Lamri adalah nama sebuah kerajaan yang terletak di daerah kabupaten Aceh Besar dengan pusatnya di Lam Reh, kecamatan Mesjid Raya. Kerajaan ini adalah kerajaan yang lebih dahulu muncul sebelum berdirinya Aceh Darussalam.
Sumber asing menyebut nama kerajaan yang mendahului Aceh yaitu "
Lamri", "Ramni", "Lambri", "Lan-li", "Lan-wu-li". Penulis Tionghoa Zhao Rugua (1225) misalnya mengatakan bahwa "Lan-wu-li" setiap tahun mengirim upeti ke "San-fo-chi" (Sriwijaya). Nagarakertagama (1365) menyebut "
Lamri" di antara daerah yang oleh Majapahit diaku sebagai bawahannya. Dalam Suma Oriental-nya, penulis Portugis Tomé Pires mencatat bahwa
Lamri tunduk kepada raja Aceh.
Sejarah
Secara umum, data tentang
Lamri didasarkan pada berita-berita dari luar, seperti yang dikemukakan oleh pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut asing (Arab, India, dan Cina) sebelum tahun 1500 M. Di samping itu, ada beberapa sumber lokal, seperti Hikayat Melayu dan Hikayat Atjeh, yang dapat dijadikan rujukan tentang keberadaan
Lamri.
Data tentang lokasi
Lamri juga masih menjadi perdebatan. W. P. Groeneveldt, seorang ahli sejarah Belanda, menyebut bahwa
Lamri terletak di sudut sebelah barat laut Pulau Sumatera, kini tepatnya berada di Kabupaten Aceh Besar. Ahli sejarah lainnya, H. Ylue menyebut bahwa Lambri atau
Lamri merupakan suatu tempat yang pernah disinggahi pertama kali oleh para pedagang dan pelaut dari Arab dan India. Menurut pandangan seorang pengembara dan penulis asing, Tome Pires, letak
Lamri adalah di antara Kesultanan Aceh Darusalam dan wilayah Biheue. Artinya, wilayah
Lamri meluas dari pantai hingga ke daerah pedalaman.
Menurut T. Iskandar dalam disertasinya De Hikayat Atjeh (1958), diperkirakan bahwa
Lamri berada di tepi laut (pantai), tepatnya berada di dekat Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. H. M. Zainuddin, salah seorang peminat sejarah Aceh, menyebutkan bahwa
Lamri terletak di Aceh Besar dekat dengan Indrapatra, yang kini berada di Kampung Lamnga. Peminat sejarah Aceh lainnya, M. Junus Jamil, menyebutkan bahwa
Lamri terletak di dekat Kampung Lam Krak di Kecamatan Suka Makmur, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh.
Berdasarkan sumber-sumber berita dari pedagang Arab, Kerajaan
Lamri telah ada sejak pertengahan abad ke-IX M. Artinya,
Lamri telah berdiri sejak sekitar tahun 900-an Masehi. Pada awal abad ini, Kerajaan Sriwijaya telah menjadi sebuah kerajaan yang menguasai dan memiliki banyak daerah taklukan. Pada tahun 943 M,
Lamri tunduk di bawah kekuasaan Sriwijaya.
Menurut Prasasti Tanjore di India, pada tahun 1030 M,
Lamri pernah diserang oleh Kerajaan Chola di bawah kepemimpinan Raja Rayendracoladewa I. Pada akhirnya,
Lamri dapat dikalahkan oleh Kerajaan Chola, meskipun telah memberikan perlawanan yang sangat hebat. Bukti perlawanan tersebut mengindikasikan bahwa
Lamri bukan kerajaan kecil karena terbukti sanggup memberikan perlawanan yang tangguh terhadap kerajaan besar, seperti Kerajaan Chola.
Berdasarkan sumber-sumber berita dari pedagang Arab,
Lamri merupakan tempat pertama kali yang disinggahi oleh oleh pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut yang datang dari India dan Arab. Ajaran Islam telah dibawa sekaligus oleh para pendatang tersebut. Berdasarkan analisis W. P. Groeneveldt, pada tahun 1416 M semua rakyat di
Lamri telah memeluk Islam. Menurut sebuah historiografi Hikayat Melayu, Lamiri (maksudnya adalah
Lamri) merupakan daerah kedua di Pulau Sumatera yang diislamkan oleh Syaikh Ismail sebelum ia mengislamkan Kesultanan Samudera Pasai. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Lamiri jelas merupakan salah satu kerajaan Islam di Aceh.
Menurut Hikayat Atjeh, salah seorang sultan yang cukup terkenal di
Lamri adalah Sultan Munawwar Syah. Konon, ia adalah moyang dari salah seorang sultan di Aceh yang sangat terkenal, yaitu Sultan Iskandar Muda. Pada akhir abad ke-15, pusat pemerintahan
Lamri dipindahkan ke Makota Alam (kini dinamakan Kuta Alam, Banda Aceh) yang terletak di sisi utara Krueng Aceh. Pemindahan tersebut dikarenakan adanya serangan dari Kerajaan Pidie dan adanya pendangkalan muara sungai. Sejak saat itu,
Lamri dikenal dengan nama Kesultanan Makota Alam.
Dalam perkembangan selanjutnya, tepatnya pada tahun 1513 M,
Lamri beserta dengan Kerajaan Pase, Daya, Lingga, Pedir (Pidie), Perlak, Benua Tamiang, dan Samudera Pasai bersatu menjadi Kesultanan Aceh Darussalam di bawah kekuasaan Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M). Jadi, bisa dikatakan bahwa
Lamri merupakan bagian dari cikal bakal berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam.
H.M Zainuddin dalam buku Tarikh Aceh dan Nusantara menyebutkan kurang lebih pada 400 Masehi, Sumatera Bagian Utara dinamai orang Arab dengan nama Rami (Ramni = terletak di kampung Pande sekarang), orang Tionghoa menyebut LamLi, Lan-wu-li, dan Nan-Poli. Yang sebenarnya adalah sebutan Aceh Lam Muri, dan dalam sejarah Melayu disebut Lambri (Lamiri). Sesudah kedatangan bangsa Portugis dan Italia biasanya mengatakan Achem, Achen, Acen. Sementara orang Arab menyebutkan Asyi, atau juga Dachem, Dagin, Dacin. Penulis-penulis Perancis mengatakan : Atcheen, Acheen, Achin. Akhirnya orang Belanda menyebutkan: Achem, Achim, Atchin, Atchein, Atjin, Atsjiem, Atsjeh sampai akhirnya menjadi Aceh. Orang Aceh sendiri mengatakan Atjeh. Begitupula nama daerah ini disebut dalam tarikh Melayu, undang-undang Melayu, di dalam surat Aceh lama (sarakata) dan pada mata uang Aceh.
Perubahan nama dari
Lamri menjadi Aceh belum dapat dipastikan bagaimana proses terjadinya. Dalam Tarikh Kedah (Marong Mahawangsa) tahun 1220 M (517 H), nama Aceh sudah disebutkan sebagai satu negeri di pesisir pulau Perca (Pulau Sumatera). Orang Portugis Barbosa (1516 M / 922 H) sebagai orang Eropa pertama yang menyebut nama Achem dan buku-buku Tionghoa (1618 M) menyebutkan Aceh dengan nama A-Tse.
Struktur Pemerintahan
Struktur pemerintahan
Lamri tidak jauh berbeda dengan struktur pemerintahan yang berlaku di Kesultanan Samudera Pasai karena keduanya memiliki pola pemerintahan yang berdasarkan pada konsep Islam dan konsep maritim (kelautan). Dalam struktur pemerintahan
Lamri, sultan merupakan penguasa yang tertinggi. Ia dibantu oleh sejumlah pejabat lainnya, yaitu seorang perdana menteri, seorang bendahara, seorang komandan militer Angkatan Laut (dengan gelar laksamana), seorang sekretaris, seorang kepala Mahkamah Agama (atau disebut sebagai qadhi), dan beberapa orang syahbandar yang bertanggung jawab pada urusan pelabuhan (biasanya juga berperan sebagai penghubung komunikasi antara sultan dan pedagang-pedagang dari luar).
Kehidupan Sosial Budaya
Lamri merupakan kerajaan laut agraris. Artinya, dasar kehidupan masyarakat di
Lamri di samping mengandalkan hasil pertanian juga mengandalkan hasil perdagangan yang dilakukan masyarakat sekitar dengan pedagang-pedagang dari luar, seperti dari Arab, India, dan Cina. Hasil perdagangan yang dimaksud berupa lada dan jenis rempah-rempah lain, emas, beras, dan hewan ternak. Hasil-hasil perdagangan tersebut memang telah mengundang perhatian banyak perdagangan dari luar untuk datang ke
Lamri dan wilayah Aceh secara keseluruhan.
Silsilah Raja-raja
Dari lebih kurang 84 batu nisan yang tersebar di 17 komplek pemakaman, terdapat 28 batu nisan yang memiliki inskripsi. Dari ke-28 batu nisan tersebut diperoleh sebanyak 10 raja yang memerintah
Lamri, 8 orang bergelar malik dan 2 orang bergelar sultan.
Malik Syamsuddin (wafat 822 H/1419 M)
Malik 'Alawuddin (wafat 822 H/1419 M)
Muzhhiruddin. Diperkirakan seorang raja, tanggal wafat tidak diketahui.
Sultan Muhammad bin 'Alawuddin (wafat 834 H/1431 M)
Malik Nizar bin Zaid (wafat 837 H/1434 M)
Malik Zaid (bin Nizar?) (wafat 844 H/1441 M)
Malik Jawwaduddin (wafat 842 H/1439 M)
Malik Zainal 'Abidin (wafat 845 H/1442 M)
Malik Muhammad Syah (wafat 848 H/1444 M)
Sultan Muhammad Syah (wafat 908 H/1503 M)
Di Lam Reh terdapat makam Sultan Sulaiman bin Abdullah (wafat 1211), penguasa pertama di Indonesia yang diketahui menyandang gelar "sultan". Penemuan arkeologis pada tahun 2007 mengungkapkan adanya nisan Islam tertua di Asia Tenggara yaitu pada tahun 398 H/1007 M. Pada inskripsinya terbaca: Hazal qobri [...] tarikh yaumul Juma`ah atsani wa isryina mia Shofar tis`a wa tsalatsun wa tsamah […] minal Hijri. Namun menurut pembacaan oleh peneliti sejarah Samudra Pasai, Teungku Taqiyuddin Muhammad, nisan tersebut berangka tahun 839 H/1437 M.
Situs
Situs Kerajaan
Lamri di kampung Lam Reh kecamatan Mesjid Raya saat ini terancam musnah dikarenakan adanya rencana pembangunan lapangan golf oleh investor.
Galeri
Lihat pula
Sultan Sulaiman bin Abdullah bin al-Basir
Syekh Abdullah Kan'an
Catatan kaki
Sumber
Keat Gin Ooi, Southeast Asia: a historical encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor, 2004, ISBN 1-57607-770-5
Ricklefs, M. C., A History of Modern Indonesia since c. 1200, Palgrave MacMillan, New York, 2008 (terbitan ke-4), ISBN 978-0-230-54686-8Sejarah Melayu oleh Abdullah Munshi;
Hikayat Aceh;
Hikayat Merong Mahawangsa (Negeri Kedah);
De Hikajat Aceh oleh T. Iskandar;
Tarikh Aceh dan Nusantara oleh H.M. Zainuddin;
Bacaan lebih lanjut
Nouvelles données sur les royaumes de
Lamri et Barat Diarsipkan 2015-09-24 di Wayback Machine.
Beyond Serandib: A Note on Lambri at the Northern Tip of Aceh
Lamri telah Islam sebelum Pasai
Nisan Plakpling, tipe nisan peralihan dari pra-Islam ke Islam
Nisan-nisan Kerajaan
Lamri di Lamreh dan Kuta Leubok, Aceh Besar (1)
Nisan-nisan Kerajaan
Lamri di Lamreh dan Kuta Leubok, Aceh Besar (2)