Leukosis sapi enzootik (bahasa Inggris: enzootic bovine
Leukosis; disingkat EBL) adalah penyakit menular pada
sapi yang disebabkan oleh infeksi Bovine leukemia virus (BLV).
Leukosis merupakan perbanyakan jaringan pembentuk leukosit yang dapat berujung pada limfosarkoma (tumor maligna yang melibatkan jaringan limfoid), sementara
enzootik merupakan padanan endemik untuk penyakit hewan. Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) menggolongkan EBL sebagai penyakit yang wajib dilaporkan kasusnya oleh negara-negara anggotanya.
Penyebab dan definisi
Leukosis sapi enzootik disebabkan oleh infeksi salah satu spesies Retrovirus, yakni Bovine leukemia virus (BLV). Pada
sapi, limfosarkoma dapat terjadi akibat infeksi BLV atau secara sporadis yang tidak diasosiasikan dengan BLV.
Leukosis sapi sporadik (SLV) memiliki tiga bentuk penyakit, yaitu limfosarkoma pada anak
sapi (biasanya berusia di bawah enam bulan), pada kutaneus, dan pada timus. Sementara itu, meskipun
Leukosis sapi enzootik dapat terjadi pada semua tingkatan umur, biasanya limfosarkoma ditemukan pada
sapi yang berusia di atas tiga tahun.
Epidemiologi
= Hewan rentan
=
Semua
sapi, baik
sapi eropa maupun
sapi india, rentan terhadap infeksi BLV. Kerbau dan kapibara juga dapat terinfeksi secara alami. Infeksi secara eksperimental menunjukkan bahwa domba sangat rentan terhadap BLV, sementara kambing, domba, babi, rusa, antelop, anjing, kucing, kelinci, tikus, tikus belanda, simpanse, dan monyet rhesus menunjukkan respons antibodi yang persisten.
= Penyebaran penyakit
=
Leukosis sapi enzootik tersebar di seluruh dunia dengan tingkat kejadian yang bervariasi. Pada tahun 2020, EBL telah diberantas di lebih dari 20 negara, sementara Amerika Serikat, Kanada, Brasil, Argentina, Jepang, dan Tiongkok memiliki prevalensi yang cukup tinggi. Prevalensi EBL cenderung meningkat pada peternakan
sapi perah dan berbanding lurus dengan semakin banyaknya populasi mereka; hal sebaliknya terjadi pada
sapi potong. Secara umum, prevalensi infeksi virus meningkat seiring dengan bertambahnya usia
sapi.
Indonesia
Leukosis sapi enzootik mulai mendapatkan perhatian di Indonesia pada 1986, saat negara ini akan mengimpor
sapi perah dari Amerika Serikat. Pemerintah mengeluarkan peraturan untuk mengendalikan penyakit ini pada tahun 1988. Hasil pemeriksaan imunodifusi gel agar (AGID) antara dari 1987 hingga 1989 menunjukkan spesimen dari Cilacap, Salatiga, dan Surabaya memiliki angka seropositif yang relatif tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya, sementara studi pada tahun 1990 menunjukkan hasil seropositif untuk spesimen dari Lampung, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Penelitian pada 2015 menunjukkan hasil positif PCR dan AGID pada spesimen darah
sapi yang berasal dari Lembang dan Palembang. Pada 2021, spesimen darah
sapi bali di Konawe Selatan menunjukkan hasil seropositif dengan ELISA antibodi yang berkorelasi dengan temuan tanda klinis berupa limfosarkoma.
Penularan
Sel mononuklir darah tepi yang terinfeksi dan sel tumor merupakan sumber penularan virus sehingga transfer darah atau produk darah merupakan cara penularan penyakit ini. Sebagian besar penularan berlangsung secara horizontal. Kontak erat antara
sapi terinfeksi dan
sapi rentan diduga merupakan faktor risiko penularan. Lalat penggigit seperti Tabanidae dapat berperan sebagai vektor. Transmisi virus secara alami berlangsung saat
sapi melahirkan, sedangkan transmisi nonalami terjadi ketika darah yang mengandung virus menempel pada jarum, peralatan bedah, dan sarung tangan yang digunakan saat inseminasi buatan. Selain itu, keberadaan virus juga ditemukan di cairan tubuh lainnya, seperti leleran hidung dan mulut, air liur, dan air susu. Namun, mereka tidak cukup terbukti berperan dalam menularkan penyakit dan dianggap noninfeksius.
Patogenesis
Tanda klinis
Diagnosis
Pencegahan, pengendalian, dan pengobatan
Referensi
= Catatan kaki
=
= Daftar pustaka
=