Teungku
Darwis Jeunieb (lahir 1 Januari 1960) adalah mantan tokoh pejuang GAM. Dia pernah menjabat sebagai Panglima Gerakan Aceh Merdeka wilayah Batee Iliek.
Biografi
Darwis merupakan anak ketiga dari enam bersaudara dari pasangan Abdullah dan Nurul Abdullah. Ia menempuh pendidikan sekolah dasar di
Jeunieb. Pada tahun 1980,
Darwis merantau ke Medan, Sumatera Utara. Ia sempat menjadi pimpinan sebuah geng di Medan untuk tujuh bulan, sebelum berangkat ke Malaysia. Pada tahun 1981, ia kembali masuk ke kawasan geng yang ramai dengan perjudian, namun kemudian ia tidak merasa cocok, dan kemudian beralih masuk ke dalam Gerakan Aceh Merdeka.
Ia turut serta dalam pelatihan militer yang diikuti para pemuda Aceh di Libya tahun 1986. Di sana, ia dilatih oleh Zakaria Saman yang akrab disapa Apa Karya, termasuk juga oleh Wali Nanggroe Hasan Tiro dan Meuntroe Malik Mahmud.
Perintah datang dari Malik Mahmud. Terang saja
Darwis langsung berlayar menuju Aceh. Itu pada 1989. Mulanya
Darwis berada di Kota Langsa. Dia merangkul sejumlah orang untuk ikut ke dalam GAM. Di antaranya ada seorang polisi, Rahmad Azami berpangkat kapten, juga ada Ahmad Saidi seorang intel polisi. “Ada juga Koramil Suman dan seorang pejabat di Dinas Pekerjaan Umum di Kota Langsa,” kata
Darwis.
Setahun berselang, kabar kegiatan
Darwis di Kota Langsa sampai juga ke Panglima GAM Wilayah Batee Iliek, Hamzah. “Sepucuk surat dari Panglima Hamzah meminta saya pulang ke
Jeunieb,” katanya. Tiba di Jeunib,
Darwis diberi jabatan Komandan Operasi Wilayah Batee Iliek. Akhir 1990, setelah Hamzah wafat, “Saya dipanggil Panglima GAM Abdullah Syafi'i, lalu mengangkat saya jadi Panglima Wilayah Batee Iliek,” kata
Darwis.
Selama naik turun gunung,
Darwis mengalami banyak peristiwa, termasuk soal hatinya yang tertambat pada Wardani yang kemudian dinikahinya. Satu peristiwa yang sangat membekas dalam ingatan
Darwis adalah tentang anaknya yang meninggal saat konflik berlangsung. “Waktu itu anak saya yang lahir di Pasi Lhok masih berumur 25 hari. Situasi memanas dan saya naik ke gunung di Tiro. Anak saya dilarikan ke tempat kerabat saya dan meninggal,” katanya.
Sang istri selalu mengikuti suaminya ke berbagai tempat. Ketika
Darwis dipanggil ke Malaysia untuk menyusun gerakan, istrinya juga ikut serta. “Saat itu saya keluar membawa rombongan 15 orang,” katanya. Di Malaysia, mereka mencari suaka politik. “Tapi malah kami dimasukkan dalam penjara, termasuk istri saya. Kami ditahan selama 4 tahun 15 hari,” kata
Darwis.
Setelah bebas, pasangan suami istri ini kembali ke Aceh dan bergerilya lagi. “Kalau membayangkannya sekarang, tentu sangat capek. Kadang tahan lapar. Meskipun lapar, tapi tenaga selalu ada berkat Allah, demi mempertahankan kedaulatan dan marwah orang Aceh,” katanya. “Kadang-kadang untuk makanan terpaksa harus makan gue-gue jôk, boh katendeng, dapat pohon-pohon bayah kami ambil gue-nya buat makan. Ada juga kawan-kawan yang terkena peluru di depan mata.”
Masa bergerilya itu,
Darwis sangat akrab berhubungan dengan masyarakat. Dia juga menjalin hubungan dengan mahasiswa. “Di antaranya yang selalu bersama saya adalah Kautsar,” kata
Darwis. Kautsar waktu itu adalah aktivis mahasiswa. Saat ini dia berpolitik di Partai Aceh yang juga menjadi Sekretaris Pemenangan Zaini-Muzakir pada pilkada 2012.
“Waktu itu, saya meminta Kautsar untuk menjalankan tugas-tugas di luar saja, dan mengirimnya ke Malaysia untuk menjalin hubungan di sana, dan selalu melaporkan perkembangannya kepada saya,” kata
Darwis. Selain itu,
Darwis adalah tokoh GAM yang rajin membina hubungan dengan wartawan. Dia kerap diwawancarai dan menerima wartawan di lokasi bergerilya.
Menjelang proses perdamaian,
Darwis dan anak buahnya tetap berada di pegunungan. “Kami menunggu arahan. Saya sering berteleponan dengan Meuntroe Malik,” katanya. Setelah Pemerintah RI dan GAM sepakat berdamai pada 2006,
Darwis dan anak buahnya pun turun gunung. Mereka kembali hidup di tengah-tengah masyarakat.
“Alhamdulillah, perdamaian itu datang juga. Kini banyak keistimewaan bagi Aceh. Dan tujuan rakyat Aceh menginginkan perdamaian dan kesejahteraan juga. Tinggal bagaimana cara kita mengisinya,” kata
Darwis.
Di rumah kontrakannya di Keutapang, kini
Darwis menjalani kesehariannya. Dia kini mengurus Partai Aceh dan juga KPA. Kendati akrab dengan dunia politik,
Darwis tak ikut dalam politik praktis.
“Kegiatan sehari-hari saya sekarang termasuk mengontrol Partai Aceh, anak-anak buah saya yang mantan GAM di lapangan, dan tentu juga keluarga saya,” katanya.
Darwis kini adalah ayah dari enam anak, tiga di antaranya sudah meninggal.Pada Pemerintah Aceh dan DPR Aceh,
Darwis berharap bisa memajukan Aceh. “Pertama sekali pemerintah bersih, tidak ada korupsi, dan memikirkan kehidupan rakyat, menghidupkan ekonomi rakyat,” katanya. “Rakyat menyampaikan yang pertama sekali adalah UUPA harus diterapkan secara cepat, dan qanun wali nanggroe. Bukankah kita konflik dulu dengan pemerintah pusat disebabkan menuntut keadilan bagi rakyat Aceh?”.
Tentu saja,
Darwis ingin para mantan kombatan juga diperhatikan. “Bagaimana mereka bisa hidup dengan ekonomi yang baik. Kan ada mantan-mantan yang bekerja di nelayan kita bantu secara nelayan, ada yang di tengah kota bagaimana cara kita bantu untuk berdagang, begitu juga yang berkebun dan bertani,” kata
Darwis Jeunieb.
Riwayat Organisasi
Anggota Pasukan Gerakan Aceh Merdeka (1986—2005)
Panglima Gerakan Aceh Merdeka wilayah Batee Iliek (1992—2005)
Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Bireuen (2011—sekarang)
Ketua DPW Partai Aceh Bireuen (2007—sekarang)
Wakil Ketua Umum Partai Aceh (PA) (2013—2023)
Anggota Majelis Tuha Peut Partai Aceh (PA) (2013—2023)
Anggota Dewan Penasihat DPD Partai Gerindra Aceh (2013—2022)
Ketua Komite Muallimin Aceh (KMA) (2023—sekarang)
Referensi