Museum Kereta Api Bondowoso (bahasa Inggris:
Bondowoso Rail and Train
Museum) adalah stasiun
Kereta Api nonaktif yang sekarang dialihfungsikan sebagai
Museum sejarah perkeretaapian.
Museum ini secara administratif terletak di Kademangan,
Bondowoso,
Bondowoso; termasuk dalam Wilayah Penjagaan Aset IX Jember pada ketinggian +253 m.
Museum ini sekarang dikelola oleh Unit Pusat Pelestarian dan Desain Arsitektur PT KAI bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten
Bondowoso.
Museum ini merupakan
Museum perkeretaapian ketiga di Indonesia setelah Ambarawa dan Sawahlunto. Jika Lawang Sewu disertakan sebagai
Museum perkeretaapian, maka
Museum ini adalah
Museum perkeretaapian keempat di Indonesia.
Museum Kereta Api Bondowoso, beserta seluruh stasiun dalam Jalur
Kereta Api Kalisat–Panarukan masuk dalam prioritas reaktivasi sesuai Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2019 yang akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan.
Sejarah
= Pembangunan jalur Kereta Api Kalisat–Panarukan
=
Asal usul pembangunan jalur
Kereta Api Kalisat–Panarukan dapat dilacak dari megaproyek Staatsspoorwegen (SS) mengembangkan jalur
Kereta Api yang mempersatukan Pulau Jawa. Salah satunya adalah lintas Probolinggo–Kalisat–Panarukan. SS, yang berdiri pada tanggal 6 April 1875, memanfaatkan konsesi izin pembangunan jalur
Kereta apinya dari Pemerintah Hindia Belanda membangun jalur
Kereta Api Bogor–Yogyakarta, Surabaya–Solo dan Surabaya–Malang, serta Surabaya–Probolinggo.
Begitu SS puas mengembangkan jalur tersebut, jalur
Kereta apinya kemudian dipanjangkan lagi hingga menjangkau kota pelabuhan Panarukan yang kala itu sudah dipersatukan dengan kota-kota penting lainnya di Jawa dengan Jalan Raya Pos Daendels. Jalur Probolinggo–Panarukan itu sendiri tertuang dalam konsesi tertanggal 23 Juni 1893, sepaket dengan rencana pembangunan jalur cabang ke Pasirian untuk keperluan pengangkutan pasir besi. Pada mulanya pihak SS memutuskan membangun jalur cabang ini dari Randuagung, tetapi per 1894, SS mengalihkan jalur cabangnya itu ke Stasiun Klakah karena jaraknya relatif dekat bila dibandingkan dengan dari Randuagung.
Meneruskan jalur
Kereta Api Pasuruan–Probolinggo pada tahun 1884, SS membangun jalur ini dengan penuh tantangan. Jalur
Kereta apinya sendiri membelah hutan dan kebun, melewati tempat-tempat terpencil, hingga akhirnya sampailah di Jember pada tanggal 1 Juli 1897. Segmen terakhirnya, Jember–Kalisat–Panarukan, beroperasi pada tanggal 1 Oktober 1897. Stasiun
Bondowoso beroperasi setelah jalur segmen terakhir ini selesai.
=
Stasiun ini menjadi saksi bisu tragedi gerbong maut
Bondowoso. Sebanyak seratus pejuang ditawan serdadu Belanda dalam rangkaian Agresi Militer Belanda I. Pada tanggal 23 November 1947 subuh itu, tawanan yang semula ditahan di Penjara
Bondowoso digiring ke Stasiun
Bondowoso untuk dinaikkan di
Kereta Api menuju Surabaya. Tercatat ada tiga gerbong untuk mengangkut tawanan, yaitu GR 5769 dan GR 4416 yang masih memiliki lubang angin kecil, serta GR 10152 yang sama sekali tidak memiliki lubang angin.
Karena ukuran gerbong-gerbong itu kecil, udara pengap menjadi awal dari tragedi ini. Mulai dari kesulitan bernapas hingga tidak diberi makan dan minum jelas membuat mereka tidak mampu bertahan hidup lama. Mereka bahkan meminum air kencing. Mashoed (2004) menyebutkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada saat matahari benar-benar terik. Enam belas jam perjalanan,
Kereta tiba di Stasiun Wonokromo dalam keadaan tak ada satu pun orang yang mampu bertahan hidup di dalam pengapnya gerbong maut tersebut, yaitu yang berada di dalam gerbong GR 10152. Empat puluh enam orang tewas dalam peristiwa tersebut, sedangkan 12 orang sakit parah, 30 orang lemas tak berdaya, dan 12 orang selamat.
= Penutupan jalur Kalisat–Panarukan
=
Pada saat-saat terakhir jalur Kalisat–Panarukan beroperasi, hanya
Kereta Api lokal Jember–Panarukan yang rutin beroperasi di jalur ini.
Kereta Api tersebut sering ditarik lokomotif diesel hidraulis produksi Henschel (BB303) dengan susunan rangkaian berupa tiga unit
Kereta penumpang ekonomi non-AC dan tiga unit gerbong barang.
Kereta penumpang ini dahulu difungsikan untuk mengumpan penumpang dari pelosok Situbondo menuju Stasiun Jember. Stasiun ini dinonaktifkan penuh pada tahun 2004 oleh PT KA beserta jalur dan seluruh layanannya karena prasarana yang tua dan kalah bersaing dengan mobil pribadi dan angkutan umum.
= Pengoperasian sebagai Museum
=
Setelah stasiun ini nonaktif untuk pelayanan perkeretaapian umum seiring dengan dinonaktifkannya jalur tersebut, kondisi stasiun ini dalam keadaan sangat terpuruk dan terlupakan. Meskipun stasiun ini masih dapat dikatakan "terawat" dengan baik, pada kenyataannya stasiun ini tak pernah digunakan. Tak ada renovasi, hanya sesekali ada pengecatan ulang. Tak ada seorang pun yang bisa dipercaya merawat bangunan heritage peninggalan SS ini.
Wacana reaktivasi jalur
Kereta Api ini terus mengemuka sejak 2009 tetapi tidak ada satu pun langkah konkret yang bisa diambil. Pasalnya, PT KAI kini hanya bertindak sebagai operator, bukan menjadi pemilik prasarana serta tidak ikut mengkaji apakah jalur ini pantas direaktivasi atau tidak. Jalur tersebut kini menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Perkeretaapian sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007. Namun pada tahun 2022 sesuai hasil studi kelayakan, jalur ini masuk dalam prioritas reaktivasi sesuai Perpres 80 Tahun 2019 yang akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perkeretaapian.
Bangunan stasiun ini kini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Unit Pusat Pelestarian dan Desain Arsitektur PT KAI. Untuk mengawali langkah reaktivasi, Pemerintah Kabupaten
Bondowoso memutuskan untuk membuat perjanjian kerja sama preservasi stasiun ini. Pemilihan Stasiun
Bondowoso ini sama sekali bukan tanpa alasan. Dipilihnya stasiun ini adalah untuk mengenang tragedi gerbong maut
Bondowoso yang telah menewaskan pejuang kemerdekaan Indonesia yang menjadi tawanan Belanda. Stasiun ini kini diresmikan sebagai
Museum pada tanggal 17 Agustus 2016 oleh Bupati
Bondowoso saat itu, Amin Said Husni, untuk memperingati 71 tahun Kemerdekaan Indonesia.
Di samping
Museum, stasiun ini juga melayani penjualan tiket. Saat ini progres terkait reaktivasi jalur ini baru sampai pada tahap studi kelayakan dan jalur ini dinyatakan lolos studi sehingga wacana reaktivasi menguat kembali.
Bangunan, tata letak, dan koleksi
Pada saat aktif sebagai stasiun, Stasiun
Bondowoso memiliki enam jalur
Kereta Api dengan jalur 2 merupakan sepur lurus. Karena emplasemennya sudah beralih fungsi menjadi rumah penduduk, jalurnya dipangkas menjadi dua saja. Jalur 1 stasiun ini diparkirkan gerbong pupuk berjenis GW/GRU.
Arsitektur stasiun ini tidak jauh berbeda dengan stasiun-stasiun SS lainnya yang dibangun pada abad ke-19; dan mirip dengan Stasiun Bandung generasi pertama. Bangunan stasiun telah disesuaikan dengan iklim setempat sehingga terkesan luwes dengan lingkungan sekitarnya. Ornamen sulur-suluran serta pilar-pilar ala Yunani banyak dijumpai di dekat pintu dan jendela, memberi kesan anggun pada bangunan utama stasiun. Sebelum dipreservasi, bangunan stasiun ini dicat putih dengan kombinasi hijau pada teritisan, kayu-kayu, dan ornamennya. Namun setelah dipreservasi, warna-warna tersebut digantikan dengan warna korporat bangunan PT KAI.
Museum ini memiliki koleksi yang lebih terbatas bila dibandingkan
Museum Kereta Api lainnya di Indonesia. Koleksi
Museum ini adalah handel persinyalan mekanik Alkmaar, tiket Edmondson, miniatur-miniatur lokomotif dan
Kereta penumpang zaman uap, salinan foto-foto sejarah, serta mebel/furnitur pendukung administrasi stasiun.
Peralatan lainnya yang juga dikoleksi di stasiun ini adalah atribut perusahaan, handsign, tongkat Semboyan 40, mesin tik, telepon otomatis (toka), stempel, dan reglemen perusahaan. Sesekali juga diputarkan film-film yang mendokumentasikan
Kereta Api pada zaman dahulu di sudut-sudut ruangan serta terdapat informasi mengenai peristiwa tragedi gerbong maut
Bondowoso. Untuk meningkatkan pelayanan, fasilitas lain seperti musala dan toilet dibuat seperti layaknya stasiun, dengan dipasangnya papan penunjuk fasilitas yang wujudnya terlihat seperti layaknya bandara.
Referensi
= Daftar pustaka
=
Raap, O.J. (2017). Spoor Uap di Djawa Tempo Doeloe. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 9786024243692.