H.
Ahmad Rasyid Sutan Mansur (Indonesia: [/ˈɑːxmɑːd rɑːˈʃɪd suːˈtɑn mɑːnʃʊr/]) (15 Desember 1895 – 25 Maret 1985), atau lebih dikenal dengan nama Buya A. R. Sutan Mansur adalah seorang dai aliran suni dan penulis berkebangsaan Indonesia yang juga merupakan tokoh dan pemimpin Muhammadiyah. Ia merupakan seorang tokoh perintis kemerdekaan Indonesia. Pascakemerdekaan Indonesia, dia dipilih untuk menduduki kursi Konstituante dari Partai Masyumi. Di partai, ia diberi mandat menjadi wakil ketua majelis syura dari 1949 sampai 1952.
Ahmad Rasyid juga seorang akademisi sekaligus yang meresmikan Fakultas Falsafah dan Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat di Padang Panjang.
Awal kehidupan
Ahmad Rasyid Samad (Ejaan Lama: Achmad Rasjid Samad) lahir di Kampung Air Hangat—bahasa Minangkabau: Kampuang Aie Angek, Maninjau, Agam, Dataran Tinggi Padang, Pesisir Barat Sumatera, pada 15 Desember 1895 (dalam penanggalan Hijriah: Ahad, 27 Jumadil Akhir 1313) di malam hari. Dia merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara—dua kakaknya meninggal saat masih kecil, antara lain Abdul Wahab Samad, Abdul Aziz Samad, Duski Samad, Abdul Razak Samad, dan Fatimah Samad. Ia lahir dari pasangan Haji Abdul Samad Al-Kusai, seorang ulama asal Maninjau, dan Hajjah Siti Abbasiyah atau lebih dikenal dengan Uncu Lumpur sebagai ibunya yang bekerja sebagai guru agama. Nama "
Ahmad Rasyid" diberikan oleh ayahnya, Samad, dengan menambahkan nama ayah di belakang namanya. Semasa kecilnya, ia dibesarkan oleh neneknya, Bayang.
Ahmad Rasyid mengenyam pendidikan formal pertama di bangku Sekolah Kelas Dua III, Maninjau—setara dengan Sekolah Rakyat—pada tahun 1902 sampai tahun 1909. Pemerintah Nagari Maninjau memberikan beasiswa kepadanya untuk menjadi guru apabila ia meneruskan pendidikan di Kweekschool atau dalam bahasa Indonesia: Sekolah Guru, Fort de Kock. Namun, tawaran itu ia abaikan karena ingin mendalami ilmu agama Islam dan sikapnya yang antikolonialisme. Ia juga memiliki cita-cita untuk melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar, Mesir. Gurunya, Abu Hanifah—dikenal sebagai Tuan Ismail, menyarankan agar
Ahmad Rasyid mempelajari ilmu agama terlebih dahulu kepada Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul, ayah Hamka, di Surau Jembatan Besi. Pada 1910, ia menimba ilmu kepada Haji Rasul selama tujuh tahun.
Kiprah awal
Rasyid yang sudah menempuh pembelajaran agama dari Haji Rasul ditugaskan untuk bekerja sebagai guru agama Islam di pondok pesantrennya pada 1915. Saat Sumatera Thawalib didirikan, ia dipercayai menjadi guru agama. Ketika baru dibentuk, Sumatera Thawalib menugaskan
Rasyid untuk mengajar di Kuala Simpang, Aceh, selama dua tahun, yakni 1917 sampai 1919 setelahnya kembali ke Minangkabau.
= Hijrah ke Jawa dan mengenal Muhammadiyah
=
Rasyid merantau ke Pekalongan bersama dengan istri pertamanya, Fatimah Karim Amrullah yang saat itu sedang hamil putranya, Usyam
Rasyid. Di sana ia berdagang kain batik dan bekerja sebagai guru agama Islam untuk kaum perantauan dari Sumatera dan lainnya pada tahun 1921.
Rasyid memiliki majelisnya sendiri yang dinamai Perkumpulan Nurul Islam (sekarang bernama Muhammadiyah cabang Pekalongan). Ketika ia mengikuti suatu pengajian agama di Pekajangan, ia mulai mengenal Muhammadiyah yang diperkenalkan oleh
Ahmad Dahlan yang menjabat sebagai Presiden Pengurus Besar Muhammadiyah—bahasa Belanda: President Hoofdbestuur Moehammadijah—pada tahun 1922. Kedatangannya untuk meresmikan perkumpulan "Ambudi Agama"—kini bernama Muhammadiyah Cabang Pekajangan—pimpinan Kyai Haji Abdurrahman sekaligus tablig Muhammadiyah. Sejak saat itulah,
Rasyid mulai mengenal
Ahmad Dahlan dan bergabung dengan Muhammadiyah. Akibatnya, muncul kekaguman kepada sosok Dahlan yang ahli dalam fiqih sehingga
Rasyid mulai belajar agama dari sudut pandang Muhammadiyah kepada
Ahmad Dahlan. Tidak hanya Dahlan,
Rasyid pada 1922 juga mengenal tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya: Abdul Rozak Fachruddin dan Mas Mansur. Akibat pengaruh Muhammadiyah, ia semakin mengenal Islam tidak hanya dari aspek hukumnya, melainkan juga aspek sosial kemasyarakatan dan sosioekonomi dari dua tokoh tersebut.
Melalui pengajian dari
Ahmad Dahlan ini membuat
Rasyid mengenal Muhammadiyah. Di saat seusai salah satu jemaah bertanya mengenai pembahasan tentang tafsir Surah Al-Ma’un dilakukan secara berulang-ulang. Pada saat itulah,
Ahmad Dahlan menyampaikan Surah Ali Imran ayat 104, bahwa untuk menjelaskan maksud tafsir Surah Al-Ma’un dibutuhkan gerakan yang bersifat sistematis dan terencana, yaitu melalui Persyarikatan Muhammadiyah. Konon, penjelasan rasional inilah yang telah menarik hati
Ahmad Rasyid untuk bergabung dalam Muhammadiyah.
= Kiprah di Muhammadiyah
=
Selain memimpin Muhammadiyah di Pekalongan,
Ahmad Rasyid juga aktif mengajar sebagai guru agama Islam di Madrasah Muhammadiyah dalam kurun waktu dua tahun, antara 1923 sampai 1925. Ia juga turut serta dalam Kongres Al-Islam yang digelar pada akhir 1922 di Cirebon dan Surabaya yang diasaskan oleh Tjokroaminoto dan Agus Salim. Ketika tahun 1926,
Ahmad Rasyid ditugaskan memimpin Muhammadiyah di Minangkabau dan setahun setelahnya ditugaskan ke Aceh dengan tugas yang sama.
Ahmad Rasyid diutus oleh Hoofdbestuur Moehammadijah (bahasa Indonesia: Pengurus Besar Muhammadiyah) semasa pemberontakan antara kelompok komunis dengan Muhammadiyah pada akhir 1925 untuk memimpin dan menata organisasi Islam tersebut yang mulai tumbuh di Minangkabau. Tidak hanya bertugas di Minangkabau, ia mendirikan cabang Muhammadiyah di Aceh Timur, Pidie, dan Aceh Utara pada 1928 bersama dengan Muhammad Yunus Anis. Salah satu kalimat populernya semasa memimpin Muhammadiyah di Minangkabau: "Muhammadiyah dinagarikan, nagari di Muhammadiyahkan."
Ahmad Rasyid juga diberi tugas sebagai mubalig Muhammadiyah untuk menjadi guru kuliatul mubaligin atau kuliatul mualimin Muhammadiyah di Padang, antara tahun 1932 hingga 1942. Seringkali
Ahmad Rasyid diminta untuk menjadi penasihat dalam perihal agama, baik secara pribadi maupun institusi.
= Mengembangkan Muhammadiyah
=
Rasyid mulai menjadi dai Muhammadiyah pada 1923. Ia ditugaskan kembali ke tanah kelahirannya sebagai mubalig Muhammadiyah untuk Sumatera pada tahun 1925 dan menjadi dai di Pekalongan pada 1928. Muridnya di Pekalongan terdiri dari berbagai kalangan, bahkan bangsawan Jawa, seperti Raden Ranuwihardjo, Raden Tjitrosuwarno, dan Raden Usman Pudjutomo. Tidak hanya itu, dari kalangan Arab dan perantau Minangkabau juga menjadi muridnya di Pekalongan. Di tahun yang sama, ia didapuk oleh
Ahmad Dahlan sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan—bahasa Belanda: Voorzitter Moehammadijah van Pekalongan—menggantikan pendahulu yang mundur karena tekanan dari pihak-pihak antimuhammadiyah.
Rasyid merangkap Ketua Muhammadiyah cabang Pekajangan dan Kedungwuni.
Pada 1924, datang ayah mertuanya, Haji Rasul dari Padang Panjang ke Pekalongan untuk menemui
Rasyid dan istrinya ihwal meminta bantuan terhadap Sandi Aman—sebuah madrasah yang didirikan Haji Rasul pada Oktober 1924—di Sungai Batang. Lalu,
Rasyid mengajak Haji Rasul untuk menyertai Muhammadiyah dan madrasah tersebut dimitrakan dengan Muhammadiyah sekaligus melebarkan sayap organisasi Muhammadiyah ke luar Pulau Jawa. Usaha tersebut disetujui oleh pimpinan Muhammadiyah, Ibrahim bin Fadlil, dan selanjutnya menjadi Madrasah Ibtidaiah Muhammadiyah Minangkabau, serta mengangkat
Rasyid sebagai wakil Muhammadiyah di Minangkabau dan istri, Fatimah Karim Amrullah, sebagai wakil Aisyiyah di Minangkabau. Setelah didirikannya Muhammadiyah cabang Sungai Batang, didirikan pula Madrasah Sanawiah Muhammadiyah Sungai Batang yang menjadi madrasah sanawiah Muhammadiyah pertama di Indonesia. Pendirinya adalah
Rasyid bersama dengan Abdul Karim Amrullah, Yusuf Amrullah, dan lain-lain.
Di tahun yang sama, adik iparnya, Hamka mendatangi Pekalongan untuk belajar agama Islam kepada
Ahmad Rasyid sekaligus bersilaturahmi dengan kakaknya, Fatimah. Saat itu, Hamka berusia remaja merantau ke Yogyakarta pada 1921 sebelum akhirnya hijrah ke Pekalongan. Di Pekalongan, Hamka diperkenalkan dengan tokoh-tokoh religius yang juga perintis kemerdekaan, salah satunya Mohamad Roem. Hamka kembali ke Padang Panjang pada tahun 1925 bersama dengan
Rasyid dan istri untuk membantu Haji Rasul dalam misi tablig Muhammadiyah di Sumatera. Setahun setelahnya, Hamka menulis novel pertamanya dengan tajuk Si Sabariah. Hamka menjadi pendamping dalam dakwah
Ahmad Rasyid di Sumatera.
Dakwah Muhammadiyah turut disiarkan oleh Haji Rasul hingga berdirinya Muhammadiyah di Maninjau dan Kota Padang Panjang. Ini memberi jalan bagi
Rasyid untuk mengembangkan Muhammadiyah di Minangkabau sekaligus mendapat dukungan dari kaum reformis Islam sehingga perkembangannya semakin pesat. Sebagai mubalig, ia ditugaskan Muhammadiyah untuk tablig di Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan dalam melatih kaum muda dalam lembaga kuliatul mubaligin sebagai pengaderan Muhammadiyah. Usaha yang dilakukan adalah mujadalah atau kelompok diskusi. Beberapa muridnya, yaitu Duski Samad, Malik
Ahmad, Marzuki Yatim, Hamka, dan lain-lain.
Ketika berdirinya Muhammadiyah cabang Padang Panjang yang diasaskan oleh Saalah Yusuf,
Ahmad Rasyid selaku wakil dari Pengurus Besar Muhammadiyah Hindia Timur (bahasa Belanda: Hoofdbestuur Moehammadijah van Oost Indië) memimpin sidang peresmian pada tanggal 2 Juni 1926, meskipun saat itu, Padang Panjang sedang dipengaruhi oleh ideologi komunisme yang bernama "Grup Sarekat Rakyat Padang Panjang". Pada awalnya, Muhammadiyah cabang Padang Panjang ini dinamakan sebagai "Perkumpulan Tani". Setelah peresmiannya, pengikut tarekat Naqsyabandiyah ramai berbondong-bondong menjadi anggota Muhammadiyah.
Pada akhir 1925,
Rasyid dipercayai Pengurus Besar Muhammadiyah untuk memimpin Muhammadiyah di Pesisir Barat Sumatera ketika munculnya pengaruh komunis yang berkonflik dengan Muhammadiyah. Ia juga menyiarkan tablig Muhammadiyah bersama Abdul Rozak Fachruddin di Medan dan Kutaraja pada 1927. Melalui sikapnya yang moderat sehingga Muhammadiyah dapat didirikan di Kutaraja, Sigli, dan Lhokseumawe. Selanjutnya, pada 1929, ia sebagai dai Muhammadiyah di Kalimantan berhasil mendirikan cabang Muhammadiyah di Banjarmasin, Kuala Kapuas, Mendawai, dan Amuntai.
Pada tahun 1930, diselenggarakan Kongres ke-19 Muhammadiyah di Minangkabau. Salah satu kesepakatannya adalah dibentuknya Konsul Besar Muhammadiyah di setiap keresidenan. Sesuai konferensi daerah di Payakumbuh tahun 1931, dipilihlah
Ahmad Rasyid sebagai Konsul Besar Muhammadiyah untuk wilayah Pesisir Barat Sumatera hingga 1943. Kemudian atas usul konsul-konsul besar di Sumatera setuju untuk mengangkat
Ahmad Rasyid sebagai Imam Muhammadiyah Sumatera. Selain itu, ia ikut mendirikan sekaligus memimpin Kuliatul Mubaligin di Padang Panjang sebagai tempat membina santri madrasah aliah. Di sinilah tempat para kader muda Muhammadiyah di berikan pengetahuan agama dengan bertugas memperkenalkan Muhammadiyah dan ajaran agama Islam di Minangkabau dan daerah-daerah sekitarnya. Kelak, para mubalig tersebut akan memainkan peran penting untuk memimpin dan menggerakkan roda Persyarikatan Muhammadiyah di Yogyakarta. Bahkan, perkembangannya diperhatikan oleh Konsul Besar Muhammadiyah Yogyakarta. Maka, pada 1926, Muhammadiyah mengutusnya untuk mengawal perkembangan persyarikatan itu.
Ahmad Rasyid mengasaskan Djihad dengan tujuan meluruskan umat Islam ke arah yang benar sesuai ahlus sunnah wal jamaah dalam rentang tahun 1949 sampai 1952. Lalu, pada tahun 1943, ia selaku Konsul Besar Muhammadiyah melebarkan sayap wilayah kepemimpinannya untuk seluruh Indonesia hingga 1953. Ia berperan dalam membentuk Muhammadiyah cabang Lubuk Jambi, ketika Dasin Jamal dan Sulaiman Khatib meminta mandatnya pada awal September 1933.
Kiprah perjuangan
Ketika menjabat Konsul Muhammadiyah di Pesisir Barat Sumatera,
Ahmad Rasyid dipertemukan dengan Soekarno pada 1938. Saat itu, Soekarno ditahan dan diasingkan oleh Hindia Belanda ke Bengkulu. Di sana, ia berguru kepada
Ahmad Rasyid mengenai ajaran agama Islam. Tidak hanya menjadi guru,
Rasyid juga menjadi penasihat agama Islam bagi Soekarno. Soekarno juga menyertai keanggotaan Muhammadiyah dan menjadi seorang guru bagi sekolah agama milik Muhammadiyah. Ketika mengajar, Soekarno jatuh hati kepada seorang gadis yang juga putri dari tokoh Muhammadiyah, yakni Fatmawati dan kedua mempelai dinikahkan dengan
Ahmad Rasyid sebagai saksi nikahnya.
Ahmad Rasyid bersama Haji Rasul turut menentang koloni Belanda dalam kebijakan ordonansi guru. Menurutnya, hal ini akan membatasi kebebasan ulama dalam menyebarkan agama Islam dan akan dimanfaatkan secara semena-mena oleh pemerintah kolonial. Bahkan, teman seperjuangan Haji Rasul, seperti Abdullah
Ahmad justru menyetujui aturan tersebut setelah dibujuk oleh utusan Belanda, Dr. de Vries. Kebijakan ini sebenarnya telah dijalankan di Jawa sejak 1905 dan akan dijalankan di Minangkabau pada 1928. Selain itu, ia pun menolak Undang-Undang Pancang Hutan (bahasa Belanda: Boswesen) pada tahun 1920.
Ahmad Rasyid juga berhasil berunding dengan Van der Plas, Vise Vooreitte Kood van Indie, mengenai pembatalan peraturan-peraturan Belanda bagi kaum bumiputra, dan lain-lain, dalam menghadapi Perang Dunia kedua pada tahun 1942. Ketika masa pendudukan Jepang, mereka berusaha agar para muridnya tidak melakukan kegiatan ibadah seperti puasa dan menghalangi pelaksanaan salat dengan mengadakan pertemuan di waktu menjelang Magrib. Bahkan, sehari setelah Jepang menduduki Indonesia,
Ahmad Rasyid berunding dengan Syu Co Kung—otoritas Jepang di Padang—untuk meminta agar kegiatan agama tidak diganggu. Lalu, ia diamanahkan oleh Pemerintah Jepang untuk menjadi anggota Tsuo Sangi-in (bahasa Indonesia: Dewan Pertimbangan Pusat) dan juga sebagai anggota Tsuo Sangi-kai untuk daerah Pesisir Barat Sumatera.
Ketika Indonesia diproklamirkan,
Ahmad Rasyid memberitakan kabar ini ketika sedang berceramah pascasubuh tepat dua hari setelah proklamasi. Kabar kemerdekaan ia peroleh dari Djamaluddin Adinegoro, salah satu anggota Tsuo Sangi-In perwakilan Sumatera Timur. Dalam pidatonya di Minangkabau tersebut, ia menyerukan resolusi jihad kepada umat Islam demi mempertahankan kemerdekaan. Menurutnya, proklamasi ialah titik permulaan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan seutuhnya.
Setelah kemerdekaan Indonesia, oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta,
Ahmad Rasyid di angkat menjadi Imam—guru agama Islam—bagi TNI Komandemen Sumatera Sub Komandemen Sumatera Tengah yang berpusat di Kota Bukittinggi, antara tahun 1948 hingga 1949. Pada Mei 1948, ia diberi pangkat militer oleh pemerintah, yakni Kolonel Tituler. Tidak lama setelahnya, pada 31 Desember 1949,
Rasyid menyelesaikan tugasnya sebagai penasihat agama sehingga pangkat yang disandangnya hanya berlaku selama bertugas.
Ahmad Rasyid kembali diminta menjadi penasihat agama TNI Angkatan Darat dan berkantor di markas besarnya usai pengakuan kedaulatan RI pada tahun 1950. Namun, permintaan tersebut ditolak, karena ia memiliki misi dakwah dengan menyebarkan tablig di seluruh Sumatera selaku pemuka Muhammadiyah. Pada tahun 1952, Presiden Soekarno pernah memintanya kembali menjadi penasihatnya dengan catatan perlunya merelokasi keluarganya dari Bukittinggi ke Jakarta. Justru permintaan tersebut lagi-lagi di tolaknya karena ia ingin menjadi penasihat nonformal.
Rasyid pun menyatakan kesediaannya sebagai penasihat apabila tidak diberi upah sehingga ia dengan bebas mengkritik kebijakan pemerintah.
Pada Pemilu 1955,
Ahmad Rasyid terdaftar sebagai salah satu calon legislatif di Konstituante. Ia menjadi calon untuk daerah pemilihan Sumatera Tengah dari Partai Masyumi. Pascapemilu, ia berhasil menduduki kursi tersebut bersama rekan-rekan lainnya dari Sumatera Tengah: Mohammad Natsir, Duski Samad, Ibrahim Musa, dan 37 anggota lainnya. Sebagai anggota,
Rasyid berdomisili di Jalan Suronatan Nomor 29 A, Yogyakarta.
Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah
Pada saat Kongres Muhammadiyah ke-32 di Kota Purwokerto, terdapat sembilan nama yang diusulkan oleh muktamirin untuk menjadi ketua Muhammadiyah yang baru. Seluruh kandidat menyatakan ketidaksediaannya dalam pencalonan. Akhirnya, pengurus muktamar meyakinkan
Ahmad Rasyid di Bukittinggi untuk menjadi ketua umum. Ia pun terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah untuk masa jabatan 1953–1956. Sejarah juga mencatat bahwa
Ahmad Rasyid merupakan tokoh Sumatera pertama yang menduduki kursi eksekutif di Muhammadiyah. Menyelesaikan periode pertama kepemimpinannya, kemudian ia terpilih kembali dalam Kongres Muhammadiyah ke-33 di Yogyakarta selama tiga tahun menjabat untuk periode 1956 sampai 1959. Pada Kongres Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 dan muktamar-muktamar berikutnya, ia diangkat sebagai penasihat Muhammadiyah hingga tahun 1980. Secara rutin pada hari minggu pascasubuh mendakwahi agama Islam, khususnya tauhid di sebuah balai Kantor Perwakilan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Ahmad Rasyid dalam dua periode kepemimpinan di Muhammadiyah berhasil merumuskan landasan perjuangan Muhammadiyah atau disebut sebagai "Khitah Palembang". Kandungan dari Khitah Muhammadiyah, yaitu hakikat Muhammadiyah, lalu Muhammadiyah dan masyarakat, Muhammadiyah dan politik, Muhammadiyah dan ukhuwah Islamiah, serta dasar dan program Muhammadiyah. Antara poin-poin Khitah Palembang yang dijabarkannya adalah menanamkan setiap anggota dan pimpinan Muhammadiyah dengan memperdalam tauhid, menyempurnakan ibadah dengan kesungguhan dan kerendahan hati, meningkatkan mutu akhlak, meningkatkan wawasan dalam ilmu pengetahuan, dan memajukan Muhammadiyah dengan penuh tanggung jawab. Dirincikan pula bahwa setiap anggota harus menjalankan kemuliaan akhlak, menjaga keutuhan organisasi dan menata birokrasi, meningkatkan amal, membentuk kader dengan mempertinggi kualitas anggota, menjaga tali persaudaraan, dan menuntun penghidupan bagi seluruh anggota Muhammadiyah.
Pascakemerdekaan, Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi Islam yang menghadapi krisis identitas terkait posisinya di dunia politik. Salah satu peran
Ahmad Rasyid di Muhammadiyah di bidang politik adalah keikutsertaan Muhammadiyah dalam politik praktis sebagai salah satu organisasi yang menyertai Masyumi dan berpartisipasi dalam pemilihan umum 1955. Muhammadiyah tetap berada di Masyumi hingga pembubarannya pada 1960. Setelahnya, Muhammadiyah menjadi organisasi nonpolitik yang bergerak pada sosial keagamaan.
Perjuangannya dalam mengembangkan, mengenalkan, dan menyebarluaskan Muhammadiyah di Sumatera Barat membuat dia memiliki julukan yang diberikan oleh Muhammad Yunus Anis, yaitu sebagai "Bintang Barat Muhammadiyah", setelah Mas Mansur dipandang sebagai "Bintang Timur Muhammadiyah". Hamka menjulukinya sebagai ideolog Muhammadiyah.
Ahmad Rasyid pun dipandang selaku tokoh utama Muhammadiyah dari generasi pertama, setelah
Ahmad Dahlan, A. R. Fachruddin, Kyai Haji Ibrahim, Abdul Mu'thi, Mukhtar Bukhari, dan Mas Mansur.
Akhir kehidupan
= Masa tua
=
Pada 1959,
Ahmad Rasyid dinobatkan menjadi penasihat bagi Muhammadiyah sehingga ia beserta keluarga besarnya menetap di Jakarta. Selama di Jakarta, ia tinggal dengan keluarga inti dari istri pertamanya, Fatimah Karim Amrullah di Jalan Lontar Atas, Kebon Melati, Tanah Abang. Sebagai ulama, ia memberi nasihat agama dan mengajar makna tauhid, serta jihad, kepada para tamu yang datang ke rumahnya, seperti Mohammad Natsir hingga Kasman Singodimedjo. Bahkan, adik iparnya, Hamka, juga datang untuk mempelajari ilmu agama kepadanya. Tidak hanya mengajar agama di kediamannya, ia juga berceramah di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Menteng, dengan didampingi Fatimah Karim. Kiprahnya selama prakemerdekaan membawa namanya sebagai salah satu tokoh perintis kemerdekaan Indonesia bersama dengan adik-adiknya, Duski dan Thahir, dengan mendapat hak pensiun.
Pada 15 Maret 1977,
Rasyid mengemukakan mengenai pilihan politiknya. Ia memberi dukungan terhadap gerakan politik Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan memilih tanda gambar Ka'bah pada pemilihan umum. Ia beralasan bahwa pilihannya terkait dengan panggilan hati yang harus dipenuhinya. Pascapemilu, suara PPP di domisilinya, Tanah Abang, mendominasi suara pemilihan umum sebagai basis politik PPP yang berideologi Pan-Islamisme.
= Kematian
=
Ahmad Rasyid meninggal dunia pada hari Senin, 25 Maret 1985 Masehi, bertepatan tanggal 3 Rajab 1405 Hijriah dalam usia 89 tahun, 100 hari. Ia sudah menjalani perawatan medis selama sebulan di Rumah Sakit Yayasan Rumah Sakit Islam Indonesia (YARSI), Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Tiga hari sebelum meninggal, yakni 22 Maret 1985, A. R. Fachruddin bersama dengan pengurus Pimpinan Pusat Muhammadiyah datang menjenguk
Ahmad Rasyid di rumah sakit tersebut.
Jenazah
Ahmad Rasyid dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir usai disalatkan di Masjid Kompleks Muhammadiyah. Pemakamannya dihadiri oleh Munawir Sjadzali selaku Menteri Agama, Mohammad Natsir, dan sejumlah tokoh agama lainnya.
Kehidupan pribadi
Pada tahun 1917 oleh gurunya, Abdul Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan nama Haji Rasul memperkenalkan putri sulungnya, yaitu Fatimah dari Suku Tanjung. Ia lahir dari pernikahan Haji Rasul dengan Raihanah binti Haji Zakaria yang mewariskan Suku Tanjung. Di usia yang masih remaja, Fatimah dinikahkan dengan
Ahmad Rasyid di Sungai Batang. Sejak saat itulah
Ahmad Rasyid memperoleh gelar Sutan Mansur, sesuai dengan adat Minangkabau bahwa setiap laki-laki yang menikah akan mendapatkan gelar. Pemberian gelar tersebut bukan tanpa alasan. Ia dinamai "Sutan Mansur" karena apabila seseorang telah menikah, maka dia diberi gelar dan dipanggil dengan nama gelarnya, tidak dengan nama lahirnya. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai enam belas anak—tujuh lainnya meninggal saat balita, salah satunya Hanif
Rasyid Khatib Rajo Endah, seorang mantan Ketua Umum Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Agam dari 2000 sampai 2005, Wakil Ketua Muhammadiyah di Agam periode 2010 sampai 2015, Dewan Penasihat Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Agam, dan pengurus Museum Kelahiran Buya Hamka sampai akhir hayatnya. Salah satu cucunya dari anaknya yang bernama Chalid
Rasyid—putra Fatimah Karim, Arief Rahman memiliki kiprah elektoral sebagai calon legislatif DPRD DKI Jakarta untuk Jakarta Timur dari Partai Matahari Bangsa (PMB) dan mantan Ketua PMB di DKI Jakarta.
Ia sebenarnya memiliki dua istri dengan nama yang hampir sama, yaitu Fatimah binti Abdul Karim bin Amrullah—dijuluki sebagai Umi Tuo—dan Fatimah binti Abdullah—dijuluki sebagai Umi Etek—yang menikah pada September 1928 dengan dikaruniai 11 orang anak (satu anaknya meninggal ketika balita), termasuk Inin Salma
Rasyid yang merupakan akademisi pendiri sekolah keperawatan Muhammadiyah di Kalimantan Barat bersama dengan suaminya, Abdul Barry Barasilla. Fatimah binti Abdullah tidak tinggal satu atap dengan
Ahmad Rasyid, ia berkediaman di Jalan Kayu Putih, Pulo Gadung, Jakarta Timur.
Buku
Pokok-Pokok Pergerakan Muhammadiyah
Djihad: Hidoep Berdjihad di Tengah-Tengah Lawan dan Kawan (1940)
Ruh Islam (1965)
Panggilan Illahi
Seruan Kepada Kehidupan Baru
Jihad (1982)
Tauhid Membentuk Pribadi Muslim (1975)
Penerangan Asas Muhammadiyah
Ruh Jihad
Dalam budaya populer
Dalam film Buya Hamka (2023),
Ahmad Rasyid Sutan Mansur diperankan oleh Mathias Muchus.
Penghormatan
Nama
Ahmad Rasyid Sutan Mansur diabadikan sebagai nama suatu tempat dan lembaga, antara lain:
Auditorium
Ahmad Rasyid Sutan Mansur di Pondok Pesantren Kauman Padang Panjang.
Gedung
Ahmad Rasyid Sutan Mansur di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Riau.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Komisariat
Ahmad Rasyid Sutan Mansur Cabang Universitas Negeri Yogyakarta.
Catatan
Daftar pustaka
Referensi
Pranala luar
(Indonesia)
Ahmad Rasyid Sutan Mansur oleh Tempo, 30 November 1981