Kerusuhan rasial Jawa Tengah 1980 (atau beberapa pihak lokal saat itu menyebut sebagai
Kerusuhan/Huru-hara Urip Sumohardjo/ Warung Pelem) merupakan serentetan peristiwa
Kerusuhan rasial yang terjadi di kota-kota dan kabupaten-kabupaten yang ada di Provinsi
Jawa Tengah pada tahun
1980 (20 November
1980). Awal mula penyebab
Kerusuhan rasial ini adalah masalah sepele yang terjadi di kota Surakarta. Dampak dari
Kerusuhan ini adalah rusaknya beberapa fasilitas umum yang ada di kota Surakarta serta menimbulkan luka bagi kaum keturunan Tionghoa di Surakarta yang sangat mendalam bahkan hingga saat ini.
Kronologi
= Awal Mula Peristiwa
=
Serempetan sepeda Pipit dan Kicak
Berawal dari perselisihan siswa SGO (Sekolah Guru Olahraga) di Surakarta bernama Pipit Supriyadi yang menyerempet pemuda keturunan Tionghoa bernama Kicak atau Ompong alias Maryono pada hari Rabu,19 November
1980, pukul 12:00 di Perempatan Warung Pelem (Jalan Ir. Juanda, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta). Tiga siswa Sekolah Guru Olahraga (SGO) Solo,
Jawa Tengah pulang sekolah dengan menaiki sepeda. Di Jalan Urip Sumoharjo, sepeda Pipit Supriyadi, seorang siswa, menyenggol seorang pemuda keturunan Tionghoa bernama Kicak alias Ompong yang
Tengah menyeberang. Kicak dikenal sebagai preman yang terkenal di Surakarta. Kicak yang dikeroyok kemudian mengambil batu dan memukulkannya ke kepala Pipit lalu ia melarikan diri masuk ke Toko 'Orlane' yang dikenal milik keluarga Kingkong, yang masih ada hubungan kekerabatan dengannya (Kingkong dikenal sebagai tokoh preman tua di kota Surakarta).
Balas Dendam Pipit
Pipit, yang kebetulan menjabat sebagai Ketua OSIS, kembali ke sekolahnya dengan luka di kepala. Di sekolah, yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari lokasi kejadian, ia mengajak sekitar 50 temannya untuk mendatangi Toko 'Orlane'. Akan tetapi, mereka tidak dapat menemukan kicak sehingga mereka mengancam pemilik Toko 'Orlane' agar segera menyerahkan Kicak. Malamnya, Pipit menghimpun lagi para siswa SGO untuk menyiapkan aksi pada pagi berikutnya. Paginya, bersama hampir seluruh siswa SGO, ia kembali mendatangi Toko 'Orlane' untuk menyerahkan Kicak. Pulang dengan tangan hampa, mereka kemudian kembali ke sekolah dengan melampiaskan amarah. Para siswa lalu melempari rumah-rumah dan toko di pinggir jalan dengan batu.
Kodim 0735 Turun Tangan
Persoalan mereka sebetulnya sudah selesai setelah ditengahi oleh Kodim dan mereka telah membuat surat kesepakatan damai. Aparat kemudian segera bertindak dengan menurunkan pasukan di sepanjang Jalan Urip Sumoharjo. Pipit lalu dibawa ke kantor Kodim 0735 dan Ia diminta menandatangani sebuah perjanjian tertulis yang isinya tidak akan mengulangi aksi anarkis serupa. Akan tetapi, ia meminta aparat juga menangkap Kicak.
Provokasi Tiga Mahasiswa UNS
Sepulang dari Kodim, tiga mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) menguntit Pipit. Mereka menghasut untuk meneruskan aksi anarkis seperti sehari sebelumnya. Gayung bersambut. Pada hari Jumat, 21 November
1980, di dekat Jembatan Jurug (jembatan yang menghubungkan Kota Surakarta dengan wilayah timur menuju Karanganyar, Sragen dan Ngawi), para mahasiswa, sejumlah pimpinan ormas dan para ketua OSIS se-Kota Solo bertemu. Perhelatan yang diprakarsai oleh Hari Mulyadi dan Endu Marsono itu menghasilkan kesepakatan di antaranya mengadakan aksi anti-Tionghoa anarkis yang dipimpin oleh Eddy Wibowo (mahasiswa tingkat II Fakultas Sastra Budaya UNS). Setelah terjadinya pertemuan Pipit dan mahasiswa UNS tersebut, kemudian beredar isu bahwa Pipit telah meninggal. Isu tersebut berkembang semakin liar dan disebutkan bahwa ada orang pribumi dibantai oleh pemuda keturunan Tionghoa. Hanya dalam waktu beberapa hari issue tersebut telah menyebar ke berbagai kota yang ada di
Jawa Tengah dan sekitarnya.
=
Sabtu, 22 November
1980, ratusan pelajar bergerak mengendarai sepeda motor. Mereka melempari rumah dan toko-toko milik warga keturunan Tionghoa. Para pelajar juga membawa poster dan meneriakkan yel-yel anti-Tionghoa. Aksi kemudian kian membesar dengan adanya isu meninggalnya Pipit (seperti yang telah disebutkan pada paragraf sebelumnya). Hari-hari berikutnya, aksi-aksi serupa segera merembet ke kota-kota lain. Aksi anarkis ini merembet cepat ke Boyolali, Ambarawa, Salatiga, Banyubiru, Candi, dan Semarang. Setiap ditemukan orang Tionghoa, mereka langsung memukuli dan meludahinya. Peristiwa paling parah terjadi di Semarang pada hari Selasa, 25 November
1980.
Semarang
Massa saat itu bergerak bagai dikomando. Mereka bergerak menjarah, merusak, serta membakar rumah, toko, dan pabrik yang ditengarai milik orang Tionghoa. Massa juga menganiaya warga keturunan yang ditemui di jalan-jalan. Huru-hara tidak hanya terjadi di pusat kota seperti Jalan Imam Bonjol, Siliwangi, Mataram, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Depok tetapi juga sampai daerah pinggiran kota seperti Mrican dan Kedungmundu. Pecinan dan Kranggan yang menjadi konsentrasi permukiman warga Tionghoa di Semarang sempat menjadi sasaran amuk massa. Akan tetapi, sebelum berlanjut, aparat buru-buru mengamankan kawasan itu. Dibandingkan kota-kota lain,
Kerusuhan di Semarang merupakan yang
Kerusuhan yang terparah. Jam malam diberlakukan selama hampir sepekan. Untuk menghindarkan serangan perusuh, warga membuat tulisan mencolok di depan toko, rumah, dan aset-aset mereka: “Milik pribumi asli”, “Ini toko wong Jowo”, “Milik Haji Fulan”, dan lain-lain.
Aparat kemudian bertindak tegas. Mereka melokalisir agar huru-hara tak meluas. Pangkopkamtib Laksamana Soedomo bahkan mengeluarkan instruksi tembak di tempat terhadap pelaku
Kerusuhan. Tindakan juga dilakukan oleh Wali Kota Surakarta, Ignatius Soekatmo Prawirohadisebroto, SH. Ia menyatakan warga agar tidak terpancing isu yang tidak jelas kabarnya dan akan segera menindak pihak-pihak terkait yang memicu
Kerusuhan. Kerugian material ditaksir mencapai puluhan miliar rupiah. Kerugian terbesar adalah kebangkrutan sosial yaitu hancurnya relasi sosial antara masyarakat pribumi dengan warga Tionghoa.
Selain itu, Pangkopkamtib Sudomo mengeluarkan keputusan kontroversial yang di kemudian hari dikritik oleh Komisi I DPR RI yaitu melarang media cetak di ibu kota untuk memberitakan pengerusakan harta dan aset milik warga keturunan yang ada di Surakarta dan Semarang.
Analisis
Banyak yang menganggap sebenarnya peristiwa ini termasuk gunung es dari kecemburuan sosial masyarakat pribumi terutama
Jawa-Surakarta yang cemburu akan kesuksesan ekonomi warga keturunan yang ada di Kota Surakarta. Hal tersebut tertulis di dalam memorandum HIPMI Surakarta pada 26 November
1980. Ini terlihat dari kerusakan dan lokasi
Kerusuhan yang kebanyakan berada pada daerah yang banyak didominasi oleh kaum keturunan serta terdapat kegiatan ekonomi seperti daerah Jalan Urip Sumoharjo, Surakarta.
Referensi