Suku Togutil (atau dikenal juga sebagai
Suku Tobelo Dalam) adalah kelompok/komunitas etnis yang hidup di hutan-hutan secara nomaden di sekitar hutan Totodoku, Tukur-Tukur, Lolobata, Kobekulo dan Buli yang termasuk dalam Taman Nasional Aketajawe-Lolobata, Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara.
Etimologi
Kata
Togutil dipopulerkan oleh etnografer Belanda J. Platenkamp, yang meneliti kehidupan
Suku di Halmahera. Kata ini berasal dari Bahasa Tobelo O’Tau Gutili yang berarti "rumah obat". Walau begitu mereka lebih suka menggunakan istilah O'Hongana Manyawa yang berarti "orang yang tinggal di dalam hutan", sebaliknya orang Tobelo yang tinggal di pesisir menggunakan istilah O’Hoberera Manyawa yang artinya "orang yang tinggal di luar hutan".
Sejarah
Kehidupan mereka masih sangat tergantung pada keberadaan hutan-hutan asli. Mereka bermukim secara berkelompok di sekitar sungai. Komunitas
Togutil yang bermukim di sekitar Sungai Dodaga sekitar 42 rumah tangga. Rumah-rumah mereka terbuat dari kayu, bambu dan beratap daun palem sejenis Livistonia sp. Umumnya rumah mereka tidak berdinding dan berlantai papan panggung.
Suku Togutil yang dikategorikan
Suku terasing tinggal di pedalaman Halmahera bagian utara dan tengah, menggunakan bahasa Tobelo sama dengan bahasa yang dipergunakan penduduk pesisir, orang Tobelo.
Orang
Togutil penghuni hutan yang dikategorikan sebagai masyarakat terasing, sementara orang Tobelo penghuni pesisir yang relatif maju. Selain itu fisik orang
Togutil, khususnya roman muka dan warna kulit, menunjukkan ciri-ciri Melayu yang lebih kuat daripada orang Tobelo.
Ada cerita, orang
Togutil itu sebenarnya penduduk pesisir yang lari ke hutan karena menghindari pajak. Pada 1915 Pemerintah Belanda memang pernah mengupayakan untuk memukimkan mereka di Desa Kusuri dan Tobelamo. Karena tidak mau membayar pajak, mereka kembali masuk hutan dan upaya itu mengalami kegagalan. Dari sini lah rupanya beredar cerita semacam itu. Namun cerita ini rupanya tidak benar.
Kehidupan Orang
Togutil sesungguhnya amat bersahaja. Mereka hidup dari memukul sagu, berburu babi dan rusa, mencari ikan di sungai-sungai, di samping berkebun. Mereka juga mengumpulkan telur megapoda, damar, dan tanduk rusa untuk dijual kepada orang-orang di pesisir. Kebun-kebun mereka ditanami dengan pisang, ketela, ubi jalar, pepaya dan tebu.
Namun, karena mereka suka berpindah-pindah, dapat diduga kalau kebun-kebun itu tidak diusahakan secara intesif. Dengan begitu, sebagaimana lazimnya di daerah-daerah yang memiliki
Suku primitif, hutan di daerah ini tidak memperlihatkan adanya gangguan yang berarti.
Adat Istiadat Masyarakat Suku Togutil
Masyarakat
Suku Togutil menempatkan peranan keluarga inti lebih besar, karena itu pasangan yang baru selesai menikah langsung dianggap bisa berdiri sendiri. Akan tetapi, mereka tetap suka mengelompok tempat tinggalnya., terserah mau ikut kelompok asal suami atau ikut kelompok istri.
Kepemimpinan yang penting dalam masyarakat
Togutil ialah kepala kelompok yang mereka sebut Dimono. Dia biasanya seorang lelaki senior yang kuat, berpengalaman dan bijaksana, lebih utama lagi dia harus menguasai hukum adat dan kesejahteraan masyarakatnya.
Pengaruh masyarakat sekitar menyebabkan mereka juga mengenal tokoh Kapitan yakni kepala perang seandainya diserang musuh.
=
Suku Togutil terbagi menjadi empat, yakni Modole (mendiami Halmahera Timur-Halmahera Tengah), Boeng (mendiami Halmahera Utara, Halmahera Timur-Halmahera Tengah), Pagu (Halmahera Utara), dan Hoku. Sub
Suku Hoku yang disebut juga Canga, dianggap sudah punah, kemungkinan
Suku ini terasimilasi orang Halefuru karena ada kesamaan dialek.
Referensi
Pranala luar
Pewarta Indonesia - Mengenal
Suku Terasing "Orang
Togutil" di Pedalaman Halmahera Diarsipkan 2010-08-04 di Wayback Machine.