Penyalahgunaan obat atau drug abuse adalah suatu tindakan penggunaan
obat yang berlebihan, maladaptif, atau adiktif yang bertujuan untuk kondisi nonmedis meskipun dalam penggunaannya dapat menimbulkan masalah sosial, psikologis, dan fisik yang mungkin timbul dari penggunaan
obat tersebut. Penggunaan
obat disalahgunakan untuk menciptakan efek "menyenangkan" pada otak.
Penyalahgunaan obat banyak terjadi pada remaja hingga masa dewasa awal.
obat yang disalahgunakan biasanya memiliki sifat psikoaktif di mana disalahgunakan oleh individu dengan berbagai alasan. Rasa ingin tahu dan tekanan teman sebaya, menjadi salah satu alasan yang ditemukan terutama di kalangan anak-anak sekolah dan orang dewasa muda. Penggunaan
obat yang awalnya dimaksudkan untuk menghilangkan indikasi penyakit mungkin telah berubah menjadi adiksi karena memberikan rasa "nyaman" bagi individu yang menyalahgunakannya. Selain itu,
Penyalahgunaan obat juga dijadikan sebagai alasan untuk mendapatkan inspirasi.
Penyalahgunaan obat, tidak terbatas hanya pada
obat keras, psikotropika, dan narkotika.
obat yang bebas dijual di pasaran atau apotek pun tidak luput dari
Penyalahgunaan sehingga penggunaan dan peredaran terhadap
obat bebas dan
obat bebas terbatas yang potensial (memiliki aktivitas psikoaktif) untuk disalahgunakan perlu menjadi perhatian.
obat bebas dan
obat bebas terbatas dapat dengan mudah diakses dalam berbagai layanan kefarmasian dan harganya yang relatif murah membuatnya rentan untuk disalahgunakan.
Definisi obat
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009,
obat termasuk ke dalam salah satu dari 4 sediaan farmasi. Ke empat sediaan farmasi tersebut adalah
obat, bahan
obat,
obat tradisional, dan kosmetika.
obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi untuk manusia.
Bahan
obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan
obat dengan standar dan mutu sebagai bahan baku farmasi termasuk baku pembanding. Yang dimaksud dengan bahan yang tidak berkhasiat adalah bahan yang ditambahkan dalam pembuatan
obat selain zat aktif yang memberikan efek terapi. Bahan yang tidak berkhasiat ini sering disebut dengan eksipien. Eksipien harus bersifat inert terhadap zat aktif dan tidak memberikan efek terapeutik karena tujuan penggunaan eksipien adalah untuk membantu dalam proses produksi, melindungi, meningkatkan stabilitas, dan meningkatkan ketersediaan hayati
obat.
obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sari-sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
obat tradisional yang beredar di Indonesia yaitu jamu,
obat herbal terstandar, dan fitofarmaka.
Golongan obat
=
obat bebas (over-the-counter) adalah
obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus untuk
obat bebas adalah berupa lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam.
obat bebas memiliki tanda khusus yaitu berupa lingkaran dengan garis tepi berwarna hijau. Meskipun
obat bebas relatif aman untuk digunakan, namun dosis dan penggunaannya juga perlu diperhatikan. Penggunaan
obat bebas yang tidak tepat dan sesuai dengan tujuan pengobatan dapat menimbulkan efek samping.
= obat bebas terbatas
=
obat bebas terbatas adalah
obat yang dijual bebas dan dapat dibeli tanpa dengan resep dokter tetapi disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus untuk
obat ini adalah lingkaran berwarna biru dengan garis tepi hitam.
obat golongan ini masih masuk ke dalam kategori
obat keras, tetapi dalam jumlah tertentu masih dapat dijual di apotek dan dapat diperoleh tanpa resep dari dokter.
obat ini ditandai dengan lingkaran biru bergaris tepi hitam. Pada kemasan
obat bebas terbatas tertulis peringatan-peringatan yaitu:
P1: Awas!
obat Keras! Baca Aturan Pakainya.
P2: Awas!
obat Keras! Baca Aturan Pakainya.
P3: Awas!
obat Keras! Hanya untuk Bagian Luar Tubuh.
P4: Awas!
obat Keras! Hanya untuk Dibakar.
P5: Awas!
obat Keras! Tidak Boleh Ditelan.
P6: Awas!
obat Keras!
obat Wasir, Jangan Ditelan.
=
obat keras adalah
obat yang tidak bisa dibeli bebas di apotek tanpa resep dokter, meski dijual legal di apotek.
obat-
obat yang masuk dalam golongan ini jika digunakan tidak dalam pengawasan dokter dikhawatirkan dapat memperparah penyakit, meracuni tubuh, bahkan berujung pada kematian.
obat golongan ini disimbolkan dengan lingkaran merah bergaris tepi hitam dan terdapat huruf “K” di dalamnya.
= Psikotropika dan narkotika
=
obat golongan ini hanya bisa didapatkan dengan resep dokter, dengan tanda tangan dokter disertai nomor izin praktik dokter pada resep tersebut, dan tidak dapat menggunakan kopi resep. Psikotropika adalah zat/
obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan sistem saraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan, dan dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi para pemakainya.
Daftar obat yang disalahgunakan
= Dekstrometorfan
=
Dekstrometorfan (sering disingkat dengan DMP atau DXM) merupakan
obat yang digunakan sebagai penekan (supresan) batuk atau antitusif. Dekstrometorfan dijual sebagai
obat bebas dibanyak negara sehingga dapat diperoleh oleh masyarakat tanpa menggunakan resep dokter.
obat ini dijual dalam beberapa bentuk sediaan seperti sirup, tablet, kapsul lunak, dan lozenge.
Dekstrometorfan merupakan kelompok
obat turunan morfin nonnarkotik yang disetujui penggunaanya pertama kali sebagai
obat batuk pada tahun 1958 oleh FDA. Sebagai antitusif,
obat ini bekerja dengan cara melintasi sawar darah otak dan berinteraksi dengan reseptor agonis sigma-1 (Sig1-R) pada pusat batuk di sistem saraf pusat, yang demikian dapat menekan refleks batuk.
Dekstrometorfan memiliki banyak mekanisme aksi dan dapat berinteraksi dengan banyak reseptor, diantaranya adalah nonselektif serotonin reuptake inhibitor, reseptor agonis sigma-1 (Sig1-R), transporter noradrenalin (NA), reseptor asetilkolin nikotinik α3β4, dan reseptor N-metill-D-aspartat (NMDA). Reseptor tersebut banyak ditemukan dalam beberapa sistem neurotransmiter yang ditargetkan dalam pengobatan gangguan neurologis dan kejiwaan. Pada penggunaan dosis tinggi, dekstrometorfan dan metabolit utamanya, dekstrorfan, dapat memblokade reseptor NMDA yang memberikan efek serupa seperti pada anestesi disosiatif lainnya seperti ketamina, nitro oksida, dan fensiklidin.Pada tahun 1971 dilakukan studi terkontrol untuk melihat efek psikoaktif dekstrometorfan. Hasil studi tersebut melaporkan bahwa dekstrometorfan memiliki efek psikotomimetik yang menonjol ketika dosis yang digunakan adalah 6-10 kali lebih besar daripada dosis terapeutiknya sebagai antitusif. Ketika penggunaan dosis dekstrometorfan melampaui batas dari yang disarankan, maka akan banyak gangguan kejiwaan yang dapat terjadi. Efeknya tergantung dosis dan gejala yang timbul bervariasi mulai dari gangguan motorik ringan, gangguan kognitif, hingga gejala parapsikotik seperti pada penggunaan fensiklidin (PCP) yaitu delusi, keadaan disosiatif, paranoia, dan halusinasi. Kombinasi gejala ini dapat menyebabkan tindakan impulsif seperti penyerangan, bunuh diri, atau pembunuhan. Akibat kekhawatiran terhadap
Penyalahgunaan dekstrometorfan, maka pada tahun 1973 pemerintah Amerika Serikat melarang peredaran tablet Romilar (mengandung zat tunggal dekstrometorfan) dari pasar.
Di Amerika Serikat pada akhir 1980an, dilaporkan dari 14 negara bagian, terjadi
Penyalahgunaan produk yang mengandung dekstrometorfan oleh remaja. Selain Amerika Serikat, penggunaan dekstrometorfan untuk tujuan nonmedis juga terjadi di Eropa. Keracunan fatal pertama akibat
Penyalahgunaan dekstrometorfan dilaporkan terjadi di Swedia pada 1980-an.
Penyalahgunaan dekstrometorfan di Amerika Serikat menyebabkan sekitar 6000 kasus gawat darurat tiap tahunnya. Lima puluh persen dari semua kondisi gawat darurat tersebut terjadi akibat toksisitas dekstrometorfan di mana kebanyakan pasien berusia antara 12-20 tahun.
Lebih dari 50 kematian dilaporkan di Pakistan akibat efek toksik dari konsumsi sirup batuk yang mengandung dekstrometorfan secara berlebihan dengan tujuan nonmedis. Sembilan belas orang diantaranya merupakan laki-laki berusia antara 17-45 tahun.
Di Indonesia, pada tahun 2014, BPOM menarik peredaran seluruh
obat yang mengandung dekstrometorfan sebagai sediaan tunggal. Hal ini dilakukan berdasarkan hasil suatu kajian yang menyebutkan bahwa produk dekstrometorfan tunggal sering disalahgunakan oleh remaja usia sekolah dari kalangan menengah ke bawah sebagai substitusi produk halusinogenik (sabu-sabu, putaw, ekstasi, dan ganja).
Secara umum gejala toksisitas dekstrometorfan yang dapat dapat segera dikenali yaitu hipertermia, diaforesis, dan perubahan kondisi kejiwaan secara bertahap. Toksisitas dekstrometorfan dapat menyebabkan berbagai efek pada:
KMTHT (Kepala, Mata, Telinga, Hidung, dan Tenggorokan) – midriasis, nistagmus.
Kardiovaskular – takikardia, hipertensi.
Saluran pernapasan – penurunan pernapasan.
Neurologis – perasaan gelisah, kebingungan, halusinasi, ataksia, kekakuan otot, kejang, koma.
= Feniramin
=
Feniramin adalah antihistamin generasi pertama dalam kelas alkilamin yang mirip dengan bromfeniramin dan klorfeniramin. Feniramin digunakan untuk mengobati alergi dan dapat dikombinasi dengan
obat lain sebagai
obat flu. Penggunaan feniramin sebagai antihistamin sebagian besar telah digantikan oleh antihistamin generasi kedua seperti cetirizin dan loratidin.
Feniramin akan bersaing dengan histamin untuk menduduki reseptor histamin H1 yang bertindak sebagai inverse agonist once bound. Pengurangan aktivitas reseptor H1 menyebabkan berkurangnya rasa gatal serta mengurangi vasodilatasi dan kebocoran kapiler sehingga kemerahan dan edema akan berkurang. Interaksi agonis reseptor H1 dalam sistem saraf pusat dengan antihistamin generasi pertama seperti feniramin juga dapat memberikan efek sedasi. Pengikatan feniramin ke reseptor H4, dapat berkontribusi untuk mengurangi gatal dengan cara berperan sebagai antagonis dari inflamasi.
Penyalahgunaan antihistamin yang digunakan sebagai
obat tunggal atau dalam kombinasi dengan
obat lain dapat mempengaruhi individu untuk mengembangkan gejala atau sindrom psikiatri seperti keracunan, sakau, atau sebagai kondisi komorbid. Dalam suatu studi yang dilakukan, dilaporkan bahwa 44% (dari 43 subjek penelitian) individu yang menyalahgunakan feniramin mengalami kondisi psikosis atau delirium.
Di India, dilaporkan dua kasus
Penyalahgunaan dan ketergantungan pada feniramin. Gejala yang ditimbulkan akibat
Penyalahgunaan feniramin pada pasien yaitu rasa euforia, penyimpangan memori, penurunan kesadaran, halusinasi, delusi, gangguan motorik, meracau, ataksia, gangguan pada otot yang menyebabkan rasa lemah pada tubuh, dan kejang. Selain itu, di Turki juga dilaporkan kasus ketergantungan terhadap feniramin.
= Difenhidramin
=
Difenhidramin adalah antihistamin reseptor H1 yang digunakan dalam pengobatan alergi, dan berbagai reaksi alergi termasuk bersin, pilek, mata gatal/berair, gatal pada hidung atau tenggorokan, pruritus, urtikaria, gigitan serangga, insomnia, dan sindrom parkinsonian.
obat ini dijual sebagai
obat bebas dengan berbagai bentuk sediaan seperti sirup, eliksir, tablet, tablet kunyah, kapsul, injeksi, dan topikal (krim dan gel).
Selain untuk pengobatan alergi, difenhidramin juga memiliki sifat antiemetik, antitusif, hipnosis, dan antiparkison. Karena reseptor histamin terdapat pada kedua sistem saraf baik pada sistem saraf tepi ataupun sistem saraf pusat, difenhidramin telah terbukti menyebabkan efek sedasi akibat antagonisme kompetitif terhadap reseptor histamin H1 dalam sistem saraf pusat. Penggunannya dalam terapi alergi terkadang kurang diminati akibat efek sedatifnya, difenhidramin lebih banyak digunakan untuk terapi insomnia yang dijual bebas dan
obat flu (batuk dan pilek).
Difenhidramin jterlibat dalam sejumlah sistem neurotransmiter yang mempengaruhi perilaku manusia termasuk dopamin, norepinefrin, serotonin, asetilkolin, dan opioid. Akibatnya, difenhidramin sedang diselidiki karena memiliki sifat sebagai ansiolitik dan antidepresan.
Overdosis difenhidramin dapat menyebabkan toksisitas yang signifikan, mulai dari agitasi, aritmia jantung, rabdomiolisis, dan gejala klasik keracunan antikolinergik. Daftar tanda dan gejala yang dapat muncul pada kondisi overdosis difenhidramin yaitu:
Delirium, agitasi, kebingungan, gelisah, halusinasi, ataksia, tremor, kejang
Penurunan respon
Kelenjar keringat dan membran mukus mengering
Kulit memerah
Peningkatan suhu tubuh
Midriasis dan penglihatan kabur
Retensi urin
Takikardia
Rabdomiolisis
Penurunan suara bising usus
Tahun 2016, sebuah penelitian menunjukkan bahwa overdosis difenhidramin merupakan 3,2% dari kematian overdosis
obat di Amerika Serikat. Dalam studi yang sama, difenhidramin berada di antara 15
obat teratas yang paling sering terlibat dalam kematian overdosis
obat di Amerika Serikat. Beberapa kasus
Penyalahgunaan dan ketergantungan pada dimenhidramin disebabkan konsumsi sebesar 480-3000 mg per hari (dosis normal 50 mg per hari).
= Dimenhidrinat
=
Dimenhidrinat merupakan antihistamin generasi pertama yang diindikasikan untuk mencegah dan mengobati mual, muntah, vertigo, dan mabuk perjalanan. Dimenhidrinat terdiri dari kombinasi difenhindramin dan 8-kloroteofilin dalam bentuk garam, dengan komposisi 53%-55,5% difenhidramin kering dan 44%-47% 8-kloroteofilin. Dimenhidrinat tersedia sebagai
obat bebas sehingga dapat diperoleh oleh masyarakat tanpa menggunakan resep dokter dengan dosis yang ada di pasaran umumnya sebesar 25-50 mg.
obat ini dijual dalam beberapa bentuk sediaan seperti tablet, tablet kunyah, injeksi, dan supositoria.
Sifat antiemetik dari dimenhidrinat terutama diproduksi oleh antagonisme difenhidramin dengan reseptor histamin H1 dalam sistem vestibular sedangkan efek rangsang diproduksi oleh blokade reseptor adenosin oleh 8-kloroteofilin. Antagonisme dengan reseptor histamin H1 menyebabkan efek antikolinergik. Selain itu, dimenhidrinat juga berinteraksi dengan neurotransmiter seperti asetilkolin dan dopamin.
Penyalahgunaan dimenhidrinat telah dilaporkan, konsumsi dalam dosis tinggi dengan tujuan mencapai efek psikotropika, termasuk halusinasi dan euforia. Pasien psikiatris juga kerap menyalahgunakan dimenhidrinat untuk mendapatkan efek antikecemasan. Dimendrinat sering disalahgunakan dengan penggunaan dosis tinggi yaitu sekitar 200-1200 mg per hari.Pengguna yang menyalahgunakan
obat ini menunjukkan gejala keracunan pada reseptor asetilkolin muskarinik dalam sistem saraf, yang kemudian akan menghambat jalur sinyal atau saraf. Gejala umum lain yang timbul yaitu halusinasi visual dan pendengaran sehingga menyebabkan kebingungan dan bahkan kehilangan memori jangka pendek serta paranoia. Semakin tinggi dosis yang digunakan, semakin parah halusinasi yang akan terjadi. Akibat halusinasi yang terjadi, individu yang menyalahgunakan dimenhidrinat sering merasa nama mereka dipanggil, melihat makhluk yang menimbulkan rasa takut, atau berbicara dengan seseorang tidak ada.
Penyalahgunaan dimenhidrinat jangka panjang akan mengurangi jumlah asetilkolin dalam tubuh sehingga dapat menyebabkan amnesia sementara.
Overdosis dapat menyebabkan infark miokard atau serangan jantung, pelebaran pupil (midriasis), retensi urin, kulit merah dan kering, rasa berat pada kaki, koma, atau bahkan kematian. Sejak tahun 1968, dilaporkan telah terjadi
Penyalahgunaan obat ini. Ketergantungan dan toleransi terlihat pada individu yang terus mengonsumsi dimenhidrinat lebih dari 4 kali dosis yang dianjurkan.
Laporan kasus keracunan akut terhadap
obat ini terjadi ketika seseorang mengonsumsi 750-1250 mg dimenhidrinat sekaligus. Ketika dosis mendekati 800 mg, halusinasi dan euforia timbul, serta terdapat sensasi visual. Ketika digunakan dosis yang lebih besar yaitu hampir 1250 mg, muncul rasa bingung dan memicu tindak kekerasan dalam banyak kasus. Keracunan yang terlihat pada individu sebagian besar terlihat ketika ada riwayat penggunaan narkoba. Penggunaan kronis terlihat ketika toleransi terhadap
obat dirasakan, di mana individu akan mengonsumsi dimenhidrinat dengan dosis 5.000 mg setiap hari. Ketika tidak mengonsumsi
obat ini, gejala putus
obat (sakau) akan terlihat diantaranya yaitu lesu, depresi, kehilangan nafsu makan, mudah marah, dan amnesia.
Terdapat laporan
Penyalahgunaan dan ketergantungan dimenhidrinat di Turki. Individu tersebut telah ketergantungan dengan dimenhidrinat selama 12 tahun. Ia mengeluhkan rasa mual, muntah (20 kali/hari), tremor, mudah marah, berkeringat, mengantuk, sakit kepala, nafsu makan menurun, hipersomnia, dan dari pemeriksaan fisik ditemukan terjadi midriasis.
Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan, ia dinyatakan memenuhi kriteria ICD-10 dari "ketergantungan sedatif, hipnosis, atau ansiolitik dengan gejala putus
obat (F13.23)". Kriteria untuk ketergantungan
obat, termasuk toleransi terhadap
obat, gejala putus
obat (sakau), peningkatan dosis penggunaan, kegagalan untuk mengurangi penggunaan meskipun menyebabkan masalah fisik yang signifikan, dinyatakan positif bagi pasien.
Regulasi
= Indonesia
=
Peraturan Nomor 28 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengelolaan
obat-
obat Tertentu (OOT) dirilis oleh Badan Pengawas
obat dan Makanan Republik Indonesia pada 28 Agustus 2018. Regulasi tersebut dibuat dengan mempertimbangkan bahwa diperlukan pengawasan yang lebih ketat dalam penggunaan
obat-obatan tertentu dalam rangka melindungi masyarakat dari
Penyalahgunaan. Salah satu diantaranya merupakan
obat yang dapat diperoleh secara bebas yaitu dekstrometorfan.
obat-
obat tertentu yang sering disalahgunakan adalah
obat yang bekerja di sistem susunan sistem saraf pusat selain narkotika dan psikotropika, yang pada penggunaan di atas dosis terapi dapat menyebabkan ketergantungan dan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Fasilitas pelayanan kefarmasian dilarang menyerahkan
obat-
obat tertentu yang mengandung dekstrometorfan secara langsung kepada anak berusia di bawah 18 tahun. Selain itu, fasilitas pelayanan kefarmasian dalam melakukan kegiatan penyerahan
obat-
obat tertentu harus memperhatikan kewajaran jumlah
obat yang akan diserahkan dan frekuensi penyerahan
obat kepada pasien yang sama. Seluruh dokumen yang berkaitan dengan pengelolaan
obat-
obat tertentu, wajib diarsipkan secara terpisah.
Referensi