Jeremy Bentham adalah filsuf pendiri utilitarianisme asal Inggris. Ia dilahirkan di London, menempuh pendidikan di Oxford, dan kemudian mendapatkan kualifikasi sebagai seorang barrister (advokat) di London.
Bentham merupakan salah seorang filsuf empirisme dalam bidang moral dan politik.
Latar belakang
Jeremy Bentham masuk ke Universitas Oxford pada usia dua belas tahun dan lulus pada usia lima belas tahun. Dia kemudian mempelajari hukum dan mulai bekerja pada usia sembilan belas. Sebenarnya dia tidak pernah membuka kantor hukum karena sejak awal dia terlibat dalam reformasi sistem hukum Inggris, yang dia rasa sulit dipraktekkan dan aneh, baik dalam hal teorinya maupun prosedurnya, serta tidak manusiawi dan tidak adil. Praktik ketidakadilan sosial membuat
Bentham, sebagai seorang mahasiswa hukum, sangat berminat tehadap berbagai persoalan yang berkaitan dengan moralitas publik. Ia banyak menulis tentang permasalahan etika, politik dan hukum. dalam rentang usianya yang cukup panjang,
Bentham selalu bersemangat untuk menerapkan ide-ide praktisnya. Ia menjadi pemimpin dari sebuah kelompok yang dikenal sebagai Para Radikal Filosofis (Philosophical Radicals) yang menjadi ujung tombak dari gerakan reformasi liberal. Gerakan ini benyak menyoroti persoalan seputar pendidikan, hukum tentang aktivitas seksual, korupsi dalam institusi-institusi publik, penyensoran, dan pengelolaan penjara.
Universitas baru
Pemikiran
Bentham amat dipengaruhi oleh filsuf Prancis sebelum revolusi. Ide mereka dikembangkan lebih lanjut oleh
Bentham, yang kemudian memengaruhi sosialisme di Inggris pada abad 19.
Bentham dan para pengikutnya yang utama adalah para freethinker (pemikir bebas, tak beragama).
Karena saat itu, para freethinker tidak diperkenankan masuk ke Universitas Oxford ataupun Cambridge, mereka pun mendirikan universitas baru. Namanya adalah University College London, yang berdiri tahun 1826.
Jeremy Bentham terus hadir di kampus itu sampai hari ini (dalam pengertian harafiah). Di aula masuk, jasadnya yang telah dibalsem dipajang dalam sebuah kotak kaca, lengkap dengan pakaian yang biasa dikenakannya.
Bentham punya kebiasaan unik dalam hal penerbitan. Sebelum satu tulisan selesai, ia sering memulai tulisan lain dan meninggalkan tulisan pertama yang akhirnya tak kunjung purna. Kalaupun ia menyelesaikannya, ia tidak melakukan apa-apa untuk menerbitkannya. Berkat campur tangan sahabat-sahabatnya, tulisan
Bentham kemudian diterbitkan dan banyak di antaranya setelah ia wafat. Bahkan yang membuat namanya semakin terkenal justru sebuah terjemahan ke dalam bahasa Prancis yang diterbitkan di Paris pada 1802, pada saat ia telah 10 tahun menjadi warga negara republik Prancis yang baru.
Bentham jenis orang yang berkembang belakangan. Tidak seperti kebanyakan orang, ia justru menjadi semakin radikal ketika semakin tua.
Westminister Review
Pada 1824, hanya beberapa tahun sebelum wafatnya pada usia 84, dengan koceknya sendiri
Bentham mendirikan Westminister Review. Selama bertahun-tahun forum ini menjadi sebuah sebuah forum yang luar biasa efektif bagi tampilnya ide-ide maju. Misalnya saja tiga dasawarsa kemudian, Westminister Review membuat perhatian dunia tertuju pada filsafat Schopenhauer yang terabaikan selama hamper 35 tahun.
Kebaikan yang terbesar
Sebagai prinsip pedoman bagi kebijakan publik,
Bentham mengambil sebuah pepatah yang telah dikemukakan sejak awal abad 18 oleh seorang filsuf Skotlandia-Irlandia bernama Francis Hutcheson. Pepatahnya: "Tindakan yang terbaik adalah yang memberikan sebanyak mungkin kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang".
Bentham mengembangkan pepatah ini menjadi sebuah filsafat moral, yang menyatakan bahwa benar salahnya suatu tindakan harus dinilai berdasarkan konsekuensi-konsekuensi yang diakibatkannya.
Konsekunsi yang baik adalah konsekuensi yang memberikan kenikmatan kepada seseorang. Di lain pihak, konsekuensi yang buruk adalah konsekuensi yang memberikan penderitaan kepada seseorang. Dengan demikian, dalam situasi apapun pedoman tindakan yang benar adalah arah memaksimumkan kenikmatan dibandingkan penderitaan. Atau dengan kata lain, meminimumkan penderitaan dibandingkan kenikmatan.
Filsafat ini kemudian dikenal sebagai utilitarianisme. Dinamakan demikian karena menilai setiap tindakan berdasarkan utilitasnya, yakni keberagamannya dalam membawakan konsekuensi-konsekuensi. Para pendukung filsafat ini menerapakan prinsip-prinsip tersebut dalam bidang moralitas individu, kebijakan politik, hukum, dan sosial. Filsafat ini sangat terlihat dalam memengaruhi pemerintahan Inggris. The greatest good of the greatest number yang artinya, kebaikan terbesar untuk jumlah terbesar. Prinsip ini sudah menjadi ungkapan keseharian yang sudah sangat akrab di telinga setiap orang Inggris.
Referensi
Bacaan lanjutan
Pranala luar