Bahrain telah ditempati oleh manusia sejak zaman pra-
Sejarah. Lokasinya yang strategis di Teluk Persia telah berpengaruh bagi orang-orang Assyria, Babilonia, Yunani, Persia, dan terakhir Arab (penduduknya kemudian menjadi Muslim).
Bahrain pada zaman silam dikenal sebagai Dilmun, Tylos (nama Yunaninya), Awal, menjadi Mishmahig sewaktu di bawah pemerintahan Kekaisaran Persia.
Pulau-pulau di
Bahrain yang terletak di tengah-tengah sebelah selatan Teluk Persia berhasil menarik penjajah sepanjang
Sejarah.
Bahrain dalam bahasa Arab berarti "Dua Laut". Hal ini merujuk pada fakta yang pulau ini mempunyai dua sumber air berbeda, air tawar yang muncul dari dalam tanah dan air asin yang mengelilinginya.
Sebagai sebuah pulau yang strategis yang berada di antara timur dan barat, tanah yang subur, dan air tawar berlimpah, dan tempat penyelam mencari mutiara telah menjadikan
Bahrain pusat permukiman. Selama 2300 tahun,
Bahrain menjadi pusat perdagangan dunia di antara Mesopotamia (sekarang Irak) dan Lembah Indus (sekarang sebuah wilayah di India). Adalah peradaban Dilmun yang mempunyai kaitan erat dengan Peradaban Sumeria pada abad ke-3 SM.
Bahrain menjadi bagian dari Babilonia lebih kurang pada tahun 600 SM. Catatan-catatan
Sejarah menunjukkan
Bahrain dikenal melalui berbagai julukan yang di antaranya "Mutiara Teluk Persia".
Bahrain hingga tahun 1521 terdiri dari daerah Ahsa (yang lebih besar), Qatif (keduanya kini menjadi provinsi timur Arab Saudi), serta Awal (kini pulau
Bahrain). Daerah
Bahrain terbentang hingga (kini) Kuwait hingga Oman dan dinamakan Provinsi
Bahrain (atau Iqlim Al-
Bahrain). Namun pada 1521, kedatangan Portugis telah memisahkan Awal (kini
Bahrain) dengan daerah lainnya dan hingga kini
Bahrain dikenal sebagai wilayah yang dikenal sekarang.
Dari abad ke-16 Masehi hingga tahun 1743, pemerintahan
Bahrain sentiasa berubah-ubah di antara Portugis dan Persia. Akhirnya, Sultan Persia, Nader Shah menguasai
Bahrain dan atas alasan politik mendukung mayoritas Syi'ah. Pada lewat abad ke-18 Masehi Keluarga Al-Khalifah mengambil alih pulau ini. Untuk menjaga agar pulau ini tidak jatuh kembali ke tangan Persia, mereka menjalin persahabatan dengan Britania Raya dan menjadi negeri di bawah naungan Britania.
Minyak ditemukan pada tahun 1931 dan sejak itu
Bahrain dibangun dan mengalami modernisasi pesat. Hal ini juga menjadikan hubungan dengan Britania Raya lebih baik dan dibuktikan dengan makin banyaknya pangkalan-pangkalan Inggris yang pindah ke pulau tersebut. Pengaruh menguat seiring dengan makin berkembangnya negara ini, puncaknya saat Charles Belgrave dilantik menjadi penasihat. Belgrave kemudian mengukuhkan sistem pendidikan modern sebagai bagian pendidikan di
Bahrain.
Setelah Perang Dunia II, sentimen anti-Inggris menguat di wilayah-wilayah Arab dan mengakibatkan terjadinya kerusuhan di
Bahrain. Pada tahun 1960-an, pihak Inggris menyerahkan masa depan
Bahrain pada arbitrase internasional dan meminta agar PBB mengambil alih tanggung jawab. Pada tahun 1970, Iran terus menerus menuntut haknya terhadap
Bahrain dan pulau-pulau lain di Teluk Persia, namun salah satu perjanjian dengan pihak Britania Raya, mereka kemudian setuju untuk tidak meneruskan tuntutannya terhadap
Bahrain jika tuntutan (Iran) lainnya dikabulkan.
Britania Raya mundur dari
Bahrain pada bulan Agustus 1971, menjadikan
Bahrain sebagai sebuah negara 'merdeka'. Peningkatan harga minyak pada tahun 1980-an sangat menguntungkan
Bahrain, namun harga minyak yang turun drastis malah tidak terlalu mengguncang perekonomian walaupun terasa sulit. Hal ini mengakibatkan sektor ekonomi dipaksa berkembang dan bervariasi.
Setelah terjadinya Revolusi Islam di Iran pada tahun 1979, tokoh Syi'ah
Bahrain pada tahun 1981 melancarkan perebutan kekuasaan. Walau bagaimanapun, percobaan mereka gagal. Pada tahun 1994, kerusuhan demi kerusuhan dilakukan oleh golongan Syi'ah yang tidak puas dengan ketidakadilan pemerintahan.
Pada bulan Maret 1999, Hamad ibn Isa al-Khalifah menggantikan ayahandanya sebagai kepala negara. Ia menjalankan berbagai perubahan, di antaranya; memberi hak pilih kepada kaum wanita dan membebaskan semua tahanan politik.
Bahrain hingga hari ini merupakan anggota Liga Arab.
Zaman purba
Bahrain pernah menjadi tempat tinggal Dilmun, sebuah kota pusat perdagangan yang penting pada zaman perunggu yang menghubungkan Mesopotamia dan Lembah Indus.
Bahrain sebelumnya telah dikuasai oleh orang Assyiria dan Babilonia.
Dari abad ke-6 hingga ke-3 SM,
Bahrain menjadi bagian dari Kekaisaran Persia saat dalam masa penguasaan oleh dinasti Akhemeniyah. Pada sekitar 250 SM, Parthia membawa Teluk Persia berada di bawah pengawasannya memperluas pengaruhnya hingga Oman. Sang Parthians mendirikan garisun sepanjang pesisir selatan Teluk Persia untuk mengawasi jalur perdagangan.
Saat zaman Klasik,
Bahrain merujuk kepada Yunani kuno sebagai Tylos, pusat perdagangan mutiara, saat laksamana Yunani Nearchus yang mengabdi di bawah Aleksander Yang Agung mendarat di
Bahrain. Nearchus percaya komandan pertama Aleksander untuk mengunjungi pulau, dan dia menemukan sebuah tanah yang merupakan bagian dari jaringan perdagangan yang luas; dia berkata: “Disini pulau Tylos, berada di Teluk Persia, adalah perkebunan kapas yang luas, dari yang mereka produksi dikenal sebagai sindones, sebagai pembeda derajat yang kuat nilainya, beberapa sangat mahal, sedikit yang lainnya mahal. Penggunaan ini tidak mengurung ke India, tetapi diperluas ke Arabia.” Sejarawan Yunani, Theophrastus, berpendapat bahwa sebagian besar dari
Bahrain diselimuti oleh perkebunan kapas dan bahwa
Bahrain terkenal karena pengekspor tongkat berjalan yang diukir dengan lambang seperti yang biasa dibaws-bawa di Babilonia.
Alexander berencana untuk menempatkan para kolonis Yunani di
Bahrain, dan meskipun ini tidak benar bahwa yang terjadi ini dalam skala pertimbangannya,
Bahrain sebagian besar menjadi bagian dari dunia Hellenis: bahasa kelas bawah adalah Yunani (meskipun Aram digunakan setiap hari), dengan Zeus yang dipuja dalam wujud dewa matahari Arab, Syams.
Bahrain pernah menjadi situs tempat pertandingan atletik Yunani.
Sejarawan Yunani Strabo percaya Phoenisia berasal dari
Bahrain. Herodotus juga percaya bahwa tanah air Phoenisian adalah
Bahrain. Teori ini diterima oleh klasikis Jerman abad ke-19 Arnold Heeren yang berkata: "Dalam geografer Yunani, untuk perumpamaannya, kami membaca dua pulau, namanya Tyrus atau Tylos, dan Arad,
Bahrain, yang mebual bahwa ibu negara Phoenisia, dan memperlihatkan peninggalan kuil-kuil Phoenisia." Masyarakat Tyre dalam faktar-fakta pengurus Teluk persia yang asli, dan kedamaan dalam kata "Tylos" dan "Tyre" telah dikomentari padanya. Tetapi, terdapat keterangan kecil pada setiap pemukiman manusia di semua tempat di
Bahrain saat waktu ketika migrasi menurut dugaan pengambilan tempat.
Nama Tylos diperkirakan menjadi sebuah Hellenisasi Semitik, Tilmun (dari Dilmun). Istilah Tylos biasanya digunakan untuk pulau saat Ptolemy’s Geographia ketika penduduk merujuk kepada 'Thilouanoi'. Beberapa tempat di
Bahrain kembali ke zaman Tylos; seperti contohnya nama Arad, sebuah pemukiman di pinggir kota Muharraq, dipercaya asalnya dari "Arados", nama Yunani kuno untuk Muharraq.
Pada abad ke-3 M Ardashir I, penguasa pertama dinasti Sassaniyah, melatih pasukannya di Oman dan
Bahrain, dimana dia mengalahkan Sanatruq penguasa
Bahrain. Saat ini,
Bahrain dikenal sebagai Mishmahig (dalam bahasa Persia Tengah/Pahlavi berarti "ikan domba betina").
Bahrain juga menjadi situs pemujaan sebuah dewata hiu yang dikenal sebagai Awal. Para pemuja membangun sebuah patung yang besar Awal di Muharraq, meskipun it has now been lost. Untuk beberapa abad setelah Tylos,
Bahrain dikenal sebagai Awal. Pada abad ke-5 M,
Bahrain menjadi pusat untuk Kekristenan Nestorian, dengan desa Samahij sebagai tempat tinggal para uskup. Pada 410, menurut rekaman muktamar Gereja Oriental Suriah, seorang uskup yang bernama Batai dikucilkan dari gereja di
Bahrain. Sebagai sebuah sekte, para Nestorian sering kali menganiaya yang bid'ah oleh Kekaisaran Bizantium, tetapi
Bahrain berada di luar pengawasan Kekaisaran yang menawarkan beberapa keamanan. Nama sebagian desa di Muharraq sebagai warisan dari Kristen
Bahrain saat ini, dengan Al Dair yang berarti “biara”.
Bahrain ketika masa pra-Islam dihuni oleh Kristen Arab (kebanyakan Bani Abdul Qays), orang Persia (Majusi), Yahudi dan petani dari penutur Aram. Menurut Robert Bertram Serjeant, kata Baharna di-Arabkan menjadi "ketururnan yang mengubah dari populasi Kristen asli (Aramaean), Yahudi dan Persia mendiami pulau dan menanami pesisir provinsi Arabia Timur pada masa Penaklukan Muslim". Penduduk yang menetap pada masa pra-Islam
Bahrain adalah penutur bahasa Aram.
Masa Nabi Muhammad
Interaksi pertama Nabi Muhammad dengan penduduk
Bahrain adalah dengan penyerangan Al Kudr. Muhammad memerintahkan sebuah serangan mengejutkan Banu Salim yang dikatakan merancang serangan ke Madinah. Dia mendengar berita yang menyatakan bahwa beberapa suku menyusun sebuah angkatan bersenjata di
Bahrain dan menyiapkan diri untuk menyerang tanah utama. Tetapi pemimpin suku melatih ketika mereka mengajari Nabi Muhammad memimpin sebuah pasukan perang untuk bertempur dengan mereka.
Penulis tradisional Islam menyatakan bahwa Al-ʿAlāʾ Al-Haḍrami telah mengirim seorang utusan saat Ekspedisi Zaid bin Haristah (Hisma) kepada wilayah
Bahrain oleh Nabi Muhammad pada ad 628 dan bahwa Munzir bin Sawa al-Tamimi, penguasa lokal, merespon misinya dan mengonversi atau menyatukan seluruh wilayahnya.
Zaman pertengahan
Pada ad 899, Qaramitah, sebuah millenarian dari sekte Syi'ah Ismailiyah di
Bahrain, mencari cara untuk membuat sebuah masyarakat utopia didasarkan pada alasan dan penyebaran kembali benda yang diajukan. Setelah itu Qaramitah menuntut kabilah dari khalifah di Baghdad, dan pada ad 930 menyerang Mekkah dan Madinah, membawa Hajar Aswad yang suci dikembalikan kepada markas mereka di Ahsa, dalam masa pertengahan
Bahrain, untuk menjadi tebusan. Menurut sejarawan Al-Juwaini, batu itu dikembalikan 22 tahun kemudian pada 951 di bawah keadaan yang misterius. Dibungkus oleh karung, digantung di Masjid Agung Kufah di Irak, dilengkapi dengan tulisan "Dengan perintah kami mengambil ini, dan dengan perintah kami mengembalikannya." Keadaan batu itu telah pecah menjadi tujuh bagian.
Menurut mereka ad 976 dikalahkan oleh Abbasiyah, Qarmasi digulingkan oleh dinasti Uyuni al-Hasa, yang memasukan seluruh wilayah
Bahrain pada 1076. Dinasti Uyuni mengawasi
Bahrain hingga 1235, kemudian kepulauan dengan waktu yang singkat dikuasai oleh penguasa Persia dari Fars. Pada 1253, para Usfuri Badui membawa turun dinasti Uyuni, dengan cara memperoleh dengan melakukan pengawasan terhadap Arabia Timur, termasuk pulau
Bahrain. Pada 1330, kepulauan menjadi sebuah negara jajahan di bawah penguasaan Hormuz, walaupun aslinya pulau diawasi oleh orang-orang Syi'ah Jarwani dari Qatif.
Pada pertengahan abad ke-15, kepulauan berada di bawah kekuasaan Dinasti Jabri, sebuah dinasti Badui yang juga bermarkas di Al-Ahsa yang menguasai sebagian besar Arabia Timur.
Zaman modern awal
Pada 1521, Kekaisaran Portugis bekerja sama dengan Hormuz dan penangkap
Bahrain dari penguasa Jabrid Migrin bin Zamil, yang dibunuh saat berangkat. Portugis menguasai
Bahrain untuk sekitar 80 tahun, sewaktu mereka sebagian besar bergantung pada Gubernur Sunni Persia. Portugis diusir dari pulau pada 1602 oleh Abbas I dari dinasti Safawi dari Persia, yang memberi daya pendorong kepada Syi'ah. Untuk dua abad selanjutnya, penguasa Persia menahan pengawasan terhadap kepulauan, pada sela-sela invasi tahun 1717 dan 1738 Ibadi Oman. Pads periode ini, mereka memilih untuk memerintah
Bahrain dalam kepemimpinan, salah satu dari dua kota Bushehr atau imigran dari klan Arab Sunni. Kemudian para kabilah kembali ke pesisir Arab Teluk Persia dari teritori Persia di utara yang dikenal sebagai Huwala Pada 1753, klan Huwala dari Nasr Al-Madhkur menyerbu
Bahrain untuk kepemimpinan pemimpin Iran Zand Karim Khan Zand dan memilih untuk memimpin penguasaan Iran.
Pada 1783, Al-Madhkur kehilangan pulau
Bahrain karen dikalahkan oleh kabilah Bani Utbah pada 1782 dalam pertempuran Zubarah.
Bahrain bukanlah wilayah baru dari Bani Utbah; mereka pernah menguasai sebelumnya pada abad ke-17. Pada waktu itu, mereka mulai melakukan pembelian terhadap perkebunan kurma di
Bahrain; sebuah dokumen memperlihatkan bahwa 81 tahun sebelum datangnya Al-Khalifa, salah satu Shaikh suku Al Bin Ali membeli sebuah perkebunan kurma dari Mariam bint Ahmed Al Sanadi di pulau Sitra.
Al bin Ali menjadi kelompok yang dominan mengawasi kota Zubarah di Semenanjung Qatar, yang aslinya merupakan pusat kekuatan Bani Utbah. Setelah Bani Utbah gained mengawasi
Bahrain, Al bin Ali menerapkan status independen sebagai kegubernuran sendiri. Mereka menggunakan sebuah bendera dengan empat merah dan tiga garis putih, dipanggil bendera As-Sulami di
Bahrain, Qatar, Kuwait, dan sebelah timur provinsi di Arab Saudi. Kemudian, berlainan dari keluarga Arab dan kabilah dari Qatar pindah ke
Bahrain untuk menetap setelah kejatuhan Nasr Al-Madhkur dari Bushehr. Keluarga-keluarga tersebut termasuk Al Khalifa, Al-Ma'awdah, Al-Fadhil, Al-Mannai, Al-Noaimi, Al-Sulaiti, Al-Sadah, Al-Thawadi serta keluarga dan kabilah lainnya.
Keluarga Al Khalifa dari Qatar ke
Bahrain pada 1799. Aslinya, penerus mereka diusir dari Umm Qasr di Arabia Tengah oleh Ottoman yang ganas dan biasa memangsa karavan di Basra dan hubungan perdagangan di jalur air Shatt al-Arab hingga Turks mengusir mereka ke Kuwait pada 1716 where they remained hingga 1766.
Sekitar tahun 1760an, Al Jalahma dan klan Al Khalifa, keduanya termasuk kedalam federasi Utub, berpindah ke Zubarah pada masa modern Qatar, meninggalkan Al Sabah sebagai satu-satunya pemilik Kuwait.
Abad ke-19 dan kemudian
Pada awal abad ke-19
Bahrain diserbu oleh Omanis dan Al Saud. Pada 1802
Bahrain dipimpin oleh seorang Gubernur yang merupakan seorang anak berusia dua belas tahun, ketika penguasa Oman Sayyid Sultan mengangkat anaknya, Salim, sebagai Gubernir Benteng Arad. Pada 1816, pemukiman politik Britania di Teluk, William Bruce, menerima sebuah surat dari Sheikh
Bahrain yang terkait tentang sebuah dugaan bahwa Britania akan mendukung sebuah serangan di pulau oleh Imam Muscat. Dia berlayar menuju
Bahrain untuk menenangkan Sheikh bahwa ini bukan yang sebenarnys dan membuat sebuah perjanjian informal untuk meyakinkan Sheikh bahwa Britania akan tetap pada partai netral.
Pada 1820, Al Khalifa diumumkan oleh Britania Raya sebagai penguasa ("Al-Hakim" dalam bahasa Arab)
Bahrain setelah menandatangani sebuah perjanjian kerjasama. Tetapi, sepuluh tahun kemudian mereka memaksa membayar upeti tahunan kepada Mesir walaupun mereka mencari-cari perlindungan Persia dan Britania.
Pada 1860, the Al Khalifa menggunakan taktik yang sama ketika Britania tried to overpower
Bahrain. Menulis surat kepada Persia dan Utsmaniyah, Al Khalifa menyetujui untuk menempatkan
Bahrain di bawah perlindungan kemudian pada Maret menawarkan hingga kondisi membaik. Akhirnya Pemerintah Britania India menguasai
Bahrain ketika Persia menolak untuk melindungi ini. Kolonel Pelly menandatangani sebuah perjanjian baru dengan Al Khalifas yang menempatkan
Bahrain di bawah kekuasaan dan perlindungan Britania.
Menurut Perang Qatar-
Bahrain pada 1868, wakil Britania menandatangani perjanjian lainnya dengan Al Khalifa. Disinj tertulis bahwa penguasa tidak menyengketakan wilayah apapun kecuali kepada Britania Raya dan dan tidak masuk kedalam kerjasama apapun dengan negara apapun tanpa persetujuan Britania.
Unrest amongst the people of
Bahrain began when Britania officially mendirikan complete dominance diatas teritori pada 1892. Pemberontakan pertama dan penyebaran pemberontskan diawali pada Maret 1895 against Sheikh Issa bin Ali, then ruler of
Bahrain. Sheikh Issa menjadi penguasa pertama Al Khalifa untuk berkuasa tanpa berhubungan dengan Persia. Sir Arnold Wilson, Britain's representative in the Teluk Perisa dan author of The Persian Gulf, sampai di
Bahrain dari Muscat pada waktu ini Pemberontakan berkembang dilanjutkan dengan beberapa protestan dibunuh oleh pasukan Britania.
Sebelum penemuan petroleum, pulau ini sebagiaj besar mengabdikan diri kepada pertanian mutiara dan, akhir abad ke-19 dilanjutkan menjadi yang terbaik di dunia. Pada 1903, penjelajah Jerman, Hermann Burchardt, mengunjungi
Bahrain dan mengambil beberapa fotografi situs bersejarah, termasuk Qaṣr es-Sheikh, gambar-gambar itu sekarang dipajang di Ethnological Museum of Berlin.
Pada 1911, sebuah kelompok Bahraini saudargar menuntut pembatasan pengaruh Britania di negara ini. Pemimpin kelompok setelah itu ditangkap dan diusir ke India. Pada 1923, Britania memperkenalkan administrative reforms dan menempatkan Sheikh Issa bin Ali dengan anaknya. Beberapa lawan pemuka agama keluarga seperti al Dossari meninggalkan atau diusir ke Arab Saudi dan Iran. Tiga tahun kemudian Britania menempatkan
Bahrain di bawah kekuaasaan de facto Charles Belgrave yang menempatkan seorang penasehst menjadi penguasa hingga 1957. Belgrave membawa banyak perubahan yang modern seperti pendirian negara sekolah modern pertama pada 1919, sekolah perempuan pertama di Teluk Persia pada 1928 and the abolition of slavery in 1937. Dalam waktu yang sama, mengembangkan penyelaman muriara dalam sebuah aliran yang terus maju.
Pada 1927, Rezā Shāh, kemudian Shah Iran, menuntut kedaulatan diatas
Bahrain memasukannya kedalam Liga Bangsa-Bangsa. Belgrave pernah mengusulkan mengganti nama Teluk Persia menjadi "Teluk Arabia"; tetapi, usulan itu ditolak oleh Britania.
Perusahaan Petroleum
Bahrain (Bapco), cabang Standard Oil Company dari California (Socal), mengeksplorasi minyak pada 1931 dan memulai produksi menurut tahun. Semua ini membawa perubahan modern bagi
Bahrain. Hubungan dengan Britania menjadi semakin dekat, saat Royal Navy dipindahkan dari Bushehr di Iran ke
Bahrain pada 1935.
Kemerdekaan
Pada 15 Agustus 1971, saat Shah Iran mengklaim kedaulatan bersejarah pada
Bahrain, dia menerima sebuah referendum yang ditangani oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan akhirnya
Bahrain mengumumkan kemerdekaannya dan menandatangani sebuah perjanjian baru dalam rangka persahabatan dengan Britania Raya.
Bahrain bergabung dengan Perserikatan Bangsa-bangsa dan Liga Arab belakangan ini.
Pelimpahan minyak pada 1970an menguntungkan
Bahrain secara besar-besaran, meskipun seterusnya cenderung melukai ekonomi. Negara siap memulai diversifikasi ekonominya dan menguntungkan kelanjutan dari Perang Saudara Lebanon pada 1970an dan 1980an, ketika
Bahrain menempatkan Beirut pusat keuangan Timur Tengah setelah sebagian besar sektor perbankan Lebanon pindah ke luar negeri ketika perang.
Menurut revolusi Islam di Iran pada 1979, pada 1981 fundamentalis Syi'ah
Bahrain menyusun sebuah percobaan pukulan mendadak yang gagal di bawah bantuan sebuah organisasi front, Front Islam unruk Liberasi
Bahrain. Pukulan mendadak itu memasang seorang pemuka agama Syi'ah yang diusir di Iran, Hujjatu l-Islām Hādī al-Mudarrisī, sebagai pemimpin tertinggi memimpin atau mengepalai sebuah pemerintahan teokratis. Pada Desember 1994, sebuah kelompok pemuda melempari batu kepada pelari wanita saat lomba marathon internasional. Penyelesaian dentuman dengan polisi kemudian tumbuh menjadi kegelisahan warga.
Sebuah pemberontakan yang terkenal antara antara 1994 dan 2000 dalam pasukan sayap kiri, pasukan gabungan liberalis dan Islamis. Akhirnya terjadi sekitar empat puluh kematian dan akhirnya setelah Hamad bin Isa Al Khalifa menjadi Emir
Bahrain pada 1999. Dia memulai pemilihan umum untuk parlemen, memberikan hak perempuan untuk memilih, dan melepas semua tawanan politik. Sebuah referendum pada 14–15 Februari 2001 secara besar-besaran mendukung Piagam Aksi Nasional
Bahrain Sebagai bagian dari adopsi Piagam Aksi Nasional pada 14 Februari 2002,
Bahrain mengubah nama resminya menjadi negara (dawla) dari
Bahrain menjadi Kerajaan
Bahrain.
Bahrain berpartisipasi dalam aksi militer di Taliban pada Oktober 2001 dengan menyebar sebuah pasukan pergat di Laut Arab untuk menolong dan operasi kemanusiaan. Sebagai hasilnya, pada November tahun itu, presiden Amerika Serikat George W. Bush memasukan
Bahrain sebagai "sekuru non-NATO utama".
Bahrain menentang invasi Irak dan menawarkan suaka kepada Saddam Hussein dalam beberapa hari sebelum invasi. Hubungan dengan tetangganya Qatar setelah sengketa perbatasan di pulau Hawar dipecahkan oleh International Court of Justice di The Hague pada 2001. Menurut liberalisasi politik negara,
Bahrain membicarakan sebuah perjanjian perdagangan bebas dengan Amerika Serikat pada 2004.
Pemberontakan Bahraini
Terinspirasi dari pemberontakan regional Kebangkitan dunia Arab, mayoritas Syi'ah
Bahrain mulai mengadakan protes terhadap penguasaan Sunni dalam Demonstrasi
Bahrain 2011.:162–3 Pemerintah pada awalnya mengizinkan protestan menurut seorang protestan pemerintah melakukan razia pada protestan yang berdiam diri di Pearl Roundabout.:73–4, 88 Sebulan kemudian diusulkan bantuan keamanan dari Arab Saudi dan negara-negara Arab di Teluk Persia lainnya dan mengumumkan sebuah ketidak amanan selama tiga bulan.:132–9 Pemerintah kemudian meluncurkan sebuah crackdown kepada para oposisi termasuk melaksanakan ribuan penangkapan dan penyiksaan yang sistematis. Dentuman setiap hari antara protestan dan pasukan keamanan memimpin kepada lusinan kematian. Protes, kadang kala dijadwalkan oleh partai oposisi, dimulai. Lebih sari 80 warga dan 13 polisi terbunuh pada 2014. Kekurangan nya diliput oleh media Arab di Teluk Persia, sebagai pelengkap pemberontakan dalam Kebangkitan dunia Arab lainnya, memunculkan beberapa kontroversi.
Referensi
Kechichian, J. A. (2002). "
Bahrain". Encyclopædia Iranica. New York: Mazda Pub.
Artikel ini berisi bahan berstatus domain umum dari situs web atau dokumen CIA World Factbook.
Artikel ini berisi bahan berstatus domain umum dari situs web atau dokumen Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (U.S. Bilateral Relations Fact Sheets).
Bacaan lanjutan
Rival Empires of Trade and Imami Shiism in Eastern Arabia, 1300–1800, Juan Cole, International Journal of Middle East Studies, Vol. 19, No. 2, (May 1987), pp. 177–203
Mahdi Abdalla Al-Tajir (1987).
Bahrain, 1920–1945: Britain, the Shaikh, and the Administration. ISBN 0-7099-5122-1
Talal Toufic Farah (1986). Protection and Politics in
Bahrain, 1869–1915 ISBN 0-8156-6074-X
Emile A Nakhleh (1976).
Bahrain: Political development in a modernizing society. ISBN 0-669-00454-5
Andrew Wheatcroft (1995). The Life and Times of Shaikh Salman Bin Hamad Al-Khalifa: Ruler of
Bahrain 1942–1961. ISBN 0-7103-0495-1
Fuad Ishaq Khuri (1980). Tribe and state in
Bahrain: The transformation of social and political authority in an Arab state. ISBN 0-226-43473-7
Fred H. Lawson (1989).
Bahrain: The Modernization of Autocracy. ISBN 0-8133-0123-8
Mohammed Ghanim Al-Rumaihi (1975).
Bahrain: A study on social and political changes since the First World War. University of Kuwait.
Fakhro, Munira A. 1997. "The Uprising in
Bahrain: An Assessment." In The Persian Gulf at the Millennium: Essays in Politics, Economy, Security, and Religion, eds. Gary G. Sick and Lawrence G. Potter: 167-88. New York: St. Martin's Press. ISBN 0-312-17567-1
Abdulla, Khalid M. 1999. "The State in Oil Rentier Economies: The Case of
Bahrain." In Change and Development in the Gulf, ed. Abbas Abdelkarim: 51–78. New York: St. Martin's Press. ISBN 0-312-21658-0
Pranala luar
Timeline:
Bahrain, BBC
Bahrain: 1905–2005 Diarsipkan 2009-04-04 di Wayback Machine. Life before and after the discovery of oil
Background Note:
Bahrain
Generational change and elite-driven reforms in the Kingdom of
Bahrain. (Sir William Luce Fellowship Paper No. 7) Dr. Steven Wright (2006) Middle East and Islamic Studies, University of Durham, (PDF Format)
Khalaf, Abdulhadi (1998). Contentious politics in
Bahrain: From ethnic to national and vice versa Diarsipkan 2006-07-16 di Wayback Machine..
University of
Bahrain Diarsipkan 2014-02-26 di Wayback Machine.