StarOne adalah produk layanan komunikasi telepon tetap nirkabel (FWA) yang pernah dihadirkan oleh PT Indosat Tbk. Produk ini menghadirkan layanan komunikasi data dan suara menggunakan teknologi CDMA2000 1x dengan tarif yang diklaim terjangkau. Sama seperti layanan FWA lainnya, jangkauan
StarOne biasanya dibatasi kode telepon yang melekat pada nomornya. Untuk dapat mengakses layanan
StarOne saat berada di luar area kode telepon, penggunanya dapat meregistrasi layanan Jelajah atau membeli kartu baru.
Produk
StarOne diluncurkan pada 29 Mei 2004 di Surabaya, dan layanannya resmi dihentikan oleh Indosat sejak 30 Juni 2015. Adapun pengelolaan jaringan dan operasionalnya ditangani dua perusahaan, yaitu oleh Indosat secara langsung dan oleh anak usahanya PT
StarOne Mitra Telekomunikasi (khusus Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta).
Sejarah
= Awal kemunculan dan peluncuran
=
Cikal-bakal
StarOne bermula ketika pemerintah RI mencanangkan deregulasi di industri telekomunikasi pada awal 2000-an. Di tanggal 1 Agustus 2002, Indosat mendapatkan izin untuk menyelenggarakan jaringan telepon tetap (yang sebelumnya dimonopoli oleh Telkom), mulanya dengan cakupan terbatas di Jakarta dan Surabaya. Pada 17 April 2003, izin tersebut diperbarui dengan cakupan layanan nasional. Adapun izin ini diberikan sebagai kompensasi pencabutan hak monopoli komunikasi internasional yang dijalankan Indosat selama ini. Pasca mendapatkan izin tersebut, Indosat mulai merencanakan pembangunan jaringan telepon tetap nirkabel (FWA) dengan teknologi CDMA2000 dalam rangka pelaksanaan duopoli telekomunikasi bersama Telkom yang digariskan pemerintah. Adapun teknologi FWA dipilih dibanding PSTN karena biayanya yang lebih murah. Pada 25 Juli 2002, Indosat mendemonstrasikan rencana layanannya dengan melakukan uji coba menelepon nomor lokal, SLJJ, SLI dan telepon seluler. Ditargetkan, hingga 2010 ada 759.000 sambungan FWA yang berhasil dilayani Indosat, dengan biaya pengoperasian per pengguna sebesar US$ 200-400.
Untuk membangun proyeknya, diadakan tender yang dimulai pada akhir 2002 untuk membangun jaringan berkapasitas 700.000 sambungan (450.000 di Jakarta dan 250.000 di Surabaya) dengan target sudah beroperasi sebelum 17 Agustus 2003. Setelah melibatkan beberapa peserta, pada 18 Maret 2003 sebuah konsorsium bernama Mega Asia berhasil menjadi pemenang dari tender proyek tersebut. Adapun konsorsium ini terdiri dari Bakrie Communication Company, Tomen Corporation, PT Asiabumi Piramida serta PT Sarana Insanmuda Selaras, dan akan mengerjakan proyeknya dengan skema bagi hasil. Sempat juga Indosat berusaha menggandeng perusahaan milik Grup Bakrie lainnya, Ratelindo yang memegang hak frekuensi 800 MHz di Jakarta dan Jawa Barat untuk bekerjasama dalam penggunaan jaringan.
Namun, keterlibatan Bakrie dalam proyek ini akhirnya gagal. Rencana kerjasama jaringan tidak jelas hasilnya, sedangkan keterlibatan konsorsium Mega Asia dalam proyek pembangunan jaringan FWA dibatalkan oleh Indosat pada Juni 2003 akibat tidak mampu memenuhi persyaratan kontrak berupa target penyelesaian pembangunan dalam waktu tiga bulan dan kesepakatan permodalan antara kedua belah pihak. Sebagai ganti konsorsium tersebut, Indosat menggandeng ZTE dalam membangun jaringan FWA-nya yang ditargetkan untuk keperluan uji coba, dengan biayanya ditanggung ZTE. Di tanggal 21 Agustus 2003, proyek tersebut diujicobakan pada kegiatan "first call Indosat fixed wireless access" di Gedung Indosat, Jakarta yang dihadiri Menteri Perhubungan dan Transportasi Agum Gumelar. Pada Januari 2004, ZTE resmi ditunjuk Indosat untuk membangun jaringan CDMA2000-nya, dan dalam tahap pertama, akan dibangun 95 BTS di Malang dan Surabaya serta 160 BTS di Jakarta.
Setelah melalui berbagai persiapan, akhirnya layanan FWA tersebut diluncurkan dengan nama
StarOne pada 29 Mei 2004 di Surabaya, Jawa Timur dengan pengguna awal 3.000-4.000, yang kemudian menjadi 16.000. Beberapa bulan kemudian, pada 8 Juli 2004, produk
StarOne juga diluncurkan di Jakarta. Pada saat peluncurannya, pelanggan dapat memilih layanan prabayar atau pascabayar. Ada juga fitur SMS baik ke sesama pengguna
StarOne maupun ke beberapa operator seluler seperti Satelindo, Excelcomindo, Mobile-8 dan Lippo Telecom. Menurut pihak Indosat,
StarOne muncul dengan keinginan memenuhi kebutuhan masyarakat akan layanan telekomunikasi dengan tarif ekonomis dan fitur yang lengkap. Demi mempersiapkan layanan ini, Indosat telah menyiapkan dana sebesar US$ 40 juta. Promosi-promosi pun dilakukan, seperti membanderol tarif murah untuk menelepon, mengakses internet dan berhubungan SLJJ, dan menawarkan kualitas jaringan yang lebih baik dibanding pesaingnya.
Lebih dari setahun setelah diluncurkan (hingga Oktober 2005),
StarOne sudah merengkuh 233.000 pengguna, terdiri dari 213.000 pengguna telepon seluler dan sisanya pengguna telepon rumah nirkabel bernama I-Phone. Terdapat 6 kota yang menjadi cakupan operasionalnya, yaitu Jakarta, Medan, Batam, Surabaya, Denpasar dan Balikpapan yang dibantu sekitar 485 BTS. Pada tahun 2006, jangkauan
StarOne diperluas ke 16 kota, seperti Palembang dan Makassar. Untuk memperluas pemasaran produknya, juga sempat diluncurkan fitur
StarOne M-Transfer,
StarOne i-Ring, serta Internet Hemat dan Cepat, dan program "
StarOne Makin Dekat", maupun layanan baru berteknologi EV-DO. Terdapat dua produk utama
StarOne saat itu, yaitu prabayar Jagoan (Jagonya Telepon Murah) dan pascabayar
StarOne Postpaid.
= Stagnasi dan perkembangan hingga 2010
=
Sayangnya, dalam perjalanannya perkembangan
StarOne tidak sebagus operator berbasis CDMA2000 lainnya. Pada Agustus 2006, pengguna
StarOne hanya menjadi 250.000 pengguna, dengan 60%-nya ada di Jawa Timur, dan di tahun 2007 hanya naik menjadi 300.000 atau meraup 4% pangsa pasar.
Hal ini terjadi walaupun kapasitas jaringannya mencapai 2,9 juta sambungan dan dibantu 700-1.000 BTS. Belum lagi upaya Indosat menganggarkan US$ 80 juta demi mengembangkan pasar jaringan internet berbasis FWA lewat layanan
StarOne. Tidak hanya itu, tantangan lain muncul ketika di tahun 2005, pemerintah mengumumkan bahwa
StarOne harus berpindah dari frekuensi 1900 MHz yang digunakannya ke 800 MHz di Jabodetabek dan sekitarnya, karena akan digunakan bagi pengembangan 3G. Proses perpindahan ini akhirnya dilakukan pada tahun 2007 dan selesai di akhir tahun yang sama, dengan seluruh operasional
StarOne berpindah ke 800 MHz sesuai dengan Keputusan Menteri Komunikasi & Informatika (Kepmenkominfo) No. KM. 181/KEP/M.KOMINFO/12/2006.
Indosat kemudian nampak melakukan ekspansi dan promosi besar-besaran demi meningkatkan kinerja
StarOne, yang diposisikan sebagai "bemper" bagi pengguna baru jaringan Indosat. Pada 2007, layanan
StarOne diperluas ke 17 kota, dan di 2009, diperluas ke 7 kota lainnya. Hal ini menyebabkan total kota yang dilayani jaringan
StarOne naik menjadi 46 kota pada 2008 dan 63 kota pada 2009. Di tahun 2009, bahkan Indosat mencanangkan 90 kota baru akan dilayani oleh
StarOne. Status cakupan
StarOne sampai Agustus 2009 meliputi berbagai daerah di Indonesia mulai dari Banda Aceh hingga Kendari, yang totalnya sekitar 82 kota di Sumatra, Batam, Bangka, Jawa, Bali, Kalimantan dan Sulawesi. Tidak hanya itu, berbagai promosi dikeluarkan, seperti Jagoan
StarOne yang menawarkan tarif telepon murah,
StarOne Jelajah dan
StarOne Duo yang berusaha mengatasi kelemahan FWA, telepon murah mulai Rp 25, layanan internet unlimited berbiaya murah, dan program "
StarOne Pinter" yang menargetkan pasar pelajar. Belum lagi paket telepon seluler bundling, seperti BlackBerry CDMA pada 2010.
Memang pada awalnya ekspansi tersebut berhasil menaikkan jumlah pelanggan
StarOne dengan baik, dari pada awal 2007 hanya sebanyak 400.000 pengguna, menjadi 900.000 pelanggan pada Juli 2008. Namun, meskipun pernah menargetkan naik menjadi 1,2
juta pelanggan di tahun yang sama, hal yang sama terulang lagi kemudian, yaitu
StarOne mengalami stagnasi dan penurunan jumlah pengguna. Di tahun 2010, pelanggan
StarOne merosot menjadi sekitar 500.000, lalu menjadi 351.000 pada 2011, dan tersisa 211.000 pelanggan di akhir semester pertama 2012 (162.100 prabayar dan 49.200 pascabayar). Hal ini menyebabkan Indosat kemudian terkesan "membiarkan"
StarOne dibanding pesaing lainnya yang bergerak di layanan yang sama. Adapun saat itu sikap Indosat adalah tetap mempertahankan
StarOne karena dirasa masih bisa dikembangkan dan dioptimalkan.
Sempat muncul beberapa rencana untuk mengembangkan
StarOne dengan mengubah struktur internal perusahaan. Di tahun 2008 (pasca akuisisi Indosat oleh Qtel) dan 2011, muncul rumor bahwa
StarOne akan di spin-off oleh Indosat menjadi dikelola oleh anak usahanya yang terpisah. Adapun spin-off ini diklaim mampu memenuhi keinginan pemerintah, dan rencananya akan disinergikan dengan layanan pesaingnya, Flexi yang dioperasikan oleh Telkom Indonesia. Memasuki tahun 2011, kabar bahwa Qtel akan melepaskan
StarOne dari Indosat pun makin berhembus kencang, dengan alasan jumlah penggunanya yang berada di posisi "buncit" dan perubahan fokus perusahaan yang lebih condong ke GSM. Adapun pihak Telkom kemudian mengonfirmasi kabar rencana akuisisi tersebut, dan disampaikan telah menyiapkan dana hingga Rp 1 triliun. Belakangan, Menteri BUMN Dahlan Iskan ikut memberikan restu kepada Telkom untuk mengakuisisi
StarOne untuk disinergikan dengan usaha sejenis Flexi, karena dianggapnya baik demi mengembangkan dan memajukan perseroan. Namun, kemudian kabar tersebut menghilang begitu saja.
= Penutupan layanan
=
Meskipun dapat membukukan pendapatan Rp 479 miliar pada semester pertama 2012, yang artinya berkontribusi pada 25% pendapatan Indosat, namun angkanya terus menurun. Jumlah pelanggan
StarOne pun makin berkurang, dimana hingga triwulan I-2013 sudah turun menjadi 142.000 pengguna, dan kemudian merosot lagi menjadi 120.000 pada bulan April 2014. Hal ini sejalan dengan pudarnya minat masyarakat pada layanan berteknologi CDMA. Selain itu, pendapatan
StarOne di awal 2013 turun 43% menjadi Rp 15,9 miliar dari Rp 28,1 miliar di kuartal I-2012. Dengan penurunan kinerja tersebut, akhirnya diputuskan untuk menghentikan layanan FWA CDMA2000 yang dijalankan
StarOne selama ini, dengan pelanggannya akan dikonversi ke jaringan GSM milik Indosat yang sudah ada. Frekuensi
StarOne yang ada kemudian ditargetkan akan menjadi frekuensi E-GSM Indosat karena posisinya berdekatan dengan layanan selulernya. Untuk mempersiapkan hal tersebut, mulai tahun 2014, Indosat berusaha mengajukan izin ke pemerintah, termasuk keinginan mempertahankan nomor
StarOne yang ada ketika pelanggannya dikonversi menjadi pengguna GSM.
Akhirnya, pada September 2014, Kemenkominfo mengeluarkan regulasi berupa Peraturan Menteri Komunikasi & Informatika (Permenkominfo) No. 30/2014 dan Kepmenkominfo No. 799/2014, yang mewajibkan frekuensi 800 MHz digunakan bagi layanan seluler, dimana Indosat diizinkan menggunakan frekuensi eks-
StarOne menjadi frekuensi GSM. Hal ini diklaim dapat membantu Indosat memberikan variasi layanan kepada masyarakat dengan berbagai inovasi layanan selulernya dengan teknologi terkini, sebab adanya tambahan alokasi frekuensi radio. Mulai minggu ketiga Desember 2014, pelanggan
StarOne (yang berjumlah 67.316) diinformasikan secara serentak melalui media, SMS blast, serta laman web Indosat bahwa layanannya akan segera dihentikan. Sebagai gantinya, Indosat memberikan kompensasi dalam berbagai bentuk, mulai dari kartu SIM GSM (Mentari, Matrix dan IM3), fasilitas Call Forwarding, serta saldo Indosat Dompetku yang besarannya tergantung dari penggunaan
StarOne dalam tiga bulan (selanjutnya dapat ditarik tunai di Galeri Indosat atau dibelanjakan di merchant-merchant yang bekerja sama dengan Indosat). Pada akhir 2014, layanan
StarOne mulai dihentikan di sejumlah daerah, dan memasuki Juni 2015, pengguna
StarOne hanya tersisa sekitar 5.000 (yang ada di Jawa Tengah). Sisa-sisa pelanggan ini kemudian ikut dialihkan ke jaringan GSM Indosat, dan pada 30 Juni 2015, layanan
StarOne resmi ditutup oleh Indosat.
StarOne Mitra Telekomunikasi
Perusahaan ini sebenarnya masih berkaitan dengan
StarOne, karena didirikan awalnya untuk mengoperasikan jaringan CDMA2000
StarOne di Jawa Tengah dan DIY. Pendirian PT
StarOne Mitra Telekomunikasi (SMT) bermula dari diskusi antara Indosat dan Pemprov Jateng untuk membangun jaringan berbasis FWA di Jawa Tengah. Diskusi tersebut berbuah penandatanganan Kesepakatan Usaha Patungan (JVA) antara PT Indosat Tbk, PT Dawamiba Engineering, PT Trikomsel Multimedia dan PT Sarana Pembangunan Jawa Tengah (SPJT) pada 17 Mei 2006. Adapun PT Dawamiba dan PT Trikomsel merupakan perusahaan swasta yang menjadi mitra strategis Indosat dan Pemprov dalam proyek ini, sedangkan PT SPJT adalah BUMD yang dimiliki oleh Pemprov Jateng. Selanjutnya PT SMT resmi berdiri pada 15 Juni 2006 sebagai perusahaan patungan antara keempatnya, dengan Indosat memegang 14,6% saham. Ditargetkan perusahaan ini mampu membangun 847.000 sambungan telepon nirkabel dalam waktu 3 tahun sejak 11 Oktober 2006.
Adapun layanan
StarOne CDMA2000 kemudian diluncurkan di Semarang, Surakarta dan Yogyakarta pada 26-27 Oktober 2006, yang kemudian diperluas ke Salatiga, Tegal, Brebes, Kudus, Demak, Jepara, Klaten dan Boyolali. Namun, karena adanya masalah internal, kegagalan memenuhi komitmen pembangunan, dan persaingan di bisnis jaringan seluler yang makin rumit, maka sejumlah pemegang saham PT
StarOne Mitra Telekomunikasi seperti PT SPJT pada Desember 2008 memutuskan melepaskan sahamnya pada Indosat, menjadikannya pemegang saham mayoritas. Di bawah Indosat, PT SMT kemudian mulai mengembangkan layanan Cell2Line di tahun 2008. Sama seperti
StarOne, Cell2Line juga berbasis CDMA, namun menargetkan pasar korporasi dengan jaringannya mampu disambungkan ke jaringan PABX.
Belakangan, dengan menurunnya pengguna jaringan CDMA
StarOne yang ikut memperkecil pendapatannya, PT SMT mulai mengembangkan bisnis layanan call center bagi sejumlah perusahaan di tahun 2014. Diharapkan usaha ini dapat membantu menyumbang 50% pendapatannya. Perusahaan ini kemudian juga menjajaki bisnis teknologi informasi, seperti infrastruktur smart city. Di tahun tersebut, Indosat memegang sekitar 84% saham perusahaan ini, naik dari 72% pada 2011.
Pada tahun 2019, kepemilikan Indosat di perusahaan ini mencapai 99,94%, yang kemudian berkurang karena sebagian sahamnya dialihkan ke anak usahanya yang lain, Lintasarta. Perubahan kepemilikan tersebut, yang dilakukan pada 26 April 2022 terjadi seiring upaya Indosat mengubah operasional PT SMT menjadi perusahaan pengelola data (data center), yang mengelola seluruh aset data center Indosat dan anak-anak usahanya. Lalu, pada 12 Mei 2022, Indosat menjual 75% saham perusahaan ini kepada BDX Asia Data Center Holding Pte. Ltd., sebuah perusahaan data center asal Tiongkok dalam transaksi bernilai Rp 3,3 triliun, dengan sisa saham 17,5% masih dipegang Indosat dan 7,5% milik Lintasarta. Kerjasama patungan dan kolaborasi Indosat dan BDX ini diklaim mampu mengembangkan dan menumbuhkan bisnis PT SMT untuk dapat menjadi perusahaan pusat data terkemuka di Indonesia. PT SMT sejak saat itu dikenal dengan nama dagang BDx Indonesia, yang memiliki aset Rp 4,4 triliun.
Lihat pula
Daftar produk telekomunikasi di Indonesia
Indosat
Fixed Wireless Access
Referensi
Pranala luar
Situs resmi
StarOne Diarsipkan 2011-10-10 di Wayback Machine.