- Source: Watu Mpogaa
Menhir Watu Mpogaa (ejaan Van Ophuijsen: Watoe Mpoga'a) adalah monumen batu menhir yang berasal dari batu penyebaran penduduk dari Desa Pamona ke wilayah Wotu, dan batu menhir Watu Mpogaa ini terletak di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Menhir Watu Mpogaa (Watu Mpoga'a) adalah batu menhir bersejarah di wilayah Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, yang didapatkan oleh peneliti-peneliti asal Belanda diantaranya Reinder Fennema, Albertus Christiaan Kruyt, dan juga peneliti asal Swedia yaitu Walter Kaudern yang pada tahun 1916 juga ikut meneliti sejarah batu menhir Watu Mpogaa yang masih bisa ditemukan sampai saat ini di Tentena. Dan kemudian batu menhir Watu Mpogaa hasil temuan peneliti tersebut dihubungkan dengan penyebaran orang Toraja dari asalnya di wilayah Sulawesi Selatan ke beberapa wilayah di Sulawesi bagian tengah (midden celebes).
Di Sulawesi bagian tengah (midden celebes) yaitu Wilayah Grup Poso-Tojo, istilah Toraja dinamakan Belanda untuk mengidentifikasikan Suku Bare'e (Alfouren) yang masih beragama Lamoa (Tuhan PueMpalaburu), dan semua Suku Bare'e (Bare'e-Stammen) yang masih beragama Lamoa harus mengakui dirinya adalah orang Toraja (Toradja) dan bukan lagi Bare'e, Suku Bare'e yang mengakui dirinya adalah orang Toraja (Toradja) inilah yang setelah diteliti asalnya berasal dari Legenda desa Pamona yang semua penduduk Toraja yang didapatkan Belanda dari wilayah Poso-Tojo tersebut berasal dari Wotu, Luwu Timur. Walaupun begitu masih sangat banyak juga Suku Bare'e yang beragama Lamoa yang ikut Suku Bare'e yang beragama Islam (Mohammadisme) karena Suku Bare'e tersebut tidak cocok dengan gaya hidup orang Belanda yang berkulit putih dan berambut kuning. Tetapi perkembangannya Suku Bare'e yang beragama Lamoa lebih banyak yang ikut dengan Suku Bare'e yang beragama islam karena belum terbiasa dengan kebiasaan hidup Orang-orang Belanda yang berkulit putih dan bermata biru.
Dan dengan adanya para "Toradja" dari wilayah Grup Poso-Tojo, yang kemudian diistilahkan Belanda dengan istilah "Van Heiden Tot Christen", yang kemudian disekolahkan di sekolah-sekolah Belanda yang ada di wilayah Grup Poso-Tojo untuk mempelajari tujuh "batu penyebaran" atau disebut Watu Mpoga'a (Vatu Mpogaa) yang batu menhirnya masih dapat ditemukan sampai saat ini di Tentena. Setelah mempelajari Watu Mpoga'a, maka para Toraja yang telah menjadi Umat Kristen tersebut mengetahui asal usul mereka sebelum berada di wilayah Grup Poso-Tojo yaitu berasal dari wilayah Wotu, Luwu Timur..
Sejarah
Wilayah dataran tinggi di sekeliling Danau Poso merupakan rumah bagi tujuh sub.suku dengan hubungan kekerabatan dekat, yang menurut legenda adalah keturunan dari enam saudara laki-laki dan satu saudara perempuan. Legenda tersebut menjelaskan bahwa setelah mereka menggulingkan penindas mereka, ketujuh saudara tersebut memutuskan untuk berpisah dan akan membentuk komunitasnya sendiri, karena sewaktu mereka tinggal di Desa Pamona mereka belum menamakan diri mereka dengan nama suatu nama identitas suatu suku, atau dengan kata lain " Belum memiliki nama suku ".
Jadi untuk mengenang kejadian ini, mereka membuat tujuh "batu penyebaran" yang masing-masing batu tersebut mewakili asal usul daerahnya, dan batu tersebut masih dapat ditemukan sampai saat ini di Tentena yang sekarang ini dikenal dengan nama Watu Mpoga'a, dan penyebaran penduduk dari Bekas Desa Pamona yang bahasa asli sukunya lebih dekat ke Bahasa Taa ini berimigrasi ke wilayah Wotu, dan kemudian menetap disana. Sesampainya mereka di Wotu, penduduk dari bekas Desa pamona ini barulah menamakan suku mereka dengan nama suatu suku yang amat sangat jauh berbeda budaya dan bahasanya dengan suku bare'e.
Legenda dan Tradisi
Di Poso tahun 1907, pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan taktik Politik pecah belah wilayah Suku Bare'e yang sebelumnya hanya 4 wilayah yaitu : ToRato Bongka, ToLalaeyo, ToTora'u, dan ToLage, dipecah menjadi beberapa daerah baru seperti To Puumboto, To Onda'e, To Pebato, To Bancea, dll, dan setiap wilayah baru diangkat seorang pemimpin Landschap (wilayah bentukkan Hindia Belanda) yang berpangkat dalam Bahasa Bare'e: Mokole Bangke, dan dalam hal taktik Politik pecah belah, pemerintah Hindia Belanda bekerjasama dengan Misionaris Kristen dari Belanda.
Taktik Politik pecah belah oleh pemerintah Hindia Belanda tersebut yaitu dengan melakukan beberapa tradisi dari umat Kristen di Tana Poso untuk menyebarkan adat istiadat dan budaya Suku Bare'e yang mempengaruhi suku-suku di luar Suku Bare'e yaitu tradisi mengatakan bahwa "orang Sausu dan Parigi berasal dari daerah aliran sungai Poso setelah terjadi peristiwa Watu Mpogaa. Konon mereka membawa tanaman sinagoeri dari Danau Poso. Ceritanya, semak ini menjadi pohon. Pohon dari Danau Poso ini sekarang digunakan di Parigi sebagai tiang utama rumah kepala lanskap. Namun patut diduga bahwa Orang Parigi aslinya berasal dari Teluk Palu, begitu pula dengan masyarakat Ampibabo yang tinggal di sebelah utara mereka, yang bahkan lebih murni memiliki ciri-ciri kelompok Parigi-Kaili".
Begitu halnya dengan wilayah To Kulawi dengan mengatakan bahwa "To Kulawi memiliki Tadulako yang berasal dari Roh Anitu (roh perang) seperti halnya Suku Bare'e di Grup Poso-Tojo", padahal yang sebenarnya hanya Suku Bare'e lah yang percaya dan memiliki Roh Anitu, dan Roh Anitu berasal dari Bahasa Bare'e, sementara To Kulawi yang memiliki adat istiadat dan budaya Suku Bare'e adalah To Kulawi bentukkan pemerintah Hindia Belanda yang seperti halnya orang-orang parigi yang dibawa pemerintah Hindia Belanda dari pulau Jawa dan beragama Kristen. Jadi seperti halnya tradisi "Tanaman sinagoeri dari danau poso" yang mempengaruhi orang Parigi supaya percaya bahwa orang parigi berasal dari Danau Poso (Suku Bare'e) bukan dari Teluk Palu yaitu tempatnya Suku Kaili berasal, seperti itulah Misionaris Kristen Belanda mempengaruhi dan mengajak suku-suku di Sulawesi Tengah untuk mengenal agama Kristen, dan konon tradisi dan budaya dari Suku Bare'e ini jangkauan wilayahnya sampai ke wilayah Suku Mongondow di Sulawesi Utara terutama dalam hal Tari Moraego, Tari Mokayori, Baju Kulit Kayu (Inodo, Fuya), dll, hal tersebut bisa dibuktikan dengan peninggalan dokumen-dokumen di zaman Hindia Belanda.
Tradisi dari umat Kristen di Tana Poso mengenai sausu dan parigi dipraktekkan oleh pemerintah Hindia Belanda yaitu mula-mula dengan membawa orang-orang dari pulau Jawa yang telah beragama Kristen ke wilayah Poso-Tojo di Sulawesi, setelah itu memaksakan suatu cerita Legenda atau tradisi dari Suku Bare'e kepada suku selain Suku Bare'e, dan tahap akhir dari Misionaris Belanda di Sulawesi Tengah yaitu membawa orang-orang yang telah beragama Kristen yang telah terpengaruh tadi dari daerah asalnya ke wilayah Wotu, Luwu Timur, dengan mengikuti Legenda Desa Pamona Watu Mpogaa.
Penelitian
Batu menhir Watu Mpogaa (Watu Mpoga'a) hasil temuan peneliti dari Eropa adalah berhubungan dengan penyebaran orang Toraja dari asalnya di wilayah Sulawesi Selatan ke beberapa wilayah di Sulawesi khususnya di wilayah Sulawesi bagian tengah (midden celebes), dan Watu Mpoga'a merupakan batu tegak atau menhir yang berjenis batuan monolit yang biasa dipakai oleh umat kristen di Poso dan juga wilayah Lore, Menhir Watu Mpoga'a yang pernah diteliti oleh Reinder Fennema seorang ahli pertambangan dan geologi, insinyur kepala untuk pertambangan Hindia Belanda, dan juga Walter Kaudern seorang etnografer Swedia, melalui catatan perjalanannya yang berjudul Migration of Toradja in Central Celebes (yang diterbitkan tahun 1925).
Walter Kaudern menyebutkan bahwa pada awalnya asal usul penduduk desa pamona yang tinggal di Poso adalah di Lamusa, tetapi ketika di teliti penduduk dari desa Pamona adalah berasal dari 7 wilayah yang diteliti oleh A.C.Kruyt melalui Batu Menhir Watu Mpogaa, dan kemudian disimpulkan oleh Walter Kaudern yang tidak menemukan Batu Menhir yang lain di wilayah Grup Poso-Tojo selain di bekas Desa Pamona yaitu Menhir Watu Mpogaa, dan Menhir Watu Mpogaa juga termasuk juga wilayah Koro Toradja (Landschap Lore & ToWotoe) yaitu 3 batu, dan Paloe Toradja 2 batu, sementara Poso Toradja adalah 2 batu, sehingga sebagai perbandingan penelitian oleh A.C.Kruyt dari Belanda dan W. Kaudern dari Swedia yang keduanya berbeda negara berkesimpulan bahwa bekas desa pamona diakui kebenarannya, sedangkan penduduk To Lamusa di Lamusa sebelum pemerintah Hindia Belanda datang ke Poso- Todjo tidak diakui kebenarannya.
= Penolakan istilah Toraja di Sulawesi
=Bugis dan To Luwu adalah masyarakat yang pertama kali menolak penyebutan Toraja untuk Umat Kristen di Sulawesi Selatan, dan hal tersebut diakui oleh Makkole dan Maddika Luwu saat itu, dan juga karena wilayah yang dihuni Suku Toraja adalah wilayah Kerajaan Luwu yang mana wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke utara Morowali, dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) sampai ke seluruh wilayah Tana Toraja, oleh karena itu To Luwu menolak terhadap istilah Toraja (Toradja) untuk penyebutan Umat Kristen di Sulawesi Selatan.
Penolakan atas istilah Toraja inilah yang membuat ragu masyarakat Sulawesi pada saat terjadi gerakkan Monangu Buaya oleh Kerajaan Luwu, karena bunyi dari Monangu Buaya adalah sangat bertentangan dengan penolakan istilah Toraja (Toradja) yang terjadi di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, karena bunyi dari Monangu Buaya (Monangu Buaja) adalah "Semua Suku Toraja (Toradja-Stammen) dan Umat Kristen di Tana Poso harus mendukung semua Budaya Luwu termasuk Monangu Buaya", dan itu sangat tidak mungkin terjadi dimana sedang terjadi salah paham dan "pengusiran" antara pihak masyarakat Sulawesi Selatan yang menentang istilah Toraja ciptaan misionaris Belanda dan Budaya Luwu Monangu Buaya yang didukung misionaris Belanda dengan kata lain sedang terjadi permusuhan antara masyarakat Sulawesi Selatan dengan pihak misionaris Belanda, sehingga semua masyarakat Sulawesi berkesimpulan bahwa gerakan menarik upeti Monangu Buaya (Monangu Buaja; krokodilzwemmen) adalah bukan dari Kerajaan Luwu tetapi Monangu Buaya adalah ciptaan misionaris Hindia Belanda. Terbukti dari Monangu Buaya mengutip ayat dari Alkitab Injil yaitu " dengan melihat kepada Tokoh Alkitab Injil yaitu "sejarah kematian Lazarus" yang menceritakan bahwa Baju Adat Inodo bukan bajunya umat kristen yang diwakili tokoh Lazarus".
Di zaman moderen para peneliti dan akademisi Sulawesi seperti Priyanti Pakan, Mashudin Masyhuda, Andi Mattulada, dan Lorraine Aragon juga pada awalnya menolak penerapan istilah Toraja bagi penduduk Sulawesi Tengah.
= To Lamusa
=Skema To Lamusa dari Kerajaan Luwu tidak terbukti yaitu dari pernyataan Walter Kaudern yang menyatakan "...adapun kalau ditempati, tanah tersebut sudah ditinggalkan dalam waktu yang lama sekali, karena tanahnya seperti jurang yang sangat sulit untuk dibuatkan semacam rumah tempat tinggal", karena berupa "jurang" sehingga pastilah orang akan beranggapan tanah yang dulunya merupakan hunian pemukiman penduduk setelah itu tempat hunian tersebut menjadi jurang, pastilah orang beranggapan bahwa hal tersebut bisa terjadi karena faktor bencana alam dan salah satunya adalah Gempa bumi, dan di zaman moderen pernyataan tersebut dibuktikan dengan tidak adanya garis patahan gempa yang melewati wilayah tempat yang dulu dinamakan Lamusa di TandongKasa (Tando Ngkasa), desa Lamoesa, dan Pantjawoe Enoe.
Letak Menhir
Letak menhir Watu Mpoga'a di dalam halaman depan pintu masuk Gereja Bethel Pamona, jalan Watu Mpoga’a, No. 1, Kecamatan Pamona dengan koordinat LS 1° 45› 24,84» – BT 120° 38› 26,34» serta berada pada ketinggian 563 Mdpl.
Sekitar lingkungan Menhir Watu Mpogaa ini berbatasan langsung dengan :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Gereja Bethel Pamona.
- Sebelah Timur berbatasan dengan permukiman penduduk dan tanah perkebunan penduduk.
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Permukiman penduduk.
- Sebelah Barat berbatasan dengan jalan Watu Mpoga’a.
Nampak pada permukaan tanah atau tempat menhir tersebut ditanam, telah dilakukan pengecoran lantai sekaligus menjadi bagian taman untuk bangunan Gereja Bethel Pamona.
Referensi
Kata Kunci Pencarian:
- Watu Mpogaa
- Toraja Koro
- To Bancea
- Reinder Fennema
- Pegunungan Fennema I
- Pegunungan Fennema II
- Orang Tojo
- To Pakambia
- Landschap Poso
- Tari Mokanta