Suku Toraja adalah sebuah
Suku bangsa yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana
Toraja, Kabupaten
Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa (di Mamasa disebut juga sebagai
Suku Mamasa). Mayoritas
Suku Toraja memeluk Kekristenan, sebagian masih menganut agama asli Aluk To Dolo, dan sebagian lagi menganut Islam. Pemerintah Indonesia telah mengakui Aluk To Dolo atau Hindu Alukta sebagai bagian dari Hindu di Indonesia.
Kata
Toraja berasal dari bahasa Bugis, To Riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai
Suku ini
Toraja pada tahun 1909.
Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman
Suku Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebelum abad ke-20,
Suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana
Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana
Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat
Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.
Identitas etnis
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan,
Suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "
Toraja" (dari bahasa pesisir to, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi. Akibatnya, pada awalnya "
Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti
Suku Bugis,
Suku Makassar, dan
Suku Mandar yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama
Suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi
Toraja memunculkan kesadaran etnis
Toraja di wilayah Sa'dan
Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana
Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—
Suku Bugis (meliputi pembuat kapal dan pelaut),
Suku Makassar (pedagang dan pelaut),
Suku Mandar (pedagang, pembuat kapal dan pelaut), dan
Suku Toraja (petani di dataran tinggi).
Sejarah
Wilayah sekitaran Teluk Tonkin, yang terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, adalah tempat asal
Suku Toraja. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat
Suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara
Suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat
Suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana
Toraja. Tana
Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana
Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari
Suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan budak yang menguntungkan
Toraja. Beberapa orang
Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya
Toraja, dan hanya sedikit orang
Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang
Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.
Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang
Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang
Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang
Toraja berpindah ke agama Kristen.
Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli
Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan
Suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Masyarakat
= Keluarga
=
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam
Suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktik umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.
Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan utang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal.
Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana
Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga
Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desa biasanya membentuk kelompok, kadang-kadang, beberapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain. Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.
= Kelas sosial
=
Dalam masyarakat
Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tinggi. Ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Budak dalam masyarakat
Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang
Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.
= Agama
=
Saat ini, mayoritas orang
Toraja telah menganut agama Kekristenan, yang sebagian besar ialah Protestan. Gereja
Toraja, adalah salah satu gereja Protestan untuk orang
Toraja, yang ibadahnya menggunakan bahasa
Toraja dan bahasa Indonesia, dan kantor pusatnya berada di Rantepao,
Toraja Utara. Dua kabupaten di Sulawesi Selatan sebagai kawasan dominan orang
Toraja, yakni Kabupaten Tana
Toraja dan Kabupaten
Toraja Utara, dan kedua kabupaten ini penduduknya mayoritas orang
Toraja dan mayoritas beragama Kristen. Selain itu, beberapa kawasan atau kecamatan di Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur dan Kota Makassar, juga banyak orang
Toraja.
Namun, sebelum mengenal Kristen, sistem kepercayaan tradisional
Suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos
Toraja, leluhur orang
Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh
Suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa
Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan.
Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen
Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.
Kebudayaan
= Tongkonan
=
Tongkonan adalah rumah tradisional
Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa
Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial
Suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual
Suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat
Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur
Suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
= Ukiran kayu
=
Bahasa
Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk menunjukkan konsep keagamaan dan sosial,
Suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Passura’ (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya
Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu
Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu
Toraja (lihat desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu
Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen
Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen
Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun
Suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri.
Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.
= Upacara pemakaman
=
Dalam masyarakat
Toraja, upacara pemakaman (Rambu Solo') merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama Aluk Todolo, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar Upacara pemakaman yang besar. Upacara pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi dukacita yang dilakukan oleh
Suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman.
Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau (Mantunu). Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur".
Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
= Musik dan Tarian
=
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa dukacita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, perisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Seperti di masyarakat agraris lainnya,
Suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika
Suku Toraja sedang menumbuk beras Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana
Suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara
Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional
Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang.
Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.
Bahasa
Bahasa
Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana
Toraja, dengan Sa'dan
Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa
Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana
Toraja.
Ragam bahasa di
Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan
Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana
Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa
Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana
Toraja, beberapa dialek
Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa
Toraja.
Ciri yang menonjol dalam bahasa
Toraja adalah gagasan tentang dukacita kematian. Pentingnya upacara kematian di
Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan dukacita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit.
Bahasa
Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang
Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena dukacita itu sendiri.
Perkawinan
Suku Toraja menerapkan sistem perkawinan endogami. Perkawinan dilakukan antara anggota yang satu lelaki dengan perempuan dari anggota yang lain yang masih dalam lingkungan rumpun yang sama. Perkawinan tidak diperbolehkan dilakukan di luar rumpun. Model perkawinan ini sangat dianjurkan dalam
Suku Toraja karena adanya kepentingan persatuan dalam hubungan antar keluarga. Perkawinan endogami juga dimanfaatkan sebagai alat untuk mempertahankan kepemilikan tanah sebagai milik lingkungan keluarga sendiri atau milik rumpun sendiri.
Suku Toraja memiliki sistem endogami yang bertentangan sekali dengan sifat hubungan kekerabatan yang ada di wilayahnya.
Pewarisan
Suku Toraja melakukan pembagian warisan berdasarkan hukum adat. Pewarisan harta dilakukan dalam bentuk pembagian harta waris dari pewaris. Pewarisan juga digunakan untuk menentukan proses pelaksanaan upacara adat kematian pewaris. Anak-anak dari pewaris memiliki hak untuk memperoleh harta warisan dengan berdasarkan pada banyaknya jumlah penyembelihan kerbau. Jumlah warisan yang diperoleh disesuaikan dengan banyaknya kerbau yang disembelih oleh anak-anak yang menjadi ahli waris. Dalam hukum adat
Toraja, pembagian warisan dibagi menjadi dua jenis warisan yang disebut “Ba’gi'' dan “Pa’tallang''. ''Ba’gi'' adalah warisan yang diberikan semasa orang tua masih hidup, sedangkan “Pa’tallang''adalah pembagian pewaris sesudah orang tua meninggal. "Ba’gi" merupakan sebahagian harta orang tua yang dibagi secara merata, sedangkan harta yang belum dibagi akan diperoleh anak-anaknya melalui ''Pa’tallang.'' Istilah “pa’tallang” berarti pengorbanan kepada orang tua pada saat telah meninggal dunia.
Ekonomi
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi
Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan
Suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri pertanian di
Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi
Toraja.
Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat
Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.
Ekonomi
Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat
Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cenderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata
Toraja menurun secara drastis.
Toraja lalu dikenal sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama dijalankan oleh pengusaha kecil.
Komersialisasi
Sebelum tahun 1970-an,
Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan barat. Pada tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana
Toraja. Pada 1972, sedikitnya 400 orang turis menghadiri upacara pemakaman Puang dari Sangalla, bangsawan tertinggi di Tana
Toraja dan bangsawan
Toraja terakhir yang berdarah murni. Peristiwa tersebut didokumentasikan oleh National Geographic dan disiarkan di beberapa negara Eropa. Pada 1976, sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi
Toraja dan pada 1981, seni patung
Toraja dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara. "Tanah raja-raja surgawi di
Toraja", seperti yang tertulis di brosur pameran, telah menarik minat dunia luar..
Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata Indonesia menyatakan Kabupaten
Toraja sebagai primadona Sulawesi Selatan. Tana
Toraja dipromosikan sebagai "perhentian kedua setelah Bali". Pariwisata menjadi sangat meningkat: menjelang tahun 1985, terdapat 150.000 wisatawan asing yang mengunjungi Tana
Toraja (selain 80.000 turis domestik), dan jumlah pengunjung asing tahunan tercatat sebanyak 40.000 orang pada tahun 1989. Suvenir dijual di Rantepao, pusat kebudayaan
Toraja, banyak hotel dan restoran wisata yang dibuka, selain itu dibuat sebuah lapangan udara baru pada tahun 1981.
Para pengembang pariwisata menjadikan
Toraja sebagai daerah petualangan yang eksotis, memiliki kekayaan budaya dan terpencil. Wisatawan Barat dianjurkan untuk mengunjungi desa zaman batu dan pemakaman purbakala.
Toraja adalah tempat bagi wisatawan yang telah mengunjungi Bali dan ingin melihat pulau-pulau lain yang liar dan "belum tersentuh". Tetapi
Suku Toraja merasa bahwa tongkonan dan berbagai ritual
Toraja lainnya telah dijadikan sarana mengeruk keuntungan, dan mengeluh bahwa hal tersebut terlalu dikomersialkan. Hal ini berakibat pada beberapa bentrokan antara masyarakat
Toraja dan pengembang pariwisata, yang dianggap sebagai orang luar oleh
Suku Toraja.
Bentrokan antara para pemimpin lokal
Toraja dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (sebagai pengembang wisata) terjadi pada tahun 1985. Pemerintah menjadikan 18 desa
Toraja dan tempat pemakaman tradisional sebagai "objek wisata". Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan pada daerah-daerah tersebut, misalnya orang
Toraja dilarang mengubah tongkonan dan tempat pemakaman mereka. Hal tersebut ditentang oleh beberapa pemuka masyarakat
Toraja, karena mereka merasa bahwa ritual dan tradisi mereka telah ditentukan oleh pihak luar. Akibatnya, pada tahun 1987 desa Kete Kesu dan beberapa desa lainnya yang ditunjuk sebagai "objek wisata" menutup pintu mereka dari wisatawan. Namun penutupan ini hanya berlangsung beberapa hari saja karena penduduk desa merasa sulit bertahan hidup tanpa pendapatan dari penjualan suvenir.
Pariwisata juga turut mengubah masyarakat
Toraja. Dahulu terdapat sebuah ritual yang memungkinkan rakyat biasa untuk menikahi bangsawan (Puang), dan dengan demikian anak mereka akan mendapatkan gelar bangsawan. Namun, citra masyarakat
Toraja yang diciptakan untuk para wisatawan telah mengikis hierarki tradisionalnya yang ketat, sehingga status kehormatan tidak lagi dipandang seperti sebelumnya. Banyak laki-laki biasa dapat saja menyatakan diri dan anak-anak mereka sebagai bangsawan, dengan cara memperoleh kekayaan yang cukup lalu menikahi perempuan bangsawan.
Lihat juga
Muslim
Toraja
Bahasa
Toraja
Ma'rambu Langi'
Catatan kaki
Referensi
Bacaan lanjutan
Kathleen M. Adams (2006). Art as Politics: Re-crafting Identities, Tourism and Power in Tana
Toraja, Indonesia. Honolulu: University of Hawaii Press. ISBN 978-0-8248-3072-4.
Parinding, Samban C. and Achjadi, Judi (1988).
Toraja: Indonesia's Mountain Eden. Singapore: Time Edition. ISBN 981-204-016-1. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
Douglas W. Hollan and Jane C. Wellenkamp (1996). The Thread of Life:
Toraja Reflections on the Life Cycle. Honolulu: University of Hawaii Press. ISBN 0-82481-839-3.
Buijs, Kees, Powers of blessing from the wilderness and from heaven. Structure and transformations in the religion of the
Toraja in the Mamasa area of South Sulawesi, Leiden 2006, KITLV
Pranala luar
(Indonesia) Situs resmi pemerintah Kabupaten Tana
Toraja Diarsipkan 2005-11-10 di Wayback Machine.
(Indonesia) Informasi Budaya
Toraja
(Jerman) Galeria foto Tana
Toraja
(Inggris) Situs berisi informasi mengenai Tana
Toraja