Kerajaan Batu Bara atau Kedatuan
Batu Bara adalah
Kerajaan yang terletak di Kabupaten
Batu Bara, Sumatera Utara yang dipimpin oleh datuk empat suku, yaitu Lima Laras, Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar yang berasal dari Pagaruyung. Dalam perkembangannya bertambah lagi satu orang datuk, yakni dari suku Boga. Dinamakan
Batu Bara dikarenakan di kawasan tersebut ditemukan banyak bongkahan
Batu hitam yang menyerupai batubara.
Sejarah
Kerajaan Batu Bara didirikan oleh Datuk Belambangan sekitar tahun 1676. Datuk Belambangan masih berkerabat dengan Raja Kecil, pendiri
Kerajaan Siak Sri Indrapura. Datuk Belambangan adalah putra dari Raja Bujang, cucu Raja Gamuyang yang merupakan salah satu dari tiga raja (rajo tigo selo) di
Kerajaan Pagaruyung.
Sebelum pangeran Paguruyung ini menjadi penguasa negeri
Batu Bara, beliau tinggal dan dididik di dalam istana Pagaruyung. Setelah mempelajari dan menguasai semua ilmu yang wajib diketahuinya, beliau-pun menghadap ayahnya dan memohon agar diijinkan meninggalkan istana untuk pergi merantau. Setelah menyusuri sungai, melintasi hutan belantara, dan melayari tepian pesisir, rombongan Datuk Belambangan kemudian tiba di negeri
Batu Bara. Disini kemudian mereka mendirikan perkampungan dan mengembangkan perdagangan.
Sebelum
Kerajaan Batu Bara didirikan, negeri
Batu Bara boleh dibilang tak memiliki penghuni tetap. Para nelayan yang singgah, hanya berlabuh sementara dan tak membangun pemukiman. Pada akhir abad ke-17, negeri ini banyak didatangi oleh saudagar Minang yang membawa hasil bumi dari pedalaman Sumatera untuk dijual di pesisir timur Sumatera, hingga ke Penang dan Singapura. Para pedagang ini lantas menjadikan
Batu Bara sebagai pemukiman serta pangkalan dagang mereka.
Mereka yang berlayar dan menjadi pedagang lintas selat kemudian dikenal dengan istilah "Nakhoda". Diantara para nakhoda yang cukup terkemuka adalah tiga orang bersaudara yakni Nakhoda Bayan, Nakhoda Intan, dan Nakhoda Kecil.
Selain menjadi pedagang lintas selat, banyak pula pedagang Minang dari
Batu Bara yang menjadi pedagang lada. Di abad ke-18 hingga ke-19 mereka menguasai perdagangan lada yang terbentang dari Deli hingga Asahan. Akibat dominasi tersebut, sultan-sultan Asahan membenci mereka. Dari kegiatan perdagangan inilah banyak diantara mereka yang memiliki kekayaan cukup besar, yang kemudian dikenal sebagai "Orang Kaya" (rangkayo).
Pada akhir abad ke-19, datuk-datuk di
Batu Bara menandatangani korte verklaring (perjanjian pendek) dengan pemerintah Hindia Belanda yang menyebabkan menurunnya perekonomian
Kerajaan tersebut. Belanda melarang para pedagang untuk mengembangkan perdagangannya disini yang kemudian mendorong para Nakhoda serta rangkayo untuk meninggalkan
Kerajaan ini.
Kerajaan Batu Bara kemudian berakhir pada tahun 1946 setelah terjadi Revolusi Sosial di Sumatera Timur, dimana banyak keluarga
Kerajaan yang terbunuh.
Pemerintahan
Sistem pemerintahan di
Kerajaan Batu Bara banyak menyerap sistem politik yang berkembang di Minangkabau, dimana
Kerajaan dipimpin oleh para datuk yang merupakan penghulu/pemimpin suku. Para datuk ini memiliki kewenangan atau otonomi dalam menjalankan roda pemerintahannya. Ada lima suku atau
Kerajaan kecil yang menjadi bagian dari konfederasi
Kerajaan Batu Bara, yaitu Lima Laras, Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar, dan Boga.
Salah satu peninggalan
Kerajaan Batu Bara adalah Istana Niat Lima Laras, yang didirikan oleh Datuk Muhammad Yoeda (Datuk Matyoeda) dari suku Lima Laras di tahun 1907. Istana ini sempat dikuasai oleh Jepang sebelum akhirnya ditempati Angkatan Laut RI pada masa Agresi Militer Belanda II.
Asal Marga Batubara
Kerajaan Batu Bara juga merupakan asal dari masyarakat Mandailing yang bermarga Batubara. Dimana dua orang bersaudara, yakni Parmato Sopiak dan Datuk Bitcu Rayo bermigrasi dari
Kerajaan Batu Bara menuju kawasan Barumun di Padang Lawas. Di tempat inilah mereka lalu meneroka dan mendirikan kampung bernama Binado, dimana disini kemudian keturunan mereka berkembang menjadi marga Batubara.
Referensi