Ombak Besar di Kanagawa (神奈川沖浪裏code: ja is deprecated ,
Kanagawa-oki Nami Ura, terj. har. "
di Bawah Sebuah
Ombak di Kanagawa"), juga dikenal dengan nama
Ombak Besar atau Sang
Ombak, adalah sebuah cetakan balok kayu karya seniman ukiyo-e Jepang Hokusai, yang dibuat saat akhir tahun 1831 pada zaman Edo. Cetakan tersebut menggambarkan tiga perahu yang bergerak mengarungi lautan yang sedang diterjang badai dan sebuah
Ombak Besar di lepas pantai Teluk Sagami, Prefektur
Kanagawa.
di latar belakang dapat terlihat Gunung Fuji.
Cetakan ini merupakan karya Hokusai yang pertama dan yang paling terkenal dalam serial Tiga Puluh Enam Pemandangan Gunung Fuji; penggunaan biru Prusia dalam serial tersebut merevolusi cetakan Jepang. Komposisi cetakan ini merupakan perpaduan antara cetakan tradisional Jepang dengan penggunaan perspektif grafik yang berkembang
di Eropa. Perpaduan ini memberikan keberhasilan baginya
di Jepang dan nantinya
di Eropa, ketika karyanya memberi inspirasi kepada para Impresionis. Sejumlah museum
di seluruh dunia menyimpan cetakan-cetakan
Ombak Besar di Kanagawa; sebagian
Besar berasal dari koleksi privat cetakan Jepang dari abad ke-19. Hanya sekitar seratus cetakan, dalam berbagai kondisi, yang dipercaya masih bertahan.
Ombak Besar di Kanagawa telah disebut sebagai "gambar yang mungkin paling banyak dicetak dalam sejarah kesenian", dan juga menjadi "karya seni yang paling terkenal dalam sejarah Jepang". Cetakan ini telah memengaruhi beberapa seniman dan musisi ternama, seperti Vincent van Gogh, Claude Debussy, dan Claude Monet. Rekan-rekan Hokusai, seperti Hiroshige dan Kuniyoshi, terinspirasi untuk menciptakan karya-karya yang berpusat pada
Ombak.
Latar belakang
= Kesenian ukiyo-e
=
Ukiyo-e adalah sebuah teknik seni grafis Jepang yang berkembang dari abad ke-17 hingga abad ke-19. Karya seni ini berupa cetakan balok kayu dan lukisan yang menggambarkan bermacam-macam subjek seperti wanita; pemeran kabuki dan pegulat sumo; adegan sejarah dan cerita rakyat; pemandangan; flora dan fauna Jepang; dan erotika. Istilah ukiyo-e (浮世絵code: ja is deprecated ) berarti "gambar dunia mengambang".
Setelah Edo (sekarang Tokyo) menjadi pusat kedudukan Keshogunan Tokugawa pada tahun 1603, kelas chōnin yang terdiri atas para pedagang dan pekerja memanfaatkan pertumbuhan ekonomi kota yang pesat itu untuk menikmati hiburan teater kabuki, geisha, dan prostitusi pada berbagai distrik lampu merah (yūkaku); istilah ukiyo (浮世code: ja is deprecated , "dunia yang mengambang") pun digunakan untuk menggambarkan gaya hidup hedonistik ini. Karya ukiyo-e terkenal pada kalangan kelas chōnin, ketika mereka menjadi cukup kaya untuk menghiasi rumah mereka dengan karya-karya tersebut.
Karya ukiyo-e yang paling awal merupakan lukisan-lukisan dan cetakan-cetakan monokromatik karya Hishikawa Moronobu yang menampilkan wanita dan muncul pada tahun 1670-an. Cetakan berwarna diperkenalkan secara perlahan, dan pada awalnya hanya digunakan untuk komisi-komisi tertentu. Pada tahun 1740-an, seniman-seniman seperti Okumura Masanobu mulai menggunakan beberapa balok kayu untuk mencetak warna. Saat tahun 1760-an, kesuksesan "cetakan brokat" Suzuki Harunobu menyebabkan cetakan berwarna penuh menjadi produksi standar, dengan balok yang digunakan untuk membuat setiap cetakan berjumlah sepuluh atau lebih. Beberapa seniman ukiyo-e berspesialisasi dalam membuat lukisan, tetapi sebagian
Besar dari karya tersebut merupakan cetakan. Seniman-seniman jarang kali memahat balok kayunya sendiri; kegiatan produksi dilakukan oleh beberapa pihak: seniman, yang merancang cetakan; pemahat, yang memotong kayu balok; pencetak, yang menintai dan menempelkan kayu balok pada washi; dan penerbit, yang membiayai, mempromosikan, dan mendistribusi karya-karya tersebut. Karena pencetakan dilakukan dengan tangan, para pencetak dapat memperoleh efek yang tidak dapat dicapai secara praktis dengan mesin, seperti pencampuran atau penggradasian warna pada cetakan balok.
= Pencipta
=
Katsushika Hokusai lahir
di Katsushika, Jepang, pada tahun 1760
di sebuah distrik
di sebelah timur kota Edo. Ia merupakan anak dari seorang shogun yang juga merupakan seorang pembuat kaca, dan pada umur 14, ia dinamakan Tokitarō. Karena Hokusai tidak pernah dianggap sebagai pewaris, ada kemungkinan ibunya merupakan seorang gundik.
Hokusai mulai melukis saat ia berumur enam tahun, dan saat berumur 12 tahun, ayahnya mengirimnya untuk bekerja
di sebuah toko buku. Pada umur 16 tahun, ia bermagang kepada seorang pemahat balok kayu selama tiga tahun, sambil membuat ilustrasinya sendiri. Pada umur 18 tahun, Hokusai diterima sebagai murid Katsukawa Shunshō, salah satu seniman ukiyo-e yang paling ternama pada zamannya. Setelah Shunshō meninggal pada tahun 1793, Hokusai mempelajari gaya kesenian Jepang dan Tiongkok, serta lukisan Belanda dan Prancis secara mandiri. Pada tahun 1800, ia menerbitkan Pemandangan Terkenal dari Ibukota Timur dan Delapan Pemandangan Edo, dan mulai menerima murid. Pada masa ini ia mulai menggunakan nama Hokusai; semasa hidupnya, ia menggunakan lebih dari 30 nama samaran.
Pada tahun 1804, Hokusai menjadi terkenal ketika ia menciptakan sebuah gambar biksu Buddha bernama Daruma yang berukuran 240 meter persegi (2.600 sq ft) untuk sebuah festival
di Tokyo. Karena keadaan finansialnya yang tidak menentu, pada tahun 1812, ia menerbitkan Pembelajaran Cepat dalam Menggambar Sederhana, dan mulai bepergian ke Nagoya dan Kyoto untuk menerima murid baru. Pada tahun 1814, ia menerbitkan manga pertama dari lima belas manga yang ia buat; beberapa volume sketsa dari subjek-subjek yang menarik baginya, seperti orang-orang, hewan, dan Buddha. Ia menerbitkan serial Tiga Puluh Enam Pemandangan Gunung Fuji pada akhir tahun 1820-an; serial tersebut menjadi sangat populer sampai ia harus menambahkan sepuluh cetakan lebih. Hokusai wafat pada tahun 1849 saat berumur 89 tahun.
Menurut Calza (2003), beberapa tahun sebelum Hokusai meninggal, ia berkata:
Dari umur enam tahun, saya memiliki ketertarikan untuk menyalin bentuk dari berbagai benda dan sejak berumur lima puluh saya telah menerbitkan banyak gambar, tetapi semua yang saya gambar hingga umur ketujuh puluh, tidak ada yang perlu dianggap penting. Saat berumur tujuh puluh tiga saya mengerti sebagian dari struktur hewan, burung, serangga dan ikan, dan kehidupan dari rerumputan dan tumbuh-tumbuhan. Lalu seterusnya, pada [umur] delapan puluh enam saya harus terus maju; pada [umur] sembilan puluh saya semestinya maju lebih lagi untuk menembus makna rahasia, dan pada [umur] seratus mungkin saya benar-benar telah mencapai tingkat yang menakjubkan dan agung. Ketika saya berumur seratus sepuluh tahun, setiap titik, setiap garis, akan memperoleh hidupnya sendiri.
Deskripsi
Ombak Besar di Kanagawa adalah sebuah cetakan yoko-e (cetakan dengan format horizontal atau lanskap) yang dicetak menggunakan ukuran ōban (25 cm × 37 cm (9,8 in × 14,6 in)). Komposisi cetakan ini terdiri dari tiga unsur: lautan yang berbadai, tiga perahu, dan sebuah gunung. Tanda tangan seniman dapat terlihat
di sebelah kiri atas cetakan.
= Gunung
=
di latar belakang terdapat Gunung Fuji dan puncaknya yang bersalju; Gunung Fuji merupakan figur sentral dalam serial Tiga Puluh Enam Pemandangan Gunung Fuji, yang menampilkan gunung tersebut dalam berbagai sudut yang berbeda. Dalam
Ombak Besar di Kanagawa, Gunung Fuji ditampilkan menggunakan warna biru dengan warna putih sebagai detail, mirip seperti warna
Ombak di latar depan. Warna gelap yang mengelilingi Gunung Fuji menandakan bahwa cetakan ini berlatar pada pagi hari; Matahari terbit dari depan sudut pandang pengamat dan mulai menyinari puncak gunung yang bersalju. Terdapat awan kumulonimbus yang melayang
di antara pengamat dan Gunung Fuji; walau jenis awan ini seringkali menandakan akan terjadinya badai, tidak ada hujan
di Gunung Fuji maupun
di lautan.
= Perahu
=
Cetakan ini menunjukkan tiga oshiokuri-bune, perahu cepat yang digunakan untuk membawa ikan hidup dari Semenanjung Izu dan Semenanjung Bōsō ke pasar-pasar
di pelabuhan Edo. Berdasarkan analisis oleh Cartwright dan Nakamura (2009), perahu-perahu tersebut terletak
di Teluk Edo (Tokyo), jauh dari Yokohama
di Prefektur
Kanagawa pada zaman kini, dengan Edo terletak
di sebelah utara dan Gunung Fuji terletak
di sebelah barat. Perahu-perahu tersebut mengarah ke selatan, kemungkinan menuju Teluk Sagami untuk mengumpulkan kargo ikan yang akan dijual
di Edo. Pada setiap perahu terdapat delapan pengayuh yang sedang memegang dayungnya.
di depan perahu terdapat dua anggota kru lebih; terdapat 30 pengayuh dalam gambar, tetapi hanya 22 yang terlihat. Ukuran dari
Ombak dapat diperkirakan menggunakan perahu-perahu sebagai referensi: pada umumnya panjang oshiokuri-bune sekitar 12–15 meter (39–49 ft). Hokusai mengurangi skala vertikal sebesar 30%, sehingga tinggi
Ombak dapat diperkirakan sekitar 10–12 meter (33–39 ft).
= Lautan dan Ombak
=
Lautan mendominasi komposisi cetakan ini, yang berdasar pada bentuk
Ombak yang menjulur keluar dan mendominasi seluruh pemandangan sebelum jatuh.
Ombak tersebut membentuk sebuah spiral dengan bagian tengahnya melewati bagian tengah dari cetakan, yang membuat Gunung Fuji dapat telihat
di latar belakang. Cetakan ini terdiri atas beberapa lekukan
Ombak, dengan permukaan air menjadi sambungan lekukan dari
Ombak. Lekukan
Ombak yang
Besar menciptakan lekukan lain, yang dibagi menjadi
Ombak kecil lainnya yang berjumlah banyak, yang meniru
Ombak Besar pada gambar. Edmond de Goncourt, penulis asal Prancis, mendeskripsikan
Ombak tersebut sebagai berikut:
Sebuah papan [menggambar] yang seharusnya disebut Sang
Ombak. [Lukisan ini] mirip seperti gambar yang didewakan, [diciptakan] oleh seorang pelukis yang digenggam oleh ancaman religius dari lautan dahsyat yang mengelilingi negaranya: sebuah gambar yang menunjukkan kemarahan [
Ombak] yang naik ke langit, warna biru gelap pada bagian dalam lekukan yang transparan, pecahnya
Ombak yang menyebar dalam tetesan dalam bentuk cakar seekor hewan.
Secara umum
Ombak tersebut disebut sebagai hasil dari tsunami atau
Ombak Besar, tetapi juga seperti
Ombak raksasa yang menyerupai suatu kerangka putih yang mengancam para nelayan dengan "cakaran" busanya. Interpretasi karya ini mengenang kembali kehebatan Hokusai mengenai fantasi Jepang, yang dibuktikan dengan hantu-hantu dari Hokusai Manga. Sebuah pengamatan dari
Ombak di sebelah kiri memperlihatkan "cakaran" lainnya yang akan menerjang para nelayan
di belakang garis busa putih. Gambar ini mengenang kembali karya-karya lama Hokusai, termasuk serial Hyaku Monogatarinya yang berjudul Seratus Cerita Hantu yang diproduksi dari tahun 1831 hingga 1832, yang dengan secara lebih eksplisit menggambarkan tema-tema supranatural. Siluet
Ombak tersebut menyerupai sebuah naga, yang seringkali digambarkan oleh sang seniman, bahkan
di Gunung Fuji.
= Tanda tangan
=
Cetakan ini memiliki dua inskripsi
di sebelah kiri atas gambar. Inskripsi yang pertama berada
di dalam kotak persegi panjang yang bertuliskan judul serial dan lukisan: "冨嶽三十六景/神奈川冲/浪裏 Fugaku Sanjūrokkei /
Kanagawa oki / nami ura", yang berarti "Tiga Puluh Enam Pemandangan Gunung Fuji / Lepas pantai
Kanagawa /
di bawah
Ombak". Inskripsi kedua
di sebelah kiri kotak berisi tanda tangan seniman tersebut: "北斎改爲一筆 Hokusai aratame Iitsu hitsu", yang berarti "(Lukisan) dari kuas Hokusai, yang mengubah namanya menjadi Iitsu." Dikarenakan latar belakangnya yang sederhana, Hokusai tidak memiliki nama belakang; nama panggilan pertamanya (Katsushika) diambil dari daerah asalnya. Semasa karirnya, Hokusai menggunakan lebih dari 30 nama samaran dan tidak pernah memulai sebuah serial karya tanpa mengubah namanya, terkadang meninggalkan namanya kepada murid-muridnya.
= Kedalaman dan perspektif
=
Kedalaman dan perspektif (uki-e) pada
Ombak Besar di Kanagawa merupakan aspek yang menonjol, dengan adanya kontras yang kuat antara latar belakang dan latar depan. Dua massa yang
Besar mendominasi ruang visual cetakan: kekuatan
Ombak Besar berkontras dengan ketenangan dari latar belakang yang hampa,; hal ini mewujudkan simbol yin dan yang. Manusia yang lemah, berjuang
di antara keduanya, yang mungkin merupakan sebuah referensi terhadap kepercayaan Buddhisme (yang mana hal-hal buatan manusia tidaklah kekal), seperti yang ditunjukkan dengan kapal-kapal yang diterjang oleh
Ombak yang
Besar, dan Shintoisme (yang mana alam itu mahakuasa).
= Arah membaca
=
Orang Jepang menginterpretasi
Ombak Besar di Kanagawa dari kanan ke kiri, memberikan tekanan pada bahaya yang ditunjukkan oleh
Ombak yang
Besar. Metode pembacaan ini merupakan cara yang tradisional bagi lukisan-lukisan Jepang, seperti halnya tulisan Jepang yang juga dibaca dari kanan ke kiri. Dengan menganalisis perahu-perahu yang terdapat
di gambar, terutama yang berada
di atas, dapat terlihat bahwa haluan kapal yang ramping dan lancip menghadap sebelah kiri; hal ini mengartikan bahwa penafsiran Jepang benar. Penampilan perahu-perahu tersebut juga dapat dianalisis pada cetakan Hokusai yang berjudul Sōshū Chōshi dari serial Chie no umi ("Lautan Kebijaksanaan"), yang mana perahu bergerak melawan arus dengan arah ke sebelah kanan; hal ini ditunjukkan oleh keracak perahu.
Pembuatan
Hokusai mengalami berbagai tantangan selama pembuatan
Ombak Besar di Kanagawa. Pada tahun 1826, saat berumur 60-an, ia mengalami masalah finansial, dan pada tahun 1827, ia mengidap masalah kesehatan yang berat, kemungkinan strok. Istrinya meninggal pada tahun berikutnya, dan pada tahun 1829 ia harus membantu cucunya keluar dari masalah finansial, sebuah situasi yang mendorong Hokusai ke dalam kemiskinan. Meski ia telah mengirim cucunya ke pedesaan dengan ayahnya pada tahun 1830, akibat dari masalah finansial tersebut terus berkelanjutan untuk beberapa tahun berikutnya. Pada masa itu, ia bekerja pada Tiga Puluh Enam Pemandangan Gunung Fuji. Cartwright dan Nakamura (2009) menafsirkan kesengsaraan Hokusai sebagai sumber dari penggambaran yang kuat dan inovatif pada serial ini. Tujuan Hokusai dalam pembuatan serial ini terlihat untuk menggambarkan kontras antara Gunung Fuji yang suci dan kehidupan yang sekuler.
Setelah bekerja dan menggambar selama beberapa tahun, Hokusai sampai pada rancangan akhir untuk
Ombak Besar di Kanagawa pada akhir tahun 1831. Dua karya yang mirip dari sekitar 30 tahun sebelum penerbitan
Ombak Besar di Kanagawa bisa dianggap sebagai pelopor cetakan ini:
Kanagawa-oki Honmoku no Zu dan Oshiokuri Hato Tsusen no Zu, yang mana keduanya menggambarkan sebuah perahu (perahu layar pada cetakan pertama dan perahu dayung pada cetakan kedua)
di tengah sebuah badai dan
di dasar sebuah
Ombak Besar yang mengancam untuk menelan mereka.
Ombak Besar di Kanagawa menunjukkan keahlian Hokusai dalam menggambar. Cetakan ini, walau terlihat sederhana bagi pengamat, merupakan hasil dari proses refleksi metodik yang lama. Hokusai menetapkan basis dari metode ini dalam bukunya Pembelajaran Cepat dalam Menggambar Sederhana yang terbit pada tahun 1812, yang mana ia menjelaskan bahwa segala objek dapat digambar menggunakan hubungan antara lingkaran dan persegi: "Buku ini berisi petunjuk mengenai teknik menggambar hanya menggunakan sebuah penggaris dan kompas ... Metode ini dimulai dengan sebuah garis dan proporsi yang paling dapat dicapai secara alami". Pada pendahuluan bukunya, ia melanjutkan: "Segala bentuk mempunyai dimensinya sendiri yang perlu kita hormati ... Tidak dapat dilupakan bahwa hal-hal tersebut dimiliki oleh alam semesta yang keharmonisannya tidak boleh dirusak".
Hokusai kembali kepada gambar dari
Ombak Besar di Kanagawa beberapa tahun kemudian saat ia memproduksi Kaijo no Fuji untuk volume kedua dari Seratus Pemandangan Fuji. Cetakan ini berisi hubungan yang sama antara
Ombak dan gunung, dan memiliki semburan busa yang sama. Tidak ada manusia ataupun perahu pada cetakan tersebut, dan pecahan
Ombak bertepatan dengan terbangnya burung-burung. Walau
Ombak pada
Ombak Besar di Kanagawa bergerak pada arah yang terbalik dalam pembacaan Jepang – dari kanan ke kiri –
Ombak dan burung-burung
di Kaijo no Fuji bergerak secara bersamaan.
Pengaruh budaya Barat pada karya
= Perspektif
=
Konsep cetakan perspektif tiba
di Jepang pada abad ke-18. Cetakan-cetakan ini bergantung pada perspektif titik tunggal dibanding latar depan, latar tengah, dan latar belakang tradisional, yang selalu ditolak Hokusai. Objek-objek dalam cetakan tradisional Jepang dan dalam lukisan Timur Jauh secara umum tidak digambar dalam perspektif, tetapi, seperti
di Mesir kuno, ukuran-ukuran dari objek dan figur ditentukan pada kepentingan subjek dalam konteks yang ada.
Perspektif, yang pertama kali diterapkan dalam lukisan Barat oleh seniman-seniman abad ke-15 seperti Paolo Uccello dan Piero della Francesca, diperkenalkan kepada seniman-seniman Jepang melalui pedagang Barat, terutama pedagang Belanda, yang tiba
di Nagasaki. Okumura Masanobu dan terutama Utagawa Toyoharu membuat upaya pertama untuk meniru penggunaan perspektif Barat, memproduksi ukiran yang menggambarkan kanal-kanal
di Venesia atau reruntuhan Romawi Kuno dalam perspektif seawal tahun 1750.
Karya Toyoharu sangat memengaruhi cetakan lanskap Jepang, yang berkembang dengan karya-karya Hiroshige – seorang murid Toyoharu secara tidak langsung melalui Toyohiro – dan Hokusai. Hokusai mengenali perspektif Barat pada tahun 1790-an melalui investigasi Shiba Kōkan, yang pengajarannya ia manfaatkan.
di antara tahun 1805 dan 1810, Hokusai menerbitkan serial Cermin dari Gambar-gambar Belanda – Delapan Pemandangan Edo.
Ombak Besar di Kanagawa tidak akan menjadi sesukses itu
di Barat jika para audiens tidak memiliki rasa familieritas dengan karyanya. Karya ini diinterpretasi sebagai permainan Barat dilihat melalui pandangan orang Jepang. Menurut Richard Lane:Murid-murid dari Barat yang pertama kali melihat cetakan Jepang hampir selalu menetap pada kedua ahli lama [Hokusai dan Hiroshige] dalam mewakili puncak dari kesenian Jepang, sedikit menyadari bahwa sebagian dari apa yang mereka kagumi adalah hubungan tersembunyi yang mereka rasakan terhadap budaya Barat mereka sendiri. Ironisnya, itu adalah karya Hokusai ini dan Hiroshige yang membantu menghidupkan kembali lukisan Barat menuju akhir abad ke-sembilan belas, melalui kekaguman para Impresionis dan Pascaimpresionis.
= "Revolusi biru"
=
Selama tahun 1830-an, cetakan Hokusai mengalami sebuah "revolusi biru", saat ia menggunakan pigmen biru tua biru Prusia secara ekstensif. Ia menggunakan corak biru ini untuk
Ombak Besar di Kanagawa dengan indigo, corak biru yang halus dan cepat luntur yang seringkali digunakan dalam karya ukiyo-e pada waktu itu.
Biru Prusia, juga dikenal dalam bahasa Jepang saat itu sebagai Berlin ai (ベルリン藍code: ja is deprecated , disingkat menjadi bero ai (ベロ藍), secara harfiah "indigo Berlin"), mulai diimpor dari Holandia dari tahun 1820, dan digunakan secara luas oleh Hiroshige dan Hokusai setelah kedatangannya
di Jepang dalam jumlah yang
Besar pada tahun 1829.
10 cetakan pertama
di serial tersebut, termasuk
Ombak Besar di Kanagawa, merupakan salah satu cetakan Jepang pertama yang menampilkan biru Prusia, yang sangat mungkin disarankan kepada penerbit
di tahun 1830. Inovasi ini menjadi keberhasilan langsung. Pada awal Januari 1831, penerbit Hokusai Nishimuraya Yohachi (Eijudō) mengiklankan inovasi ini secara luas, dan pada tahun selanjutnya menerbitkan 10 cetakan berikutnya dalam serial Tiga Puluh Enam Pemandangan Gunung Fuji, dan khas untuk gaya biru dominan aizuri-e, dengan Kōshū Kajikazawa ("Kajikazawa
di Provinsi Kai") menjadi contoh yang terkemuka. Selain penggunaan ekstensif biru Prusia, sketsa dari 10 cetakan tambahan ini, dikenal secara keseluruhan sebagai ura Fuji ("Fuji dilihat dari belakang"), merupakan hitam sumi dengan tinta India.
Cetakan di dunia
Sekitar 1.000 kopi dari
Ombak Besar di Kanagawa dicetak pada awalnya, yang berakibat pada usangnya cetakan-cetakan edisi kemudian. Terdapat sekitar 8.000 kopi yang selanjutnya dicetak. Pada tahun 2022, sekitar 100 kopi diketahui masih bertahan.
Tanda-tanda pertama dari keusangan merupakan warna pink dan kuning pada langit, yang lebih pudar pada kopi yang usang. Hal ini berakibat pada awan-awan yang menghilang, langit yang lebih seragam, dan garis-garis rusak
di antara kotak yang mengandung judul. Beberapa kopi yang masih bertahan dirusak oleh cahaya, karena cetakan balok kayu dari zaman Edo menggunakan pewarna yang sensitif terhadap cahaya. Beberapa i yang menampilkan cetakan ini termasuk Museum Nasional Tokyo, Museum Ukiyo-e Jepang
di Matsumoto, British Museum
di London, Museum Seni Metropolitan
di kota New York, Institut Seni Chicago, Museum Seni Los Angeles County, Galeri Sackler
di Washington, D.C., Musem Impresionis Giverny
di Giverny, Museum Guimet dan Perpustakaan Nasional Perancis yang berada
di Paris, Museum Seni Oriental Edoardo Chiossone
di Genova, Palazzo Maffei Casa Museo
di Verona, Galeri Nasional Victoria
di Melbourne, Civico museo d'arte orientale
di Trieste, Museo d'arte orientale
di Turin, dan Perpustakaan Bavaria
di Munich. Beberapa institusi privat seperti Koleksi Gale juga memiliki kopi.
Beberapa kolektor privat pada abad ke-19 seringkali menjadi sumber dari cetakan-cetakan Jepang dalam sejumlah koleksi museum; sebagai contoh, kopi pada Museum Metropolitan berasal dari koleksi lama Henry Osborne Havemeyer, yang didonasikan ke museum tersebut oleh istrinya pada tahun 1929. Kopi pada Perpustakaan Nasional Prancis berasal dari koleksi Samuel Bing pada tahun 1888, dan kopi pada Museum Guimet merupakan warisan dari Raymond Koechlin, yang memberikannya ke museum tersebut pada tahun 1932.
Pada tahun 2023, salah satu dari cetakan yang dimiliki oleh sebuah keluarga pribadi sejak awal tahun 1900-an dan pernah dipajang
di Glyptotek, Kopenhagen, terjual dalam harga rekor, 2.8 juta dolar.
Catatan kaki
Sumber
Calza, Gian Carlo (2003). Hokusai. London: Phaidon. ISBN 978-0-7148-4304-9.
Cartwright, Julyan H. E.; Nakamura, Hisami (20 Juni 2009). "What kind of wave is Hokusai's Great wave off
Kanagawa?". Notes and Records of the Royal Society of London. 63 (2): 119–135.
Forrer, Matthi (1991). Hokusai: Prints and Drawings. Prestel Publishing. ISBN 9783791311319.
Forrer, Matthi (2018). "Hokusai, the old man mad about painting". Simiolus: Netherlands Quarterly for the History of Art. 40 (2/3): 195–209.
Guth, Christine M. E. (Desember 2011). "Hokusai's Great Waves in Nineteenth-Century Japanese Visual Culture". The Art Bulletin. 93 (4): 468–485.
Hillier, Jack (1970). Gale Catalogue of Japanese Paintings and Prints in the Collection of Mr. & Mrs. Richard P. Gale. 2. Routledge. ISBN 978-0-7100-6913-9.
Kikuchi, Sadao; Kenny, Don (1969). A Treasury of Japanese Wood Block Prints (Ukiyo-e). Crown Publishers. OCLC 21250.
Kobayashi, Tadashi (1997). Harbison, Mark A., ed. Ukiyo-e: An Introduction to Japanese Woodblock Prints (dalam bahasa Inggris). Kodansha International. ISBN 978-4-7700-2182-3.
Ornes, Stephen (2014). "Science and Culture: Dissecting the "Great Wave"". Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America. 111 (37): 13245. Bibcode:2014PNAS..11113245O. doi:10.1073/pnas.1413975111. ISSN 0027-8424. PMC 4169912 . PMID 25228754.
Salter, Rebecca (2001). Japanese Woodblock Printing. University of Hawaii Press. ISBN 978-0-8248-2553-9. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 May 2022. Diakses tanggal 21 May 2022.
Singer, Robert T. (Maret–April 1986). "Japanese Painting of the Edo Period". Archaeology. Archaeological Institute of America. 39 (2): 64–67. JSTOR 41731745.
Penkoff, Ronald (1964). Roots of the Ukiyo-e; Early Woodcuts of the Floating World (PDF). Ball State Teachers College. OCLC 681751700. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2 Juni 2022. Diakses tanggal 10 Juli 2022.
Weston, Mark (2002). Giants of Japan: The Lives of Japan's Greatest Men and Women. Kodansha International. ISBN 978-1-56836-324-0.
Pranala luar
The Metropolitan Museum of Art's (New York) entry on The Great Wave at
Kanagawa
BBC audio file A History of the World in 100 Objects
Study of original work opposed to various copies from different publishers
Templat:British-Museum-object