Kadipaten Sumenep (sering dikenal sebagai
Kadipaten Madura Timur atau Madura Wetan), adalah sebuah monarki yang pernah menguasai bagian timur Pulau Madura (Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten
Sumenep sekarang) termasuk kepulauan-kepulauan di lepas pantai Selat Madura dan Laut Bali. Pusat pemerintahannya berada di Kota
Sumenep sekarang.
Didirikan pada tahun 1269 oleh seorang kerabat dari Prabu Kertanegara dari [[Kerajaan Singhasari bernama Arya Wiraraja, wilayah ini berada di bawah pengawasan langsung Kerajaan Singhasari kemudian dan selanjutnya, Kerajaan Majapahit.
Pada tahun 1559, pada masa pemerintahan Kanjeng Tumenggung Ario Kanduruwan, wilayah yang terletak di Madura Timur ini berada pada pengaruh Kesultanan Demak dan baru pada pemerintahan Pangeran Lor II yang berkuasa wilayah
Kadipaten Sumenep berada di bawah pengawasan langsung Kesultanan Mataram. Sebelumnya ialah dari kesultanan Pajang yang bersaudara dari Kesultanan Demak yang berasal dari Keturunan Ronggolawe sampai Brawijaya Vll yaitu Raden Hadiwijaya atau Joko Tingkir kata lain Mas Karebet sekitaran Surakarta ketimur.
Awal Mula Kedatangan Belanda ke Indonesia
Belanda datang pertama kali ke Indonesia adalah ke Banten pada tahun 1596. Kedatangan mereka ke sana dipimpin oleh Cornelis de Houtman yang datang ke Banten untuk mencari rempah-rempah.
Kedatangan Cornelis de Houtman ini bukan untuk menjajah, tapi untuk mencari rempah-rempah. Dan kedatangannya pun tidak mewakili negara Belanda, tapi mewakili dirinya sendiri.
Jadi hadirnya Cornelis de Houtman tak lantas menandakan Indonesia dijajah saat itu juga. Pada masa itu kerajaan-kerajaan di Nusantara masih aman dan damai saja walau Belanda datang. Ya karena kedatangan Cornelis de Houtman hanya untuk berdagang, bukan menjajah.
Lalu untuk meredam konflik antar sesama pedagang Belanda, dibentuklah kongsi dagang Belanda bernama Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada 20 Maret 1602.
Selama 200 tahun di Indonesia, VOC menguasai tiga daerah, yakni Menaklukan Banten pada 1633, mengalahkan Sultan Hassanudin, dan menguasai Makassar pada 1677, serta menguasai Kartasura dan Yogyakarta.
Tetapi, walaupun berhasil menguasai, hal itu juga tidak bisa disebut menjajah Indonesia, sebab saat itu mereka hanya menguasai tiga daerah itu saja, tidak sampai semua daerah Sabang sampai Merauke.
VOC pun hanya menguasai pemerintahannya saja, terutama dalam ekonomi dan perdagangannya. Kalau rajanya masih tetap orang pribumi.
Kenapa demikian? Karena hadirnya VOC hanyalah pihak pembantu konflik internal antara kerajaan di sana. Misalnya seperti konflik Banten. VOC bisa datang dan menguasai Banten sebenarnya karena diajak bekerjasama oleh Sultan Haji yang ingin mengkudeta Ayahnya sendiri yang merupakan Raja Banten, yakni Sultan Ageng Tirtayasa.
Kudeta itu berhasil dilakukan. Sultan Haji mendapatkan kekuasaannya, dan VOC yang menjadi rekan dalam kudeta tersebut mau tidak mau harus diberikan imbalan sesuai dengan perjanjian di antara mereka, yakni hak monopoli dagang
Fenomena seperti ini juga terjadi di Makassar dan Yogyakarta.
Namun, VOC bubar pada 31 Desember 1799 musabab bangkrut dan kerugian akibat korupsi para pegawainya. VOC yang bubar, kemudian diganti sistemnya oleh Belanda menjadi daerah otonomi.
Setelah VOC diganti sistemnya, Belanda kemudian berencana mendatangkan pemerintahannya ke Indonesia, tetapi mereka tak bisa melaksanakan niatnya tersebut karena saat itu Belanda sedang dijajah Perancis, sehingga mereka tak bisa ke Indonesia.
Nah, karena Belanda dijajah Perancis, maka yang datang kemudian ke Nusantara adalah Perancis. Saat itu yang diperintahkan datang adalah Herman Willem Daendels. Lalu pada 1811 yang datang kemudian adalah Inggris dengan diwakili oleh Thomas Stamford Raffles.
Namun kekuasaan dua orang itu hanya di pulau Jawa saja (itupun tidak semua daerah pulau Jawa), dan daerah-daerah luar Jawa yang sebelumnya dikuasai Belanda.
Barulah pada 1816 wilayah Indonesia dikembalikan lagi ke Belanda. Dengan kembalinya wilayah tersebut, Belanda mulai berkeinginan menguasai seluruh wilayah Indonesia, tidak hanya wilayah Jawa dan beberapa daerah luar yang sebelumnya telah dikuasai.
Maka, dimulailah invasi Belanda ke berbagai wilayah Indonesia hingga akhirnya setelah mereka mengalahkan Kerajaan Bali pada 1904 dan Kesultanan Aceh pada 1912, barulah mereka dinyatakan secara resmi menguasai seluruh Nusantara karena sudah berhasil mengalahkan seluruh kerajaan di Nusantara.
Jadi, Belanda baru bisa dinyatakan menjajah Indonesia adalah pada tahun 1912. Kalau dihitung-hitung dari 1912 sampai 1945, maka Belanda hanya menjajah Indonesia selama 33 tahun.
Lalu kenapa disebut 350 Tahun?
Istilah Indonesia dijajah 350 tahun berasal dari perkataan Ir Soekarno dalam setiap orasinya. Hal ini beliau lakukan untuk menggelorakan semangat para rakyat Indonesia agar terus semangat berjuang dalam melawan penjajahan Belanda disaat itu.
Pada tahun 1705, akibat perjanjian Mataram dengan VOC, wilayah ini berada dalam kekuasaan penuh Pemerintahan Kolonial. Selama
Sumenep jatuh ke dalam wilayah pemerintahan Hindia Belanda, wilayah ini tidak pernah diperintah secara langsung, para penguasa
Sumenep diberi kebebasan dalam memerintah wilayahnya namun tetap dalam ikatan-ikatan kontrak yang telah ditetapkan oleh Kolonial Kala itu.
Selanjutnya pada tahun 1883, Pemerintah Hindia Belanda mulai menghapus sistem sebelumnya (keswaprajaan), kerajaan-kerajaan di Madura (Bangkalan dan
Sumenep) dikelola langsung oleh Nederland Indische Regening dengan diangkatnya seorang Bupati. Semenjak itulah, sistem pemerintahan
Kadipaten di
Sumenep berakhir dan berubah menjadi pemerintahan Kabupaten.
Peninggalan
Kadipaten Sumenep yang terkenal dan masih dapat disaksikan sampai saat ini antara lain Keraton
Sumenep, Masjid Jamik
Sumenep dan Asta Tinggi yang berada di pusat Kota
Sumenep.
Seperti halnya keraton-keraton di Jawa, budaya halus dan tata krama yang sopan serta bahasa sehari-hari yang santun juga menjadi identitas budaya, baik di seputar lingkungan Keraton
Sumenep maupun di lingkungan masyarakat
Sumenep pada umumnya. Walaupun Keraton
Sumenep saat ini sudah tidak berfungsi lagi sebagai istana resmi Adipati
Sumenep ataupun pusat pengembangan budaya Madura, tetapi kebiasaan peninggalan masa kejayaan
Kadipaten Sumenep masih sangat terasa, tak heran jika banyak orang menjuluki
Sumenep sebagai Solo of Madura.
Mata Pencaharian Penduduk
Semenjak dahulu ekonomi daerah ini bergantung pada hasil laut dan pertanian, karena dari zaman pemerintahan Arya Wiraraja, daerah ini harus mengirimkan upeti kepada kerajaan diatasnya. Namun pada waktu Arya Wiraraja oleh Prabu Kertarajasa Jayawardhana diangkat sebagai penguasa Kerajaan Majapahit bagian timur yang berpusat di Lamajang,
Kadipaten ini dibebaskan dari segala upeti. Keadaan ini berlangsung sampai Kerajaan Majapahit diperintah oleh Prabu Rajasanegara.
Selain mata pencaharian penduduknya yang bergantung dari hasil pertanian yang kurang menguntungkan, mata pencaharian penduduknya sebagian besar juga bergelut dalam bidang kelautan, hal inilah yang kelak menciptakan pelau-pelaut tangguh dari Pulau Madura. Selain itu mata pencaharian penduduknya juga berupa hasil pertanian garam, pertanian garam sendiri berkembang pada masa pemerintahan Pangeran Lor dan Pangeran Wetan. Hasil bumi tersebut berpusat di sekitar Selat Madura tepatnya di Desa Pinggirpapas, Kalianget.
Pengaruh Kerajaan Majapahit terhadap pemerintahan Kadipaten Sumenep
Wilayah
Sumenep mulai di bawah pengaruh Kerajaan Majapahit semenjak awal pendirian pembangunnya, dengan rajanya Raden Wijaya yang bergelar Prabu Kertarajasa Jayawardhana. Selain itu Arya Wiraraja yang semula menjadi Adipati
Sumenep di bawah Kerajaan Singhasari diangkat sebagai adipati di wilayah timur Majapahit meliputi Blambangan dan Lamajhang, sesuai janji Prabu Kertarajasa Jayawardhana ketika meminta bantuan kepada Arya Wiraraja dalam membabat tanah Jawa. Sebagai ganti kedudukannya di
Sumenep, ditunjuklah adik dari Arya Wiraraja yang bernama Arya Bangah sebagai adipati selanjutnya di wilayah
Kadipaten Sumenep dengan gelarnya Arya Wiraraja II. Pada masa pemerintahannya, wilayah
Kadipaten Sumenep yang notabene sudah masuk dalam wilayah Kerajaan Majapahit diberi keistimewaan dari dibebaskannya upeti sampai dengan pemerintahan Prabu Rajasanegara berkuasa atas Majapahit. Selanjutnya ketika Kerajaan Majapahit diperitah oleh Prabu Wikramawardhana, wilayah ini kembali diwajibkan menyetor upeti kepada Kerajaan Majapahit. Pada masa pengaruh Majapahit, wilayah
Kadipaten Sumenep meliputi seluruh Pulau Madura den pulau-pulau yang ada di sekitarnya, seperti Pulau Sapudi, Kangean dan Masalembo.
Pengaruh Kesultanan Demak terhadap pemerintahan Kadipaten Sumenep
Pengaruh Kesultanan Demak secara resmi di
Kadipaten Sumenep berlangsung sejak pemerintahan Pangeran Lor dan Pangeran Wetan sampai masa pemerintahan Raden Mas Anggadipa. Ketika di bawah pengaruh Kesultanan Demak, wilayah
Sumenep diwajibkan membayar upeti kepada Ratu Japan sebagai wilayah yang melindunginya.
Pada masa-masa ini, kekuasaan wilayah
Kadipaten Sumenep meliputi daerah
Sumenep dan Pamekasan yang lebih dikenal dengan sebutan Madura Timur (Madura Wetan)
Pengaruh Kesultanan Mataram terhadap pemerintahan Kadipaten Sumenep
Pemerintahan
Kadipaten Sumenep mulai dipengaruhi Kesultanan Mataram pada masa pemerintahan Raden Mas Anggadipa, tetapi sebelum dikuasainya wilayah
Kadipaten Sumenep oleh Mataram, seluruh wilayah Madura bergejolak melawan penyerangan yang dilakukan oleh Mataram ke wilayah Madura. Penyerangan tersebut terjadi pada masa pemerintahan Pangeran Lor II beserta Kanjeng Pangeran Ario Cokronegoro I.
Kadipaten Sumenep jatuh ketangan Sultan Agung Hanyokrokusumo pada tahun 1624. Pengaruh Mataram di wilayah
Kadipaten Sumenep berlangsung hingga pemerintahan Kanjeng Pangeran Ario Yudonegoro.
Pengaruh Kesultanan Mataram begitu terasa di
Kadipaten Sumenep sampai saat pembubarannya. Pengaruh yang paling besar adalah pola pemerintahannya dan tata ruang kotanya yang mirip dengan kota-kota kerajaan di Jawa.
= Struktur Pemerintahan
=
Struktur pemerintahan di
Kadipaten Sumenep memakai pola pengorganisasian yang mirip dengan pola pemerintahan di Kesultanan Mataram sebagai ibu kotanya. Pemerintahan Lebet di wilayah ini hanya meliputi Gedong Negeri, Pengadilan Keraton, Kapengulon, Paseban, dan Rumah Tangga Keraton. Selain itu pemerintahan desa di wilayah
Kadipaten Sumenep dibagi dalam beberapa kelompok desa, antara lain: Desa Daleman, Desa Percaton dan Desa Perdikan.
Pengaruh VOC terhadap pemerintahan Kadipaten Sumenep
Hubungan VOC dengan pemerintahan di
Kadipaten Sumenep sebenarnya sudah berlangsung sebelum perjanjian Pangeran Puger pada tahun 1705. Namun karena pada masa itu situasi di lingkungan Kesultanan Mataram goyah, maka pada tahun 1705, VOC memaksakan suatu kehendak mengenai kekuasaan politik di Madura Timur kepada Susuhunan Pakubuwana I sehingga terjadilah perjanjian antara kedua belah pihak, dan akhirnya wilayah
Sumenep dan Pamekasan diberikan kepada VOC.
Selama menduduki
Sumenep, status wilayah ini masih berupa Ke-Adipatian. VOC tidak serta merta mengubah sitem pola pemerintahan di wilayah ini, para bangsawan keraton masih diberi kepercayaan untuk memerintah rakyatnya dengan syarat-syarat tertentu yang ditandangani oleh kedua belah pihak. Pemerintahan Kolonial, hanya mengawasi dengan menempatkan seorang wakilnya di
Sumenep. Para Adipati juga di beri kesempatan untuk menjaga keamanan wilayahnya, maka oleh karena itu,
Kadipaten Sumenep juga diberi kewenangan membentuk tentara keamanan yang berasal dari prajurit-prajurit keraton.
Pengaruh-pengaruh VOC yang lainnya juga berpengaruh terhadap perkembangan arsitektur di
Sumenep, Sebagian besar bangunan-bangunan pemerintahan dan rumah bangsawan
Sumenep sedikit banyak dipegaruhi unsur kebudayaan Eropa.
Pengaruh Hindia Belanda terhadap pemerintahan Kadipaten Sumenep
Seiring berjalannya waktu, Pemerintah Hindia Belanda mulai mengekang beberapa kebijakan Adipati, sampai pada tahun 1883, Pemerintah Kolonial mulai mengeluarkan peraturan yang menghapuskan pemerintahan pribumi, akibatnya, wilayah
Sumenep yang semenjak tahun 1269 merupakan wilayah
Kadipaten, harus dihapus sistem pemerintahannya dan memberikan tunjangan kepada para bangsawan agar tidak menimbulkan gejolak. Setelah dihapuskannya Ke-Adipatian di
Sumenep, maka pada saat itulah wilayah ini mulai diperintah secara langsung oleh Nederland Indische Regening dengan mengangkat seorang Bupati.
Lihat Pula
Arya Wiraraja
Keraton
Sumenep
Kabupaten
Sumenep
Pustaka
Zulkarnaen, Iskandar. 2003. Sejarah
Sumenep.
Sumenep: Dinas Pariwisata dan kebudayaan kabupaten
Sumenep.
Adurrahchman, Drs.1971.Sejarah Madura Selajang Pandang.
Sumenep