Kesultanan Jambi adalah sebuah kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di provinsi
Jambi, Indonesia.
Kesultanan ini sebelumnya bernama kerajaan Melayu
Jambi yang didirikan oleh Datuk Paduko Berhalo bersama istrinya, Putri Selaras Pinang Masak, di
Jambi pada tahun 1460. Dalam perkembangannya, pada tahun 1615 kerajaan ini resmi menjadi
Kesultanan setelah Pangeran Kedah naik takhta dan menggunakan gelar Sultan Abdul Kahar.
Kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1906 dengan sultan terakhirnya, Sultan Thaha Syaifuddin.
Sejarah
= Pendirian
=
Wilayah
Jambi dulunya merupakan wilayah Kerajaan Melayu. Berdirinya
Kesultanan Jambi bersamaan dengan bangkitnya Islam di wilayah
Jambi. Pada 1616
Jambi merupakan pelabuhan terkaya kedua di Sumatra setelah Aceh. Pada 1670 kerajaan ini sebanding dengan tetangga-tetangganya seperti Johor dan Palembang.
= Masa kejayaan
=
Sejak pertengahan abad ke-16, para penguasa
Jambi mengadakan perdagangan lada yang menguntungkan dengan bangsa Portugis, Inggris, dan Belanda. Kegiatan perdagangan itu juga melibatkan bangsa China, Melayu, Makassar, dan Jawa. Kehidupan ekonomi
Kesultanan Jambi yang makmur akibat kegiatan perdagangan inilah yang mampu membawa kerajaan menuju masa kejayaan di bawah Sultan Abdul Kahar.
Sultan
Jambi yang pertama ini berhasil membawa kerajaannya menjadi makmur berkat monopoli perdagangan lada dan pengenaan bea ekspor. Bahkan, pada 1616, ibu kota
Jambi sudah dipandang sebagai pelabuhan terkaya kedua di Sumatera, setelah Aceh. Berdasarkan data VOC, Sultan
Jambi meraup keuntungan 30-35 persen dari lada yang terjual. Sultan Abdul Kahar juga dikatakan sebagai penguasa yang kuat, bahkan tidak takut dengan tuntutan Raja Johor dan tidak pernah mau bekerja sama dengan VOC.
= Peperangan
=
Perang
Jambi-Johor
Selama abad ke-16,
Jambi menjadi terkenal berkat lada yang ditanam di dataran tinggi. Pada tahun 1615 Kompeni Belanda dan Kompeni Inggris mendirikan pangkalan-pangkalan mereka masing-masing di kawasan tersebut. Pada masa itu,
Jambi bersekutu dengan Johor, akan tetapi kemudian timbul sejumlah perselisihan ketika
mereka menyatakan berhak mengendalikan Kuala Tungkal, yaitu sebuah kawasan di perbatasan
Jambi dengan Indragiri yang merupakan jalan masuk ke kawasan pedalaman tempat lada ditanam.
Sekitar tahun 1671 dan 1674, perselisihan yang berkepanjangan itu memuncak menjadi sebuah konflik terbuka, orang laut yang tunduk pada penguasa
Jambi merompak kapal-kapal di perairan Johor, sementara orang laut dari Johor melancarkan aksi serupa di
Jambi. Armada Johor bahkan berlayar masuk ke Sungai Batanghari dan mengancam ibukota
Jambi. Namun, hubungan mereka kemudian membaik dan di tahun 1681 para penguasa
Jambi dan Johor masih bersedia untuk membina suatu persekutuan guna menghadapi saingan bersama mereka yaitu Palembang. Orang
Laut dari kedua kerajaan menyerang kapal-kapal
dagang di perairan Palembang dan juga menjarah
kawasan pesisir.
= Kemunduran
=
Setelah VOC menyodorkan perjanjian dagang kepada
Kesultanan Jambi, dengan tujuan melakukan monopoli. Sultan Abdul Kahar menolak perjanjian tersebut, memilih mengundurkan diri dari takhta dan kedudukannya digantikan oleh Pangeran Depati Anom atau Sultan Agung. Perjanjian pertama
Kesultanan Jambi dengan VOC pun dilakukan, yang perlahan membawa kemunduran bagi kerajaan.
Kejayaan
Jambi tidak berumur panjang, pada tahun 1680-an,
Jambi mulai kehilangan kedudukannya sebagai pelabuhan lada utama setelah pertempuran dengan pihak Johor. Selain itu, adanya penyelundupan dan utang, juga menjadi penyebab runtuhnya
Kesultanan Jambi, yang diperparah dengan campur tangan Belanda dalam politik kerajaan.
= Keruntuhan
=
Berbeda dari penguasa sebelumnya, Sultan Thaha Syaifuddin menolak keras perjanjian dengan Belanda. Bahkan utusan Belanda yang beberapa kali datang untuk menyodorkan perjanjian kepadanya selalu dihindari. Akibatnya Belanda marah dan melayangkan serangan pada 1858, hingga berhasil menguasai istana.
Dalam serangan itu Sultan Thaha melarikan diri, sehingga Panembahan Prabu kemudian diangkat oleh Belanda menjadi penguasa baru di
Kesultanan Jambi dengan gelar Sultan Ahmad Nazaruddin. Masa itu
Kesultanan Jambi masih mengendalikan Ibukota (Kota
Jambi), namun Sultan Ahmad Nazaruddin tinggal di Dusun Tengah, tiga atau empat hari perjalanan dari Ibukota, di sebuah rumah sederhana dari papan. Ketika Sultan Thaha dalam pelarian,
Kesultanan Jambi sempat dipimpin oleh beberapa sultan di bawah pengaruh Belanda. Kesempatan datang ketika terjadi kekosongan kekuasaan pada 1899, setelah Sultan Zainuddin dicopot oleh Belanda.
Pada tahun 1903, Pangeran Ratu Martaningrat, keturunan dari Sultan Thaha menyerah kepada Belanda. Kemudian
Jambi digabungkan dengan keresidenan Palembang.
Kesultanan Jambi benar-benar berakhir, saat Sultan Thaha dibunuh oleh Belanda di persembunyiannya pada 1904.
Kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1906 dan berhasilnya Belanda menguasai wilayah-wilayah
Kesultanan Jambi, maka
Jambi ditetapkan sebagai Keresidenan
Jambi.
Geografi
Jambi berkembang di wilayah cekungan Batang Hari, sungai terpanjang di Sumatra. Sungai ini, dan anak-anak sungainya, seperti Batang Tembesi, Batang Tabir dan Batang Merangin, merupakan tulang punggung wilayah tersebut. Sungai Tungkal yang berbatasan dengan Indragiri memiliki cekungan tangkapan air sendiri. Sungai-sungai itu merupakan andalan transportasi utama
Jambi.
Kependudukan
Penduduk
Jambi relatif jarang. Pada 1852 jumlah penduduk diperkirakan hanya sebanyak 60.000 jiwa, dan
Jambi Timur nyaris tidak berpenghuni. Etnis Melayu
Jambi berdiam dipinggiran sungai Batang Hari dan Batang Tembesi. Orang Kubu menghuni hutan-hutan, sedangkan orang Batin mendiami wilayah
Jambi Hulu. Pendatang dari Minangkabau disebut sebagai orang Penghulu, yang menyatakan tunduk pada orang-orang Batin.
Pemerintahan
Kesultanan Jambi dipimpin oleh raja yang bergelar sultan. Raja ini dipilih dari perwakilan empat keluarga bangsawan (suku): suku Kraton, Kedipan, Perban dan Raja Empat Puluh. Selain memilih raja keempat suku tersebut juga memilih pangeran ratu, yang mengendalikan jalan pemerintahan sehari-hari. Dalam menjalankan pemerintahan pangeran ratu dibantu oleh para menteri dan dewan penasihat yang anggotanya berasal dari keluarga bangsawan. Sultan berfungsi sebagai pemersatu dan mewakili negara bagi dunia luar.
Menurut R. Sahabuddin (1954) dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah
Jambi (1978/1979), pemerintahan di pusat
Kesultanan Jambi dipimpin oleh seorang sultan yang dibantu oleh pangeran ratu (putra mahkota) yang memimpin Rapat Dua Belas. Rapat Dua Belas terdiri atas dua bagian:
Kerapatan Patih Dalam (Dewan Menteri Dalam)
Kerapatan Patih Luar (Dewan Menteri Luar)
Masing-masing kerapatan terdiri dari 6 orang, 1 orang ketua dan 5 orang anggota.
Kerapatan Patih Dalam diketuai oleh Putra Mahkota yang bergelar Pangeran Ratu dengan para anggota yang diberi gelar :
Pangeran Adipati
Pangeran Suryo Notokusumo
Pangeran Jayadiningrat
Pangeran Aryo Jayakusumo
Pangeran Notomenggolo atau Pangeran Werokusumo
Kerapatan Patih Dalam pada hakekatnya merupakan Majelis Kerajaan (Rijksraad) yang berfungsi sebagai lembaga legislatif (DPR) pada masa sekarang.
Daftar penguasa
Nama-nama dibawah menggunakan ejaan modern yang mungkin berbeda dari ejaan dalam dokumen asli. Nama nasab (patronim gaya Arab) juga tidak disertakan dalam daftar berikut.
Galeri
Catatan
Rujukan
= Daftar Pustaka
=
Arifullah, Mohd. (2015). "Hegemoni Islam dalam Evolusi Epistemologi Budaya Melayu
Jambi" (PDF). Kontekstualita. 30 (1): 124-137.
Andaya, Barbara Watson (1993). To Live as Brothers: southeast Sumatra in the seventeenth and eighteenth centuries (dalam bahasa Inggris). University of Hawaii Press. ISBN 9780824814892.
Brown, Iem (2009). The Territories of Indonesia. London: Routledge. hlm. 268. ISBN 9781857432152.
Gallop, Annabel Teh (2019). Malay Seals from the Islamic World of Southeast Asia: content, form, context, catalogue (dalam bahasa Inggris). Lontar Foundation in association with British Library. ISBN 9789813250864.
Locher-Scholten, Elsbeth (2004). Sumatran Sultanate and Colonial State:
Jambi and the Rise of Dutch Imperialism, 1830–1907 (dalam bahasa Inggris). Cornell University Press. ISBN 9781501719387. Lihat pula edisi Bahasa Indonesia: Locher-Scholten, Elsbeth (2008).
Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan
Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda. KITLV. ISBN 9789791079150.
Janowski, Monica; Kerlogue, Fiona (2007). Kinship and Food in South East Asia. Copenhagen: NIAS Press. hlm. 68. ISBN 9788791114939.
Mukti, Zubir (1987). Sejarah Peranan Hukum Adat dan Adat Istiadat
Jambi. Muara Bungo.
Pranala luar
Akhir Masa
Kesultanan Jambi Diarsipkan 2021-06-24 di Wayback Machine. Pada kajanglako.com 21 Februari 2018
Menelusuri Jejak Islam di Nusantara dan
Jambi