Loa Sek Hie Sia (lahir di Batavia pada tahun 1898 - meninggal di Den Haag pada tahun 1965) dulu adalah seorang politisi dan anggota parlemen di Hindia Belanda. Ia adalah voorzitter atau chairman pertama dari pasukan bela diri etnis Tionghoa, Pao An Tui (1946 - 1949). Ia adalah Peranakan keturunan Tionghoa-Indonesia, Austria, dan Jawa. Dalam karir politiknya, ia mengkampanyekan perlawanan terhadap diskriminasi rasial serta memperjuangkan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik bagi etnis Tionghoa di Hindia Belanda.
Sejarah
= Keluarga dan pendidikan
=
Loa lahir di Pasar Baru, Batavia pada tahun 1898 pada salah satu keluarga paling terkemuka di Batavia yang merupakan bagian dari 'Cabang Atas' di Jawa. Kakeknya adalah
Loa Po Seng, yang tinggal Jl. Poseng di Pasar Baru, sementara bapaknya,
Loa Tiang Hoei, menjabat sebagai Kapitan Cina Pasar Baru. Jabatan tersebut memberinya otoritas politik dan hukum atas komunitas Cina di suatu wilayah.
Ibu
Loa, Louise Goldman, berasal dari sebuah keluarga Indo-Eropa keturunan Yahudi Austria, tetapi telah lama tinggal di Hindia Belanda. Ibu tirinya, Tio Bit Nio, adalah sepupu pertama dari Tio Tek Ho, Mayor Cina keempat Batavia. Sebagai keturunan dari pejabat Cina,
Loa pun menyandang gelar turunan Sia.
Ia awalnya bersekolah di ELS dan HBS di Batavia, lalu belajar perdagangan di Prins Hendrik School, dan akhirnya lulus pada bulan Mei 1917.
Pada bulan November 1917,
Loa menikahi Tan Pouw Nio, anak dari Tan Liok Tiauw Sia dan cucu dari Tan Tiang Po, Letnan Cina, tuan tanah dari Batoe-Tjepper. Keduanya lalu tinggal di Menteng, Batavia.
= Karir kolonial
=
Loa ditunjuk sebagai anggota Gemeenteraad (dewan kota) Batavia pada tahun 1919, dan kemudian ditunjuk sebagai anggota Volksraad (parlemen Hindia Belanda) pada tahun 1927. Mulai tahun 1928 hingga 1951, ia menjadi anggota dewan eksekutif dari Chung Hwa Hui (CHH), sebuah partai politik kanan tengah yang mengadvokasi perubahan melalui kerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda.
Loa juga merupakan bagian dari Loji Mason Batavia.
Sebagai seorang anggota parlemen,
Loa bekerja erat dengan Hok Hoei Kan, chairman dari CHH, untuk menghapus kebijakan yang diskriminatif terhadap etnis Cina di Hindia Belanda. Ia pun mengkampanyekan pembentukan lembaga pendidikan dan kesehatan khusus bagi komunitas Cina. Untuk mengatasi diskriminasi dari pemerintah,
Loa juga memainkan peran penting dalam pendirian Jang Seng Ie (kini Rumah Sakit Husada). Ia menjadi anggota dewan pimpinan dari rumah sakit tersebut mulai tahun 1924 hingga 1951.
Sekitar tahun 1929,
Loa memberi referensi karakter kepada pemerintah Hindia Belanda untuk Liem Bwan Tjie, seorang arsitek terkenal yang kesulitan untuk kembali ke Hindia Belanda karena diduga bersimpati dengan komunis. Liem pun tinggal di kediaman keluarga
Loa, dan membantu
Loa mendesain ulang kediaman tersebut, sehingga menjadi proyek pertama bagi Liem sekembalinya ke Hindia Belanda.
Pada tahun 1940,
Loa ditunjuk oleh Ratu Wilhelmina dari Belanda sebagai seorang Officer of the Order of Orange-Nassau sebagai pengakuan atas kontribusinya bagi masyarakat. Saat Perang Dunia II pecah,
Loa ditahan oleh pasukan Jepang karena dianggap berhubungan dekat dengan pemerintah Hindia Belanda. Ia pun ditahan selama perang, dan baru dibebaskan pada tahun 1945.
= Revolusi
=
Dalam suasana panas pasca berakhirnya Perang Dunia II dan dimulainya Revolusi Indonesia,
Loa menganggap bahwa etnis Tionghoa di Hindia Belanda harus dapat membela diri secara militer. Sehingga,
Loa pun menjadi salah satu pendiri dari Pao An Tui, yang kemudian dituduh oleh sejumlah tokoh revolusioner sebagai milisi pro-Belanda.
Loa bertindak sebagai voorzitter atau chairman dari Komite Pusat dari organisasi tersebut. Pao An Tui mendapat senjata dan pendanaan dari Sekutu, serta mendapat dukungan dari perdana menteri pertama Indonesia, Sutan Sjahrir. Selama periode NICA,
Loa bertindak sebagai penasehat di kabinet darurat dari Hubertus van Mook, Plt. Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Setelah jelas bahwa Indonesia dapat meraih kemerdekaan,
Loa mendukung gerakan federal. Namun, federalisme tidak terlalu didukung oleh masyarakat Indonesia, karena dianggap sebagai buatan Belanda. Setelah federalisme dikalahkan oleh faksi negara kesatuan, yang dipimpin oleh Sukarno dan Mohammad Hatta,
Loa pun mengundurkan diri dari kancah politik.
= Emigrasi dan kematian
=
Sukarno berkonsultasi dengan
Loa Sek Hie mengenai sejumlah isu, mulai dari kepentingan bisnis Belanda hingga Freemasonry di Indonesia, tetapi Soekarno secara umum mengabaikan nasehat dari
Loa.
Loa akhirnya pindah ke Belanda pada tahun 1964.
Loa lalu dinaturalisasi sebagai warga negara Belanda pada tahun 1965, dan meninggal di Den Haag pada tahun yang sama.
Referensi
Rujukan
den Dikken, Judy (2002). Liem Bwan Tjie (1891-1966) Westerse vernieuwing en oosterse traditie. STICHTING BONAS Rotterdam. ISBN 90-76643-14-8.
Haris, Syamsuddin (2007). Partai dan Parlemen Lokal Era Transisi Demokrasi di Indonesia: Studi Kinerja Partai-Partai di DPRD Kabupaten/Kota. TransMedia. ISBN 978-9797990527.
Lohanda, Mona (2002). Growing Pains: The Chinese and The Dutch in Colonial Java, 1890-1942. Yayasan Cipta Loka Caraka.
Setiono, Benny G. (2003). Tionghoa dalam pusaran politik. Elkasa. ISBN 9799688744.
Setyautama, Sam; Mihardja, Suma (2008). Tokoh-tokoh etnis Tionghoa di Indonesia. Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-9799101259.
Stevens, Th (1994). Vrijmetselarij en samenleving in Nederlands-Indië en Indonesië 1764-1962. Uitgeverij Verloren. ISBN 9065503781.
Suryadinate, Leo (1995). Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 9813055030.
Suryadinata, Leo (2005). Peranakan Chinese Politics in Java, 1917-1942. Marshall Cavendish Academic. ISBN 9812103600.