Perdagangan anak merupakan
Perdagangan manusia dengan korban yang dikategorikan sebagai
anak-
anak atau orang berusia 18 tahun ke bawah untuk tujuan-tujuan eksploitatif. Dalam Protokol Palermo, Persatuan Bangsa-Bangsa mendefinisikan
Perdagangan manusia sebagai "perekrutan, pengiriman, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, penculikan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau dengan pemberian hadiah atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memiliki kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi harus mencakup, sedikitnya, pelacuran atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa dengan perbudakan, penghambaan, atau pengambilan organ tubuh".
anak-
anak korban
Perdagangan juga ada yang dipaksa bekerja sebagai tentara
anak, dilibatkan dalam tindak kejahatan, dan dijual untuk kepentingan adopsi ilegal.
anak-
anak dan perempuan merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban
Perdagangan manusia.
Ada tiga unsur yang mendefinisikan
Perdagangan orang, yaitu proses, cara yang digunakan, dan tujuan eksploitasi. Salah satu contoh proses adalah perekrutan, sedangkan metode yang digunakan dapat berupa penipuan. Contoh tujuan eksploitasi bisa bermacam-macam, salah satunya eksploitasi seksual komersial. Kompleksitas tersebut membuat
Perdagangan orang disebut sebagai serangkaian proses dan bukan peristiwa tunggal.
Perdagangan manusia berbeda dengan penyelundupan manusia yang umumnya dilakukan secara sukarela. Korban penyelundupan mengetahui tujuan mereka diselundupkan dan mereka dapat memberikan persetujuan. Penyelundupan juga bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, bukan eksploitasi. Namun demikian, kasus penyelundupan orang juga banyak yang akhirnya terungkap sebagai kasus
Perdagangan. Batasan antara
Perdagangan orang dan penyelundupan dalam kenyataannya seringkali kabur. Dalam konteks
Perdagangan anak, UNODC menyatakan bahwa persetujuan tidak relevan terlepas ada atau tidaknya cara untuk memperolehnya. Dalam kasus
Perdagangan orang, tidak mungkin ada persetujuan dari korban.
Menurut PBB,
Perdagangan orang tidak selalu melibatkan unsur pemindahan atau pengangkutan manusia dari satu tempat ke tempat yang lain. Dalam proses
Perdagangan, misalnya, ada tanda jadi dan korban yang dibatasi geraknya. Dengan kata lain,
Perdagangan orang lebih menyangkut pada bagaimana korban diperlakukan.
Perdagangan anak bisa terjadi di dalam negeri maupun lintas negara dan korban bisa berasal dari berbagai jenis kelamin, usia, keluarga, latar belakang, dan status sosial ekonomi. Sebanyak 32 negara melaporkan adanya kasus
Perdagangan manusia di negara mereka pada 2009. Namun, diduga hal ini terjadi di lebih banyak wilayah di dunia. Seorang
anak dapat diperdagangkan berkali-kali dengan dalih untuk membayar upah agen. ILO memperkirakan ada sekitar 2.5 juta orang dewasa dan
anak-
anak yang berisiko diperdagangkan di seluruh dunia. Menurut laporan UNICEF yang dirilis pada 2018,
Perdagangan anak menyumbang sebesar 28% dari seluruh
Perdagangan orang dan dua dari tiga korbannya adalah
anak perempuan.
anak-
anak korban
Perdagangan rentan terpapar kekerasan fisik, psikologis, dan seksual. Mereka juga berisiko mengalami gangguan kesehatan fisik, mental, psikologis, gangguan perkembangan, hingga masalah kesehatan turunan baik jangka pendek maupun panjang, serta kehilangan nyawa.
Perdagangan anak sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia
Perdagangan anak adalah kejahatan kemanusiaan dan merupakan bentuk kekerasan terhadap
anak serta pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Sejumlah ilmuwan memandang
Perdagangan anak dan perempuan sebagai isu HAM yang kurang mendapatkan perhatian dibandingkan dengan isu-isu terkait HAM lainnya, seperti genosida, perang, dan kekerasan berbasis gender.
Perdagangan orang juga merupakan masalah HAM yang masih banyak disalahpahami dan sebagian besar kasusnya terjadi tanpa terdeteksi.
Perdagangan manusia baru mulai mendapatkan perhatian besar pada akhir abad 20. Lembaga pemerintah, organisasi internasional, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan media mulai benar-benar berusaha memahami dan menangani masalah ini secara efektif pada 1980-an. Pada 1990-an, upaya pemberantasan
Perdagangan manusia terus berlanjut dan mengalami perkembangan cukup signifikan. Di beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat, Britania Raya dan Irlandia Utara, serta Australia, pembahasan mengenai
Perdagangan manusia telah beralih ke isu perbudakan zaman modern. Perbudakan modern merupakan istilah yang menaungi
Perdagangan manusia dan berbagai macam tindakan eksploitatif yang terjadi di dalamnya, seperti kerja paksa, jeratan utang, kawin paksa, perbudakan, dan praktik serupa lainnya.
Berdasarkan Konvensi Hak-Hak
anak PBB tahun 1989,
anak-
anak memiliki empat jenis hak. Keempat hak ini terlanggar saat mereka dalam status diperdagangkan, hak-hak tersebut meliputi:
Hak kelangsungan hidup adalah hak
anak untuk hidup dan tercukupi kebutuhannya yang paling dasar, seperti gizi, tempat tinggal, standar hidup yang layak, dan akses terhadap layanan kesehatan.
Hak berkembang adalah hak
anak untuk mengembangkan potensi intelektual, sosial, dan spiritualnya. Hak ini antara lain terdiri atas hak atas pendidikan, bermain, rekreasi, kegiatan budaya, akses informasi, dan kebebasan berpikir, hati nurani, dan kepercayaan.
Hak memperoleh perlindungan yaitu hak untuk memperoleh perlindungan dari berbagai bentuk diskriminasi, memastikan mereka dilindungi dari segala bentuk pelecehan, penelantaran, dan eksploitasi, termasuk pemberian perlakuan khusus kepada
anak-
anak pengungsi; perlindungan bagi
anak dalam sistem peradilan pidana; perlindungan bagi
anak dalam pekerjaan; serta perlindungan dan rehabilitasi bagi
anak yang mengalami eksploitasi dalam bentuk apapun.
Hak untuk berpartisipasi dalam berbagai keputusan yang menyangkut kepentingan hidupnya. Hak partisipasi mencakup kebebasan
anak-
anak untuk menyatakan pendapat, memiliki suara terhadap hal-hal yang mempengaruhi kehidupan mereka, bergabung dalam perkumpulan, dan berorganisasi secara damai. Seiring dengan kemampuan mereka yang semakin berkembang,
anak-
anak memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat dan sebagai persiapan saat memasuki usia dewasa.
Sebagaimana yang termaktub dalam piagam PBB dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, hak asasi manusia bersifat universal, berlaku untuk setiap manusia terlepas dari ras, jenis kelamin, asal etnis, atau karakteristik lainnya. Hak asasi manusia korban
Perdagangan tetap melekat pada diri mereka di mana pun mereka berada. Meski berada di negara asing, hukum internasional dengan jelas menyatakan bahwa orang-orang yang diperdagangkan tidak dapat didiskriminasi hanya karena status mereka sebagai non warga negara. Sehingga, dengan sedikit perkeculian wajar, hukum hak asasi manusia internasional berlaku untuk semua orang di dalam wilayah atau yurisdiksi suatu negara, terlepas apapun kebangsaan atau kewarganegaraannya dan bagaimana mereka berada di dalam wilayah tersebut.
Perdagangan anak tak bisa dilepaskan dari sejarah
Perdagangan manusia dan perbudakan. Ilmuwan menyebutkan bahwa
Perdagangan manusia merupakan warisan imperialisme dan kolonialisme yang terjadi di hampir seluruh wilayah di dunia. Perbudakan didefinisikan sebagai penguasaan seseorang terhadap orang lain untuk memperoleh keuntungan, baik berupa uang yang diperoleh dari memperdagangkan budak atau dalam bentuk keuntungan penghambaan atau pengabdian kepada tuan.
Peneliti dan aktivis berpendapat bahwa sejarah
Perdagangan manusia di Barat dimulai dari pengiriman orang-orang Afrika ke Amerika Serikat dari abad 16 hingga 19. Diperkirakan sebanyak 9.5 juta orang telah dikirim ke AS untuk tujuan perbudakan. Para warga kulit putih pemilik lahan pertanian menggunakan budak dari Afrika dan keturunannya untuk kepentingan kultivasi tanaman bahan-bahan mentah, seperti tembakau dan kapas. Hasil pertanian kemudian dikirim dan digunakan oleh orang-orang di luar koloni dan teritori, yang kemudian berkembang menjadi Amerika Serikat. Praktik perbudakan pada masa itu sangat mengakar di masyarakat dan hadir dalam hampir semua bidang kehidupan, bahkan orang tidak perlu memiliki budak untuk merasakan kehadirannya. Setiap orang yang hidup di AS saat itu terhubung dengan perbudakan melalui pakaian, makanan, dan semua alat hidup yang mereka pakai dan konsumsi. Warga kulih putih di bagian selatan umumnya mempekerjakan budak berasal dari Afrika untuk bekerja di lahan pertanian berskala besar. Sedangkan di wilayah utara, mereka menggunakan budak dari pribumi. Penduduk wilayah utara Amerika mempekerjakan budak untuk pekerjaan rumah tangga dan usaha kecil, seperti pertanian, pelayanan gereja, dan layanan kesehatan. Budak juga dipaksa bekerja di proyek konstruksi kampus-kampus ternama dan seluruh institusi yang dimiliki oleh orang-orang kaya pemilik bisnis perbudakan. Meski perbudakan di AS resmi dihapus, praktik serupa perbudakan dengan pola-pola rekrutmen dan kontrol yang sama masih dapat ditemui dalam bidang pertanian setelah masa itu.
Sejumlah peneliti menyebutkan bahwa konsep mengenai
Perdagangan manusia dan undang-undang anti
Perdagangan manusia berawal dari kekhawatiran mengenai perbudakan orang kulit putih di AS pada akhir abad 19 hingga awal abad 20. Saat itu, wanita dan
anak-
anak perempuan kulit putih diculik, dijebak, dan diperdagangkan ke luar Amerika untuk tujuan eksploitasi seksual. Dari peristiwa itu, terlahir Undang-Undang
Perdagangan Budak Kulit Putih yang mulai berlaku pada 1910. Istilah 'human trafficking', menurut sejumlah peneliti, berasal dari istilah 'white slave traffic' yang merujuk pada perempuan kulit putih yang diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual dan 'trafficking in women and children' untuk menyebut kasus
Perdagangan manusia yang melibatkan
anak-
anak dan perempuan.Di Indonesia, sejarah perbudakan sudah dikenal di zaman kerajaan dan berlanjut di era pendudukan Belanda dan Jepang. Raja umumnya memiliki beberapa selir yang berasal dari beragam latar belakang, baik dari masyarakat biasa maupun dari keluarga terpandang. Selir dari kalangan rakyat biasa diserahkan oleh keluarganya dengan motif agar memiliki ikatan keluarga dengan kerajaan. Mereka juga kadang dikorbankan oleh keluarganya sebagai bentuk penebusan hukuman. Selir yang berasal dari kalangan bangsawan umumnya dipersembahkan sebagai tanda pengabdian dan kesetiaan, atau loyalitas jika ia berasal dari kerajaan lain. Pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang, budak mulai diperdagangkan sebagai komoditas. Laki-laki dikerahkan sebagai tenaga kerja paksa, sedangkan perempuan dikirim untuk bisnis pelacuran. Penjajah Belanda menggunakan perempuan untuk melayani kebutuhan seksual para warga Eropa yang antara lain bekerja sebagai tentara, pedagang, dan pejabat tinggi. Di masa penjajahan Jepang, wanita-wanita Jawa mulai dikirim ke luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, dan Hong Kong, untuk menjadi pelacur dan melayani para petinggi militer Jepang. Para perempuan tersebut dikenal sebagai Ianfu.
Sejak sepuluh tahun yang lalu, secara internasional, kerangka hukum yang komprehensif tentang
Perdagangan orang mulai dikembangkan. Perubahan ini menandai adanya perubahan pola pandang masyarakat dunia tentang eksploitasi manusia. Di masa perbudakan modern,
Perdagangan manusia semakin kompleks karena seringkali melibatkan jaringan lintas negara dan kawasan. Pada 2005, diperkirakan keuntungan yang dicapai dari
Perdagangan orang mencapai 10 milyar dolar AS. Selama pandemi Covid-19, jumlah kasus
Perdagangan anak dan perempuan cenderung mengalami peningkatan. Di Indonesia, kenaikannya mencapai 62.5% pada 2020.
Perjanjian internasional tentang Perdagangan anak
Ada dua perjanjian internasional yang menjadi dasar kebijakan dan perundang-undangan tentang
Perdagangan anak di banyak negara, yaitu Konvensi Hak-Hak
anak oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCRC) pada 1989 dan Protokol untuk Mencegah, Menekan, dan Menghukum
Perdagangan Orang, khususnya Perempuan dan
anak pada 2000 atau yang lebih dikenal sebagai Protokol Palermo. Konvensi Hak-Hak
anak meminta negara-negara untuk melakukan langkah-langkah pencegahan
Perdagangan anak, tetapi definisi tentang
Perdagangan anak itu sendiri belum muncul di dalam perjanjian tersebut. Menurut sejumlah ilmuwan, Konvensi Hak-Hak ini merupakan kesepakatan yang paling komprehensif dan banyak diratifikasi oleh negara-negara di dunia. Namun, ketiadaan definisi yang jelas menyulitkan upaya pencegahan bersama. Hambatan tersebut dapat diselesaikan dengan adanya definisi yang diberikan oleh Protokol Palermo. Hal ini sekaligus menandai upaya internasional dalam koordinasi pencegahan
Perdagangan anak secara lebih lanjut. Pada 2016, tercatat ada 158 negara yang telah memiliki undang-undang
Perdagangan orang dan segala jenis eksploitasinya. Jumlah ini naik dari yang semula hanya 33 negara pada 2003. Pasal 5 Protokol Palermo mengharuskan negara-negara untuk menindak secara hukum
Perdagangan orang dan percobaannya, serta segala bentuk keterlibatan dan pengorganisasian
Perdagangan orang secara sengaja. Pada 2000, Majlis Umum PBB mengadopsi Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak
anak Mengenai Penjualan
anak, Prostitusi
anak, dan Pornografi
anak yang melarang
Perdagangan anak untuk tujuan apapun, termasuk untuk eksploitasi dan kerja paksa.
= Eksploitasi seksual komersial anak
=
Eksploitasi seksual komersial
anak adalah
Perdagangan anak berusia 18 tahun ke bawah untuk tujuan seksual demi mendapatkan imbalan berupa barang-barang berharga seperti makanan, tempat tinggal, obat-obatan, dan uang. Bentuk-bentuk eksploitasi seksual yang paling umum antara lain pelacuran, kawin paksa, pengantin pesanan, pariwisata seks
anak, dan pornografi
anak. Semua jenis eksploitasi seksual
anak melanggar HAM dan kehormatan
anak-
anak. Pada 2000, ILO melaporkan bahwa ada sebanyak 1.8 juta
anak-
anak di seluruh dunia yang terjebak dalam industri prostitusi dan pornografi.
Berdasarkan hasil studi,
anak-
anak yang berisiko lebih besar menjadi korban eksploitasi seksual komersial adalah korban kekerasan, terutama kekerasan seksual. Selain itu, mereka yang memiliki keluarga disfungsi, seperti orang tua pecandu alkohol dan obat-obatan terlarang, memiliki gangguan kesehatan mental, atau pelaku kekerasan dalam rumah tangga juga rentan menjadi korban. Kerentanan lebih tinggi juga terjadi pada
anak-
anak yang kabur dari rumah, baik hidup di jalanan maupun di penampungan. Orang tua dan pengasuh mereka terkadang memiliki kecacatan fisik, miskin, atau pernah melakukan pengabaian dan bahkan kekerasan. Dalam kasus
Perdagangan seksual
anak, peran orang-orang di sekitar korban cukup berpengaruh. Dalam beberapa kasus, anggota keluarga, kerabat, dan teman dekat bisa ikut terlibat dalam proses perekrutan. Pelaku
Perdagangan, misalnya, membujuk orang tua korban dengan janji mereka dan anaknya akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Modus yang lain adalah dengan menipu korban, contohnya dengan menjanjikan pekerjaan di rumah makan dan restoran, tapi pada kenyataannya dipekerjakan untuk pelacuran.
Pelaku yang umumnya adalah sindikat juga menjebak korban dengan dalih utang, denda, dan uang tebusan. Denda diberlakukan antara lain saat korban tidak memenuhi jumlah pelanggan atau berusaha melarikan diri. Gabungan dari berbagai taktik dan strategi tersebut membuat korban terperangkap dan sulit untuk melepaskan diri. Media sosial juga turut memainkan peran penting dalam eksploitasi seksual komersial
anak. Pelaku memanfaatkan media sosial untuk menjaring korban, melakukan proses pendekatan (grooming), hingga menawarkan korban kepada calon pembeli.
Kekerasan seksual yang menjadi salah satu bibit eksploitasi seksual komersial sering dimulai dengan proses menjalin ikatan emosional oleh pelaku kepada korban atau disebut dengan grooming. Grooming adalah "sebuah upaya orang dewasa untuk membangun hubungan, kepercayaan, dan ikatan emosional dengan seorang
anak atau remaja, sehingga mereka dapat memanipulasi atau mengeksploitasi, bahkan melecehkan korban." Pelaku
Perdagangan anak terkadang memanipulasi calon korban dengan menjanjikan mereka "uang, kehidupan yang lebih baik, cinta dan kasih sayang, serta rasa aman". Pelaku juga membangun hubungan yang seolah-olah adalah hubungan pacaran selama beberapa waktu, disertai dengan manipulasi psikologis seperti mengancam dan menakut-nakuti. Kekerasan yang terjadi mirip dengan kekerasan dalam hubungan pacaran dan KDRT. Pelaku terkadang juga menggunakan minuman keras dan obat-obatan terlarang untuk memperdaya korban. Dari hasil studi, pelaku kejahatan
anak memiliki ciri kepribadian yang anti sosial dan mengembangkan ketertarikan seksual kepada
anak-
anak daripada orang dewasa atau pedofilia. Beberapa faktor risiko lain yang menjadikan orang sebagai pelaku antara lain pengalaman menjadi korban, hiperseksualitas, dan penikmat materi seksual yang melibatkan
anak (pornografi
anak).
anak-
anak korban eksploitasi seksual memiliki kerentanan lebih tinggi daripada orang dewasa yang berada dalam situasi yang sama. Mereka lebih rentan terserang HIV, peningkatan kemungkinan jalur genital yang robek akibat trauma fisik berulang, lebih rentan terhadap kekerasan, perilaku seksual berisiko yang lebih tinggi, tingkat pengetahuan HIV yang lebih rendah, dan jumlah kontak seksual yang lebih tinggi per harinya. Gangguan kesehatan fisik yang dialami bisa berupa kehamilan tak diinginkan, aborsi berulang, dan terserang penyakit menular seksual secara berulang kali. Risiko kesehatan fisik lain yang mungkin muncul adalah infeksi, kecelakaan traumatis, dan malnutrisi. Masalah kejiwaan yang dapat menghampiri korban antara lain depresi, gangguan stres pasca trauma, pembunuhan, dan bunuh diri.
anak-
anak korban komersialisasi seks tidak memiliki kesempatan bersekolah. Mereka juga dijauhi oleh keluarga dan ditolak oleh masyarakat. Akibatnya, mereka kesulitan untuk mengakses layanan kesehatan dan hidup dalam lingkungan yang tidak higienis. Selain itu, mereka juga rentan terhadap penyalahgunaan obat-obatan terlarang.
Pelacuran
anak
Pelacuran
anak mengacu pada pelibatan
anak-
anak dalam kegiatan seksual dengan imbalan uang atau materi lainnya, seperti hadiah, makanan, dan pakaian. Diperkirakan ada sekitar 1 juta
anak-
anak yang dilacurkan setiap tahun di dunia dengan jumlah korban seluruhnya mencapai kurang lebih 10 juta
anak. Mereka dipekerjakan di tempat pelacuran, klub, panti pijat, bar, kafe, hotel, atau restoran.
anak laki-laki maupun perempuan sama-sama berpotensi dilacurkan. Di Pakistan, misalnya, lebih dari 95% supir truk terlibat hubungan seksual dengan
anak laki-laki. Namun, jumlah korban pelacuran
anak masih didominasi oleh
anak perempuan.
Bagi pelaku eksploitasi,
anak-
anak lebih mudah dilecehkan daripada orang dewasa. Pelaku memanfaatkan kepatuhan dan sisi naif
anak-
anak yang membuat mereka tidak mampu membela diri. Perkembangan kognitif, emosional, dan fisik
anak-
anak juga belum matang. Mereka belum dapat menimbang konsekuensi negatif yang akan ditanggung di masa depan. Selain itu, para pelaku juga terdorong oleh perasaan memiliki kekuatan seksual dan ekonomi yang lebih besar, ingin mencoba pengalaman baru, dan perasaan kebal hukum karena anonimitasnya. Dalam budaya tertentu, mitos sering menjadi pembenaran aktivitas seksual dengan
anak-
anak. Di beberapa tempat di Asia, misalnya, berhubungan seks dengan gadis perawan dipercaya bisa mencegah penularan dan menyembuhkan HIV/AIDS. Kebanyakan pria juga meyakini bahwa berhubungan seksual dengan perawan bisa meningkatkan kejantanan, memperpanjang usia, dan membawa kesuksesan dalam usaha.
Menurut ahli, beberapa efek psikologis yang timbul pada
anak-
anak korban pelacuran adalah gangguan stres pasca trauma, harga diri rendah, trauma, mimpi buruk, gangguan makan, dan masalah-masalah psikologis lainnya tergantung pada individu.
anak laki-laki juga berpotensi mengalami krisis identitas seksual. Namun,
anak laki-laki bisa lebih terbuka atas pengalaman masa lalunya dan masyarakat lebih dapat menerima keberadaan mereka. Sedangkan pada korban
anak perempuan, mereka cenderung lebih tertutup dan merahasiakan kejadian tersebut karena kekhawatiran terhadap stigma.
Menurut LSM Save the Children, pandemi Covid-19 membuat
anak-
anak korban pelacuran semakin terisolasi. Akibat pandemi, praktik pelacuran
anak berpindah dari jalan ke dalam ruangan dan daring dan ini semakin menyulitkan upaya penyelamatan korban. Selama pandemi, jumlah kasus pelacuran
anak cenderung mengalami peningkatan. Di Indonesia, para pelaku mendekati korban melalui platform media sosial, seperti Facebook dan MiChat. Dari situ, mereka menjalin hubungan sebelum akhirnya memanfaatkan korban untuk uang. Menurut pegiat dari Ecpat International, alasan ekonomi menjadi pendorong bagi
anak-
anak untuk melacurkan diri. Selain itu, akses luas ke internet yang tidak disertai dengan kemampuan literasi digital yang memadai membuat
anak-
anak mudah terjebak dan menjadi korban.
Pariwisata seks
anak
Menurut definisi PBB, pariwisata seks
anak adalah eksploitasi
anak-
anak oleh pelaku yang melakukan perjalanan lokal atau internasional dengan tujuan melakukan aktivitas seksual dengan mereka. Beberapa wilayah di dunia yang memiliki sejarah panjang dalam pariwisata seks
anak antara lain Asia Tenggara, Amerika tengah, dan Brasil. Sedangkan beberapa kawasan yang terakhir dimasukkan ke dalam daftar meliputi Amerika Selatan, Afrika wilayah selatan, barat laut, dan timur, India, serta Mongolia. Sedangkan konsumen rata-rata datang dari negara-negara Eropa, Amerika Utara, Rusia, Jepang, Taiwan, Australia, dan Selandia Baru. Jumlah korban tidak diketahui secara pasti, tetapi menurut perkiraan mencapai jutaan. Indonesia merupakan salah satu tujuan utama wisata seks
anak di dunia, dua daerah yang paling terdampak adalah Bali dan Batam. Setiap tahun ada sekitar 100.000 perempuan dan
anak yang diperdagangkan di Indonesia, 30% dari mereka merupakan
anak berusia di bawah usia 18 tahun. Menurut penelitian, pelaku maupun korban wisata seks
anak sama-sama sulit diidentifikasi.
Menurut sejumlah peneliti di Jerman, pariwisata seks
anak didorong oleh kesan anonimitas yang timbul saat pelaku berada di negara asing dan asumsi berbasis prasangka mengenai budaya setempat. Orang-orang asing berasumsi bahwa
anak-
anak lokal memiliki keinginan seksual karena faktor budaya dan lingkungan yang berbeda dengan negara asal mereka. Konsumen pariwisata seks
anak terdiri atas dua kelompok, yaitu orang-orang yang berniat dari awal dan mereka yang mau karena ada tawaran kesempatan. Sedangkan peneliti di Indonesia berpendapat bahwa pariwisata seks
anak tidak selalu dilakukan oleh warga negara asing. Bah dan Artaria, peneliti dari Universitas Airlangga, mengungkapkan adanya kesalahpahaman di masyarakat tentang hal ini. Menurut mereka, fenomena pariwasata seks
anak dapat ditemui di masyarakat tanpa memandang status sosial ekonomi maupun politik. Hampir semua orang bisa terlibat, termasuk pria dan wanita, teman dekat, anggota keluarga, dan orang-orang dari semua orientasi seksual dan status sosial ekonomi.
Dari hasil studi literatur sistematik, peneliti menemukan teknik dan strategi yang dilakukan pelaku untuk merekrut korban turisme seksual
anak, yaitu teknik jeratan utang, kekerasan emosional, dukungan fisik, cinta palsu, kecanduan narkoba, kekerasan fisik, pemberian hadiah dan bantuan, penerapan kekuasaan dan otoritas, pemberian janji palsu, serta grooming.
anak-
anak, karena faktor kerentanan dan ketidakdewasaan, juga bisa tergoda dengan iming-iming materi yang dapat digunakan untuk membiayai gaya hidup. Di Bali, para aktivis HAM menyatakan bahwa pelaku pedofil Australia menyerbu pulau itu dan menjebak korban dengan berpura-pura mengadopsi dan mengangkat korban sebagai
anak asuh.
anak laki-laki lebih rentan terhadap pelecehan seksual karena pandangan umum laki-laki lebih maskulin dan kuat, sehingga kecil kemungkinannya menjadi korban kejahatan seks. Pelaku berasumsi mereka akan sulit diringkus karena
anak laki-laki umumnya lebih memilih diam daripada menceritakan pengalaman buruk yang dialami.
Pornografi
anak
Undang-Undang Federal AS mendefinisikan pornografi
anak sebagai penggambaran visual perilaku seksual eksplisit yang melibatkan
anak di bawah umur atau orang yang berusia kurang dari 18 tahun. Pornografi
anak dalam bentuk gambar juga dikategorikan sebagai pelecehan seksual
anak.
anak-
anak yang terlibat dalam pornografi adalah korban
Perdagangan meskipun tidak ada bukti kekerasan, ancaman, paksaan atau penipuan. Para ahli hukum berpendapat bahwa pornografi yang melibatkan
anak-
anak memenuhi kriteria hukum
Perdagangan seks. Aspek komersial dari pornografi
anak terletak pada bisnis video porno yang diedarkan melalui internet. Pelaku kejahatan memperdagangkan sesuatu yang dipandang bernilai secara komersial. Selain video dan gambar, pornografi
anak dapat berupa telepon dan panggilan video seks dan teks. Di era digital saat ini, pornografi
anak merupakan salah satu bentuk praktik kekerasan dan penyalahgunaan yang difasilitasi teknologi.
Selama masa pandemi Covid-19, konten seks komersial
anak dilaporkan mengalami peningkatan cukup signifikan. Permintaan pornografi
anak di beberapa negara anggota Uni Eropa meningkat sebesar 30%. Upaya perusahaan-perusahaan teknologi untuk memoderasi konten juga terhambat oleh kebijakan kerja yang berubah akibat pandemi. Saat ini, pembuat dan distributor video dan gambar seks
anak menyebarkan iklan melalui sejumlah platform besar, seperti YouTube, Facebook, Twitter dan Instagram. Mereka menggunakan bahasa kode yang mampu mengelabui alat pendeteksi milik perusahaan-perusahaan media sosial tersebut. Akibatnya, perusahaan media sosial kini sangat bergantung pada laporan masyarakat. Jika sudah bertemu dengan konsumen yang tepat, pelaku menggiring konsumen ke kanal yang lebih privat yang telah diamankan oleh enkripsi atau layanan berbagi data tanpa pengawasan. Menurut pakar, selama pandemi, laporan aktivitas eksploitasi seksual
anak meningkat rata-rata 30% secara global. Selama pandemi, orang dewasa dan
anak-
anak sama-sama tinggal di rumah dan menghabiskan banyak waktu di internet. Orang dewasa bisa menjadi predator, sementara
anak-
anak rentan menjadi korban, baik oleh orang-orang di sekitarnya, seperti keluarga dan teman, maupun predator asing yang ditemui di dunia maya. Pelaku kejahatan seksual
anak bisa mengeksploitasi status sosial ekonomi
anak-
anak dengan mengiming-imingi mereka uang.
Meski dampaknya merusak, beberapa negara tidak memiliki undang-undang tentang pornografi
anak. Berdasarkan hasil studi pada 2006, sebanyak 95 negara dari 184 negara anggota Interpol dilaporkan belum mengatur masalah ini dalam hukum positif mereka. Di beberapa negara yang lain, undang-undang yang ada dipandang belum memadai. Di 138 negara, kepemilikan pornografi
anak tidak dianggap sebagai kejahatan, sedangkan 122 negara tidak mempunyai undang-undang yang secara khusus mengatur distribusi pornografi
anak melalui komputer dan internet. Hanya lima negara yang dipandang memiliki peraturan yang cukup komprehensif dan berdampak untuk upaya penghapusan pornografi
anak yaitu Australia, Belgia, Prancis, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat.
Pernikahan paksa dan pernikahan
anak
Pernikahan paksa merupakan perkawinan yang di dalamnya terdapat orang tak mampu menolak paksaan menikah oleh orang lain, seperti orang tua, wali, kerabat atau orang dan kelompok lain. Sedangkan pernikahan
anak adalah pernikahan paksa terhadap individu di bawah usia 18 tahun. Karakteristik utama pernikahan paksa adalah tidak adanya persetujuan oleh setidaknya satu orang dalam hubungan perkawinan.
anak laki-laki maupun perempuan sama-sama bisa menjadi korban pernikahan paksa dan dini, tetapi jumlah korban didominasi oleh
anak-
anak perempuan.
Berdasarkan penelitian, korban pernikahan dini umumnya adalah
anak-
anak perempuan yang berlatar belakang keluarga miskin. Pernikahan paksa tersebut diatur oleh anggota keluarga, agen pernikahan atau perantara dengan tujuan memperoleh keuntungan finansial atau materi. Dalam beberapa kasus, pengantin wanita diculik oleh keluarga maupun agen. Beberapa metode pemaksaan atau penipuan digunakan untuk mendapatkan persetujuan korban dan walinya, termasuk penculikan, penipuan, penyalahgunaan kerentanan, dan penerimaan pembayaran atau hadiah. Korban menghadapi kekerasan, pelecehan, dibatasi pergerakannya serta dijauhkan dari orang tua dan teman-teman mereka. Meski pernikahan
anak di bawah usia 18 tahun telah resmi dilarang di 88% negara di dunia, ada perkecualian yang bisa diterapkan jika orang tua atau wali memberikan persetujuan. Sebanyak 27% negara yang memiliki undang-undang yang mewajibkan persetujuan orang tua juga memiliki celah hukum. Orang tua bisa memberikan persetujuan untuk menikahkan
anak perempuan di usia dua sampai empat tahun lebih awal daripada
anak laki-laki.
anak-
anak perempuan ini biasanya dinikahkan dengan pria yang usianya sangat jauh di atasnya.
Pernikahan paksa umumnya tidak dilakukan secara resmi dan tercatat. Sehingga, statistik kasusnya menjadi bervariasi. Pada 2003, International Center for Research on Women memperkirakan lebih dari 51 juta
anak perempuan di bawah usia 18 tahun dinikahkan secara paksa. Sementara laporan ILO pada 2016 menyebutkan sekitar 15.4 juta orang hidup dalam pernikahan paksa. Pernikahan paksa dan pernikahan dini banyak terjadi di negara-negara di Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara, serta bekas republik Soviet. Namun demikian, kasus kawin paksa juga masih ditemukan di negara-negara lebih maju, seperti Amerika Utara dan Eropa. Korban kawin paksa juga bisa sekaligus menjadi korban perbudakan yang lain, misalnya
Perdagangan anak untuk tujuan seksual.
anak-
anak korban kawin paksa dan pernikahan dini kehilangan otonomi seksualnya dan rentan dijadikan pekerja domestik dan non formal berkedok perkawinan. Korban kesulitan mendapatkan pertolongan karena kekhawatiran terhadap stigma. Tradisi lokal, kepercayaan agama dan struktur sosial menghambat upaya pencegahan pernikahan paksa. Dalam banyak budaya, pernikahan dipandang sebagai urusan pribadi dan keluarga, sehingga, meski ada kekerasan di dalamnya, korban dan keluarga cenderung enggan melapor.
anak-
anak korban pernikahan dini rentan terhadap KDRT, komplikasi kehamilan dan kelahiran, dan HIV.
Pengantin pesanan
Pengantin pesanan pos (mail-order bride) adalah perempuan yang dapat dipilih dan dipesan sebagai pasangan. Mereka dapat dipesan melalui agen, baik secara tatap muka maupun melalui internet. Pengantin perempuan biasanya adalah penduduk negara berkembang yang ingin menikah dengan warga negara asing, umumnya dari negara yang lebih maju. Korban tertipu janji calo yang menawarkan kehidupan yang lebih baik di negara baru. Para pria yang menghendaki pasangan bisa memilih perempuan dengan membayar sejumlah uang kepada agen. Mereka lantas membiayai perjalanan perempuan ke negaranya untuk melangsungkan pernikahan. Pernikahan dengan akad jual-beli ini tidak sepenuhnya berjalan dengan baik. Faktor perbedaan bahasa, budaya, dan adanya kekerasan domestik menjadi beberapa kendala. Jika terjadi kekerasan, korban juga sulit untuk kembali ke negara asalnya akibat hambatan biaya. Mereka umumnya dibuat sangat tergantung pada suami. Korban pengantin pesanan tidak hanya perempuan dewasa, tapi juga
anak-
anak.
Budaya patriarki mendorong para pria di negara-negara tujuan untuk mencari perempuan dengan standar-standar norma dan peran gender tradisional. Karakteristik istri ideal, menurut mereka, antara lain berorientasi keluarga, tidak tertarik mengejar pendidikan dan karier, serta tidak pernah berpikir tentang perceraian. Perempuan dari Asia, misalnya Filipina, digambarkan memiliki idealitas tersebut. Di Tiongkok, perempuan Eropa Timur dipandang lebih mampu menerima dan lebih mementingkan karakter suami yang baik dan peduli pada keluarga dibandingkan harta. Pandangan patriarki heteronormatif seperti ini dapat mendorong laki-laki untuk bersikap kasar terhadap perempuan yang tidak mengikuti peran gendernya. Laki-laki dari kalangan menengah ke atas di Cina cenderung memilih pengantin dari Eropa Timur, sedangkan kalangan bawah mencari wanita dari kawasan Asia Tenggara.
Pengantin perempuan rentan menjadi korban
Perdagangan orang. Mereka disalurkan ke bisnis seks komersial dan kerja paksa lainnya. Di Indonesia, korban pengantin pesanan dikirim untuk pria yang berasal dari Taiwan, Tiongkok, Singapura, dan Hong Kong. Penelitian di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa pengantin pesanan biasanya berasal dari keluarga miskin dan kurang terdidik. Jumlah pengantin pesanan dari Taiwan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sejak 1992, setidaknya ada lebih dari 2000 perempuan Indonesia yang menikah dengan pria Taiwan dan memperoleh izin tinggal di Taiwan setiap tahunnya. Selain Indonesia, kawasan yang dikenal sebagai sumber pengantin pesanan adalah negara-negara di Asia Tenggara lainnya, Asia Selatan, serta Eropa Timur.
= Kerja paksa
=
anak korban
Perdagangan juga dipekerjakan di berbagai sektor ekonomi swasta dan informal, beberapa di antaranya adalah pekerjaan domestik (pekerja rumah tangga), pertanian dan perkebunan komersial, perikanan atau pekerjaan jermal, budidaya narkotika dan obat-obatan terlarang serta perdagangannya, sektor konstruksi, serta industri manufaktur. Sebagian lain dipekerjakan di jalanan dengan menjadi pengamen dan pengemis.
Pekerjaan domestik lebih banyak diisi oleh pekerja
anak perempuan. Menurut laporan ILO, beberapa risiko yang dihadapi oleh
anak-
anak pekerja domestik berupa upah yang tidak dibayar, penahanan upah, upah lembur yang rendah, jam kerja yang panjang dan beban kerja yang berat, hari istirahat yang tidak memadai, tidak adanya perawatan kesehatan dan cuti hamil, kondisi hidup yang buruk, dan masalah-masalah yang berkaitan dengan kontrak dan pemutusan hubungan kerja.
Menurut laporan ILO, mayoritas korban kerja paksa mengalami berbagai bentuk paksaan dari majikan atau agen sebagai cara untuk mencegah mereka melarikan diri. Hampir seperempat korban (24%) gajinya dipotong atau diancam tidak akan dibayar dengan upah yang seharusnya agar tidak kabur. Disusul dengan ancaman kekerasan (17%), tindak kekerasan fisik (16%), dan ancaman terhadap keluarga (12%). Sebanyak 7% dari perempuan mengalami kekerasan seksual.
= Tentara anak
=
Peperangan menimbulkan beragam dampak negatif, antara lain kemiskinan, peningkatan jumlah pengungsi, menurunnya tingkat keamanan, dan munculnya kebutuhan tenaga kerja untuk perang. Dalam situasi konflik dan perang,
anak menjadi korban
Perdagangan yang dilakukan oleh orang dewasa termasuk oleh orang tua mereka sendiri. Menurut ilmuwan, seorang tentara
anak diperdagangkan ketika memenuhi satu atau beberapa kriteria yaitu mengalami perekrutan paksa, direkrut tanpa persetujuan dari orang tua atau wali, dan ketika orang-orang tersebut tidak sepenuhnya diinformasikan tentang tugas-tugas yang terlibat dalam dinas militer.
anak-
anak juga bisa terlibat dengan 'sukarela' dengan alasan sebagai tanda hormat kepada keluarga dan kelompok yang mereka bela, taktik bertahan hidup karena dijanjikan keamanan dan rasa kekeluargaan, dijanjikan bayaran, atau ingin membalas dendam atas ketidakadilan yang dialami.
anak-
anak yang berpindah-pindah tempat karena mengungsi adalah salah satu kelompok yang paling rentan diculik dan dipaksa menjadi tentara
anak. Korban bisa
anak laki-laki maupun
anak perempuan. Mereka diculik dari rumah, disiksa, diindoktrinasi secara brutal, dipaksa mabuk dengan obat-obatan terlarang, diancam akan dibunuh atau dipotong-potong anggota tubuhnya jika tidak melawan. Mereka juga dipaksa kembali ke rumah untuk menyaksikan atau berpartisipasi dalam kematian atau penyerangan terhadap anggota keluarga mereka sendiri, diharuskan membunuh teman-temannya yang membangkang, dan dipaksa menyaksikan temannya dihukum saat mencoba melarikan diri. Beberapa
anak yang berusaha kabur dilaporkan direbus hidup-hidup dan tentara
anak lainnya dipaksa memakan daging manusia sebagai bagian dari pelatihan mereka.
anak perempuan sering diperkosa, diperbudak, dan menjadi korban kekerasan seksual setiap hari.
anak-
anak ini dibius untuk menghilangkan rasa takut, dipersenjatai, dan diindoktrinasi atau dicuci otak untuk melakukan berbagai macam kekejaman.
Pelibatan
anak-
anak dalam konflik memiliki beberapa tujuan spesifik, yaitu untuk memenangkan perang, memenuhi kebutuhan seksual tentara dewasa, menambah pasokan tenaga kerja, dan untuk menyiapkan mereka menjadi tentara yang tangguh dan cekatan. Mereka ditugaskan antara lain untuk terlibat dalam pertempuran langsung atau bekerja sebagai mata-mata, juru masak, pembawa pesan, kuli, pelaku bom bunuh diri, dan budak seks. Sebagai prajurit perang,
anak-
anak terancam terluka fisik, kehilangan anggota tubuh, hingga tewas di medan perang.
anak-
anak juga berisiko mengalami gangguan jiwa akibat menyaksikan dan terlibat dalam aksi kekerasan.
Tentara
anak sudah ada pada perang dunia kedua. Saat ini mereka banyak ditemui di negara-negara berkonflik dan terlibat terorisme, seperti negara-negara di Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Selatan. Menurut laporan Child Soldiers International, jumlah
anak-
anak yang terlibat dalam konflik bersenjata meningkat 159% sejak 2012. Selama perang sipil yang berlangsung selama 17 tahun di Sierra Leone, sebanyak satu juta
anak terpaksa mengungsi. Di antara mereka, ada sekitar 25.000
anak-
anak yang diculik dan dijadikan prajurit
anak. Di negara yang menderita konflik sipil, tentara
anak rentan dieksploitasi oleh organisasi paramiliter informal yang bukan bagian dari pemerintah.
= Adopsi ilegal
=
Perdagangan anak untuk kepentingan adopsi secara ilegal seringkali melibatkan penculikan, penipuan dalam pernyataan adopsi, pemalsuan dokumen, pemaksaan terhadap orang tua kandung, dan adanya keuntungan finansial bagi penyalur. Salah satu negara yang paling menderita adopsi ilegal adalah Tiongkok dengan jumlah korban yang mencapai puluhan hingga ratusan ribu per tahun. Di Cina, mayoritas korban dijual atau ditinggalkan oleh orang tua mereka dan konsumen membeli mereka dengan tujuan pengangkatan
anak.
anak korban
Perdagangan dijual beberapa kali, termasuk melalui geng. Pendorong utama
Perdagangan anak di Tiongkok adalah kemiskinan, aturan adopsi yang ketat, dan keuntungan finansial. Hal ini ditambah dengan 'kebijakan satu
anak' yang sempat diberlakukan sejak 1980 hingga 2016. Tradisi Cina yang memiliki favoritisme terhadap
anak laki-laki daripada
anak perempuan juga turut mendukung tren
Perdagangan anak.
anak laki-laki dijual dengan harga lebih tinggi. Sepanjang 2008 hingga 2017, sebanyak 59% korban
Perdagangan anak yang tercatat di pengadilan adalah
anak laki-laki. Adopsi ilegal di Cina kini juga dilakukan secara daring lewat forum dan kelompok obrolan di internet.
=
Salah satu jenis eksploitasi yang paling terselubung dalam
Perdagangan orang adalah jual beli organ.
Perdagangan organ adalah praktik mencuri atau membeli organ melalui eksploitasi untuk dijual di pasar gelap. Bentuk jual beli organ yang lain berupa wisata transplantasi yaitu bepergian ke negara lain dengan tujuan untuk membeli, menjual, atau menerima organ.
Perdagangan organ bisa dalam bentuk jual beli organ saja atau memperdagangkan orang untuk diangkat organnya. Diperkirakan 10% dari seluruh transplantasi organ yang dilakukan di dunia melibatkan transaksi di pasar gelap.
Perdagangan ini umumnya dilakukan oleh calo yang berasal dari komunitas yang sama dengan korban. Mereka berperan untuk mencari dan memperdaya korban, termasuk dengan menipu. Korban biasanya dijanjikan dengan bayaran, pembebasan utang, atau diyakinkan bahwa organ yang dijual bukan bagian penting dari tubuh mereka atau dapat tumbuh lagi dengan sendirinya. Seringkali korban tidak menerima bayaran sesuai dengan yang dijanjikan.
Jual beli organ di pasar gelap didorong oleh tingginya permintaan, sementara persediaan yang ada sangat sedikit. Para pelaku kejahatan
Perdagangan organ biasanya menyasar korban laki-laki dan perempuan penduduk negara berkembang, dan terkadang juga
anak-
anak. Beberapa kelompok yang paling berisiko terhadap
Perdagangan organ antara lain orang-orang miskin dan buta huruf, serta komunitas rentan, seperti narapidana, imigran gelap, dan pengungsi politik dan ekonomi. Pada kasus yang melibatkan orang dewasa, ada kemungkinan mereka dengan kesadaran sendiri menjual organnya di pasar gelap. Namun, pada
anak-
anak, seringkali korban dilaporkan telah hilang atau ditemukan meninggal dunia dengan beberapa organ yang sudah lenyap. Jumlah korban tidak diketahui secara pasti, tetapi WHO memperkirakan jumlah mereka terus meningkat setiap tahun. Tiongkok merupakan salah satu negara tujuan turisme transplantasi organ. Para penerima donor adalah orang-orang kaya yang melakukan wisata transplantasi. Mereka berasal dari berbagai negara antara lain AS, Arab Saudi dan negara-negara teluk, Taiwan, Jepang, Mesir, Israel, hingga negara-negara di Amerika Selatan. Menurut sebuah studi, sekitar 70% penerima donor tidak tercatat dalam sistem donor organ resmi.
Perdagangan manusia di dalam negeri sulit terdeteksi karena keterbatasan definisi '
Perdagangan' dan korban yang tidak semenonjol korban orang asing. Menurut pakar,
Perdagangan anak di dalam negeri kurang mendapatkan perhatian dibandingkan dengan
Perdagangan anak transnasional. Berdasarkan laporan di Amerika Serikat,
anak-
anak yang diperdagangkan di dalam negeri AS umumnya untuk tujuan eksploitasi seksual. Diperkirakan sekitar 150.000 sampai 300.000
anak-
anak warga dan warga tetap AS menjadi korban eksploitasi seksual komersial setiap tahunnya. Masalah keluarga seperti orang tua yang kecanduan, disfungsi keluarga, dukungan keluarga yang kurang, dan tekanan ekonomi juga dapat menjadi faktor risiko
anak diperdagangkan. Di Indonesia, prostitusi juga merupakan salah satu tujuan utama eksploitasi
anak.
Perdagangan anak di dalam negeri selama Januari hingga April 2021 didominasi oleh pelacuran
anak, jumlahnya mencapai 217
anak atau 93% dari keseluruhan korban. Temuan ini konsisten dengan hasil laporan KPAI pada tahun-tahun sebelumnya yang menyebutkan bahwa eksploitasi seksual komersial dan kekerasan seksual mendominasi kasus
Perdagangan anak.
Perdagangan anak juga bisa menjadi kejahatan transnasional jika melibatkan dua negara atau lebih.
anak-
anak dapat diperdagangkan ke negara-negara tetangga atau ke negara-negara lain yang lebih jauh. Sebuah negara dapat memiliki satu atau lebih peran dalam proses
Perdagangan, yaitu sebagai negara sumber (pemasok), negara transit, dan negara tujuan. Di masa kolonialisme, negara jajahan menjadi negara pemasok budak, sedangkan negara penjajah menjadi negara tujuan. Hal yang sama juga terjadi saat ini, negara maju menjadi tujuan bagi orang-orang yang diperdagangkan dari negara-negara miskin dan berkembang.
Pelaku kejahatan
Perdagangan orang lintas negara biasanya adalah sindikat dan melibatkan jaringan mafia yang ada di dalam negeri, mereka bertugas sebagai perekrut atau agen. Globalisasi dan kemudahan untuk melakukan perjalanan internasional menjadi salah satu faktor penarik kejahatan-kejahatan lintas negara, termasuk
Perdagangan perempuan dan
anak. Di Indonesia, Komisi Perlindungan
anak Indonesia membuat daftar modus yang sering digunakan dalam
Perdagangan anak, yaitu: "pengiriman buruh migran perempuan, pengiriman Pembantu Rumah Tangga (PRT), eksploitasi seksual, perbudakan, pengantin pesanan, pekerja
anak, pengambilan organ tubuh, adopsi
anak, penghambaan, duta seni, budaya, dan bahasa, serta kerja paksa hingga penculikan
anak atau remaja". Di Indonesia, transaksi
Perdagangan anak dan perempuan lintas negara sering terjadi di perbatasan negara. Oleh karena itu,
Perdagangan perempuan dan
anak turut dipicu oleh lemahnya tingkat penjagaan dan keamanan di wilayah perbatasan. Tindak pidana
Perdagangan orang lintas negara seringkali sulit untuk ditindak hukum akibat kurangnya bukti. Menurut para aktivis, upaya terbaik yang dapat dilakukan adalah meningkatkan sosialisasi pencegahan di masyarakat.
anak-
anak rentan terhadap
Perdagangan orang antara lain karena kemiskinan, kurangnya kesadaran mengenai buruh
anak, tingkat pendidikan yang rendah, minimnya pencatatan kelahiran, krisis kemanusiaan, faktor budaya, undang-undang yang tidak efektif, dan lemahnya penegakan hukum dalam tindak pidana
Perdagangan orang. Faktor sosial dan budaya, seperti kesenjangan gender yang ada dalam beberapa budaya, menyebabkan
anak-
anak perempuan lebih rentan terhadap
Perdagangan. Para ilmuwan juga menyebut globalisasi ekonomi sebagai faktor yang turut menyuburkan
Perdagangan anak lintas negara. Hal ini ditandai dengan kemudahan melakukan perjalanan antar negara, terutama dari negara berkembang ke negara maju, baik secara sah maupun ilegal. Pelaku kejahatan internasional memanfaatkan hal tersebut untuk memperdagangkan manusia dan mengirim uang, barang, dan jasa.
= Faktor ekonomi
=
Faktor pendorong terbesar
Perdagangan anak adalah kemiskinan dan keterbatasan lapangan pekerjaan. Warga miskin, termasuk di antaranya
anak-
anak, termotivasi untuk memperbaiki nasib dengan mencari pekerjaan ke luar kota, daerah, hingga luar negeri. Sayangnya, mereka tidak memiliki informasi yang cukup tentang daerah atau negara yang akan mereka tuju, sehingga mereka menghadapi risiko diperdagangkan. Beberapa negara yang mengalami perpecahan, seperti negara-negara eks Uni Soviet, menderita kelemahan ekonomi. Kondisi ini mendorong suburnya
Perdagangan perempuan dan
anak di kawasan Eropa Timur. Di Indonesia, kemiskinan, pengangguran, dan tingkat pendidikan yang rendah merupakan beberapa faktor pendorong
Perdagangan anak dan perempuan. Faktor ekonomi ini terkadang berpadu dengan faktor ekologis, di antaranya tingkat kepadatan penduduk tinggi yang turut menyumbang kerentanan suatu daerah. Provinsi berpenduduk padat, seperti Jawa Timur, memiliki kerentanan yang lebih tinggi. Jawa Timur dikenal sebagai pengirim, penerima, dan daerah transit untuk
Perdagangan orang baik domestik maupun lintas negara. Provinsi ini juga merupakan penyumbang buruh migran terbesar di Indonesia, dan oleh karenanya rentan terhadap
Perdagangan manusia.
= Faktor lingkungan
=
Sebagian
anak menjadi korban
Perdagangan karena faktor lingkungan, misalnya didorong dan dipaksa oleh orang tua. Berdasarkan penelitian di Kota Malang, Jawa Timur, diketahui bahwa beberapa orang tua menyuruh anaknya untuk mengamen dan mengemis guna mencukupi kebutuhan mereka, termasuk membeli rokok. Di Jawa Barat, ditemukan orang tua yang mengeluh saat putrinya dikembalikan ke keluarga setelah diselamatkan dari kasus
Perdagangan. Mereka tidak siap kehilangan pemasukan dari anaknya yang dipaksa bekerja sebagai pekerja seks. Kurangnya perhatian orang tua terhadap
anak juga menjadi faktor lingkungan yang memperbesar risiko. Berdasarkan hasil studi,
anak-
anak yang tidak memiliki dukungan sosial memadai, memiliki sejarah sebagai korban kekerasan fisik, seksual, dan pengalaman masa kecil yang merugikan (adverse childhood experiences), serta memiliki citra diri yang rendah seringkali menjadi sasaran pelaku
Perdagangan orang. Selain itu,
anak-
anak imigran yang tidak tercatat dan anggota komunitas terpinggirkan juga rentan menjadi korban eksploitasi. Beberapa contoh komunitas yang mengalami peminggiran antara lain penduduk asli,
anak-
anak minoritas seksual, dan mereka yang berasal dari ras/kelompok etnik minoritas. Mereka yang harus berpindah tempat tinggal karena tertimpa bencana alam dan konflik sosial juga rentan diperdagangkan.
= Faktor pendidikan
=
Kemiskinan membuat
anak-
anak kesulitan untuk mengakses pendidikan yang layak. Setelah lulus SMP/SMA, banyak dari mereka yang ingin langsung bekerja. Tanpa pengalaman dan kemampuan yang memadai, mereka tergiur dengan janji gaji besar yang ditawarkan oleh agen. Pendidikan yang rendah dan usia dini juga berhubungan dengan tingkat literasi digital yang lemah. Akses
anak-
anak yang lebih luas terhadap internet saat ini tidak diimbangi dengan kemampuan literasi yang baik. Akibatnya, banyak dari mereka yang terlibat dalam penyalahgunaan media sosial, serta mudah terjebak oleh bujukan pelaku grooming. Hal ini semakin terlihat selama masa pandemi Covid-19. Banyaknya waktu yang dihabiskan di dunia maya selama pandemi menjadikan
anak-
anak lebih rentan terpapar konten seksual dan kemungkinan berkontak dengan para predator.
anak-
anak juga belum memiliki pengetahuan, kemampuan, dan sumber daya yang memadai untuk menjaga diri mereka sendiri saat menggunakan internet.
= Faktor sosial dan budaya
=
Adat dan budaya patriarki mendorong suburnya
Perdagangan anak. Beberapa budaya lebih mengutamakan
anak laki-laki daripada
anak perempuan, seperti di Tiongkok dan India. Di beberapa budaya, seperti di Timur Tengah, Asia Selatan dan Afrika Utara, orang tua juga harus menyediakan mahar tinggi saat menikahkan
anak perempuan mereka. Akibatnya,
anak perempuan sering dianggap sebagai beban keluarga. Kondisi tersebut menimbulkan kesenjangan akses antara laki-laki dan perempuan dalam hal pendidikan, ekonomi, dan lapangan kerja. Faktor kemiskinan dan pandangan bahwa
anak perempuan sebagai beban tersebut mendorong orang tua untuk menjual
anak perempuannya ke agen pelacuran. Selain terlepas dari tanggung jawab, orang tua juga termotivasi oleh imbalan uang. Di negara-negara tertentu, ada pandangan umum bahwa
anak harus mendukung ekonomi keluarga. Di sisi lain, budaya mengutamakan
anak laki-laki membuat proporsi penduduk antara laki-laki dan perempuan tidak seimbang di Cina. Sehingga, untuk mendapatkan pasangan, banyak laki-laki Cina memesan calon pengantin perempuan dari luar negeri. Hal ini kemudian turut berkontribusi pada penyalahgunaan pengantin pesanan.
Perkawinan
anak juga menjadi faktor pendorong
Perdagangan anak. Di Indonesia,
anak-
anak yang menikah kemudian bercerai akan kesulitan menemukan pekerjaan layak. Mereka pun akhirnya terdorong untuk bekerja di luar negeri dan berpotensi terjebak dalam
Perdagangan orang. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
anak RI menyebutkan beberapa faktor utama yang mendorong
Perdagangan anak dan perempuan, yaitu "kebiasaan merantau untuk memperbaiki nasib, budaya konsumtif, tradisi perkawinan
anak, dan diskriminasi gender". Pemahaman yang rendah mengenai hak-hak
anak juga merupakan faktor sosial budaya yang menyuburkan
Perdagangan anak di beberapa negara.
= Faktor penegakan hukum
=
Tingginya angka kasus
Perdagangan anak juga disebabkan oleh ketiadaan aturan hukum yang jelas dan lemahnya penegakan hukum terhadap kasus
Perdagangan manusia.
Perdagangan anak umumnya melibatkan jaringan pelaku yang beroperasi secara rapi, sehingga menyulitkan upaya pengungkapan perkara. Hal ini ditambah dengan aparat penegak hukum yang lambat dalam menangani kasus. Pakar hukum di Indonesia mengindikasikan adanya upaya intervensi kasus oleh pelaku. Akibatnya, peran aparat dalam penegakan hukum
Perdagangan manusia menjadi lemah. Hal yang sama juga terjadi dalam kasus pornografi
anak dan pernikahan
anak, banyak negara yang masih memiliki aturan yang permisif atau bahkan belum memiliki undang-undangnya sama sekali.
Perdagangan anak dan penggunaan obat-obatan terlarang
Penyalahgunaan narkotika di kalangan korban
Perdagangan anak merupakan sesuatu yang umum ditemui. Obat-obatan terlarang digunakan untuk berbagai tujuan di antaranya mendorong kepatuhan, menciptakan ketergantungan, menimbulkan "kebiasaan", menghukum korban yang memberontak, mengatasi stres akibat
Perdagangan seks, menjerat korban yang rentan, mengkriminalisasi korban, dan melumpuhkan korban. Berdasarkan laporan, sebanyak 70% korban
Perdagangan orang menggunakan narkotika.
Para pelaku menggunakan narkoba untuk menarik sebagian kecil korban yang sudah memiliki ketergantungan sebelumnya. Obat-obatan terlarang juga digunakan untuk mengikat pemakai baru. Narkotika juga digunakan sebagai hadiah atas kepatuhan dan sebagai hukuman bagi korban yang sudah mencapai level adiksi. Pelaku juga terkadang memaksa korban untuk mengonsumsi zat adiktif agar mereka ketergantungan, ketergantungan membuat korban berhutang kepada pengedarnya, dapat mengendalikan korban, dan korban memilih tetap tinggal akibat adanya ikatan trauma terlepas dari pengalaman buruk yang dialami. Bagi korban, obat-obatan menjadi salah satu pelarian untuk berdamai dengan keadaan. Perempuan dan
anak korban eksploitasi seks sering dipaksa melayani banyak pelanggan setiap hari, berhubungan seks tanpa kondom, dan dikejar target pendapatan.
Ada sejumlah faktor yang menjadi tantangan dalam upaya penanganan
Perdagangan anak, baik yang berasal dari korban maupun aspek-aspek lainnya. Namun, tantangan yang utama bersumber dari sifat
Perdagangan orang itu sendiri. Kejahatan
Perdagangan orang seringkali sulit terlacak karena sifatnya sebagai kegiatan ilegal. Pangkalan data untuk melacak kasus juga sangat minim dan di lapangan ditemui kesulitan dalam mengidentifikasi korban. Beberapa tantangan yang lain adalah keragaman interpretasi tentang
Perdagangan anak dan perbedaan usia konsen di beberapa negara, serta aspek kebijakan dan penegakan hukum.
Beragamnya interpretasi mengenai
Perdagangan anak menjadi tantangan di banyak negara. Di AS, misalnya, ada negara bagian yang mengharuskan adanya unsur migrasi atau perpindahan korban, sedangkan yang lain mengecualikan eksploitasi seksual komersial atas inisiatif individu (seks untuk bertahan hidup) dari
Perdagangan orang. Dalam konteks pelacuran
anak, negara-negara memiliki usia persetujuan atau usia konsen yang bervariasi. Hal yang sama juga terjadi di negara federal seperti AS, usia konsen di negara-negara bagian bisa berbeda-beda. Akibatnya, ada kemungkinan korban
Perdagangan anak disebut sebagai korban di sebuah negara, tapi di negara lain mereka dikategorikan sebagai pekerja seksual dan pelaku kejahatan. Penegakan hukum yang lemah di beberapa negara menjadi masalah tersendiri. UNICEF melaporkan bahwa masih banyak negara di Eropa yang belum memiliki rencana aksi yang spesifik terkait
Perdagangan anak pada 2008.
Dari sisi korban, banyak dari mereka yang enggan melapor karena rasa malu, takut, memiliki pengetahuan yang rendah mengenai hak-hak mereka, atau bahkan karena loyalitasnya terhadap pelaku.
anak-
anak khawatir terhadap stigma yang diberikan masyarakat terhadap korban eksploitasi seksual komersial.
anak-
anak juga cenderung menyalahkan diri sendiri dan memandang bahwa mereka bertanggung jawab atas eksploitasi yang menimpa mereka. Di kalangan tenaga kesehatan, pemahaman minim dan persepsi yang keliru mengenai
Perdagangan anak juga menjadi penghambat upaya penanganan. Sehingga, mereka semakin rentan karena tidak memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan.
Referensi
Daftar pustaka
= Buku
=
= Bab buku
=
= Jurnal
=
= Dokumen
=
= Sumber daring
=