Khe Pandjang, atau juga dikenal sebagai
Khe Sepanjang, Que
Pandjang, Si
Pandjang, atau Sie Pan Djiang, adalah seorang pemimpin militer di Indonesia pada abad ke-18.
Pandjang berperang melawan pasukan Belanda selama Perang Jawa (1741–1743).
Biografi
= Kehidupan awal
=
Pandjang berasal dari Batavia yang telah dikuasai oleh Belanda sejak tahun 1619 melalui VOC. Untuk mengembangkan Batavia, Belanda memperbolehkan ribuan imigran asal Tiongkok untuk tinggal di Batavia. Dalam satu abad berikutnya, imigran-imigran tersebut berhasil menjadi kaya di Batavia, sehingga kemudian menimbulkan kebencian di antara komunitas Tionghoa dan komunitas pribumi.
Pada dekade 1730-an, penyakit malaria merebak dan memperburuk masalah di antara komunitas Belanda, Sumatra, dan Tionghoa. Pada tahun 1740, masalah tersebut makin memuncak, sehingga pemerintah Hindia Belanda akhirnya mencabut sejumlah hak dari komunitas Tionghoa di Batavia. Karena komunitas Tionghoa (yang berjumlah sekitar 10.000 orang) menolak kebijakan tersebut, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Adriaan Valckenier) lalu memerintahkan pemulangan atau pembunuhan terhadap komunitas Tionghoa. Perintah tersebut pun menyebabkan terjadinya Geger Pacinan, di mana ribuan orang Tionghoa dibunuh oleh orang Belanda dan orang Sumatra.
Di tengah Geger Pacinan,
Khe Pandjang tercatat memimpin sekelompok orang Tionghoa yang kabur ke Kampung Gading Melati. Kelompok tersebut kemudian dikepung oleh 800 orang tentara Belanda dan ribuan orang Sumatra. Walaupun begitu, kelompok tersebut berhasil kabur.
= Pemberontakan di Jawa
=
Setelah tiba di Jawa Barat,
Pandjang berupaya memimpin kelompoknya ke Banten. Namun, pemimpin Banten menutup jalan dan melarang kelompok tersebut untuk memasuki Banten. Oleh karena itu,
Pandjang kemudian menuju ke Semarang, dengan berhenti di sejumlah desa dan kota untuk mengumpulkan dukungan dari komunitas Tionghoa setempat. Tidak seperti orang Sumatra, banyak orang Jawa tidak memiliki rasa benci kepada orang Tionghoa, dan sejumlah pemimpin daerah juga memperbolehkan pemberontak Tionghoa untuk beroperasi di dalam wilayah mereka. Seiring dengan tersebarnya berita mengenai tindakan Belanda di Batavia, sejumlah orang Tionghoa mulai memberontak untuk menguasai Jawa dan membentuk negara tersendiri.
Pandjang lalu bersekutu dengan sejumlah pemberontak Tionghoa selama Perang Jawa, dan menjadi pemimpin militer yang cukup menonjol selama perang tersebut.
Pada tahun 1741,
Pandjang dan kelompoknya ditangkap di Bekasi, Jawa Barat. Mereka sebelumnya menguasai Bekasi hingga dikalahkan oleh seorang pemimpin lokal. Setelah itu, mereka bergabung dengan sebuah pasukan Jawa pro-Tionghoa untuk menguasai Tegal.
Pada bulan Juni 1742,
Pandjang dan seorang komandan Jawa menggabungkan pasukan mereka dan berhasil menguasai Kartosuro. Namun, perang di daerah lain di Jawa tidak berhasil dimenangkan oleh para pemberontak, sehingga pada bulan Juli 1742, Belanda telah menguasai kembali sebagian besar daerah di Jawa.
Pandjang dan pasukannya menguasai Kartosuro hingga bulan Desember 1742, tetapi mereka kemudian dipaksa mundur ke Prambanan oleh tentara Belanda. Para pemberontak akhirnya menyerahkan diri pada awal tahun 1743, tetapi
Pandjang berhasil kabur. Ia terakhir kali terlihat di Bali pada tahun 1758.
Referensi