Tawan Karang (taban
Karang) adalah hak istimewa yang dimiliki raja-raja Bali pada masa lalu, dimana raja akan menyita kapal-kapal yang terdampar di wilayah mereka lengkap beserta seluruh muatannya.
Masa Bali Kuno
Istilah
Tawan Karang sudah dikenal sejak masa Bali Kuno dengan ditemukannya dua prasasti berikut:
Prasasti Bebetin AI (818 Saka atau 896 M):
"anada tua banyaga turun ditu, paniken di hyangapi, parunggahna ana mati ya tua banyaga, parduan drbyana, ana cakcak lancangna kajadyan papagerangen kuta"
Terjemahan:
"jika ada pedagang berlabuh di sana, dihaturkan di Hyang Api persembahannya. Jika pedagang itu meninggal, miliknya dan lain-lain harus dibagi dua. Jika perahunya rusak/pecah agar dijadikan pagar benteng"
Prasasti Sembiran (923 M) terbuat dari tembaga:
"me yanad taban
Karang ditu, perahu, lancing, jukung, talaka, anak banwa katatahwan di ya, kajadyan wrddhi kinwa[na] ma katahu aku, pynnekangna baktina, di bhatara punta hyang?"
Terjemahan:
"dan bila ada peristiwa peristiwa
Tawan Karang (taban
Karang) di perahu, lancang, jukung, talaka, serta diketahui oleh penduduk desa, supaya dijadikan wrddhi (semacam persembahan), setelah diberitahukan kepadaku, supaya dihaturkan kepada Bhatara Punta Hyang"
Walaupun
Tawan Karang dianggap sebagai hal yang wajar oleh raja-raja Bali, Belanda menganggap hal ini mengancam kepentingannya. Oleh karena itu dibuatlah penjanjian penghapusan
Tawan Karang dengan beberapa kerajaan di Bali pada waktu itu:
Kerajaan Badung, 28 November 1842
Kerajaan Karangasem,1 Mei 1843
Kerajaan Klungkung, 24 Mei 1843
Kerajaan Tabanan, 22 Juni 1843
Ada sumber yang menyebutkan bahwa pada tahun 1843 Kerajaan Buleleng juga ikut menandatangani perjanjian penghapusan
Tawan Karang.
Insiden dan Serbuan Belanda
Walaupun penjanjian sudah dibuat dan ditandatangani, pada kenyataannya perjanjian ini tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh raja-raja di Bali. Pada tahun 1844, terjadi lagi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda yang karam di Pantai Perancak dan Sangsit.
Pada tahun 1845, Raja Buleleng menolak pengesahan perjanjian penghapusan
Tawan Karang. Hal ini membuat Belanda menggunakan isu
Tawan Karang untuk menyerang Bali pada Perang Bali I (1846), Perang Bali II (1848) dan Perang Bali III (1849).
Setelah penyerbuan Belanda, penandatanganan perjanjian penghapusan
Tawan Karang dilanjutkan dengan kerajaan-kerajaan sebagai berikut:
Kerajaan Bangli, 25 Juni 1849
Kerajaan Jembrana, 30 Juni 1849
Kerajaan Gianyar, 13 Juli 1849
Dalam bulan yang sama (13-15 Juli 1849) ditandatanganilah perjanjian perdamaian di Kuta untuk menghentikan pertempuran antara raja-raja Bali dengan Belanda. Pada perdamaian ini, raja-raja Bali menegaskan lagi untuk menghentikan dan menghapuskan adat
Tawan Karang.
Insiden dan Serbuan Lanjutan
Pada tanggal 27 Mei 1904 sebuah kapal bernama Sri Kumala kandas di Pantai Sanur - bagian Selatan Kerajaan Badung. Beberapa minggu setelah itu, pemilik kapal menuduh bahwa barang berharga yang ada di dalam kapar tersebut dirampas oleh penduduk sekitar Sanur. Insiden ini dipakai sebagai alasan Belanda untuk menyerbu Kerajaan Badung. Terjadilah peristiwa Puputan Badung pada tanggal 20 September 1906.
Rujukan