknya
Islam di Tanah
Papua yang saat ini menjadi penyebab siapa dan mengapa
Islam bisa menyebar
di Tanah
Papua.
= Teori
Papua =
Merujuk pada legenda adat sebaagian warga asli yang saat ini mendiami daerah-daerah yang beragama
Islam seperti Fakfak, Kaimana, Bintuni, dan Manokwari. Menurut legenda
Islam berasal dari
Papua sendiri, tidak ada yang membawa dari luar. Mereka meyakini adam dan hawa
di turunkan
di Tanah
Papua, meskipun terasa janggal namun ada sebagian warga
Papua yang mempercayai teori ini.
= Teori Aceh
=
Kajian tentang sejarah masuknya
Islam di Fakfak oleh pemerintah daerah Fakfak tahun 2006 menyimpulkan bahwa
Islam datang ke
Papua pada 8 Agustus 1360 M oleh mubaligh Aceh bernama Abdul Ghafar
di Fatagar Lama, kampung Rumbati Fakfak. Sumber dari penelitian ini adalah penuturan lisan Raja Rumbati XVII (H. Ismail Samali Bauw). Menurut penuturannya Abdul Ghafar berdakwah selama 1360 m hingga 1374 M
di Rumbati dan sekitarnya.
= Teori Arab
=
Teori satu ini merujuk pada sejarah lisan, bahwa
Islam masuk
di Onin (Patimunin-Fakfak) oleh Syarif Muaz Al-Qathan alias Syaikh Jubah Biru. Diperkirakan kedatangannya pada pertengahan abad 16 dengan bukti adanya masjid Tunasgain yang dibangun tahun 1587 M. Teori ini sebagai kesimpulan pada seminar "Sejarah Masuknya
Islam dan Perkembangannya
di Papua"
di Fakfak pada tanggal 23 Juni 1997.
= Teori Jawa
=
Berdasarkan catatan keluarga Abdullah Arfan tanggal 15 Juni 1946, konon orang
Papua pertama yang masuk
Islam adalah Kalawen yang kemudian menikah dengan Siti Hawa Farouk, seorang pendakwah asal Cirebon. Setelah masuk
Islam, Kalawen mengganti namanya menjadi Bayajid. Diperkirakan peristiwa ini terjadi pada tahun 1600 M. Jika dilihat dari silsilah keluarga, Kalawen merupakan nenek moyang keluarga Arfan yang pertama kali masuk
Islam.
= Teori Banda
=
Menurut Halwany Michrob, Islamisasi
di Papua khususnya
di Fakfak diciptakan oleh para pedagang Bugis dari Banda yang dilanjutkan ke Fakfak dari Seram bagian timur oleh seorang pedagang Arab bernama Haweten Attamimi yang menetap
di Ambon dalam waktu yang cukup lama. Michrob juga mengatakan bahwa proses atau proses islamisasi dilakukan oleh dua orang khatib asal Banda yang bernama Salahuddin dan Jainun, yaitu proses islamisasi dilakukan dengan cara khitanan namun dengan ancaman dari masyarakat setempat namun yang disunat. Meninggal, kedua khatib tersebut akan dibunuh, namun pada akhirnya mereka berhasil melakukan sunat dan penduduk sekitar pun bergegas masuk
Islam.
= Teori Bacan
=
Kesultanan Bacan pada masa Sultan Mohammad Al-Bakir berdasarkan piagam Kesiratan yang dicanangkan oleh bapak pendiri Mamlakatul Mulukiyah atau Moloku Kie Raha (empat kerajaan
di Maluku: Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo) oleh Ja'far Ash-Shadiq (1250 M), melalui keturunannya, menyebarkan dakwah
Islam di Sulawesi, Filipina, Kalimantan, Nusa Tenggara, Jawa dan
Papua.
Menurut Arnold, raja Bacan yang pertama masuk
Islam, namanya Zainal Abidin, yang memerintah pada tahun 1521 M, memerintah suku-suku
Papua dan pulau-pulau
Barat laut, seperti Waigeo, Misool, Waigama dan Salawati. Kemudian, Sultan Bacan memperluas kekuasaannya hingga ke semenanjung Onin,
di Barat laut
Papua pada tahun 1606 M, melalui pengaruhnya dan pengaruh para saudagar muslim, para kepala suku pulau tersebut masuk
Islam. Pada saat itu masyarakat pedalaman masih menganut animisme, sedangkan masyarakat pesisir menganut agama
Islam. Melalui bukti tertulis dan lisan serta bukti warisan nama tempat dan keturunan raja Bacan yang menjadi raja
Islam di Kepulauan Raja Ampat. Oleh karena itu, diduga orang pertama yang menyebarkan
Islam di Papua adalah Kesultanan Bacan sekitar pertengahan abad ke-15. Pada abad ke-16, sebuah kerajaan kecil didirikan
di Pulau Raja Ampat.
= Teori Tidore
=
Dalam sebuah catatan sejarah kesultanan Tidore yang menyebutkan bahwa pada tahun 1443 M Sultan Ibnu Mansur (Sultan Tidore X atau Sultan
Papua I) memimpin ekspedisi ke daratan
Papua. Setelah tiba
di wilayah pulau Misool, Raja Ampat, maka Sultan Ibnu Mansur mengangkat Kaicil Patrawar putra Sultan Bacan dengan gelar Komalo Gurabesi (Kapita Gurabesi). Kapita Gurabesi kemudian dikawinkan dengan putri sultan Ibnu Mansur bernama Boki Tayyibah. Kemudian berdiri empat kerajaan
di kepulauan Raja Ampat tersebut adalah kerajaan Salawati, Misool/Sailolof, Batanta, dan Waigeo. Dari Arab, Aceh, Jawa, Bugis, Makassar, Buton, Banda, Seram, Gorom, dan lain–lain.
= Era Kolonial Belanda
=
Seperti halnya daerah lain
di Indonesia,
Papua tak luput dari masa penjajahan Belanda. Terhitung sejak tahun 1616, Belanda memasuki
Papua dengan bendera monopoli dagangnya, yakni VOC. Namun beberapa sumber menjelaskan bahwa Inggris pun juga pernah mendirikan benteng
di Papua. Hal ini menandakan ada jeda beberapa tahun atas pendudukan Belanda
di Papua. Beberapa benteng Inggris didirikan untuk mengawasi monopoli dagang Belanda.
Tercatat sejak 1898, Belanda sudah mulai menjejakkan administrasi negera
di Papua. Beberapa pos pemerintahan mulai didirikan
di Fakfak dan Manokwari.Lambat laun pengaruh Belanda akan menguasai hingga Hollandia (Jayapura). Sisi
Barat Papua dikuasai dahulu karena adanya pengaruh dari Kesultanan sebelumnya. Hingga VOC dan kemudian Belanda menguasai Kesultanan Ternate, Tidore, dan Bacan. Alhasil Belanda juga merasa berhak menguasai
Papua bagian
Barat sebagai mandala dari kesultanan Maluku tersebut.
Islam saat era kolonial ini cenderung mengalami penyusutan. Dikarenakan adanya semboyan Gold, Glory, dan Gospel yang berarti pemerintahan kolonial berfokus pada penyebaran injil, berhasil memakzulkan dakwah
Islam di Tanah
Papua. Terbukti dengan adanya berbagai dukungan pada kelompok injili seperti mendatangkan guru-guru injil, fasilitas pendidikan untuk umat kristen, dan berbagai dukungan lain yang bersifat perseorangan, kelompok (LSM) dan kenegaraan.
Selain membatasi penyebaran
Islam secara halus, Belanda juga membatasi penyebaran islma secara kasar. Yaitu dengan memenjarakan beberapa tokoh muslim yang ingin menyebarkan
Islam di tanah
Papua, seperti Muhammad Aminuddin Arfan yang mengantarkan C.W.Ottow dan J.G. Geissler ke Pulau Mansinam. Ia dibuang ke Maros dan tidak diijinkan untuk kembali ke Salawati hingga meninggal dunia. Tokoh
Islam marak melakukan pemberontakan karena ruang gerak dalam keislaman mereka dibatasi sedemikian rupa, selain itu juga pemberontakan mereka juga dapat dikatakan karena Belanda mengurangi eksistensi kerajaan
Islam di Papua.
Aksi yang dilakukan Belanda dalam mengurangi eksistensi kerajaan
Islam antara lain dengan tidak mendirikan sekolah khusus
Islam. Hal ini menjadikan pergolakan dalam sisi keagamaan umat
Islam, berbagai daerah yang mayoritas
Islam hanya difasilitasi dengan sekolah Openbare Vervogschool (OVVS) sebagai sekolah terbuka untuk semua umat beragama. Namun untuk umat beragama kristen, pemerintah kolonial memberikan fasilitas
di hampir seluruh tanah
Papua. Hal ini yang menyebabkan banyak anak muslim harus bersekolah
di sekolah kristen yang didirikan oemerintah kolonial maupun yayasan yang didirikan oleh Zending.
=
Islam berkembang
di beberapa kota, hingga menjadi sebuah komunitas baru
di tengah komunitas nasrani
Papua. Perkembangan
Islam di Papua dapat dilihat dari masing-masing wilayah.
Islam di Fakfak
Fakfak bagi umat
Islam Papua Barat dapat dikatakan sebagai Serambi Madinah, karena
di kabupaten ini banyak ulama dan guru agama dilahirkan dan berdakwah ke segala penjuru tanah
Papua. Sebagai kota dengan peradaban
Islam tertua
di Papua, menjadikan kota ini memiliki fundamental agama
Islam yang cukup kuat, sebagai produk dari kuatnya fundamental tersebut lahirlah berbagai pendakwah dari Fakfak. Meskipun perkembangan
Islam cukup masif
di Fakfak juga masih ada agama lain yang masih dihormati, sebagai wujud toleransi tersebut maka
di cetuskan moto Satu Tungku Tiga Batu sebagai moto kabupaten Fakfak.
Saat ini Fakfak terdapat dua suku besar, yaitu Onim-Iha dan Mbaham-Matta. Dari dua suku ini muncul puluhan marga yang dapat dikatakan sebagai marga asli Fakfak. Dua suku ini hingga sekarang memiliki akar kekerabatan yang kuat, sehingga meskipun berbeda agama tidak menjadikan soal besar.
=
Awalnya Kaimana merupakan bagian dari Fakfak, hingga pada 12 April 2003 menjadi kabupaten otonomi tersendiri. Salah satu kerajaan yang menjadi pionir dalam penyebaran
Islam di Papua terdapat
di Kaimana, yaitu kerajaan Namatota. Namun perlahan kerajaan Namatota bergabung dengan kerajaan Sran Eman Muun (Sran Kaimana) dan beralih menjadi Kerajaan Kaimana. Pada tahun 1898, Naro'e muncul dan mengklaim sebagai penguasa. Mekanisme kemunculan penguasa seperti ini biasa disebut Raja Komisi atau penduduk lokal menyebutnya sebagai Rat Umis.
Berbeda dengan Fakfak, Kaimana biasa menjadi tempat persinggahan, sehingga banyak akulturasi budaya terjadi
di Kaimana. Terpengaruh oleh beberapa pendatang yang silih berganti singgah
di Kaimana. Dan karena hal itu Kaimana memiliki banyak sekali suku diantaranya:
Madewana, menghuni bagian selatan Semenanjung Bomberai.
Irarutu, menghuni bagian timur Semenanjung Bomberai.
Iresim, menghuni pesisir selatan Teluk Cenderawasih, sebelah
Barat Nabire.
Kambrauw, menghuni Teluk Kamberau.
Kamoro, menghuni pantai selatan
Papua daerah Asmat-Kamoro (Mimika).
Koiwai, menghuni daerah pulau-pulau
di selatan Kaimana.
Mairasi, menghuni Teluk Arguni hingga ke Teluk Wondama.
Mer, menghuni daerah mata air Wosimi dan hulu sungai Urema yang saat ini masuk distrik Teluk Etna.
Mor, menghuni teluk
di pantai Bintuni.
Semimi, menghuni Teluk Etna hingga Teluk Triton.
Seperti halnya Fakfak, nilai toleransi
di Kaimana terjaga hingga saat ini. Toleransi antar umat beragama dirawat dengan baik. Terlebih lagi
di Kaimana dalam satu marga bisa memiliki dua agama,
Islam dan Kristen seperti Marga Warfete. Toleransi ini dirawat sedemikian rupa, sehingga jika ada perayaan hari raya antar umat beragama juga saling berkunjung dan mengucapkan selamat. Selain itu pada MTQ ke 4 yang diadakan
di Kaimana, panitianya tidak hanya muslim tapi umat kristiani juga ikut membantu dalam terselenggaranya acara tersebut. Bahkan yang menyanyikan mars MTQ adalah tim Pesparawi (Pesta Paduan Suara Gerejawi).
Distribusi geografi
Berikut merupakan sebaran umat
Islam per-kota/kabupaten
di provinsi
Papua Barat (Sensus 2010):
Referensi
Pranala luar
(Indonesia) Sejarah Awal
Islam Maluku &
Papua
(Indonesia) Kaimana dan Fakfak, Pusat Penyebaran
Islam di Papua