Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera; bahasa Inggris: Determination of the People's Opinion atau dikenal dengan sebutan Act of Free Choice; bahasa Indonesia: Tindakan Pilihan Bebas) adalah pemilihan umum kontroversial yang diadakan pada tanggal 14 Juli–2 Agustus 1969 untuk menentukan status daerah bagian barat Pulau Papua, antara merdeka atau bergabung dengan Indonesia. Dan hasilnya: 1.025 laki-laki dan perempuan Papua yang dipilih sendiri oleh tentara Indonesia setuju (secara lisan) untuk bergabung dengan Indonesia.
Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima hasilnya dalam Resolusi 2504 (XXIV) Majelis Umum. Kesahan hasilnya dianggap kontroversial oleh banyak pihak hingga sekarang. Karenanya, nama Pepera yang sering disebut Act of Free Choice dalam bahasa Inggris, sering dikritik menjadi "Act of No Choice".
Dasar
Referendum ini beserta pelaksanaannya dijelaskan dalam Perjanjian New York. Pasal 17 menyatakan:
"Indonesia akan meminta Sekretaris Jenderal untuk menunjuk seorang Wakil yang" .. "akan mewakili Sekretaris Jenderal untuk memberikan saran, membantu, dan berpartisipasi dalam persiapan
Penentuan Pendapat Rakyat yang akan menjadi tanggung jawab Indonesia. Pada waktu yang tepat, Sekretaris Jenderal akan menunjuk Utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa agar ia dan stafnya melanjutkan dinas mereka di wilayah ini satu tahun menjelang
Penentuan nasib sendiri." .. "Utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan stafnya akan mendapatkan hak bebas bepergian (freedom of movement) yang sama seperti personel yang dimaksud dalam Pasal XVI".
Pasal 18 menyatakan:
Pasal XVIII
Indonesia akan melakukan persiapan, dengan bantuan dan partisipasi Utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan stafnya, untuk memberikan kesempatan memilih secara bebas kepada masyarakat di wilayah ini. Persiapan yang dimaksud meliputi:
a. Konsultasi (musyawarah) dengan dewan perwakilan mengenai prosedur dan metode yang harus diikuti untuk menjamin kehendak masyarakat yang dinyatakan secara bebas.
b.
Penentuan tanggal pelaksanaan
Penentuan Pendapat Rakyat dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Perjanjian ini.
c. Perumusan pertanyaan yang sedemikian rupa sehingga memungkinkan masyarakat untuk memutuskan (a) apakah mereka ingin tetap dengan Indonesia; atau (b) apakah mereka ingin memutus hubungan dengan Indonesia.
d. Kelayakan semua orang dewasa, laki-laki dan perempuan, yang bukan warga negara asing untuk berpartisipasi dalam
Penentuan nasib sendiri yang akan dilaksanakan sesuai dengan praktik internasional, yang bertempat tinggal di wilayah ini pada saat Perjanjian ini ditandatangani, termasuk penduduk yang pergi setelah 1945 dan pulang untuk tinggal di wilayah ini setelah pemerintahan Belanda berakhir.
Proses
Menurut Pasal 17 Perjanjian New York, plebisit baru bisa dilaksanakan satu tahun setelah utusan PBB Fernando Ortiz-Sanz, Duta Besar Bolivia untuk PBB, tiba di Irian Barat pada tanggal 22 Agustus 1968.
Perjanjian New York menggariskan bahwa semua laki-laki dan perempuan di Papua yang bukan warga negara asing punya hak memilih dalam Pepera. Jenderal Sarwo Edhie Wibowo malah memilih 1.025 laki-laki dan perempuan Melanesia untuk mewakili 800.000 penduduk Irian Barat. Mereka diminta memilih dengan mengangkat tangan atau membaca kalimat yang sudah disiapkan di hadapan pengamat Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mereka memilih secara terbuka dan semuanya mendukung pemerintahan Indonesia. PBB menerima hasilnya dengan mengesahkan Resolusi 2504 di Majelis Umum. Menurut Hugh Lunn, seorang wartawan Reuters, laki-laki yang dipilih sebagai peserta Pepera mengalami pemerasan supaya menolak kemerdekaan. Mereka beserta anggota keluarga mendapat ancaman kekerasan. Beberapa kawat diplomatik mencantumkan bahwa para diplomat AS menduga Indonesia tidak akan menang apabila pemilihannya dilakukan secara jujur dan adil. Mereka juga menduga pemilihan ini tidak dilaksanakan secara bebas, tetapi mereka memandang Pepera "tidak bisa diapa-apakan lagi" dan "tidak terlalu menyangkut kepentingan Amerika Serikat". Ortiz-Sanz menulis dalam laporannya bahwa "
Penentuan Pendapat Rakyat telah dilaksanakan sesuai praktik di Indonesia", tetapi ia tidak menyebutkan apakah pemilihan ini sesuai dengan praktik internasional yang dimandatkan.
Tahap-tahap Pepera
Sebagai bagian dari perjanjian New York, Indonesia sebelum akhir tahun 1969 wajib menyelenggarakan
Penentuan Pendapat Rakyat di Irian Barat. Pada awal tahun 1969, pemerintah Indonesia mulai menyelenggarakan Pepera. Penyelenggaraan Pepera dilakukan 3 tahap yakni sebagai berikut,
Tahap pertama dimulai pada tanggal 24 Maret 1969. Pada tahap ini dilakukan konsultasi dengan dewan kabupaten di Jayapura mengenai tata cara penyelenggaraan Pepera.
Tahap kedua diadakan pemilihan Dewan Musyawarah Pepera yang berakhir pada bulan Juni 1969.
Tahap ketiga dilaksanakan Pepera dari kabupaten Merauke dan berakhir pada tanggal 4 Agustus 1969 di Jayapura.
Pelaksanaan Pepera itu turut disaksikan oleh utusan PBB, utusan Australia dan utusan Belanda. Ternyata hasil Pepera menunjukkan masyarakat Irian Barat menghendaki bergabung dengan NKRI. Hasil Pepera itu dibawa ke sidang umum PBB dan pada tanggal 19 November 1969, sidang umum PBB menerima dan menyetujui hasil-hasil Pepera.
Tuntutan pemungutan suara ulang
Penentuan Pendapat Rakyat, PEPERA sering disebut sebagai Act of Free Choice; bahasa Indonesia: Tindakan Pilihan Bebas yang kemudian diubah menjadi Act of No Choice; bahasa Indonesia: Tindakan Tanpa Pilihan oleh aktivis separatis Papua. Banyak aktivis tersebut menuntut referendum baru yang melibatkan setiap warga Papua. Setelah jatuhnya Soeharto tahun 1998, Uskup Agung Desmond Tutu dan sejumlah anggota parlemen Eropa dan Amerika Serikat meminta Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan untuk meninjau ulang peran PBB dalam Pepera sekaligus keabsahan hasilnya. Sejumlah pihak meminta PBB mengadakan referendumnya sendiri dengan kriteria pemilih yang telah tertuang dalam Perjanjian New York. Mereka juga menyoroti izin tambang yang dijual Indonesia ke Freeport-McMoRan pada 1967 dengan masa kontrak 30 tahun. Sikap resmi pemerintah Indonesia dan PBB adalah penerimaan hasil Pepera oleh Majelis Umum PBB merupakan bentuk pengakuan atas pelaksanaan dan hasil Pepera.
Referendum baru didukung oleh berbagai organisasi internasional, antara lain Free West Papua Campaign yang bekerja sama dengan separatis Papua di Indonesia untuk memperjuangkan
Penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan penuh dari Indonesia.
Organisasi Republik Federal Papua Barat, dibentuk tanggal 19 Oktober 2011 dalam Kongres
Rakyat Papua Barat ke-3, menyatakan bahwa Perjanjian New York dan
Penentuan Pendapat Rakyat batal tidak sah dan meminta pengakuan PBB sebagai negara merdeka berdasarkan hukum internasional dan hukum adat.
Lihat pula
Persengketaan Irian Barat
Konflik Papua
Ganyang Malaysia
GAM
Negara Sumatera Timur
Daftar pustaka
The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962-1969: Anatomy of a Betrayal by John Saltford (2002) ISBN 0-415-40625-0 (pdf 3.4 MB)
Drooglever, Pieter J.: Een Daad van Vrije Keuze: De Papoea's van Westelijke Nieuw-Guinea en de grenzen van het zelfbeschikkingsrecht. Uitgeverij Boom, Amsterdam, 2005. ISBN 90-8506-178-4 (Summary)
Referensi