Thascius Caecilius Cyprianus atau yang sering dikenal dengan nama
Siprianus (bahasa Inggris: Cyprian), Sang uskup martir, adalah seorang uskup yang lahir pada pertengahan abad ketiga, lahir dari keluarga kafir golongan atas sekitar tahun 200. Awalnya, Cyprianus mengajar retorika di Kartago dan mungkin dipersiapkan untuk duduk dalam pemerintahan tinggi, seperti gubernur provinsi. Akan tetapi, tahun 256/246 Cyprianus berpaling dari prospek kehidupan yang gemilang demi menjadi seorang Kristen. Setelah memutuskan hidup menjadi seorang Kristen, ia meninggalkan pola hidupnya yang lama, membagi-bagikan uang dan harta kepada orang miskin, serta bersumpah akan hidup suci.
Siprianus, seorang kaya dan berbudaya, yang lahir, sekitar tahun 200 dalam keluarga kafir. Ketika ia menjadi Kristen, ia menanggalkan pola hidup lamanya, membagi-bagikan uang dan hartanya kepada orang miskin, serta bersumpah akan hidup suci. Tentang perubahan ini ia menulis: "Kelahiran kedua ini telah menciptakan manusia baru dalam diri saya, dengan hembusan Roh dari surga."
Sebagai seorang mantan guru retorika dan orator terkenal,
Siprianus yang fasih berbicara dan saleh ini menanjak melalui jenjang karier di gereja. Setelah menjadi orang Kristen, pada tahun 248/249 menjadi seorang presbiter atau penatua dan dengan relatif singkat menjadi uskup di Kartago sekitar tahun 248, kedudukan terpenting di provisi Romawi Afrika. Ia menduduki jabatannya sebagai seorang uskup kurang lebih sepuluh tahun, hingga mati sebagai seorang martir pada tahun 258. Pemikiran Cyprianus sangat dipengaruhi oleh Tertullianus, seorang pengacara kelahiran Afrika yang menulis buku-buku Kristen.
Meskipun ia terlatih dalam sastra Yunani dan Romawi klasik,
Siprianus bukanlah seorang teolog. Tidak seperti Tertulianus, orang yang dia kagumi,
Siprianus adalah orang pragmatis, seorang yang tidak suka bertengkar, dan ia tidak menghiraukan pertengkaran tentang teologi pada masanya. Yang diinginkannya hanyalah persatuan di gereja. Di gereja yang tidak ada kesatuan, ia mencoba menyatukan orang-orang Kristen melalui kuasa para uskup.
Kaisar Romawi, Decius, telah menganiaya orang-orang Kristen dan menyebabkan beberapa orang menyangkal iman mereka. Decius tidak berniat menjadikan mereka martir, karena hal itu akan menarik perhatian yang lebih besar bagi kekristenan. Tetapi, ia menyiksa orang-orang Kristen dengan harapan mereka akan mengakui bahwa "Kaisarlah Tuhan". Mereka yang berbuat demikian dikenal sebagai orang-orang yang telah "murtad".
Orang-orang Kristen yang bertahan, yang disebut "pengikut setia" itu sering kali memandang rendah orang-orang murtad tersebut. Maka sebuah konsili para uskup dibentuk untuk membuat peraturan-peraturan ketat dalam hal penerimaan kembali para orang murtad tersebut. Akibat ketatnya peraturan ini, seorang imam bernama Novatus memulai sebuah gereja saingan yang memberi kesempatan bagi orang-oring murtad itu menjadi anggotanya.
Meskipun
Siprianus tidak mengalami penyiksaan karena imannya, ia tidak setuju dengan perpisahan ini. Ia yakin bahwa orang percaya sejati harus menjalani hukuman untuk menebus dosa, untuk membuktikan imannya.
Hukuman untuk penebusan dosa itu terdiri dari penyesalan selama suatu masa tertentu dan setelah itu, orang tersebut dapat diterima kembali dalam Perjamuan Kudus. Begitu ia menyelesaikan "masa penyesalannya", ia akan tampil di hadapan jemaat dengan berpakaian goni serta melumuri badan dengan abu, dan di situlah sang uskup akan menyatakan pengampunan baginya.
Siprianus merumuskan ini sebagai sistem berskala — semakin besar dosanya, maka semakin lama pula masa penyesalannya. Idenya mendapat sambutan dan menjadi disiplin gereja paling kuat — yang kadang-kadang disalahgunakan.
Pada tahun 251
Siprianus mengadakan konsili di Kartago dan di situlah ia membacakan karyanya, "Persatuan di dalam gereja", karyanya yang terkenal dan yang sangat berpengaruh dalam sejarah gereja. Gereja, katanya, adalah lembaga ilahi, yaitu mempelai Kristus, dan hanya ada satu mempelai. Hanya di dalam gereja manusia akan mendapatkan keselamatan, di luar itu yang ada hanyalah kegelapan dan kebingungan. Di luar gereja, sakramen dan para rohaniwan — bahkan Alkitab — tidak ada artinya. Seseorang, secara pribadi, tidak dapat menjalankan kehidupan Kristen melalui kontak langsung dengan Allah; ia membutuhkan gereja.
Dengan diterimanya ide ini, tentu saja, para uskup mendapat kuasa lebih besar.
Siprianus juga mencetuskan ide bahwa misa adalah pengorbanan tubuh dan darah Kristus. Karena para imam menjalankan fungsinya dalam ibadah atas nama Kristus, maka hal ini pun meningkatkan kuasa mereka.
Siprianus meninggal karena penyiksaan Kaisar Valerianus. Karena ia menolak melakukan persembahan korban bagi dewa-dewa kafir, maka kepala Uskup Kartago itu dipenggal pada tahun 258.
Referensi
Lihat pula
Bapa Gereja
Pranala luar
A. Kenneth Curtis, J. Stephen Lang & Randy Petersen, 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen, Immanuel, 1999. Dapat dibaca di sini