Republik Somalia (bahasa Somali: Jamhuuriyadda Soomaaliyeed; bahasa Italia: Repubblica Somala; bahasa Arab: الجمهورية الصومالية, translit. Jumhūriyyat aṣ-Ṣūmālīyyah) adalah sebuah negara berdaulat yang pernah ada (terdiri dari
Somalia dan Somaliland) setelah penyatuan Wilayah Perwalian Somaliland ( bekas Somaliland Italia) dan Negara Bagian Somaliland (bekas Somaliland Britania). Sebuah pemerintahan dibentuk oleh Abdullahi Issa Mohamud dan Muhammad Haji Ibrahim Egal dan anggota lain dari administrasi perwalian dan protektorat, dengan Haji Bashir Ismail Yusuf sebagai Presiden Majelis Nasional
Somalia dan Aden Abdullah Osman Daar sebagai Presiden
Republik Somalia. Pada 22 Juli 1960, Daar mengangkat Abdirashid Ali Shermarke sebagai Perdana Menteri. Pada tanggal 20 Juli 1961 dan melalui referendum rakyat,
Somalia meratifikasi konstitusi baru, yang pertama kali dirancang pada tahun 1960. Konstitusi baru ditolak oleh Somaliland.
Pemerintahan berlangsung hingga 1969, ketika Dewan Revolusi Tertinggi (SRC) merebut kekuasaan dalam kudeta tak berdarah dan mengganti nama negara itu menjadi
Republik Demokratik
Somalia.
Sejarah
= Terbentuknya persatuan
=
Tuntutan rakyat memaksa para pemimpin Somaliland Italia dan Somaliland Britania untuk melanjutkan rencana penyatuan negara. Pemerintah Britania menyetujui tuntutan publik nasionalis
Somalia dan setuju untuk mengakhiri kekuasaannya atas Somaliland Britania pada tahun 1960 dan protektoratnya bergabung dengan Wilayah Perwalian Somaliland (bekas Somaliland Italia) pada tanggal kemerdekaan yang telah ditetapkan oleh PBB. Pada April 1960, para pemimpin kedua wilayah bertemu di Mogadishu dan sepakat untuk membentuk negara kesatuan. Seorang presiden terpilih akan menjadi kepala negara. Kekuasaan eksekutif penuh akan dipegang oleh seorang perdana menteri yang bertanggung jawab kepada Majelis Nasional terpilih yang terdiri dari 123 anggota yang mewakili dua wilayah. Dengan demikian, Somaliland Britania bersatu sesuai jadwal dengan Wilayah Perwalian Somaliland untuk mendirikan
Republik Somalia.
Pada tanggal 26 Juni 1960, Somaliland Britania memperoleh kemerdekaan dari Beitania sebagai Negara Bagian Somaliland. Pada 1 Juli 1960, Negara Bagian Somaliland bersatu dengan Wilayah Perwalian Somaliland, membentuk
Republik Somali. Legislatif menunjuk pembicara ACT OF UNION
Somalia Hagi Bashir Ismail Yousuf sebagai Presiden Pertama Majelis Nasional
Somalia. Pada hari yang sama Aden Abdullah Osman Daar menjadi Presiden
Republik Somalia. Kemudian Daar pada 22 Juli 1960 menunjuk Abdirashid Ali Shermarke sebagai Perdana Menteri pertama. Shermarke membentuk pemerintahan koalisi yang didominasi oleh Liga Pemuda
Somalia (SYL) tetapi didukung oleh dua partai utara berbasis klan, Liga Nasional
Somalia (SNL) dan Partai Persatuan
Somalia (USP). Penunjukan Osman sebagai presiden diratifikasi setahun kemudian dalam referendum nasional.
Selama periode sembilan tahun demokrasi parlementer setelah kemerdekaan
Somalia, kebebasan berekspresi secara luas dianggap sebagai hak setiap orang. Salah satu cita-cita nasional yang dianut oleh orang
Somalia adalah kesetaraan politik dan hukum di mana nilai-nilai sejarah
Somalia dan praktik-praktik Barat yang ada berpadu. Politik dipandang sebagai ranah yang tidak terbatas pada satu profesi, klan, atau kelas, tetapi terbuka untuk semua anggota masyarakat laki-laki. Walaupun peran perempuan lebih terbatas, namun perempuan telah memiliki hak pilih di Somaliland Italia sejak pemilihan kota pada tahun 1958. Hak pilih kemudian menyebar ke bekas Somaliland Britania pada Mei 1963, ketika majelis teritorial menyetujuinya dengan selisih 52 berbanding 42.
= Bulan-bulan awal persatuan
=
Meskipun bersatu sebagai satu bangsa pada saat kemerdekaan, namun dari perspektif kelembagaan, kedua Somaliland (selatan dan utara) merupakan dua negara yang terpisah. Italia dan Inggris telah meninggalkan keduanya dengan sistem administrasi, hukum, dan pendidikan yang berbeda sehingga administrasi dilakukan menurut prosedur dan bahasa yang berbeda. Janina Dill, Assosiasi Professor Kebijakan Luar Negeri AS, menyatakan:
"Sementara pemerintahan Inggris di utara memungkinkan pelestarian struktur pemerintahan tradisional
Somalia, kolonialisme Italia di selatan mengikis struktur pemerintahan tradisional dengan administrasi kolonial"
Polisi, pajak, dan nilai tukar mata uang masing-masing juga berbeda. Elit terpelajar mereka memiliki kepentingan yang berbeda dan kontak ekonomi antara kedua wilayah tersebut hampir tidak ada. Pada tahun 1960, Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk Komisi Konsultatif untuk Integrasi, sebuah dewan internasional yang dipimpin oleh pejabat PBB Paolo Contini, untuk memandu penggabungan bertahap sistem dan lembaga hukum negara baru dan untuk mendamaikan perbedaan di antara mereka. (Pada tahun 1964 Komisi Permusyawaratan Legislasi menggantikan badan ini. Terdiri dari
Somalia, badan ini mengambil pekerjaan pendahulunya di bawah kepemimpinan Mariano.) Tetapi banyak orang selatan percaya bahwa, karena pengalaman yang diperoleh di bawah perwalian Italia, mereka lebih siap dari dua wilayah untuk pemerintahan sendiri. Elit politik, administrasi, dan komersial utara enggan mengakui bahwa mereka sekarang harus berurusan dengan Mogadishu.
Pada masa kemerdekaan, wilayah utara memiliki dua partai politik yang berfungsi: SNL, mewakili keluarga klan Isaaq yang merupakan mayoritas numerik di sana; dan USP, yang sebagian besar didukung oleh Dir dan Daarood. Di
Somalia yang bersatu, bagaimanapun, Isaaq adalah minoritas kecil, sedangkan Daarood utara bergabung dengan anggota klan-keluarga mereka dari selatan di SYL. Dir, yang memiliki sedikit sanak saudara di selatan, di satu sisi ditarik oleh ikatan tradisional dengan Hawiye dan di sisi lain oleh simpati regional yang sama terhadap Isaaq. Partai oposisi selatan, Greater
Somalia League (GSL), pro-Arab dan militan pan-Somalis, menarik dukungan dari SNL dan USP melawan SYL, yang telah memiliki sikap moderat sebelum kemerdekaan.
Kekhawatiran Utara tentang terlalu kuatnya kekuasaan di selatan ditunjukkan pada pola pemungutan suara dalam referendum konstitusi Juni 1961, yang pada dasarnya merupakan pemilihan nasional pertama
Somalia. Meskipun rancangan itu sangat disetujui di selatan, namun di utara hanya didukung oleh kurang dari 50 persen pemilih.
Ketidakpuasan pada distribusi kekuasaan di antara keluarga klan dan antara dua wilayah memuncak pada bulan Desember 1961, ketika sekelompok perwira tentara junior yang dilatih Inggris di utara memberontak sebagai reaksi atas penempatan perwira selatan berpangkat lebih tinggi (yang telah dilatih oleh Italia untuk tugas polisi) untuk memerintahkan unit mereka. Para pemimpin kelompok mendesak pemisahan utara dan selatan. Petugas non-komisi utara menangkap para pemberontak, tetapi ketidakpuasan di utara tetap ada.
Pada awal tahun 1962, pemimpin GSL Haaji Mahammad Hussen, yang sebagian berusaha untuk mengeksploitasi ketidakpuasan utara, berusaha untuk membentuk sebuah partai gabungan yang dikenal dengan Persatuan Demokratik
Somalia (SDU). Partai ini mendaftarkan elemen utara, beberapa di antaranya tidak senang dengan perwakilan SNL utara dalam pemerintahan koalisi. Upaya Hussein gagal. Namun, pada Mei 1962, Egal dan menteri SNL utara lainnya mengundurkan diri dari kabinet dan membawa banyak pengikut SNL bersama mereka ke dalam partai baru, Kongres Nasional
Somalia (SNC), yang mendapat dukungan luas di utara. Partai baru juga memperoleh dukungan di selatan ketika bergabung dengan faksi SYL yang sebagian besar terdiri dari Hawiye. Langkah ini memberi negara itu tiga partai politik yang benar-benar nasional dan selanjutnya berfungsi untuk melebur perbedaan utara-selatan.
=
Isu politik terpenting dalam politik
Somalia pascakemerdekaan adalah penyatuan semua wilayah yang secara tradisional dihuni oleh etnis
Somalia menjadi satu negara – sebuah konsep yang diidentifikasi sebagai
Somalia Raya (Soomaaliweyn). Para politisi khawatir hal ini akan menimbulkan kehancuran bagi
Somalia karena menimbulkan konflik dengan negara-negara tetangga yang menduduki wilayah
Somalia. Pada akhirnya, perang meletus antara
Somalia dan Ethiopia dan pertempuran terjadi di Distrik Perbatasan Utara di Kenya.
Secara hukum, Majelis Nasional tidak mampu memfasilitasi masuknya wilayah baru sebagi bagian dari
Somalia setelah penyatuan. Bendera nasional juga menampilkan bintang berujung lima yang melambangkan lima wilayah yang diklaim sebagai bagian dari negara
Somalia: bekas Somaliland Italia dan Somaliland Inggris, Ogaden, Somaliland Prancis, dan Distrik Perbatasan Utara. Selain itu, pembukaan konstitusi yang disetujui pada tahun 1961 dalam pernyataan: "
Republik Somalia memperkenalkan dengan cara yang sah dan damai, penyatuan wilayah." Konstitusi juga menetapkan bahwa semua etnis
Somalia, di mana pun mereka tinggal, adalah warga negara
Republik. Orang
Somalia tidak mengklaim kedaulatan atas wilayah yang berdekatan, melainkan menuntut agar orang
Somalia yang tinggal di dalamnya diberikan hak untuk menentukan nasib sendiri. Para pemimpin
Somalia menegaskan bahwa mereka akan puas hanya ketika sesama warga
Somalia di luar
Republik memiliki kesempatan untuk memutuskan sendiri apa status mereka.
Pada tahun 1948, di bawah tekanan dari sekutu Perang Dunia II mereka dan dari
Somalia, Inggris "mengembalikan" Haud (daerah penggembalaan penting
Somalia yang mungkin 'dilindungi' oleh perjanjian Inggris dan
Somalia pada tahun 1884 dan 1886) dan Ogaden ke Ethiopia, berdasarkan perjanjian yang mereka tandatangani pada tahun 1897 di mana Inggris menyerahkan wilayah
Somalia kepada Kaisar Ethiopia Menelik II sebagai imbalan atas bantuannya melawan serangan dari klan
Somalia. Inggris memasukkan ketentuan bahwa penduduk
Somalia akan mempertahankan otonomi mereka, tetapi Ethiopia segera mengklaim kedaulatan atas wilayah tersebut. Pemerintah
Somalia secara khusus menolak untuk mengakui keabsahan Perjanjian Anglo-Ethiopia tahun 1954 yang mengakui klaim Ethiopia atas Haud atau, secara umum, relevansi perjanjian yang mendefinisikan perbatasan
Somalia-Ethiopia. Posisi
Somalia didasarkan pada tiga hal: pertama, bahwa perjanjian-perjanjian tersebut mengabaikan perjanjian-perjanjian yang dibuat dengan tokoh-tokoh
Somalia yang telah menempatkan mereka di bawah perlindungan Inggris; kedua, bahwa orang-orang
Somalia tidak diajak berkonsultasi mengenai syarat-syarat perjanjian dan pada kenyataannya tidak diberitahu tentang keberadaan mereka; dan ketiga, bahwa perjanjian-perjanjian tersebut melanggar prinsip penentuan nasib sendiri. Hal ini mendorong tawaran yang gagal oleh Inggris pada tahun 1956 untuk membeli kembali tanah
Somalia yang telah diserahkannya.
Permusuhan yang terus tumbuh, akhirnya menimbulkan tindakan skala kecil antara Tentara Nasional
Somalia dan Angkatan Bersenjata Kekaisaran Ethiopia di sepanjang perbatasan. Pada bulan Februari 1964, konflik bersenjata meletus di perbatasan
Somalia-Ethiopia dan pesawat Ethiopia menyerbu target di
Somalia. Konfrontasi berakhir pada bulan April melalui mediasi Sudan, bertindak di bawah naungan Organisasi Persatuan Afrika (OAU). Di bawah ketentuan gencatan senjata, komisi gabungan dibentuk untuk memeriksa penyebab insiden perbatasan, dan zona demiliterisasi selebar sepuluh hingga lima belas kilometer didirikan di kedua sisi perbatasan. Setidaknya untuk sementara, konfrontasi militer lebih lanjut dapat dicegah.
Sebuah referendum diadakan di negara tetangga Djibouti (kemudian dikenal sebagai Somaliland Prancis) pada tahun 1958, saat malam kemerdekaan
Somalia pada tahun 1960, untuk memutuskan apakah akan bergabung dengan
Republik Somalia atau tetap bersama Prancis. Referendum ternyata mendukung hubungan yang berkelanjutan dengan Prancis, sebagian besar karena gabungan suara setuju oleh kelompok etnis Afar yang cukup besar dan penduduk Eropa. Ada juga kecurangan suara yang terjadi dimana Prancis mengusir ribuan orang
Somalia sebelum petugas referendum mencapai tempat pemungutan suara. Mayoritas dari mereka yang memilih tidak adalah orang
Somalia yang sangat mendukung untuk bergabung dengan Persatuan
Somalia, seperti yang diusulkan oleh Mahmoud Harbi, Wakil Presiden Dewan Pemerintah. Harbi tewas dalam kecelakaan pesawat dua tahun kemudian secara misterius.
Pada pertemuan London 1961 tentang masa depan Koloni Kenya, perwakilan
Somalia dari Distrik Perbatasan Utara (NFD) menuntut agar Inggris mengatur pemisahan wilayah sebelum Kenya diberikan kemerdekaan. Pemerintah Inggris menunjuk sebuah komisi untuk memastikan pendapat umum di NFD atas pertanyaan tersebut. Plebisit informal menunjukkan keinginan yang luar biasa dari penduduk wilayah tersebut, yang sebagian besar terdiri dari
Somalia dan Oromos, untuk bergabung dengan
Republik Somalia yang baru dibentuk. Sebuah editorial tahun 1962 di The Observer, surat kabar Minggu tertua di Inggris, secara bersamaan mencatat bahwa "dengan setiap kriteria, orang
Somalia Kenya memiliki hak untuk memilih masa depan mereka sendiri[...] mereka berbeda dari orang Kenya lainnya tidak hanya secara suku tetapi dalam hampir segala hal[ ...] mereka Hamitik, memiliki kebiasaan yang berbeda, agama yang berbeda (Islam), dan mereka mendiami padang pasir yang berkontribusi sedikit atau tidak sama sekali terhadap ekonomi Kenya[...] tidak ada yang bisa menuduh mereka mencoba untuk mengacaukan kekayaan nasional". Terlepas dari aktivitas diplomatik
Somalia, pemerintah kolonial di Kenya tidak melakukan tindakan apapun atas temuan komisi tersebut. Pejabat Inggris percaya bahwa format federal yang kemudian diusulkan dalam konstitusi Kenya akan memberikan solusi melalui tingkat otonomi yang memungkinkan wilayah yang didominasi
Somalia dalam sistem federal. Solusi ini tidak mengurangi tuntutan
Somalia untuk unifikasi, dan federalisme sedikit demi sedikit menghilang setelah pemerintah pasca-kolonial Kenya memilih konstitusi terpusat pada tahun 1964.
Dipimpin oleh Partai Progresif Rakyat Provinsi Utara (NPPPP), orang
Somalia di NFD dengan gencar mendorong persatuan dengan kerabat mereka di
Republik Somalia bagian utara. Sebagai tanggapan, pemerintah Kenya yang baru terbentuk, memberlakukan sejumlah tindakan represif guna menggagalkan upaya mereka. Diantaranya adalah praktik salah klaim berbasis etnis dimana mengklaim pemberontak
Somalia sebagai aktivitas shifta (bandit), menutup NFD sebagai area "tertutup dan diawasi", menyita atau membantai ternak
Somalia, mensponsori kampanye pembersihan etnis terhadap penduduk wilayah tersebut, dan mendirikan "desa lindung" atau kamp konsentrasi yang besar. Konflik ini memuncak dalam Perang Shifta antara pemberontak
Somalia dan militer Kenya. Radio
Somalia dilaporkan mempengaruhi tingkat aktivitas gerilya melalui siarannya yang dipancarkan ke NFD. Kenya juga menuduh pemerintah
Somalia melatih para pemberontak di
Somalia, memperlengkapi mereka dengan senjata Soviet, dan memimpin mereka dari Mogadishu. Ia kemudian menandatangani pakta pertahanan bersama dengan Ethiopia pada tahun 1964, meskipun perjanjian itu tidak banyak berpengaruh karena bantuan dari
Somalia ke gerilyawan berlanjut. Pada bulan Oktober 1967, pemerintah
Somalia dan otoritas Kenya menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum Arusha) yang menghasilkan gencatan senjata resmi, meskipun keamanan regional masih lemah sampai tahun 1969.
Catatan
Referensi