Masjid Sultan Ternate adalah sebuah
Masjid yang terletak di kawasan Jalan
Sultan Khairun, Kelurahan Soa Sio, Kecamatan
Ternate Utara, Kota
Ternate, Maluku Utara.
Masjid ini menjadi bukti keberadaan Kesultanan Islam pertama di kawasan timur Nusantara ini. Kesultanan
Ternate mulai menganut Islam sejak raja ke-18, yaitu Kolano Marhum yang bertahta sekitar 1465-1486 M. Pengganti Kolano Marhum adalah putranya, Zainal Abidin (1486-1500), yang kemudian mengganti gelar Kolano menjadi
Sultan, menetapkan Islam sebagai agama resmi kerajaan, memberlakukan syariat Islam, serta membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama.
Sejarah
Masjid Sultan ini diperkirakan telah dirintis sejak masa
Sultan Zainal Abidin, tetapi ada juga yang beranggapan bahwa pendirian
Masjid Sultan baru dilakukan awal abad ke-17, yaitu sekitar tahun 1606 saat berkuasanya
Sultan Saidi Barakati. Hingga sekarang, belum diketahui dengan pasti kapan
Masjid Sultan Ternate didirikan. Akan tetapi, sebelum
Sultan Saidi Barakati naik tahta, Kesultanan
Ternate telah mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di bidang keagamaan, ekonomi, maupun angkatan perang. Perjuangan
Sultan Khairun (1534-1570) yang dilanjutkan oleh penerusnya, yaitu
Sultan Baabullah (1570-1583) untuk mengusir pasukan Portugis, misalnya, menjadi salah satu fase kegemilangan Kesultanan
Ternate Sekitar setengah abad sebelum berkuasanya
Sultan Saidi Barakati. Sehingga, perkiraan bahwa
Masjid Sultan Ternate baru dibangun pada awal abad ke-17 tidak memiliki alasan yang cukup kuat.
Sebagaimana Kesultanan Islam lainnya di Nusantara,
Masjid Sultan Ternate dibangun di dekat Kedaton
Sultan Ternate, tepatnya sekitar 100 meter sebelah tenggara kedaton. Posisi
Masjid ini tentu saja berkaitan dengan peran penting
Masjid dalam kehidupan beragama di Kesultanan
Ternate. Tradisi atau ritual-ritual keagamaan yang diselenggarakan kesultanan selalu berpusat di
Masjid ini.
Masjid Sultan Ternate dibangun dengan komposisi bahan yang terbuat dari susunan batu dengan bahan perekat dari campuran kulit kayu pohon kalumpang. Sementara arsitekturnya mengambil bentuk segi empat dengan atap berbentuk tumpang limas, di mana tiap tumpang dipenuhi dengan terali-terali berukir. Arsitektur ini tampaknya merupakan gaya arsitektur khas
Masjid-
Masjid awal di Nusantara, seperti halnya
Masjid-
Masjid pertama di tanah Jawa di mana atapnya tidak berbentuk kubah, melainkan limasan.
Adat
Masjid ini memiliki aturan-aturan adat yang tegas, seperti larangan memakai sarung atau wajib mengenakan celana panjang bagi para jamaahnya, kewajiban memakai penutup kepala (kopiah), serta larangan bagi perempuan untuk beribadah di
Masjid ini. Berbagai aturan ini konon berasal dari petuah para leluhur (yang disebut Doro Bololo, Dalil Tifa, serta Dalil Moro) yang hingga kini masih ditaati oleh masyarakat
Ternate, terutama di lingkungan kedaton. Menurut keterangan Imam
Masjid Sultan Ternate yang bergelar Jou Kalem atau Kadhi, larangan-larangan tersebut memiliki dasar aturan yang kuat. Sejak dahulu,
Masjid memang menjadi salah satu tempat yang dianggap suci dan harus dihormati oleh masyarakat
Ternate. Larangan kaum hawa untuk beribadah di
Masjid ini didasarkan pada alasan untuk menjaga kesucian
Masjid, yaitu supaya tempat ibadah ini terhindar dari ketidaksengajaan perempuan yang tiba-tiba saja datang bulan (haid).
Di samping itu, kehadiran perempuan ditengarai juga dapat memecah kekhusyukan dalam menjalankan ibadah di
Masjid ini. Sementara larangan bagi jamaah yang memakai sarung atau pakaian sejenisnya didasarkan pada alasan yang bersifat tasawuf. Menurut kepercayaan mereka, posisi kaki pria ketika salat dengan mengenakan celana panjang menunjukkan huruf Lam Alif terbalik yang bermakna dua kalimat syahadat. Hal ini sebagai perlambang bahwa orang tersebut telah mengakui ke-Esa-an Allah dan Muhammad sebagai utusannya, sehingga jiwa dan raganya telah siap untuk melaksanakan ibadah salat. Oleh sebab itu, setiap pria yang akan melaksanakan ibadah wajib mengenakan celana panjang.
Untuk menertibkan aturan-aturan adat ini, setiap datang waktu salat, Balakusu (penjaga
Masjid) akan mengawasi setiap orang yang hendak memasuki
Masjid. Jika ada jamaah yang memakai sarung, maka akan ditegur dan disuruh mengganti dengan celana panjang. Jika tidak, maka jamaah tersebut disarankan untuk salat di tempat lain. Tak hanya wajib mengenakan celana, para jamaah juga diharuskan memakai penutup kepala atau kopiah. Hal ini agar para jamaah tidak terganggu oleh helai-helai rambut ketika sedang melakukan salat. Berbagai macam aturan ini berlaku tidak pandang bulu, sehingga harus ditaati oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk
Sultan dan para kerabatnya. Di samping peraturan-peraturan unik tersebut, berbagai ritual keagamaan yang diselenggarakan oleh pihak kesultanan juga menambah daya tarik tersendiri bagi
Masjid ini.
Salah satu tradisi yang setiap tahun diadakan di
Masjid Sultan Ternate adalah Malam Qunut yang jatuh setiap malam ke-16 bulan Ramadhan. Dalam tradisi ini,
Sultan dan para kerabatnya dibantu oleh Bobato Akhirat (dewan keagamaan kesultanan) mengadakan ritual khusus yaitu Kolano Uci Sabea, yang berarti turunnya
Sultan ke
Masjid untuk salat dan berdoa.
Kolano Uci Sibea biasanya dimulai dari kedaton menuju
Masjid untuk melaksanakan salat Tarawih. Sekitar pukul setengah delapan waktu setempat,
Sultan akan ditandu oleh pasukan kerajaan menuju
Masjid dan diiringi alunan alat musik Totobuang (semacan gamelan) yang ditabuh oleh sekitar dua belas anak kecil yang mengenakan pakaian adat lengkap di depan tandu
Sultan. Konon, alat musik ini merupakan pemberian Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) ketika salah seorang
Sultan Ternate berguru kepadanya.
Sebelum salat Tarawih dilakukan, para muadzin yang terdiri dari empat orang, mengumandangkan adzan secara bersama-sama. Menurut sebagian orang, ini untuk mengingatkan masyarakat
Ternate tentang empat Soa (kelurahan pertama) di daerah
Ternate. Empat Soa ini yaitu Soa Heku (Kelurahan Dufa-Dufa), Soa Cim (Kelurahan Makassar), Soa Langgar (Kelurahan Koloncucu), dan Soa Mesjid
Sultan sendiri. Namun, ada juga yang percaya bahwa pengumandangan adzan oleh empat muadzin tersebut melambangkan empat kerajaan terkuat yang masih saling bersaudara di kawasan Maluku Utara, yaitu
Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Keempat kerajaan ini dalam kepercayaan masyarakat setempat biasa disebut Moloku Kie Raha (pemangku empat gunung atau kerajaan).
Usai melaksanakan Tarawih,
Sultan akan pulang ke kedaton dengan ditandu kembali seperti ketika keberangkatannya ke
Masjid. Di kedaton
Sultan bersama permaisuri (Boki) akan memanjatkan doa di ruangan khusus, tepatnya di atas makam keramat leluhur. Usai berdoa,
Sultan dan permaisuri akan menerima rakyatnya untuk bertemu, bersalaman, bahkan menciumi kaki
Sultan dan permaisuri sebagai tanda kesetiaan. Tentu saja, pertemuan langsung antara
Sultan dan rakyatnya ini menarik minat masyarakat di seluruh
Ternate dan pulau-pulau di sekitarnya.
Dalam satu tahun, ritual Kolano Uci Sabea dilaksanakan empat kali, antara lain pada Malam Qunut, Malam Lailatul Qadar (keduanya pada bulan Ramadhan), serta pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Pelaksanaan Kolano Uci Sabea dilakukan secara turun temurun oleh setiap
Sultan Ternate hingga kini. Menurut kepercayaan, dalam kondisi apapun Kolano (
Sultan) memang harus melakukan Sabea (salat) di Sigi Lamo (Mesjid
Sultan). Selain mengunjungi
Masjid tua peninggalan Kesultanan
Ternate ini, wisatawan juga dapat mengunjungi objek wisata sejarah lainnya, seperti Kedaton Kesultanan
Ternate, Benteng Orange, Benteng Kastela, Benteng Sentosa, serta benteng-benteng peninggalan kolonial lainnya.
Referensi