- Source: Depresi prenatal
Depresi prenatal, juga dikenal sebagai depresi selama kehamilan, adalah kondisi kesehatan mental berupa depresi klinis yang dapat terjadi pada perempuan hamil dan dapat menjadi awal dari depresi pascapersalinan jika tidak ditangani dengan benar. Diperkirakan sekitar 7-20% perempuan hamil mengalami depresi prenatal. Gejalanya bisa ringan hingga berat dan dapat mengganggu kemampuan perempuan untuk menjalani aktivitas sehari-hari. Segala bentuk stres prenatal yang dirasakan ibu dapat berdampak buruk pada berbagai aspek perkembangan janin, yang dapat membahayakan ibu dan anak.
Gejala
Gejala depresi prenatal bisa berbeda-beda pada setiap perempuan, tetapi beberapa yang paling umum adalah:
Perasaan sedih atau murung yang berkepanjangan (setidaknya dua minggu);
Kehilangan minat pada aktivitas yang biasanya disukai;
Kesulitan berkonsentrasi atau membuat keputusan;
Kelelahan berlebihan;
Perubahan nafsu makan dan pola tidur;
Merasa mudah tersinggung, atau mudah marah;
Perasaan tidak berharga atau bersalah, putus asa, dan menyalahkan diri sendiri;
Pikiran untuk bunuh diri atau menyakiti diri sendiri.
Gejala lain yang muncul dapat mencakup tidak bergairah terhadap kehamilan dan/atau janin, perasaan terputus dengan janin, dan ketidakmampuan untuk membentuk atau merasakan ikatan dengan janin yang berkembang. Hal ini dapat memengaruhi hubungan antara ibu dengan janin dan secara drastis dapat memengaruhi kemampuan ibu dalam merawat diri. Kekurangan tersebut menyebabkan faktor risiko yang lebih besar bagi ibu.
= Onset dan durasi gejala
=Onset depresi prenatal dapat bervariasi pada setiap perempuan, tetapi umumnya terjadi pada trimester kedua atau ketiga kehamilan. Meskipun demikian, beberapa perempuan mungkin mengalami gejala seawal trimester pertama, terutama jika memiliki riwayat depresi atau gangguan kesehatan mental lainnya. Di sisi lain, beberapa perempuan mungkin tidak mengalami gejala sampai menjelang persalinan.
Durasi gejala depresi prenatal juga dapat bervariasi. Pada beberapa perempuan, gejala dapat berlangsung selama beberapa minggu atau bulan, dan kemudian mereda setelah melahirkan. Namun, pada perempuan lain, gejala dapat berlanjut hingga pascapersalinan, dan bahkan berkembang menjadi depresi pascapersalinan. Berikut rincian kapan sekelompok perempuan mulai merasakan timbulnya gejala terkait depresi:
11,8 persen pada 18 minggu
13,5 persen pada 32 minggu
9,1 persen 8 minggu setelah kelahiran
8,1 persen 8 bulan setelah kelahiran
Dalam artikel terbaru yang diterbitkan oleh The BabyCenter, penulis menyatakan bahwa "Selama bertahun-tahun, para ahli secara keliru percaya bahwa hormon kehamilan melindungi terhadap depresi, sehingga membuat perempuan lebih rentan terhadap penyakit ini hanya setelah bayi lahir dan kadar hormon mereka menurun." Penjelasan ini menyebabkan depresi prenatal sulit diidentifikasi lebih awal.
Prevalensi dan penyebabnya
Prevalensi depresi prenatal di Indonesia diperkirakan berada di kisaran 15,6% berdasarkan tinjauan sistematis negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Ini berarti sekitar 1 dari 7 ibu hamil di Indonesia berpotensi mengalami depresi selama kehamilan. Depresi prenatal dapat dipicu oleh berbagai penyebab, termasuk masalah hubungan, riwayat depresi keluarga atau pribadi, infertilitas, keguguran sebelumnya, komplikasi selama kehamilan, dan riwayat pelecehan atau trauma.
Secara pasti depresi prenatal belum sepenuhnya diketahui, tetapi beberapa faktor yang dapat meningkatkan risikonya, antara lain:
Riwayat depresi atau gangguan kesehatan mental lainnya
Perubahan hormon selama kehamilan
Kurang tidur
Stres
Ketidakstabilan rumah tangga
Kurangnya dukungan sosial
Penelitian menunjukkan bahwa mungkin ada hubungan antara depresi sebelum melahirkan dan pasca melahirkan pada perempuan dengan kadar vitamin D yang lebih rendah. Terdapat risiko depresi antenatal yang lebih tinggi pada perempuan yang tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah yang memiliki akses terbatas terhadap layanan kesehatan berkualitas, memiliki masalah ekonomi, dan tidak memiliki sistem pendukung yang baik.
Dampak
Depresi prenatal tidak hanya berdampak pada ibu hamil, tetapi juga pada janin dan bayi yang dilahirkan. Dampaknya bisa jangka pendek dan jangka panjang, dan dapat memengaruhi kesehatan fisik, emosional, dan sosial ibu dan bayi.
= Dampak pada ibu hamil
=Kesulitan dalam menjalani aktivitas sehari-hari
Peningkatan risiko komplikasi kehamilan, seperti preeklamsia, persalinan prematur, dan kelahiran caesar
Peningkatan risiko depresi pascapersalinan
Penurunan kualitas hubungan dengan pasangan dan keluarga
Peningkatan risiko penyalahgunaan zat
Pikiran untuk bunuh diri atau menyakiti diri sendiri
= Dampak pada janin
=Kelahiran prematur
Berat badan lahir rendah
Kesulitan belajar dan perkembangan
Gangguan tidur dan makan
Masalah perilaku dan emosional
Peningkatan risiko depresi dan kecemasan di kemudian hari
Pemeriksaan
Pemeriksaan kesehatan mental perinatal penting dalam mendeteksi dan mendiagnosis depresi antenatal dan pascapersalinan sejak dini. American College of Obstetricians and Gynecologists adalah salah satu dari banyak organisasi kesehatan ibu yang sangat menganjurkan pemeriksaan universal terhadap depresi pada perempuan hamil dan pasca melahirkan sebagai bagian dari perawatan obstetri rutin.
Di Amerika Serikat, undang-undang yang mewajibkan penyedia layanan kesehatan untuk melakukan pemeriksaan terhadap pasien selama kunjungan telah dibuat karena menyadari bahwa pemeriksaan dini dapat mempercepat proses pengobatan yang efektif. Kuesioner Kesehatan Pasien 9 (PHQ-9) adalah metode pemeriksaan berbasis pertanyaan yang biasanya digunakan untuk mendeteksi depresi. Alat lainnya, termasuk Edinburgh Postnatal Depression Scale, juga dikembangkan untuk periode pascakelahiran telah divalidasi.
PHQ-9 adalah skala keparahan depresi yang dirumuskan sesuai dengan kriteria DSM-IV untuk depresi, terdiri dari 9 item yang berkorelasi dengan 9 kriteria yang tercantum dalam DSM-IV. Ini adalah versi singkat dari PHQ dan telah dinilai untuk sensitivitas dan spesifisitas yang sebanding. Tes pemeriksaan dilakukan sendiri oleh pasien dan biasanya dilakukan di klinik perawatan primer.
Namun, tidak cukup hanya memberikan pemeriksaan kesehatan mental kepada pasien berisiko. Intervensi seperti rujukan pengobatan dan pemantauan kesehatan mental harus diterapkan dalam sistem layanan kesehatan untuk memastikan para perempuan terbantu secara konsisten sepanjang proses pemulihan.
Penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang mengalami obesitas cenderung lebih sering mengalami masalah kesehatan mental dan harus mendiskusikan gejala apa pun dengan dokter pada pertemuan pertama sebelum melahirkan.
Pengobatan
Pengobatan depresi prenatal menjumpai banyak tantangan karena janin juga terpengaruh oleh pengobatan yang diberikan kepada ibu. Namun, ada beberapa pilihan pengobatan non-farmakologis dan farmakologis yang dapat dipertimbangkan oleh perempuan dengan depresi prenatal.
= Terapi non farmakologis
=Psikoterapi
Psikoterapi direkomendasikan untuk setiap perempuan dengan depresi prenatal, seperti terapi perilaku kognitif (CBT) untuk membantu mengidentifikasi dan mengubah pola pikir dan perilaku negatif. Secara khusus, terapi perilaku kognitif secara efektif membantu mengurangi gejala depresi antenatal. Selain psikoterapi, konsultasi dengan psikiater juga dianjurkan karena psikiater dapat menilai apakah pengobatan akan bermanfaat dan membuat rekomendasi pengobatan tertentu jika diperlukan. Dukungan keluarga juga mungkin berperan dalam membantu aspek emosional depresi antenatal.
Meskipun para spesialis kesehatan mental dilatih dalam memberikan intervensi konseling, hasil dari tinjauan sistematis dan meta-analisis literatur baru-baru ini menemukan bahwa penyedia layanan non-spesialis, seperti konselor awam, perawat, bidan, dan guru yang tidak memiliki pelatihan formal dalam intervensi konseling, sering kali mengisi posisi tersebut. Kasus ini menjadi kesenjangan dalam memberikan layanan efektif terkait pengobatan depresi dan kecemasan.
Terapi latihan
Penelitian menunjukkan bahwa bentuk olahraga dapat membantu mengatasi gejala depresi sebelum dan sesudah kelahiran, walaupun tidak mencegah sepenuhnya. Pilihan olahraga yang telah dipelajari untuk membantu mengurangi gejala:
Yoga
Berjalan
Peregangan
Latihan aerobik
= Terapi farmakologis
=Terapi farmakologis, atau pengobatan dengan obat-obatan, merupakan salah satu pilihan pengobatan untuk ibu hamil yang mengalami depresi prenatal. Penggunaan obat antidepresan pada ibu hamil harus dilakukan dengan hati-hati dan di bawah pengawasan dokter yang berpengalaman. Dokter akan mempertimbangkan berbagai faktor sebelum meresepkan obat antidepresan, seperti:
Keparahan depresi;
Riwayat kesehatan ibu;
Kehamilan;
Kemungkinan efek samping obat pada janin.
Jenis obat antidepresan yang digunakan
Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs): Jenis obat ini paling sering diresepkan untuk ibu hamil karena dianggap paling aman dan efektif. Contohnya fluoxetine (Prozac), sertraline (Zoloft), dan citalopram (Celexa).
Serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors (SNRIs): Jenis obat ini juga dapat digunakan untuk depresi prenatal, tetapi mungkin memiliki lebih banyak efek samping. Contohnya venlafaxine (Effexor) dan duloxetine (Cymbalta).
Tricyclic antidepressants (TCAs): Jenis obat ini lebih jarang diresepkan untuk ibu hamil karena memiliki lebih banyak efek samping. Contohnya amitriptyline (Elavil) dan imipramine (Tofranil).
Hubungan depresi pascapersalinan dan stres dalam mengasuh anak
Depresi antenatal, depresi pascapersalinan, dan stres dalam mengasuh anak merupakan kondisi yang saling terkait erat. Depresi antenatal dapat meningkatkan risiko depresi pascapersalinan, dan depresi pascapersalinan dapat membuat stres dalam mengasuh anak menjadi lebih parah.
= Depresi Antenatal dan Depresi Pascapersalinan
=Perubahan hormon selama kehamilan dan setelah melahirkan dapat memengaruhi mood dan meningkatkan risiko depresi.
perempuan dengan riwayat depresi, termasuk depresi antenatal, lebih berisiko mengalami depresi pascapersalinan.
Stres selama kehamilan, seperti masalah keuangan, hubungan, atau kesehatan, dapat meningkatkan risiko depresi antenatal dan depresi pascapersalinan.
Kurangnya dukungan sosial dari pasangan, keluarga, atau teman dapat meningkatkan risiko depresi antenatal dan depresi pascapersalinan.
= Depresi Pascapersalinan dan Stres dalam Mengasuh Anak
=Kelelahan yang ekstrem setelah melahirkan dapat membuat ibu lebih mudah stres dan mudah marah.
Kesulitan menyusui dapat membuat ibu merasa frustasi dan tidak mampu, yang dapat meningkatkan risiko depresi pascapersalinan dan stres dalam mengasuh anak.
Bayi yang baru lahir sering terbangun di malam hari, yang dapat membuat ibu kurang tidur dan lebih mudah stres.
Menjadi orang tua adalah perubahan besar yang dapat menimbulkan stres, terutama bagi orang tua baru.
Ekspektasi yang tidak realistis tentang menjadi orang tua dapat menyebabkan kekecewaan dan stres.
= Dampak pada Anak
=Depresi antenatal dan depresi pascapersalinan dapat memengaruhi kemampuan ibu untuk menjalin ikatan yang aman dengan bayinya.
Anak-anak dari ibu yang mengalami depresi antenatal atau depresi pascapersalinan mungkin mengalami keterlambatan perkembangan kognitif dan emosional.
Anak-anak dari ibu yang mengalami depresi antenatal atau depresi pascapersalinan mungkin lebih berisiko mengalami masalah perilaku, seperti agresi dan kecemasan.
perempuan dengan gejala depresi prenatal lebih mungkin mengalami depresi pascapersalinan, yang juga dapat menimbulkan konsekuensi negatif pada anak-anak, seperti masalah emosional dan perilaku, kesulitan keterikatan, defisit kognitif, pertumbuhan dan perkembangan fisik, serta kebiasaan dan sikap makan. Depresi ibu akan mempengaruhi perilaku pengasuhan anak, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi perkembangan anak. Oleh karena itu, kesehatan mental perempuan selama masa perinatal harus menjadi prioritas, tidak hanya untuk mendukung perempuan, tetapi juga untuk meningkatkan fungsi optimal bayi.
Depresi Antenatal dan Kesehatan Bayi
Depresi selama kehamilan dikaitkan dengan peningkatan risiko keguguran. Dalam tinjauan yang dilakukan oleh Frazier et al., stres akut dan kronis selama kehamilan dapat mengurangi aktivitas imunologi selama kehamilan sehingga dapat menyebabkan keguguran spontan. Masih ada perdebatan mengenai apakah keguguran disebabkan oleh kondisi penyakit depresi atau obat antidepresan. Sebuah penelitian yang dilakukan di Denmark mengamati bahwa terdapat insiden keguguran trimester pertama yang lebih tinggi pada wanita depresi yang tidak terpajan SSRI dibandingkan dengan wanita non-depresi yang terpajan SSRI. Ini menunjukkan bahwa keguguran dapat dipengaruhi oleh kondisi psikologis sang ibu.
Gejala depresi pada wanita hamil dikaitkan dengan dampak kesehatan yang buruk pada bayi. Tingkat rawat inap ditemukan meningkat pada bayi yang lahir dari wanita dengan tingkat depresi tinggi selama kehamilan. Berkurangnya pemberian ASI, pertumbuhan fisik yang buruk, berat badan lahir rendah, usia kehamilan dini, dan tingginya angka infeksi diare adalah beberapa dampak buruk kesehatan yang dilaporkan pada bayi yang lahir dari ibu hamil dengan depresi. Faktanya, pemeriksaan antenatal positif yang dilakukan pada trimester pertama atau ketiga ditemukan menjadi faktor risiko tinggi untuk penghentian menyusui dini.
Penelitian juga melaporkan bahwa dampak lingkungan dari depresi ibu mempengaruhi perkembangan janin sehingga dampaknya dapat terlihat pada masa dewasa keturunannya. Dampaknya menjadi lebih buruk terutama bagi perempuan yang berasal dari latar belakang sosial-ekonomi rendah. Dalam penelitian terbaru yang dilakukan oleh Coburn et al., gejala depresi prenatal pada ibu memperkirakan jumlah masalah kesehatan bayi yang secara signifikan lebih tinggi pada usia 12 minggu (3 bulan). Masalah kesehatan yang ditimbulkan antara lain ruam, kolik, pilek, demam, batuk, diare, infeksi telinga, dan muntah. Kekhawatiran tambahan bagi perempuan dengan latar belakang pendapatan rendah, termasuk angka kelahiran rendah dan kelahiran prematur.
Sebuah penelitian telah dilakukan untuk melihat peran variabel perancu dalam hubungan depresi prenatal ibu dengan masalah kesehatan bayi. Usia ibu, pasangan romantis, pendidikan, pendapatan rumah tangga, status imigran, dan jumlah anak lain, menyusui, usia kehamilan, berat badan lahir merupakan beberapa faktor yang ditemukan berkorelasi dengan masalah kesehatan bayi. Studi mengenai gejala depresi pasca melahirkan relatif lebih banyak dibandingkan dengan depresi prenatal. Studi tersebut melihat peran berbagai faktor selama kehamilan yang dapat berdampak pada kesehatan bayi, bahkan berlanjut hingga dewasa.
Perspektif Pria terhadap Depresi Antenatal
Lebih dari 10% ayah mengalami depresi perinatal paternal (PPND). Gejala yang umum terjadi kelelahan atau perubahan pola tidur dan makan. Tinjauan sistematis yang dilakukan pada 2016 menemukan bahwa antara 4-16% pria mengalami kecemasan selama periode antenatal. Pria yang pasangannya adalah wanita yang menderita depresi sebelum melahirkan atau pasca melahirkan seringkali mendapati diri mereka kurang menerima kasih sayang dan keintiman dari pasangannya. Jika gejala depresi antenatal muncul pada ibu, disarankan bagi ayah untuk memberikan dorongan kepada pasangannya untuk mendiskusikan kondisinya dengan penyedia layanan kesehatan. Penting juga bagi ayah untuk mencari dukungan bagi dirinya sendiri. Ayah yang mengalami depresi lebih cenderung memukul anaknya dan kecil kemungkinannya berinteraksi dengan mereka. Dalam sebuah studi penelitian yang dilakukan di Swedia yang mengamati 366.499 kelahiran, depresi ayah yang baru didiagnosis sekitar waktu pembuahan atau selama kehamilan dikaitkan dengan peningkatan risiko kelahiran prematur. Namun, depresi ayah yang sudah ada sebelumnya tidak menunjukkan korelasi apa pun, yang mungkin disebabkan oleh persepsi ibu terhadap perubahan suasana hati pasangannya.
Daftar pustaka
Kata Kunci Pencarian:
- Depresi prenatal
- Sindrom sernak bayi
- Gangguan bipolar
- Gangguan psikiatri pada persalinan
- Yoga
- Sindrom Tiga X
- Kehamilan
- Stres
- Kesenjangan gender dalam kesehatan
- Kecemasan terkait kehamilan