Tanah partikelir (Bahasa Belanda: particuliere landerijen atau particuliere landen) adalah bentuk kepemilikan
Tanah bersistem feodal yang diterapkan di sebagian Hindia Belanda (kini Indonesia). Hukum Belanda mendeskripsikan
Tanah partikelir sebagai ‘daulat’ dan status hukumnya mirip dengan Vorstenlanden yang berada di bawah Kerajaan Belanda. Pemilik
Tanah partikelir disebut sebagai "tuan
Tanah" (Bahasa Belanda: landheer) dan memegang "hak-hak ketuanan" (Bahasa Belanda: landsheerlijke rechten) atas penduduk di
Tanah tersebut, yang biasanya dipegang oleh pemerintah.
Sejarah
VOC, yang mengklaim telah menggantikan kerajaan-kerajaan di Jawa, mulai menjual
Tanah partikelir ke petinggi VOC, komprador, dan sekutunya antara dekade 1620-an hingga bangkrut pada tahun 1799. Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda selama jeda kekuasaan Prancis dan Britania di Hindia Belanda dari tahun 1808 hingga 1811, dan suksesornya dari tahun 1811 hingga 1816, Sir Stamford Raffles, mengawasi penjualan
Tanah milik pemerintah secara besar-besaran sebagai
Tanah partikelir. Penjualan
Tanah partikelir kemudian dihentikan pada tahun 1855. Sebagian besar
Tanah partikelir terletak di sekitar Batavia (kini Jakarta), di Ommelanden dari Karesidenan Betawi, di Jawa Barat, serta di bagian lain Pulau Jawa dan sekitarnya. Seperti Vorstenlanden,
Tanah partikelir tidak dikendalikan secara langsung oleh pemerintah kolonial, sehingga tidak wajib menerapkan sistem tanam paksa yang diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830.
Hingga tahun 1901, terdapat 304
Tanah partikelir, yang 101 di antaranya dimiliki oleh orang-orang Eropa, sementara sisanya sebagian besar dimiliki oleh orang-orang Tionghoa, terutama dari Cabang Atas.
Sekitar 800.000 petani hidup di ratusan
Tanah partikelir tersebut, dan secara administratif diatur oleh para tuan
Tanah masing-masing, bukannya pemerintah kolonial. Sehingga
Tanah partikelir juga terkenal akan kekejaman para tuan tanahnya. Serangkaian peraturan kemudian diterbitkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk memperketat pengaturan
Tanah partikelir, yakni Staatsblad No. 19 tahun 1836 dan Staatsblad No. 422 tahun 1912.
Sebagai bagian dari politik etis pada awal abad ke-20, pemerintah Hindia Belanda berencana membeli kembali
Tanah-
Tanah partikelir dari para tuan tanahnya. Motivasi pembelian tersebut adalah untuk menyetarakan para penduduk di
Tanah tersebut dengan penduduk lain di Hindia Belanda pada umumnya. Pembelian tersebut dimulai pada tahun 1912, namun terhenti akibat Depresi Besar (1929-1939). Pada tahun 1935, pemerintah Hindia Belanda mendirikan NV Javasche Particuliere Landerijen Maatschappij untuk membeli
Tanah partikelir.
Walaupun pembelian dilanjutkan, sejumlah
Tanah partikelir belum berhasil dibeli hingga Jepang menduduki Indonesia selama Perang Dunia II (1942-1945) serta hingga Revolusi Indonesia (1945-1949). Pada tahun 1958, Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang No. 1 tahun 1958, yang secara resmi menghapus semua
Tanah partikelir yang tersisa.
Administrasi dan struktur
Tanah partikelir dibagi menjadi
Tanah kongsi yang digunakan sendiri oleh tuan tanahnya, dan
Tanah usaha yang digunakan oleh penduduk
Tanah tersebut. Selain itu, terdapat juga hutan yang tidak dapat diklaim atau digarap tanpa persetujuan tuan
Tanah. Rumah milik tuan
Tanah disebut sebagai rumah kongsi (Bahasa Belanda: landhuis). Pada konteks ini, 'Kongsi' berarti 'Tuan' atau 'Ketuanan', dan adalah gelar yang digunakan oleh tuan
Tanah Tionghoa, yang biasanya adalah keturunan dari Cabang Atas.
Birokrasi di dalam
Tanah partikelir juga diangkat dan digaji oleh tuan
Tanah masing-masing, bukan oleh pemerintah. Seorang administrateur diangkat oleh tuan
Tanah untuk mengawasi manajemen
Tanah partikelir. Tuan
Tanah juga mengangkat camat, birokrat lain, serta kepala desa yang biasa disebut sebagai mandor. Kejahatan ringan yang terjadi di dalam
Tanah partikelir biasanya diproses dan diadili oleh pengadilan yang dibentuk oleh tuan
Tanah. Tuan
Tanah juga bertanggung jawab menyediakan layanan pendidikan, layanan kesehatan, dan layanan sosial lainnya, serta infrastruktur untuk para penduduk tanahnya.
Sebagai bagian dari hak-hak ketuanan, tuan
Tanah berhak memperoleh pendapatan dari para penduduk tanahnya, termasuk tjoekee atau contingent, berupa 20% dari hasil panen penduduknya. Tuan
Tanah juga dapat memungut padjeg, yang berupa sebagian dari hasil panen penduduknya dalam jangka waktu tertentu. Pungutan tersebut diawasi oleh pegawai yang disebut Potia, dan dibantu oleh deputi yang disebut Komitier.
Sebagai bagian dari hak-hak ketuanan juga, tuan
Tanah berhak mengenakan kompenian atau corvée kepada para penduduknya, yang dapat berupa 60 hari kerja tanpa dibayar dalam satu tahun, sesuai kebijakan dari tuan
Tanah atau birokratnya. Kompenian meliputi pengerjaan infrastruktur, seperti jalan dan jembatan di dalam
Tanah partikelir, atau bekerja di dalam
Tanah kongsi milik tuan
Tanah. Di Ommelanden, para penduduk hanya boleh melakukan panen setelah mendapat izin dari tuan tanahnya.
Jatinegara
Tanjung Timur (sekarang Gedong, Pasar Rebo)
Tanjung Barat
Kramat
Referensi