Pura Goa Lawah merupakan sebuah
Pura yang terletak di Desa Pasinggahan, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, Bali, yang berjarak sekitar 40 km dari ibu kota Bali, Denpasar.
Pura Goa Lawah dikenal masyarakat karena adanya sebuah gua pada bagian utama
Pura ini, yang didalamnya terdapat sekumpulan kelelawar.
Pura ini juga menjadi titik fokus Perang Kusamba, sebuah perang antara Tentara Kerajaan Hindia Belanda yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Andreas Victor Michiels melawan rakyat Klungkung yang dipimpin oleh Dewa Agung Istri Kanya.
Sejarah
Pura Goa Lawah di Klungkung merupakan
Pura yang terdapat pada sebuah gua yang didalamnya dihuni sekumpulan kelelawar. Kata
Goa berarti
Goa/Gua (lubang) dan
Lawah di Bali memiliki arti kelelawar, jadi
Goa Lawah memiliki arti "gua yang dihuni oleh kelelawar". Dari ribuan jumlah
Pura di Bali, beberapa di antaranya berstatus
Pura Khayangan Jagat, salah satunya
Pura Goa Lawah.
Pura ini berdiri di wilayah pertemuan antara pantai dan perbukitan dengan sebuah gua yang dihuni beribu-ribu kelelawar. Lontar Padma Bhuwana menyebutkan
Pura Goa Lawah merupakan salah satu kayangan jagat/sad kahyangan sebagai sthana Dewa Maheswara dan Sanghyang Basukih, dengan fungsi sebagai pusat nyegara-gunung.
Dalam beberapa lontar, sekilas ada yang menyimpulkan secara garis besarnya bahwa
Pura-
Pura besar yang berstatus Kahyangan jagat dan Sad Kahyangan di Bali dibangun oleh pendeta terkenal, Mpu Kuturan pada tahun 929 Saka atau 1007 Masehi. Fakta ini dibuktikan dengan disebutnya
Pura Goa Lawah dalam lontar Mpu Kuturan. Sebagaimana dihimpun Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Klungkung yang mempersiapkan penerbitan buku tentang
Pura Goa Lawah, diceritakan, Mpu Kuturan datang ke Bali abad X saat pemerintahan dipimpin Anak Wungsu, adik Raja Airlangga. Airlangga sendiri memerintah di Jawa Timur (1019-1042). Ketika tiba, Mpu Kuturan menemui banyak sekte di Bali. Melihat kenyataan itu, Mpu Kuturan kemudian mengembangkan konsep Tri Murti dengan tujuan mempersatukan semua sekte tersebut. Kedatangan Mpu Kuturan membawa perubahan yang sangat besar di wilayah ini, terutama mengajarkan masyarakat Bali tentang cara membuat pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi yang dikenal dengan sebutan kahyangan atau parahyangan.
Di samping nama Mpu Kuturan, patut juga dicatat perjalanan Danghyang Dwijendra atau Danghyang Nirartha yang dikenal juga dengan gelar Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Maha pandita ini berada di Bali saat dipimpin Raja Dalem Waturenggong (1460-1550 Masehi), seorang raja yang membawa kejayaan Nusa Bali. Danghyang Nirartha merupakan pendeta yang melakukan tirthayatra ke seluruh pelosok Pulau Bali, termasuk juga ke Pulau Lombok dan Sumbawa.
Kaitannya dengan
Pura Goa Lawah. Lontar Dwijendra Tatwa menyebutkan perjalanan Danghyang Nirartha diawali dari Gelgel menuju Kusamba. Namun di Kusamba, Danghyang Nirartha justru tidak berhenti. Perjalanannya berlanjut hingga ke
Goa Lawah. Saat itulah, Danghyang Nirartha bisa melihat gunung yang indah dan perjalanannya dihentikan. Sang pendeta masuk ke tengah gua, melihat-lihat gua kelelawar yang jumlahnya ribuan. Di puncak gunung gua itu bunga-bunga bersinar, jatuh berserakan tertiup angin, bagaikan ikut menambah keindahan perasaan sang pendeta yang baru tiba. Dari sana, ia memandang pulau Nusa Penida yang terlihat indah. Lalu membangun padmasana yang merupakan tempat bersthana para Dewa.
Pura Goa Lawah awalnya dipelihara dan dijaga Gusti Batan Waringin atas petunjuk Ida Panataran, putra dari Ida Tulus Dewa yang menjadi pemangku di
Pura Besakih. Penunjukan itu mengingat
Goa Lawah memiliki hubungan dengan
Pura Besakih.
Pura Goa Lawah merupakan jalan keluar Ida Bhatara Hyang Basukih dari Gunung Agung tepatnya di
Goa Raja, terutama ketika berkehendak masucian di pantai.
Jika menengok ke belakang yakni pada zaman megalitikum, di mana selain menghormati kekuatan gunung sebagai kekuatan alam yang telah menyatu dengan arwah nenek moyang yang mempunyai kekuatan gaib, juga menghormati kekuatan laut di samping kekuatan-kekuatan alam lainya, seperti batu besar, gua, campuhan, kelebutan dan lainnya. Dalam kehidupan masyarakat Bali yang kental dengan pengaruh dan sentuhan agama Hindu, pemujaan terhadap kekuatan segara-gunung memang merupakan dresta tua. Tetapi sampai saat ini masih bertahan dan terus berlanjut. Karena pada intinya, pemujaan terhadap Dewa Gunung atau Dewa Laut, sesungguhnya telah mencakup pemujaan kepada kekuatan alam yang notabene penghormatan yang amat lengkap. Atas dasar itulah,
Pura yang awalnya sangat sederhana itu, kini lebih dikenal sebagai kekuatan alam yang bersatu dengan kekuatan magis arwah nenek moyang. Laut yang berada di depan
Pura, sekarang telah menyatu dengan segala kekuatan yang dihormati dan dipuja masyarakat guna mendapat ketentraman dan kesejahteraan hidup.
Dari kilasan di atas, jelas bahwa
Pura Goa Lawah memiliki sejarah yang cukup panjang. Berawal dari pemujaan alam gua kelelawar, gunung dan laut di zaman Megalitikum, lalu dikembangkan/ditata dan kemudian dibangun pelinggih-pelinggih sthana para Dewa dan Bhatara oleh Mpu Kuturan abad X kemudian disempurnakan lagi dengan membangun Padmasana oleh Danghyang Dwijendra pada abad XIV-XV. Lengkaplah keberadaan
Pura Goa Lawah, seperti sekarang. Namun yang perlu dicatat, Nyegara-Gunung yang digelar di
Pura Goa Lawah, mengandung makna terima kasih ke hadapan Sang Hyang Widhi dalam manifestasi Girinatha (pelindung gunung) dan Baruna sebagai penguasa laut, atas pemberian amerta baik kepada sang Dewa Pitara—jiwa leluhur yang telah suci—maupun kepada sang Yajamana, Sang Tapini dan Sang Adrue Karya. Atas dasar konsep inilah Umat Hindu memuliakan gunung dan laut sebagai sumber penghidupan. Memuliakan gunung dan laut bukan berarti umat Hindu menyembah gunung dan laut, tetapi yang dipuja adalah Hyang Widhi dalam fungsinya sebagai pelindung gunung dan penguasa laut.
Lihat pula
Sejarah Bali
Hinduisme di Indonesia
Referensi
Bacaan lebih lanjut
Vickers, A. (1989), Bali: A Paradise Created, Tuttle Publishing, ISBN 978-1-4629-0008-4
Pringle, Robert (2004), A short history of Bali: Indonesia's Hindu realm, Crown Nest, NSW: Allen & Unwin, ISBN 1865088633
A.J. Bernet Kempers (1991). Monumental Bali; Introduction to Balinese Archaeology & Guide to the Monuments. Berkeley & Singapore. ISBN 0-945971-16-8.
Nordholt, Henk Schulte (1996). The Spell of Power; A History of Balinese Politics. Leiden. ISBN 90-6718-090-4.
Wiener, Margaret J. (1995). Visible and Invisible Realms; Power, Magic, and Colonial Conquest in Bali. Chicago & London. ISBN 0-226-88580-1.