Penangkapan Pangeran Diponegoro (bahasa Belanda: Gevangenname van Prins
Diponegoro) adalah sebuah lukisan 1857 karya Raden Saleh, yang menggambarkan ditangkapnya
Pangeran Diponegoro oleh Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock pada 28 Maret 1830.
Pada tahun 1829-1851, Raden Saleh, di bawah naungan pemerintah Hindia Belanda, tinggal di Eropa, di mana ia menerima pendidikan seni. Setelah kembali ke tanah airnya, dia memutuskan untuk mempraktekkan apa yang telah dia pelajari di Eropa dan dengan demikian berkontribusi pada modernisasi Jawa. Untuk gambaran yang direncanakannya, Raden Saleh memilih plot dari sejarah Jawa, yaitu penyerahan pemimpin pemberontakan Jawa dari
Diponegoro kepada pasukan kolonial di bawah komando Letnan Jenderal Hendrik Mercus de Kock yang terjadi pada tahun 1830.
Diketahui keluarga Saleh mendukung
Diponegoro, banyak kerabatnya ikut serta dalam pemberontakan. Menurut kritikus, sehubungan dengan ini, Saleh ingin menampilkan versinya sendiri, non-kolonial — berbeda dengan karya oleh seniman Belanda Nicolaas Pieneman dalam lukisan berjudul Penyerahan
Pangeran Diponegoro kepada Jenderal De Kock (1830-1835).
Dalam lukisan kedua seniman itu,
Diponegoro berdiri di sebelah de Kock di tangga sebuah rumah kolonial, dikelilingi oleh perwira Belanda dan orang Jawa yang dilucuti. Namun Saleh mengisi karyanya dengan suasana kesedihan, menggambarkan
Diponegoro dan de Kock sejajar dengan latar fajar hari baru, sehingga mengisyaratkan, menurut para kritikus, pembebasan masa depan Jawa dari kolonialisme.
Saleh melukis lukisan itu pada tahun 1856-1857, setelah itu ia secara pribadi menyerahkannya kepada Raja Willem III dari Belanda. Pada tahun-tahun berikutnya, kanvas ini disimpan di Istana Het Loo, Den Haag. Pada tahun 1978, lukisan itu disumbangkan kepada pemerintah Indonesia yang sudah merdeka, setelah itu dipamerkan di Museum Nasional Indonesia dan Istana Kepresidenan di Jakarta. Karena lukisan tersebut berada dalam keadaan yang buruk, lukisan tersebut sepenuhnya direstorasi pada tahun 2013. Kini lukisan tersebut menjadi bagian dari koleksi Museum Kepresidenan.
Catatan sejarah
Diponegoro (1785-1855), keturunan Sultan Yogyakarta dan putra tertua Hamengkubuwono III, dilewati dalam suksesi takhta tetapi tidak melepaskan klaim kepemimpinannya di kalangan priyayi. Dengan deklarasi perang suci melawan penjajah dan proklamasi dirinya sebagai Ratu Adil, ia memberontak melawan sultan yang berkuasa dan pemerintah kolonial Belanda.
Dalam perang yang diselenggarakan 5 tahun berikutnya di sebagian besar wilayah Jawa Tengah, lebih dari 200.000 tentara Jawa dan 15.000 tentara Belanda tewas. Setelah serangkaian kemenangan besar, sebagian besar pemimpin pemberontakan ditangkap dan peperangan mencapai titik balik yang menguntungkan Belanda. Pada tanggal 28 Maret 1830,
Diponegoro diundang oleh Letnan Hendrik Merkus de Kock ke wisma keresidenan di Magelang untuk menandatanggani perjanjian perdamaian dan mengakhiri permusuhan. Ia ditangkap karena kebuntuan dalam negosiasi setelah menolak untuk mengakui statusnya sebagai pemuka agama umat Islam se-Pulau Jawa.
Kemudian dia dimasukkan ke dalam kereta ke Batavia (nama lama dari Jakarta), dari mana dia dikirim ke Manado di pulau Sulawesi; kemudian dipindahkan ke Makassar, di mana ia meninggal dalam pengasingan dua dekade kemudian.
Diponegoro meninggalkan sejarah pemberontakan Jawa yang ditulis secara pribadi beserta autobiografinya.
Kemudian pada masa Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20 yang berawal dari didirikannya Boedi Oetomo oleh siswa dari STOVIA, sosok
Pangeran yang diasingkan ditemukan kembali dan dipercepat oleh seni populer serta politik organisasi pemuda nasionalis dan Islam menghasilkan pemimpin Perang Jawa tersebut menjadi tokoh simbol dalam pergerakan nasional. Tokoh-tokoh kunci seperti Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) dan penulis biografi pertama
Diponegoro, Mr Muhammad Yamin (1903-1962), memperkenalkan sang
Pangeran kepada khalayak Indonesia modern untuk pertama kalinya dan menjadikannya sebagai pemantik perjuangan kemerdekaan. Dalam kerangka konstruksi ideologis Indonesia merdeka, ada pendapat bahwa bangsa Indonesia muncul dalam nyala api perang Jawa serta ingatan akan perjuangan, prestasi, dan penderitaan
Diponegoro membuka jalan bagi pembebasan bangsa Indonesia dari belenggu kolonialisme akhirnya pada tahun 1945. Pada tahun 1973,
Diponegoro secara anumerta diproklamasikan sebagai "Pahlawan Nasional Indonesia".
Hampir setiap kota di Indonesia memiliki jalan atau alun-alun yang diambil dari nama
Diponegoro, sebuah universitas di Semarang diambil namanya dan sebuah monumen didirikan di Jakarta. Sebuah museum di Magelang tempat
Diponegoro ditangkap telah dibangun dan dibuka untuk umum.
Komposisi
Lukisan berukuran 112 × 179 cm ini dilukis dengan cat minyak di atas kanvas. Fajar terlihat, pemandangan pegunungan, dan gersang, cuaca tenang tanpa angin, tak ada sehelai daun pun yang bergoyang di pepohonan. Lukisan tersebut terbentang ke arah tepi kanan kanvas, menghadap ke timur laut, tempat sinar matahari terbit dapat dilihat.
Pangeran Diponegoro, yang merupakan tokoh sentral dari gambar itu, berdiri di depan Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock di tangga sebuah rumah besar dengan tiang-tiang.
Diponegoro berpakaian sebagai seorang pejuang Muslim dalam jubah putih dengan celana panjang, selendang disampirkan di bahunya, dan ikat pinggang bersulam emas, yang menjadi tempat untuk menggantung tasbih.
Karena
Penangkapan Diponegoro terjadi pada bulan Ramadan, ketika umat Islam dilarang melakukan permusuhan, senjata khas
Pangeran, keris, tak terlihat di ikat pinggangnya yang seharusnya menunjukkan niat damainya. Di kepala
Pangeran adalah sorban hijau, melingkari topi yang dicat warna putih dan merah sebagai simbol perjuangan dan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial, yang muncul jauh sebelum diadopsi sebagai bendera Indonesia.
Diponegoro berdiri di depan de Kock dalam pose menantang, pada tingkat yang sama, saling berhadapan sebagai manifestasi dari fakta bahwa orang Jawa sejajar dengan orang Belanda. Letnan jenderal dengan sikap angkuh menunjukkan kepada
Pangeran kereta kuda yang akan membawanya ke pengasingan.
Diponegoro tampaknya berjuang untuk menahan perasaannya, seperti yang diharapkan dari seorang priyayi, tetapi wajahnya masih penuh kemarahan dan penghinaan. Bahasa tubuh
Diponegoro, khususnya sikap tegas yang dipadukan dengan dagu yang terangkat dan dada yang membusung, menunjukkan bahwa ia tak takut pada Belanda. Di dekatnya, di sisi kiri de Kok, terlihat sekelompok perwira Belanda, diantaranya sejarawan seni mengidentifikasikannya sebagai Kolonel Louis du Perr, Letnan Kolonel V. A. Rust, Ajudan Mayor François Vincent Henri Antoine de Stuers.
Orang Belanda bergaya dalam pose statis dan melihat ke kejauhan tanpa menatap siapa pun. Di sebelah kanan
Diponegoro berdiri, mungkin putranya, Raden Mas Sodewo, di belakangnya adalah residen Kedu, Franciscus Gerard Valk, Mayor Johan Jacob Perier, dan Kapten Johan Jacob Rups. Seorang wanita, mungkin istrinya Raden Ayu Retnaningsih, telah jatuh di kaki
Diponegoro berharap
Pangeran tidak dibawa pergi, dia mengulurkan tangannya kepadanya.
Diponegoro dikelilingi oleh pengikutnya yang dilucuti yang berbondong-bondong secara tidak teratur — dari prajurit biasa sampai bangsawan yang mengenakan sarung bermotif. Dengan menggunakan teknik kedalaman ruang, Saleh menggambarkan dengan sangat detail orang-orang yang berdiri di latar depan, sedangkan garis luar lainnya di latar belakang sengaja diburamkan.
Kepala orang Belanda yang digambarkan tampak lebih besar ketimbang tubuh mereka, sedangkan kepala orang Jawa proporsional secara realistis. Saleh 2 kali menggambarkan dirinya di kanvasnya sendiri di tengah kerumunan pengikut
Diponegoro: ciri mukanya dapat dilihat pada seorang Jawa yang jatuh di kaki pemimpin pemberontakan serta pada orang lain yang berdiri di dekatnya.
Komposisi di lukisan cenderung peningkatan bertahap dalam strukturnya di sepanjang diagonal: pose karakternya berganti dari yang duduk dan berlutut hingga mereka yang berdiri dalam pertumbuhan penuh. Kanvas itu penuh dengan suasana kesedihan dengan penggambaran wajah-wajah termenung para pengikut
Diponegoro dan cara-cara kasar para perwira Belanda, tanpa adanya manifestasi kemenangan kolonialisme atas harkat dan martabat orang Jawa.
Konteks dan kreasi
Raden Saleh lahir di Terboyo, Semarang; tanggal yang berbeda diberikan sebagai tahun kelahirannya 1806, 1807, 1811, 1814. Saleh berasal dari keluarga priyayi Jawa-Arab. Pada tahun 1829, setahun sebelum
Penangkapan Diponegoro, Saleh meninggalkan Hindia Timur dan tinggal lebih dari 20 tahun di Eropa (Belanda, Jerman, Prancis, Belgia, Italia, Inggris).
Kepindahan Saleh ke Eropa dibiayai secara pribadi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Godert van der Capellen yang tidak memiliki pengetahuan tentang seni Jawa sedangkan ongkos sewa rumahnya di Eropa dilunaskan dari pensiun yang dibayarkan oleh pemerintah Belanda. Saleh belajar dengan Antoine Payen dari Belgia, Cornelis Kruseman dari Belanda, Andreas Schelfhout, Johan Dahl dari Norwegia, Eugène Delacroix dari Prancis, dan Horace Vernet, setelah mengalami pengaruh romantisme yang kuat.
Karena diterima dengan baik di kalangan atas masyarakat Eropa dan setelah belajar berbicara beberapa bahasa, Saleh berkenalan dengan warisan intelektual berusia berabad-abad dan menjadi bagian dari sejarah seni rupa Eropa, itulah sebabnya ia memutuskan untuk mentransfer pengalamannya dan pengetahuan ke tanah Jawa, mencerminkan sejarahnya dalam karya-karyanya dan menerima partisipasi dalam proses modernisasi demokrasi tanah air.
Ketertarikan Saleh pada
Diponegoro muncul jauh sebelum ia kembali ke Jawa. Pada tahun 1825, tahun dimulainya pemberontakan Jawa, Saleh berumur 14 tahun dan tinggal di Jawa Barat, jauh dari teater operasi, dan pada tahun 1830 saat
Diponegoro ditangkap, seniman itu sudah belajar di Eropa. Saleh tidak pernah bertemu langsung dengan
Diponegoro, tetapi keluarganya terlibat dalam pemberontakan Jawa; khususnya paman dan sepupu Saleh bertempur di pihak pemberontak serta setelah kekalahan mereka ditangkap lalu diasingkan.
Pada tahun 1831, setahun setelah pemberontakan berakhir, Saleh, sebagai pakar budaya Jawa yang terkenal, diundang oleh Pieter van de Castele untuk mengidentifikasi satu keris. Keris Jawa ini termasuk di antara beberapa yang diambil selama
Penangkapan Diponegoro pada tahun 1830 dan kemudian dikirim sebagai hadiah kepada Raja Willem I dari Belanda. Saleh menyusun laporan di mana ia memberikan penguraian kode tulisan Kyai Nogo Siluman pada keris tersebut, menandakan bahwa keris tersebut milik
Diponegoro. Nasib keris selanjutnya tak diketahui, yang menimbulkan banyak rumor, sampai-sampai Saleh bisa mengambil keris untuk dirinya sendiri.
Pada tahun 1830-1835, atas pesan dari keluarga de Kock atau mungkin dirinya sendiri, seniman Belanda Nicholas Pineman melukis
Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Letnan Jenderal Baron de Kock (77 × 100 cm, 1830-1835). Alih-alih seorang pemimpin pemberontakan yang marah dan menantang, kanvas itu menggambarkan orang yang penuh kerendahan hati, seorang pria yang tunduk dan kalah dengan tangan ke bawah.
Diponegoro berdiri di bawah de Kock yang menunjukkan kepadanya kereta yang akan membawa
Pangeran ke pengasingan. Dengan demikian Pinneman secara simbolis menunjukkan bahwa
Diponegoro telah kehilangan kekuasaannya. Secara keseluruhan, gambar Pineman memberi kesan bahwa meskipun de Kock menunjukkan kekejaman terhadap
Diponegoro, pengaturan
Penangkapan dan pengasingannya adalah demi kepentingan terbaik orang Jawa seperti seorang ayah yang penuh kasih mengasingkan putranya yang bersalah untuk memberinya pelajaran berharga.
Kritikus seni menyebut karya Pineman dan Saleh sebagai 2 lukisan paling terkenal tentang sejarah Indonesia. Pineman melukis gambarnya segera setelah berakhirnya perang Jawa yaitu jauh sebelum Saleh. Pineman belum pernah ke Pulau Jawa dan dalam karyanya dipandu oleh sketsa yang dilukis oleh Mayor François de Stuers yang adalah menantu de Kock. Sketsa itu yang dibuat langsung saat
Diponegoro ditangkap sekarang ini diketahui hanya dari litograf, karena orisinilnya disimpan di perpustakaan Adipatni Anna Amalia di Weimar dan dibakar bersamanya pada tahun 2004.
Sekitar waktu yang sama, de Kock juga menugaskan potret dirinya dari Pineman (106 x 90 cm, setelah 1826). Saleh mungkin pernah menjadi mahasiswa Pineman dan terlibat dalam lukisan potret, misalnya dia bisa sibuk mengisi latar belakangnya.
Pada tahun 1851, Saleh pulang ke Pulau Jawa. Karena berpendidikan lebih baik daripada sebagian besar orang Belanda yang tinggal di Hindia Timur, ia tidak menganggap dirinya ″adik″ mereka dan karena itu melakukan segalanya untuk melawan prasangka masyarakat lokal, khususnya, dengan pilar fundamental kolonialisme yaitu supremasi kulit putih.
Saleh tentu saja akrab dengan lukisan karya Pineman, salah satu seniman Belanda paling terkenal pada masanya dan bahkan mungkin berhasil membuat salinannya. Saleh berniat menantang versi visual Belanda tentang peristiwa sejarah penting seperti
Penangkapan Diponegoro dan ingin menyajikannya dalam versi Jawanya sendiri, yang tidak sejalan dengan pemikiran kolonial Pineman.
Perbedaan juga terlihat pada nama lukisan "Penyerahan" oleh Pineman dengan "
Penangkapan" oleh Saleh. Orang dapat melihat petunjuk bahwa
Diponegoro tidak tunduk kepada Belanda. Dorongan untuk pemilihan tema mungkin adalah kematian
Diponegoro pada tahun 1855. Pada tahun 1856, untuk membuat sketsa lukisan masa depan, Saleh mengajukan izin kepada pemerintah kolonial untuk melakukan perjalanan ke kerajaan asli Jawa Tengah terkait dengan pemberontakan Jawa. Tetapi administrasi kolonial menolak dengan argumennya bahwa bahkan 30 tahun kemudian, waktunya belum tiba bagi penduduk setempat untuk menyegarkan kembali pertempuran sengit dari perang zaman dulu itu.
Kurangnya dukungan dari pemerintah tak menghalangi Saleh untuk menjalankan rencananya. Sebelumnya, pada tahun 1852-1853, ia pergi mengunjungi kerabat jauhnya, Raden Adipati Hario Danoe Ningrat yang menjabat Bupati Magelang dan karena itu memiliki pengetahuan yang baik tentang lanskap dan populasi daerah tersebut.
Pada tahun 1856, Saleh membuat sketsa awal pertama dan satu-satunya yang diketahui untuk karya masa depan (43,5 × 58 cm, tinta di atas kertas, museum Atlas van Stolk di Rotterdam). Dia sebelumnya tidak pernah mengerjakan komposisi seperti itu. Lebih dari 40 orang harus menemukan tempat mereka, yaitu jauh lebih banyak ketimbang karya Pineman, tetapi dia dengan sepatutnya mengatasi tugas seperti itu.
Sketsanya mirip dengan karya Pineman, tetapi hubungan antara de Kock dan
Diponegoro yang ditunjukkan Saleh digambarkan dengan cara yang sama sekali berbeda. Lukisan besar (112 x 179 cm, minyak di atas kanvas) selesai pada tahun 1857 di Batavia (kini Jakarta). Dalam sebuah surat kepada temannya Ernst II, Adipati Sachsen-Coburg dan Gotha yang sangat akrab dengannya sejak keberadaannya di Eropa Saleh juga menggambarkan pekerjaan barunya sebagai "sebuah pemandangan bersejarah,
Penangkapan pemimpin Jawa
Diponegoro".
"
Penangkapan" adalah lukisan sejarah pertama di Asia Tenggara sekaligus karya pertama bertema sejarah oleh Raden Saleh, yang pada gilirannya adalah pelukis Jawa pertama dengan pendidikan seni Eropa dan seniman Asia Timur pertama yang mencerminkan apa yang terjadi di tanah airnya sendiri. Sementara itu, Saleh terlalu terpelajar baik bagi orang Jawa sendiri maupun bagi penjajah Belanda yang mendambakan ketaatan buta dan karena itu tidak dapat menemukan tempatnya di kedua dunia ini. Setelah gagal mendapatkan pengakuan setara dengan Belanda, Saleh meninggal pada tahun 1880 di Buitenzorg (kini Bogor), dalam keadaan lelah dan hancur secara emosional.
Nasib selanjutnya
Lukisan yang telah selesai, bersama dengan dua lukisan lainnya disumbangkan secara pribadi oleh Saleh kepada Raja Willem III dari Belanda sebagai tanda terima kasih karena pemerintah Belanda telah membiayai pendidikan mereka di Eropa selama hampir 20 tahun. Pada tahun 1883, karya tersebut dipamerkan di Pameran Kolonial Internasional di Amsterdam dan pada tahun 1894 di pameran yang sama di Antwerpen. Sampai tahun 1905, lukisan itu digantung di istana kerajaan Het Loo di Apeldoorn, kemudian dipindahkan ke Istana Huis-ten-Bos di Den Haag, dan kemudian ke istana Bronbeck di Arnhem.
Pada awal 1970-an, lukisan itu dipulihkan, khususnya, lapisan pernis kedua diterapkan di atas lapisan pernis yang dibikin oleh Saleh sendiri. Pada tahun 1978, Yayasan Orange-Nassau mengatur sumbangan lukisan kepada pemerintah Indonesia, bersama dengan artefak Jawa lainnya, sesuai dengan ketentuan Perjanjian Kerjasama Kebudayaan 1969 antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Hindia Belanda. Sebelumnya, pada tahun 1970, pada saat kunjungan Presiden Indonesia Soeharto ke Belanda, lukisan Saleh lainnya yang dipersembahkan kepada raja dikembalikan kepada pemerintah Indonesia.
Hingga akhir tahun 1980-an, lukisan itu dipamerkan bersama dengan artefak pemberontakan Jawa di Museum Nasional Indonesia dan kemudian dipindahkan ke koleksi Istana Kepresidenan. Pada tahun 2005, lukisan itu ternyata dalam kondisi yang sangat buruk, sehingga tak dipamerkan di pameran. Tepi kanvas menjadi rapuh, sedangkan pernis lama memberi warna coklat kehijauan. Mengingat kerusakan yang sangat besar pada lukisan yang memiliki nilai sejarah yang besar maka pada tahun 2013, Institut Goethe dan Yayasan Jojohadikusumo menyelenggarakan pemugaran lukisan dibawah arahan pemulih Susanne Ehrhards yang telah menangani restorasi karya Saleh.
Setelah menganalisis komposisi pernis lama itu dihapus, setelah itu warna memperoleh kecerahan aslinya dan kemudian kanvas diperkuat dengan lapisan dan dipindahkan ke tandu baru. Kemudian restorasi mengganti lapisan cat yang hilang dengan bantuan cat air agar tak mempengaruhi cat minyak yang digunakan oleh seniman, dan kemudian lapisan pernis baru diterapkan. Setelah direstorasi, lukisan itu dipamerkan pada pameran karya Saleh di Galeri Nasional Indonesia pada tahun 2015.
Pada tahun 2014, lukisan tersebut dipindahkan dari Istana Merdeka ke Istana Gedung Agung. Istana tersebut dibangun hanya selama pemberontakan
Diponegoro dan arsiteknya adalah Antoine Payen yang merupakan guru seni Saleh. Lukisan tersebut berada di ruang pamer utama keraton, dalam koleksi Museum Istana Kepresidenan Yogyakarta.
Sejumlah karya Saleh lainnya juga disimpan disana. Pada tahun 2016, lukisan itu dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia, didedikasikan untuk peringatan 71 tahun kemerdekaan Indonesia dan dibuka oleh Presiden Jokowi.
Tanggapan
Lukisan yang bercirikan komposisi yang seimbang dan berkesinambungan ini dianggap sebagai salah satu mahakarya Saleh, contoh teknik artistiknya yang luar biasa serta semacam ikon seni rupa nasional Indonesia.
Sejumlah kritikus memandang lukisan Saleh sebagai salah satu contoh pertama nasionalisme Asia dalam seni. Werner Kraus mencatat bahwa dengan penggambaran de Kock di sisi kiri
Diponegoro dan ini dianggap oleh orang Jawa sebagai sisi perempuan, Saleh menempatkannya di posisi kedua setelah
Diponegoro. Kraus juga menunjukkan kepala perwira Belanda yang terlalu besar dan tak ada dalam sketsa awal, kelalaian Saleh yang disengaja seperti itu dapat membuat orang Jawa berpikir bahwa mereka semua adalah raksasa, monster jahat. Beberapa kritikus menganggap ini sebagai ketidakmampuan Saleh sebagai seniman; secara khusus Hermanus de Graaf menemukan gambar itu tidak terlalu indah karena ketidakseimbangan kepala dalam kaitannya dengan tubuh dan juga mencatat bahwa "
Penangkapan Pangeran sebenarnya terjadi bukan di halaman depan dekat barisan tiang, seperti yang ditunjukkan pada gambar Saleh, tapi di dalam rumah".
Poin lainnya adalah tak ada bendera Belanda dalam lukisan Saleh, tidak seperti lukisan Pieneman yang berkibar bangga ditiup angin. Selain itu, pada lukisan Saleh, struktur komposisinya tampaknya merupakan ″cerminan″ dari karya Pieneman. Dalam hal ini menurut Kraus, kanvas Saleh memiliki makna ganda yaitu satu untuk orang Jawa dan satu untuk orang Belanda yang tak terbiasa dengan tradisi budaya Jawa dan tak dapat memahami bahwa karya itu adalah penghakiman pahit kekuasaan kolonial Belanda sedangkan
Diponegoro sendiri adalah orang yang ditipu oleh tipu muslihat Belanda
John Clark menulis bahwa lukisan itu adalah salah satu contoh paling awal dari ekspresi nasionalisme, sekaligus mewujudkan pesan yang tak biasa kepada raja Belanda dan dianggap sebagai penguasa yang agak liberal: "Anda melakukan ini pada kami, tetapi kami masih bersama Anda". Sementara itu, tampaknya tidak mungkin orang Jawa memiliki cukup waktu untuk membiasakan diri dengan kanvas Saleh dan menemukan makna rahasianya, karena karya itu segera dikirim ke raja di Belanda.
Pada saat yang sama, kritikus lain, baik Indonesia maupun Barat, menunjukkan tak adanya unsur nasionalisme dalam gambar tersebut. Dengan demikian, Harsja W. Bachtiar menulis bahwa tidak ada alasan tersembunyi apapun dalam mempersembahkan lukisan itu sebagai hadiah kepada raja. Pada hematnya tindakan Saleh hanya merupakan refleksi dari hubungan antara punggawa dan tuannya, seniman dan pelindungnya. Astrid Wright mengungkapkan pandangan yang sama mengenai penggambaran hasil sial yang tidak dapat diubah dari pemberontakan Jawa sebagai peringatan bagi para pemberontak potensial, sehubungan dengan itu dia menyarankan bahwa lukisan itu mungkin ditugaskan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda sendiri. Susie Protschki juga tak menemukan bukti perlawanan terhadap kekuasaan kolonial dalam lukisan itu, mencatat bahwa dengan mempersembahkan karyanya kepada raja Belanda Saleh mengakui otoritasnya atas tanah airnya. Dalam konteks ini dia dan kritikus lain telah menarik kesejajaran dengan sisa karya Saleh, beberapa potret gubernur jenderal Belanda yang digambarkan sebagai penguasa tak terbantahkan di Indobesia.
Misalnya, potret Jean Chrétien Baud (119 × 97 cm, 1835), Johannes van den Bosch (115 × 97 cm, 1836), Herman Willem Daendels (119 × 98 cm, 1838).
Pada gilirannya, Peter Carey menunjukkan bahwa mempersembahkan lukisan itu sebagai hadiah kepada Raja Belanda adalah gerakan ambigu yang cerdik, karena matahari terbit yang digambarkan di latar belakang kanvas mengisyaratkan bahwa pelestarian kenangan
Diponegoro, kejeniusan, dan penderitaannya suatu saat akan membawa pada pembebasan bangsa dari belenggu penjajahan. Peter Carey juga mencatat bahwa matahari terbit yang digambarkan oleh Saleh membawa semacam kabut tembus pandang ke atmosfer lanskap Jawa yang megah. Meski
Penangkapan Diponegoro sebenarnya terjadi pada sore hari, menurut Kraus, matahari terbit sengaja dimasukkan oleh Saleh ke dalam komposisi dan melambangkan awal era baru dalam sejarah Jawa itu sendiri dan masa depan Indonesia secara keseluruhan.
Saleh mungkin menemukan inspirasi dalam karya para pendahulunya, khususnya Belanda. Palet warna yang digunakan dalam ″
Penangkapan Diponegoro″ mengingatkan pada lukisan kehidupan Horace Vernet dan Eugène Delacroix yang akrab dengan Saleh. Postur dan gerak tubuh de Kock mirip dengan yang digambarkan dalam karya orang Belanda Barend Weinveld yang berjudul "Kemenangan di Palembang" (39 × 56 cm, setelah 1835). Dalam lukisan tersebut, de Kock juga digambarkan mengirim Sultan Mahmud Badaruddin II dari Kesultanan Palembang ke pengasingan, sembilan tahun sebelum
Penangkapan Diponegoro. Rupanya, de Kock dilukis oleh Saleh dalam pose seperti itu, termasuk dibawah pengaruh lukisan Renaisans Italia. Paralel juga dapat digambar dengan lukisan seniman Belgia Louis Galle berjudul "Abdikasi Charles V" (485 × 683 cm, 1841).
″
Penangkapan Diponegoro″ dan "Abdikasi Charles V" serupa dalam arah komposisi sepanjang diagonal serta solusi dinamis dari pose karakter khususnya 2 karakter sentral. Turun takhta Charles V adalah titik balik dalam sejarah Belanda dan Belgia. Setelah kenaikan takhta Philip II, pemberontakan Belanda pecah melawan kekuasaan Spanyol.
Saleh pasti melihat karya Halle di pameran lukisan Belgia di Dresden, sehubungan dengan itu "
Penangkapan", menurut Kraus dapat diartikan sebagai pernyataan yang ditujukan kepada pemerintah Belanda: "Perang kemerdekaan yang kita lakukan hari ini menyerupai perang yang anda lakukan 400 tahun yang lalu.”
Dampak budaya
Pada tahun 1995, penyair Taufik Ismail mendedikasikan puisi berjudul "
Pangeran Diponegoro" yang mendeskripsikan lukisan ini serta sebagai penghormatan kepada sang pelukis, Raden Saleh. Pada tahun 2001, seniman Yogyakarta Rudy Vinarso membuat versi parodi lukisan itu, yang menggambarkan Saleh bersama
Diponegoro sebagai tawanan oleh Pineman, de Kock, dan Raja Willem III.
Pada tahun 2010, koreografer Indonesia Sardono Kusumo menggunakan reproduksi lukisan skala besar sebagai latar belakang Opera
Diponegoro berdasarkan buku Peter Carey. Pada tahun 2012, plot lukisan itu direproduksi dalam pertunjukan wayang kulit pada pameran karya Saleh di Galeri Nasional Indonesia..
Pada tahun 2022, Visinema Picture mengangkat lukisan ini sebagai plot utama film drama aksi perampokan berjudul Mencuri Raden Saleh yang disutradarai dan ditulis oleh Angga Dwimas Sasongko, dan komplotan pencuri yang diperankan oleh Iqbaal Ramadhan, Angga Yunanda, Rachel Amanda, Umay Shahab, Aghniny Haque, dan Ari Irham.
Referensi
Daftar pustaka
Pranala luar
"
Penangkapan Pangeran Diponegoro". Direktorat Jenderal Kebudayaan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-12-04. Diakses tanggal 2019-12-01.