Mr. Sjafruddin
Prawiranegara (EYD:
Syafruddin Prawiranegara) 28 Februari 1911 – 15 Februari 1989) adalah seorang negarawan dan ekonom Indonesia. Ia memimpin Indonesia sebagai Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Selama masa Demokrasi Liberal, ia menjabat sebagai Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia pertama.
Syafruddin lahir di Banten, dengan campuran darah Minangkabau–Sunda Banten. Meskipun semula apolitis selama studinya di Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum), ia mulai aktif dalam pergerakan nasional Indonesia setelah bekerja. Menyusul pecahnya perang kemerdekaan,
Syafruddin terlibat dalam pemerintah sebagai Menteri Keuangan; kebijakannya yakni mencetuskan dan mendistribusikan Oeang Republik Indonesia. Pada 1948,
Syafruddin ditugaskan oleh Wakil Presiden dan Menteri Pertahanan Mohammad Hatta ke Bukittinggi. Setelah pemimpin Republik Indonesia ditawan Belanda dalam Agresi Militer Belanda II, ia membentuk PDRI pada 22 Desember 1948. Kiprahnya bergerilya selama tujuh bulan di Sumatra memungkinkan adanya keberlangsungan pemerintahan di tengah perang kemerdekaan sehingga memaksa Belanda untuk kembali bernegosiasi.
Usai mengembalikan mandatnya kepada Sukarno pada 14 Juli 1949,
Syafruddin sempat menjadi Wakil Perdana Menteri sebelum ditunjuk kembali menjadi Menteri Keuangan. Sebagai salah seorang tokoh partai Masyumi yang menganut paham ekonomi sosialisme religius,
Syafruddin turut membentuk kebijakan ekonomi Indonesia pada awal 1950-an, dengan kebijakan moneter yang konservatif dan program sertifikat devisa. Kebijakannya yang paling terkenal, Gunting
Syafruddin, bertujuan memangkas pasokan uang dengan memerintahkan pengguntingan uang terbitan Belanda. Selanjutnya, ia menjadi Gubernur Bank Indonesia, tetapi karena mendukung investasi asing dan menentang kebijakan nasionalisasi, ia berseberangan dengan kebijakan Sukarno selama akhir masa Demokrasi Liberal.
Perbedaan pandangan ekonomi, diikuti pergeseran sistem pemerintahan ke Demokrasi Terpimpin, membuat
Syafruddin turut serta dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 1958 sebagai Perdana Menteri. Selama tiga tahun, pemerintah pusat melancarkan operasi militer menumpas PRRI. Ia menyerahkan diri pada 1961, tetapi belakangan dipenjarakan. Setelah dibebaskan oleh pemerintah Suharto pada 1966, ia menepi dari jabatan pemerintahan. Ia aktif dalam organisasi-organisasi keagamaan dan mengkritik pemerintah. Secara khusus,
Syafruddin menentang penggunaan Pancasila sebagai alat politik oleh pemerintah Orde Baru. Ia meninggal pada 1989 dan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada 2011.
Masa muda
Syafruddin lahir di Anyer Kidul, Kabupaten Serang, Keresidenan Banten pada 28 Februari 1911. Ia memiliki darah keturunan Suku Banten dari pihak ayah dan Minangkabau dari pihak ibu. Ayahnya, Raden Arsyad Prawiraatmadja, awalnya bekerja sebagai jaksa di Serang, sebelum menjadi camat di Jawa Timur. Buyutnya dari pihak ibu, Sutan Alam Intan, masih keturunan Raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri. Pada saat
Syafruddin masih berusia satu tahun, ayah dan ibu kandungnya bercerai dan
Syafruddin dibesarkan oleh ibu tiri.
Syafruddin baru dikenalkan ke ibu kandungnya pada usia tujuh tahun.
Syafruddin menempuh pendidikan Europeesche Lagere School (setara SD) di Serang pada 1925, dilanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (setara SMP) di Madiun pada 1928, dan Algemeene Middelbare School (setara SMA) di Bandung pada 1931. Setelah itu, ia masuk ke Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta (sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) dan meraih gelar Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Sarjana Hukum) pada 1939. Selama studinya,
Syafruddin turut mendirikan perkumpulan mahasiswa Unitas Studiorum Indonesiensis yang apolitis dan didukung pemerintah Hindia Belanda sebagai alternatif dari Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia yang notabene bersifat radikal dan pro-kemerdekaan.
Setelah lulus dari Rechtshoogeschool,
Syafruddin bekerja menjadi redaktur di surat kabar Soeara Timur dan mengetuai Perserikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK) antara 1940 dan 1941. Selama masa awal kariernya,
Syafruddin mulai menunjukkan sikap-sikap nasionalis, dan ia tidak setuju dengan tuntutan-tuntutan yang "moderat" (menuntut otonomi yang lebih di Indonesia) dalam Petisi Soetardjo tahun 1936. Belakangan,
Syafruddin diterima kerja di kantor pajak di Kediri, sebagai ajudan inspektur pajak. Sebelum pendudukan Jepang, ia juga sempat mendirikan organisasi untuk menolong korban perang.
Pada masa pendudukan,
Syafruddin diangkat menjadi kepala kantor pajak di Kediri sebelum dipindahkan ke Bandung. Dalam masa pendudukan ini,
Syafruddin mulai berpikir bahwa kemerdekaan Indonesia harus dicapai secepatnya, sehingga ia bergabung dengan gerakan kemerdekaan yang saat itu bergerak di bawah tanah. Karena itu, ia sering bertemu dengan Sutan Sjahrir dan meskipun
Syafruddin sendiri menolak dihubungkan, banyak yang menganggapnya sebagai bagian kelompok perlawanan Sjahrir. Melalui program pendidikan yang dijalankan oleh kaum ulama di sekitar Bandung,
Syafruddin bersama Mohammad Natsir juga banyak mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintahan militer Jepang.
Karier politik
= Awal revolusi
=
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia,
Syafruddin dipilih sebagai salah seorang dari 15 anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 17 Oktober 1945 (sebulan jelang Masyumi terbentuk). Sebelumnya, ia merupakan anggota KNI Pariangan. Pada 1946,
Syafruddin menjadi anggota Masyumi, meski semula sempat ditawari masuk Partai Sosialis Indonesia (PSI) oleh Sjahrir dan Amir Syarifuddin. Menurut
Syafruddin, ia memilih masuk Masyumi sebagai seorang Islam, meskipun pada waktu itu ia tidak memiliki pengalaman sama sekali dalam organisasi Islam. Kala itu, ia berkontribusi mengakhiri status monopoli partai nasional dalam proses terbentuknya Maklumat Wakil Presiden Nomor X sebagai perubahan fungsi KNIP sebagai badan legislatif sehari-hari, yang menjadikan Indonesia lebih mendekati sistem parlementer. Hal itu juga yang diharapkan membentuk citra Indonesia sebagai pemerintahan yang demokratis dan diperhitungkan dalam politik luar negeri. Berkat kedekatannya dengan Sjahrir,
Syafruddin ditunjuk menjadi Menteri Muda Keuangan dalam Kabinet Sjahrir II antara 12 Maret 1946 sampai 2 Oktober 1946, dan selanjutnya diangkat menjadi Menteri Keuangan dalam Kabinet Sjahrir III antara 2 Oktober 1946 hingga 27 Juni 1947. Ia juga menjabat sebagai Menteri Kemakmuran di Kabinet Hatta I mulai 29 Januari 1948. Sjahrir sebenarnya menawarkan kursi Menteri Keuangan kepada
Syafruddin dalam Kabinet Sjahrir I, tetapi
Syafruddin menolak karena merasa kurang berpengalaman. Belakangan,
Syafruddin berkomentar bahwa setelah melihat cara kerja Menteri Keuangan Panji Surachman Cokroadisuryo, ia merasa lebih cocok menjabat.
Di bidang keuangan,
Syafruddin berperan besar dalam penerbitan Oeang Republik Indonesia (ORI), salah satunya dengan meyakinkan Mohammad Hatta untuk menerbitkan mata uang sendiri untuk mendanai perlawanan melawan Belanda dan untuk menunjukkan keseriusan pemerintah Republik Indonesia yang masih muda. Saat Hatta sempat ragu-ragu,
Syafruddin mengatakan kepadanya bahwa "apabila Hatta ditangkap Belanda, ia akan digantung bukan sebagai pemalsu uang, tapi sebagai pemberontak".
Syafruddin menjadi Menteri Keuangan pertama di Indonesia yang mendistribusikan mata uang Indonesia pada akhir tahun 1946, meskipun di lembaran ORI awalnya tercetak tanda tangan Alexander Andries Maramis yang mengatur proses percetakannya.
Syafruddin selanjutnya ikut serta dalam konferensi Economic Council for Asia and the Far East di Manila, Filipina pada 1947. Saat itu, partai Masyumi berkolaborasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam sejumlah organisasi, sehingga banyak delegasi di Manila menganggap
Syafruddin dan para koleganya juga berpaham komunis. Terkejut atas anggapan tersebut, ia menerbitkan Politik dan Revolusi Kita pada 1948 untuk menjelaskan hubungan yang rumit antara partai-partai Islam dan komunis di Indonesia pada masa itu.
Pada tahun pertama setelah kemerdekaan,
Syafruddin banyak mengkritik kelompok pemuda yang dianggapnya tidak realistis dalam menekan pemerintah. Kolomnya di surat kabar Berita Indonesia pada Februari 1946 memuji Vladimir Lenin dan Joseph Stalin sebagai tokoh-tokoh "realis" dan mendukung pendekatan Realpolitik Sjahrir yang lebih pragmatis dan realis. Kolom ini ditulis sebagai tanggapan atas pidato Jenderal Sudirman yang dianggap
Syafruddin memanas-manasi kelompok pemuda dan mengabaikan kurangnya persenjataan Tentara Republik Indonesia. Bahkan,
Syafruddin mengutuk pihak-pihak yang mendorong para pemuda untuk terjun ke medan perang hanya dengan bambu runcing.
= Pemerintah Darurat RI
=
Setelah ditandatanganinya Perjanjian Renville, gencatan senjata berlangsung antara militer Belanda dan Indonesia. Namun demikian, belajar dari pengalaman Agresi Militer Pertama yang diluncurkan Belanda tahun sebelumnya meskipun Perjanjian Linggardjati masih berlaku, pemerintah Indonesia mulai mempersiapkan rencana darurat. Mengikuti saran Letkol Daan Jahja, pemerintah cadangan disiapkan di wilayah Sumatra Tengah, karena wilayah Jawa Tengah dianggap terlalu sempit dan padat. Wakil Presiden merangkap Menteri Pertahanan saat itu, Mohammad Hatta, mulai memindahkan perwira militer dan pejabat-pejabat ke Bukittinggi sebagai bibit pemerintahan darurat mulai bulan Mei 1948. Pada bulan November 1948, Hatta bersama
Syafruddin pergi ke Bukittinggi dan mereka mulai mempersiapkan dasar-dasar yang diperlukan untuk pemerintahan darurat tersebut. Meskipun begitu, Hatta harus kembali ke Yogyakarta karena berlangsungnya perundingan di sana, sehingga ia meninggalkan
Syafruddin di Bukittinggi dengan perintah untuk membentuk pemerintah darurat apabila Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Pada pertengahan bulan Desember 1948, Hatta sempat berencana kembali ke Bukittinggi dengan naik pesawat yang disediakan perdana menteri India Jawaharlal Nehru. Akan tetapi, Belanda keburu meluncurkan Agresi Militer Kedua pada tanggal 19 Desember 1948 saat Hatta masih berada di Yogyakarta. Karena Agresi tersebut, Sukarno dan Hatta beserta sebagian besar pejabat-pejabat pemerintah Indonesia ditangkap Belanda dan diasingkan ke Pulau Bangka.
Syafruddin diberitahu mengenai perkembangan ini hari itu juga oleh Kolonel Hidajat Martaatmadja, dan awalnya ia sempat ragu-ragu.
Syafruddin terkejut mendengar bahwa pemerintah Indonesia ditangkap begitu cepat, dan karena mandat yang dikirim Sukarno dan Hatta melalui telegram tidak sampai ke Bukittinggi, ia tidak yakin ia memiliki wewenang untuk membentuk pemerintahan.
Syafruddin mengatur rapat dengan Gubernur Sumatra Teuku Muhammad Hasan dan wakilnya Mohammad Nasroen untuk membahas situasi, tetapi ketika pesawat tempur Belanda mulai terbang di Bukittinggi, rapat tersebut diakhiri. Mereka memutuskan untuk meninggalkan Bukittinggi dan berpindah ke Halaban, dan pada tanggal 22 Desember
Syafruddin mengumumkan didirikannya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Dalam struktur PDRI,
Syafruddin menjabat sebagai Ketua, merangkap Menteri Pertahanan, Penerangan, dan Luar Negeri.
Syafruddin juga mengumumkan Komisariat PDRI di Pulau Jawa yang diisi tokoh-tokoh RI yang tidak ditangkap Belanda seperti Susanto Tirtoprodjo, I. J. Kasimo, dan Soekiman Wirjosandjojo.
Syafruddin memilih gelar "Ketua" di PDRI karena kurang yakin atas mandatnya untuk menggunakan gelar "Presiden".
Setelah pengumuman tersebut,
Syafruddin dan tokoh-tokoh PDRI mulai bergerak lagi. Tokoh pemerintahan sipil bergerak ke arah Pekanbaru, sementara tokoh militer bergerak ke Aceh. Kelompok
Syafruddin mengalami sejumlah kesulitan dalam perjalanan, dan karena Belanda berhasil merebut sejumlah kota dan desa di rute perjalanan ke Pekanbaru, rombongan memutuskan untuk berpencar di Sungai Dareh dan berkumpul lagi di Bidar Alam.
Syafruddin tiba di Bidar Alam pada tanggal 9 Januari 1949, dan disusul kelompok-kelompok lainnya pada bulan itu juga. Dengan adanya pemancar radio milik Angkatan Udara Republik Indonesia,
Syafruddin dapat berkomunikasi dengan pemimpin-pemimpin daerah, pasukan gerilya di bawah Sudirman, dan dengan dunia internasional (semisal dengan ucapan selamat untuk Jawaharlal Nehru di India atas penunjukannya sebagai Perdana Menteri). Untuk memastikan tetapnya ada pasokan makanan dan senjata untuk pasukan gerilya di Sumatra,
Syafruddin mendirikan suatu badan yang memiliki wewenang atas perdagangan dari pantai timur Sumatra, khususnya penyelundupan candu dan hasil bumi ke Malaya Britania.
Syafruddin juga nyaris terbunuh dalam Peristiwa Situjuah yakni saat sejumlah pemimpin Indonesia seperti Chatib Sulaiman dan Arisun Sutan Alamsyah tewas.
Syafruddin turut serta dalam rapat pada tanggal 14 Januari 1949, tetapi ia pergi malamnya, sebelum serbuan Belanda pada dini hari tanggal 15 Januari menewaskan para pemimpin tersebut.
Keberadaan PDRI di bawah
Syafruddin memungkinkan adanya kepemimpinan terpusat yang menyatukan kelompok-kelompok pejuang yang terus melangsungkan perang gerilya di Jawa dan Sumatra. PDRI juga berkomunikasi dengan diplomat-diplomat Indonesia yang ditugaskan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bawah Mohammad Roem, yang dapat berunding dari posisi yang lebih kuat karena perlawanan PDRI. Di bawah tekanan internasional dan masih menghadapi perlawanan gerilya, pihak Belanda mendekati Sukarno dan Hatta untuk berunding hingga menghasilkan Perjanjian Roem-Roijen.
Syafruddin merasa dilangkahi dalam hal ini, karena ia menganggap bahwa mandat pemerintahan Indonesia ada pada PDRI bukan pada para tokoh yang berada di Bangka. Tokoh pimpinan perjuangan lain seperti Sudirman juga tidak setuju atas perundingan Sukarno dan Hatta yang tidak sebelumnya berbicara dengan PDRI dalam proses negosiasi, dan meminta
Syafruddin untuk menolak perjanjian tersebut.
Menurut
Syafruddin, Sukarno dan Hatta beserta para tokoh lain yang diasingkan di Pulau Bangka tidak mengetahui kekuatan militer PDRI. Hal itu terbukti ketika Hatta hendak menemui
Syafruddin dengan pergi ke Aceh karena mengira PDRI memiliki markas di sana. Untuk membujuk
Syafruddin menerima hasil perjanjian Perjanjian Roem-Roijen dan menjemput para pemimpin PDRI ke Yogyakarta, Hatta mengutus delegasi yang terdiri dari Mohammad Natsir, Johannes Leimena, dan Abdoel Halim ke Sumatera Barat.
Syafruddin sempat menyatakan ketidaksetujuannya atas Perjanjian Roem-Roijen, tetapi setelah perundingan alot dengan delegasi Hatta di Padang Japang pada 6 Juli 1949, ia bersedia menerimanya demi persatuan nasional. Pada 13 Juli 1949, ia mengembalikan mandatnya selaku Ketua PDRI ke Sukarno.
= Waperdam dan Menkeu
=
Sekembalinya
Syafruddin ke Yogyakarta, ia ditunjuk sebagai Wakil Perdana Menteri untuk urusan Sumatra di dalam Kabinet Hatta II, dengan penugasan di Banda Aceh. Karena pada saat itu kekuasaan dan komunikasi pemerintah pusat sangat lemah di Sumatra,
Syafruddin diberikan kekuasaan yang cukup besar dalam menjalankan tugasnya. Selama masa PDRI,
Syafruddin sering dibujuki oleh pemimpin-pemimpin daerah Aceh yang bertekad memisahkan Aceh sebagai provinsi yang terpisah dari Sumatera Utara. Pada bulan Mei 1949,
Syafruddin menunjuk Daud Beureu'eh sebagai gubernur militer Aceh. Ketika
Syafruddin berkunjung ke Aceh pada bulan Agustus 1949, para tokoh daerah mendesak
Syafruddin untuk membentuk provinsi tersebut. Desakan yang dialami
Syafruddin cukup keras, sampai ia menerbitkan peraturan Waperdam pada bulan Desember 1949 yang isinya merupakan pemekaran provinsi Aceh dari Sumatera Utara. Belakangan, pemerintahan pusat selama Kabinet Natsir menyatakan bahwa pembentukan provinsi otonom Aceh merupakan suatu force majeure (keadaan di luar kendali), dan mencabut aturan tersebut. Tindakan tersebut memancing amarah para tokoh Aceh, sampai Mohammad Natsir perlu melakukan safari ke Aceh untuk menenangkan situasi. Di luar itu,
Syafruddin juga menenangkan pegawai-pegawai negeri yang pernah bekerja di bawah kekuasaan Belanda, dan memastikan bahwa tidak ada tindak pembalasan terhadap mereka.
Selama periode Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Kabinet Natsir,
Syafruddin kembali menjabat sebagai Menteri Keuangan. Saat penyusunan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia,
Syafruddin mengusulkan agar ada klausul Hatta akan ditunjuk sebagai Perdana Menteri apabila terjadi krisis politik. Usulan ini diterima oleh Masyumi dan Wilopo dari Partai Nasional Indonesia (PNI), tetapi kandas karena tidak didukung oleh tokoh-tokoh lain. Antara periode RIS sampai ke jatuhnya Kabinet Wilopo, tokoh Masyumi banyak tersebar dalam pemerintah, dan karena
Syafruddin merupakan ekonom termasyhur dalam partai tersebut, pandangannya sangat berpengaruh dalam pemerintahan. Salah satu program
Syafruddin adalah mewajibkan importir barang untuk menggunakan sertifikat devisa. Sertifikat devisa ini dapat diperoleh dengan mengekspor barang, dan bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri dari barang impor.
Selain masalah perdagangan, pada masa itu pemerintah Indonesia tertekan hutang warisan Hindia Belanda dari Konferensi Meja Bundar. Karena banyaknya mata uang yang beredar dan tercetak, dan karena kurangnya produksi barang, inflasi juga merebak di masyarakat. Pada tahun 1950, ada tiga mata uang yang beredar: uang pemerintah Indonesia, uang pemerintah sipil Belanda NICA, dan uang bank sentral jaman Hindia Belanda (De Javasche Bank) yang dicetak sebelum pendudukan Jepang. Untuk mengurangi persediaan uang,
Syafruddin memerintahkan pada tanggal 10 Maret 1950 bahwa semua uang kertas NICA dan De Javasche Bank dengan nilai lebih dari 5 gulden harus digunting menjadi dua potongan. Kebijakan ini dikenal dengan istilah "Gunting
Syafruddin". Potongan sebelah kiri berlaku sampai tanggal 9 April 1950, dengan nilai setengah dari nilai utuhnya sampai ditukar dengan uang baru, sementara potongan sebelah kanan dapat ditukarkan dengan obligasi pemerintah berjangka 30 tahun dengan bunga 3 persen. "Gunting" ini juga berlaku untuk rekening bank, dengan separuh saldo rekening (pengecualian sebesar maksimal 200 gulden, apabila saldo rekening di bawah 1.000 gulden) ditukarkan dengan obligasi.
Syafruddin belakangan menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan ganda: untuk mengurangi inflasi dan untuk menyelaraskan mata uang yang beredar dengan mencabut mata uang Belanda dari peredaran. Menurut pernyataan De Javasche Bank, meskipun pasokan uang turun 41 persen setelah kebijakan ini, inflasi tetap merebak dengan harga pangan dan sandang yang masih naik.
Kebijakan-kebijakan
Syafruddin menuai pro dan kontra dari masyarakat dan kalangan politik. Gunting
Syafruddin khususnya menjadi bulan-bulanan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kebijakan Gunting
Syafruddin juga dikritik karena diumumkan saat rata-rata karyawan masih memegang uang tunai. Selama masa jabatan
Syafruddin di RIS, pendapatan pemerintah meningkat, tetapi defisit tetap berjalan karena pengeluaran pemerintah turut meningkat. Karena pecahnya Perang Korea selama Kabinet Natsir, permintaan komoditas Indonesia dari negara asing meningkat, sehingga pendapatan pemerintah naik drastis dan anggaran pemerintah surplus. Dalam kabinet ini, Menteri Perdagangan dan Industri Sumitro Djojohadikusumo mencetuskan Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) yang bertujuan untuk mengembangkan industri substitusi impor di dalam negeri dan mengembangkan perekonomian "pribumi".
Syafruddin merupakan salah satu tokoh yang bertentangan dengan RUP. Selama kabinet Natsir,
Syafruddin tetap berhemat dengan anggaran pemerintah, dengan tidak menaikkan gaji pegawai negeri, mempertahankan sejumlah pajak era kolonial, dan menolak memberikan bantuan ke partai politik. Ia juga mempertahankan sejumlah pegawai berkebangsaan Belanda di dalam Kementerian Keuangan itu sendiri. Setelah digantikan oleh Jusuf Wibisono dalam Kabinet Sukiman-Suwirjo,
Syafruddin menjadi pengkritik pemerintah, dan ia menyatakan pada Juni 1951 bahwa kebijakan pemerintah telah menyebabkan penurunan ekonomi, yang tersembunyi oleh ekspor komoditas yang melejit.
= Gubernur BI
=
Pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De Javasche Bank pada tahun 1951 dengan membeli sahamnya dan mengubahnya menjadi badan pemerintah.
Syafruddin sendiri sebenarnya tidak setuju atas kebijakan ini, karena dia beranggapan bahwa belum cukup banyak orang Indonesia dengan pengalaman perbankan. Meskipun begitu, ia ditunjuk menjadi gubernur De Javasche Bank (belakangan Bank Indonesia atau BI mulai tanggal 1 Juli 1953) pada tanggal 15 Juli 1951, setelah gubernur sebelumnya A. Houwink yang berkebangsaan Belanda mengundurkan diri. Awalnya
Syafruddin berniat menolak karena ingin pensiun dari pemerintahan dan bekerja di sektor swasta, tetapi ia akhirnya setuju menjadi gubernur dengan syarat bahwa pegawai Indonesia akan menerima upah yang sama dengan pegawai-pegawai Belanda.
Pandangan ekonomi dan keuangan
Syafruddin cukup mirip dengan Houwink.
Syafruddin menyebut, Houwink menganggap dirinya sebagai pengganti yang sesuai. Dalam laporan tahunannya yang pertama,
Syafruddin berargumen bahwa De Javasche Bank harus tetap menjalankan operasi perbankan umum karena lemahnya pasar modal dan akses ke fasilitas perbankan di Indonesia.
Syafruddin merupakan penyusun statuta BI, dan ia menetapkan bahwa cadangan emas dan valuta asing di BI minimal 20 persen dari nilai mata uang yang diterbitkan. Kebijakan cadangan wajib minimal ini dikritik oleh banyak ekonom dan pakar keuangan pada masanya, seperti Sumitro yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan, dan dianggap sebagai kebijakan yang gagal mencapai tujuannya.
Syafruddin juga sering mengkritik kebijakan pro-"pribumi" pemerintah yang dianggapnya kurang jelas memisahkan modal "asing" dan "dalam negeri". Menurut
Syafruddin, perbedaan antara modal asing dan dalam negeri hanya didasarkan remitansi: dengan kata lain, apabila keuntungan dibawa ke luar negeri, modal tersebut "asing", dan apabila keuntungan tetap di Indonesia, modal tersebut "dalam negeri". Berdasarkan kriteria
Syafruddin ini, pengusaha-pengusaha Tionghoa-Indonesia merupakan pengusaha dalam negeri, yang bertentangan dengan kebijakan pro-pengusaha pribumi (Program Benteng) dari Sumitro.
Syafruddin juga sering mengkritik kebijakan ekonomi dan moneter pemerintah selama Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Masa jabatan pertama
Syafruddin sebagai Gubernur BI habis pada tahun 1956, dan awalnya pemerintah yang saat itu dikuasai PNI ingin menggantikannya dengan Lukman Hakim yang merupakan anggota partai tersebut. Meskipun begitu, karena manuver Menteri Keuangan Jusuf Wibisono, Nahdlatul Ulama memutuskan untuk mendukung
Syafruddin sehingga masa jabatannya diperpanjang.
Keterlibatan dalam PRRI
= Latar belakang
=
Ekonomi Indonesia pada tahun 1957 sedang melemah dan situasi politik dalam negeri semakin memanas. Dalam kondisi ini, perusahaan-perusahaan asing, khususnya milik Belanda, sering disalahkan sebagai penyebab kelemahan ekonomi tersebut. Opini masyarakat telah bergeser dan kini menentang posisi
Syafruddin yang pro-investasi asing. Selain itu, Sukarno pada tahun 1956 mulai merencanakan Demokrasi Terpimpin yang ditentang secara keras oleh akar rumput Masyumi, sehingga Masyumi dan Kabinet Ali Sastroamidjojo II menjadi berseberangan. Sejumlah tokoh Masyumi di daerah mulai mendukung konsep negara serikat untuk Indonesia, dan perpecahan politik antara Masyumi dan PNI semakin memburuk. Pada tanggal 8 Januari 1957, Masyumi keluar dari koalisi pemerintah.
Keadaan politik semakin memburuk pada tanggal 29 November 1957; Belanda berhasil mencegah pembahasan Papua Barat di forum Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, sehingga Sukarno memerintahkan serikat-serikat buruh dan kesatuan tentara untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda.
Syafruddin secara terbuka menentang proses nasionalisasi tersebut dan mengkritisi ketidakjelasan rencana pemerintah, termasuk di depan Sukarno sendiri dalam acara Musyawarah Nasional Pembangunan. Setelah percobaan pembunuhan Sukarno di Cikini pada 30 November,
Syafruddin dan sejumlah pemimpin Masyumi lainnya diselidiki pihak berwenang, karena sejumlah anggota komplotan merupakan anggota sayap pemuda Masyumi. Selama bulan Desember 1957,
Syafruddin beserta Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap dituduh terlibat dalam peristiwa Cikini oleh berbagai media cetak, dan mereka mulai diteror melalui telepon dan diganggu oleh organisasi-organisasi paramiliter di jalanan. Untuk memastikan keamanan pribadi dan keluarga masing-masing, mereka memutuskan untuk pergi dari Jakarta, dan pada Januari 1958,
Syafruddin sudah berada di Padang. Meskipun Natsir dan Harahap berdalih bahwa mereka ada urusan lain di Sumatra,
Syafruddin mengaku bahwa ia telah kabur dari Jakarta, karena ia "tidak bersedia mati konyol".
Selama di Sumatra,
Syafruddin dan para tokoh Masyumi, beserta Sumitro Djojohadikusumo, menghadiri rapat di Sungai Dareh bersama sejumlah tokoh militer yang berniat untuk memberontak seperti Kolonel Maludin Simbolon. Dalam rapat-rapat tersebut, sejumlah perwira militer berniat untuk memisahkan Sumatra dari RI sebagai negara sendiri, tetapi gagasan ini ditentang oleh pemimpin sipil seperti
Syafruddin. Pada akhirnya, rapat ini menghasilkan suatu pernyataan yang intinya menuntut pembubaran Kabinet Djuanda dan pembentukan kabinet baru di bawah pimpinan Hamengkubuwono IX dan Mohammad Hatta. Para tokoh ini sudah menjalin kontak dengan Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA), yang sudah mulai mengirimkan senjata dan pendanaan secara diam-diam sejak 1957. CIA bertujuan untuk menggulingkan pemerintah Sukarno, tetapi pada saat itu belum mau untuk memberikan dukungan secara terbuka. Di Palembang,
Syafruddin bertemu dengan Kolonel Barlian, Panglima Kodam di Sumatera Selatan. Atas dasar perhitungan bahwa kesatuannya akan menjadi yang pertama diserang apabila memberontak, Barlian tidak langsung memutuskan untuk ikut memberontak. Selama di Palembang,
Syafruddin juga menulis suatu surat terbuka ke Sukarno. Dalam tulisannya itu,
Syafruddin menyatakan perlawanannya terhadap Demokrasi Terpimpin yang memusatkan kekuasaan pemerintah ke Sukarno sembari menuntut kembalinya pemerintah ke UUD 1945. Karena aktivitasnya ini, jabatan
Syafruddin sebagai Gubernur Bank Indonesia dicabut per tanggal 1 Februari 1958 melalui Keputusan Presiden.
= Jalannya PRRI
=
Pada 15 Februari 1958, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dideklarasikan di Padang oleh Kolonel Ahmad Husein. Dalam kabinet PRRI,
Syafruddin menduduki jabatan Perdana Menteri, merangkap Menteri Keuangan. Menurut
Syafruddin belakangan dalam autobiografinya, Husein memintanya untuk menandatangani deklarasi pendirian PRRI.
Syafruddin menulis bahwa ia menolak ini, untuk menekankan bahwa PRRI bukan merupakan inisiatifnya pribadi. Pemerintahan pusat di bawah Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja langsung mengeluarkan perintah untuk menangkap para pemimpin sipil PRRI, termasuk
Syafruddin, dan mencabut jabatan-jabatan mereka. Pesawat tempur TNI Angkatan Udara mulai menggempur kota-kota yang dikendalikan PRRI di Sumatera Barat seperti Padang dan Bukittinggi seminggu setelah deklarasi tersebut. Pemerintah pusat merebut Padang pada April 1958 tanpa perlawanan serius dari sayap militer PRRI. Kabarnya, begitu mendengar berita jatuhnya Padang,
Syafruddin naik pitam dan menyatakan tekadnya untuk bergerilya di hutan, yang "bukan pertama kali" untuknya. Ibu kota PRRI di Bukittinggi direbut oleh pemerintah pusat pada tanggal 5 Mei 1958.
Sayap militer PRRI telah hampir ditumpas oleh pemerintah pusat dalam empat bulan saja. Para pemimpin PRRI gagal mendapatkan dukungan luas dari masyarakat, dan dukungan Amerika Serikat untuk PRRI ditarik setelah kegagalan-kegagalan tersebut. PRRI terpaksa mundur menjadi gerilyawan di hutan dan gunung di pulau Sumatra. Meskipun begitu,
Syafruddin menolak untuk berkompromi dengan pemerintahan pusat di Jakarta, dan pada ulang tahun PRRI pertama
Syafruddin masih mengkritik kerja sama Sukarno dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menyerukan perlunya bentuk negara serikat untuk Indonesia. Saat mereka semakin terpojok, para pemimpin PRRI memproklamasikan Republik Persatuan Indonesia (RPI) di Bonjol, Pasaman pada 8 Februari 1960 sebagai negara serikat yang akan meliputi seluruh Indonesia dengan
Syafruddin sebagai presidennya. Dalam konstitusi RPI, setiap negara anggota bebas memilih bentuk pemerintahan sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Sementara itu, pemerintahan pusat terus menekan PRRI dan merebut kota demi kota, termasuk basis PRRI di Koto Tinggi pada Juli 1960. Karena jatuhnya Koto Tinggi,
Syafruddin dkk harus bergerilya di hutan belantara, tanpa fasilitas komunikasi dengan kesatuan-kesatuan PRRI lainnya.
Untuk memecah PRRI, Kepala Staf Angkatan Darat Abdul Haris Nasution pada akhir tahun 1960 mengumumkan program amnesti untuk tentara-tentara yang telah bergabung ke PRRI. Karena deklarasi ini, pasukan PRRI yang tadinya masih mengendalikan sejumlah besar wilayah pedesaan mulai menyerahkan diri ke pemerintah pusat pada pertengahan 1961. Karena kondisi yang makin memburuk,
Syafruddin dan Natsir menugaskan Maludin Simbolon untuk berunding dengan pemerintah pusat, tetapi para pemimpin militer memutuskan untuk menyerah tanpa mengikutsertakan para pemimpin sipil. Dengan posisinya yang semakin terpojok,
Syafruddin memutuskan untuk menyerah. Setelah memberikan perintah gencatan senjata ke prajurit PRRI yang masih tersisa pada 17 Agustus 1961, ia menyerahkan diri ke pemerintahan pusat pada 25 Agustus 1961 di dekat Kota Padang Sidempuan, bersama Assaat dan Burhanuddin Harahap.
Syafruddin awalnya tidak dipenjara karena adanya amnesti untuk tokoh-tokoh PRRI dari Sukarno, dan sempat tinggal di Medan. Namun, ia ditangkap pada bulan Maret 1962 dan dibawa ke Jakarta, lalu ia ditahan tanpa diadili di Kedu sebelum dipindahkan ke penjara militer di Jakarta. Ia baru dibebaskan pada 26 Juli 1966 menjelang lengsernya Sukarno.
Orde Baru
Sebelum
Syafruddin dibebaskan, para pemimpin Masyumi yang dilepaskan lebih dahulu mencoba untuk mendirikan kembali Masyumi, tetapi upaya ini gagal karena ABRI melarang Masyumi dan PSI. Karena itu,
Syafruddin cenderung mengekspresikan dirinya melalui agama. Ia merupakan anggota kepengurusan sejumlah organisasi Islam, seperti Korps Mubaligh Indonesia dan Yayasan Pesantren Islam (Al Azhar). Ia juga tetap berkarya dalam bidang ekonomi, dengan mendirikan Himpunan Usahawan Muslimin Indonesia pada Juli 1967. Secara umum,
Syafruddin mendukung kebijakan ekonomi Orde Baru di bawah kepemimpinan menteri-menteri teknokrat seperti Widjojo Nitisastro dan Mohammad Sadli. Dengan bantuan Oey Beng To, ia menulis buku Sejarah Moneter. Meskipun begitu,
Syafruddin menentang korupsi yang terjadi selama era Suharto, dan ia menggunakan sarana dakwah sebagai media dalam meluncurkan kritikannya.
Syafruddin juga tidak setuju monopoli ibadah haji oleh pemerintah pusat, dan ia bahkan sempat mendirikan Yayasan Dana Tabungan Haji dan Pembangunan (YDTHP) pada 9 Oktober 1970. Walau yayasan tersebut sempat berjalan, pada tahun 1976 pemerintah melakukan intervensi karena masalah keuangan yang menyebabkan lebih dari 300 orang jemaah haji terlantar.
Di sisi politik,
Syafruddin menentang pendirian Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).
Syafruddin bahkan berkomentar bahwa Parmusi lebih buruk dari PKI. Kritikannya membawanya kembali ke penjara pada April 1978.
Syafruddin berikutnya menjadi salah satu tokoh yang mendorong dan ikut menandatangani Petisi 50 pada 1980, beserta tokoh-tokoh eks Masyumi/PRRI seperti Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap, serta sejumlah tokoh militer seperti Abdul Haris Nasution dan Hoegeng Imam Santoso. Petisi tersebut mengkritik hubungan erat Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dengan Golkar, pemerkayaan diri Suharto, serta penolakan penggunaan Pancasila sebagai senjata politik. Pada masa itu, kebijakan pemerintah menekankan penggunaan Pancasila satu-satunya pedoman bagi semua jenis organisasi, termasuk kelompok keagamaan. Meskipun
Syafruddin tidak menentang Pancasila itu sendiri, dan menerimanya sebagai dasar negara dan sumber dari Undang-Undang Dasar,
Syafruddin tidak dapat menerima Pancasila untuk seluruh kelompok masyarakat. Dalam surat terbuka untuk Suharto tertanggal 7 Juli 1983,
Syafruddin menentang kembali kebijakan pemerintah tersebut, dengan dasar argumen dari pidato Sukarno setelah pengusulan Pancasila pada 1 Juni 1945. Sukarno pada waktu itu melandaskan negara atas asas gotong royong, dan dari sisi pandang
Syafruddin, asas ini berarti bahwa masyarakat Indonesia dapat memiliki identitas masing-masing, sementara Pancasila sebagai landasan semua organisasi akan merusak keragaman ini.
Syafruddin juga turut menulis "lembaran putih" seusai Peristiwa Tanjung Priok 1984, yang menuduh kebijakan represif pemerintah terhadap kelompok keagamaan dan pemaksaan Pancasila sebagai akar kerusuhan yang terjadi. Karena aktivitas-aktivitasnya tersebut,
Syafruddin dicekal keluar negeri, kecuali untuk urusan berobat. Meskipun begitu,
Syafruddin tetap mengkritik pemerintah, dan sempat diperiksa karena isi khotbah Idul Fitri di suatu masjid di Tanjung Priok pada Juni 1985.
Pandangan
Ekonom Thee Kian Wie menuliskan bahwa
Syafruddin, beserta tokoh-tokoh semasa seperti Sumitro dan Hatta, merupakan pembuat kebijakan yang pragmatis, meskipun dibandingkan tokoh-tokoh lain pada masa itu pandangan ekonomi
Syafruddin dianggap lebih terbuka terhadap investasi dan modal asing. Ia mengedepankan sosialisme religius dengan sistem ekonomi pasar bebas, dan menganggap bahwa pada masa itu belum waktunya untuk menjalankan nasionalisasi berbagai industri. Pandangan-pandangan ini sering berseberangan dengan Sumitro, yang lebih nasionalis. Sumitro beranggapan bahwa pemerintah Indonesia harus bertindak langsung untuk membantu industrialisasi, sementara
Syafruddin tidak percaya bahwa badan usaha milik negara dapat beroperasi dengan efisien.
Syafruddin ingin proses nasionalisasi dilangsungkan secara bertahap, dan berpendapat bahwa investasi dan modal asing berdampak positif untuk ekonomi Indonesia.
Meskipun
Syafruddin setuju dengan prinsip keadilan sosial dan menghargai upaya organisasi-organisasi komunis di Eropa dalam pergerakan buruh, ia menolak Marxisme secara fundamental karena prinsip ateisme dalam paham komunis. Menurut
Syafruddin, seorang Muslim atau Kristen tidak dapat menjadi seorang komunis sepenuhnya. Ia beranggapan bahwa banyak Muslim yang bergabung dengan organisasi komunis karena ketidakpahaman atas asas-asas dalam komunisme, dan juga beranggapan bahwa Marxisme bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Meskipun begitu, pandangan teologis
Syafruddin dapat dianggap liberal, dengan interpretasi yang mengedepankan Al-Qur'an di atas Hadits. Ia juga tidak menganggap bunga bank sebagai riba.
Syafruddin mendukung program keluarga berencana di bawah Suharto meskipun adanya fatwa yang menentang kebijakan tersebut, dan juga menentang pendirian negara Islam seperti Pakistan dengan anggapan bahwa struktur negara tersebut bersifat memaksakan agama Islam ke penduduk Indonesia lainnya.
Keluarga
Syafruddin menikah dengan Tengku Halimah Syehabuddin, putri Camat Buahbatu dan keturunan Raja Pagaruyung pada tanggal 31 Januari 1941. Mereka memiliki delapan orang anak, salah seorangnya Farid
Prawiranegara. Selama era PDRI, keluarganya menetap di Yogyakarta, di bawah perlindungan Hamengkubuwono IX, dan pada era PRRI keluarganya ikut
Syafruddin bergerilya di Sumatera Barat.
Ketika
Syafruddin mendekam di penjara, keluarganya sempat menjadi tunawisma karena rumah mereka disita. Untuk beberapa lama, mereka menumpang di rumah saudara dan politikus Masyumi yang bersimpati. Salah seorang anak
Syafruddin ditolak masuk berbagai sekolah sampai ia menerima rekomendasi langsung dari politikus Partai Katolik I.J. Kasimo. Begitu Waperdam Johannes Leimena dan Subandrio mengetahui keadaan keluarga
Syafruddin yang mengenaskan, rumah mereka dikembalikan dan mereka diberi bantuan berupa sembako. Setelah Sukarno juga diberi tahu, ia menyuruh seorang pebisnis mobil untuk memberikan kepada keluarga
Syafruddin dua unit mobil.
Meninggal dan peninggalan
Syafruddin meninggal pada 15 Februari 1989 di Jakarta karena serangan jantung.
Syafruddin sebelumnya menderita bronkitis, dan ia rubuh di rumahnya sekitar jam 6 sore pada hari itu juga sebelum dilarikan ke Rumah Sakit Pondok Indah. Ia dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir. Kondisi fisik
Syafruddin sudah melemah dalam beberapa tahun sebelum meninggal, dan setelah Hamengkubuwono IX meninggal tahun 1988
Syafruddin mengatakan bahwa ia merasa ajalnya sudah dekat dalam surat untuk George McTurnan Kahin.
Dalam obituarinya, Kahin menuliskan bahwa
Syafruddin merupakan salah seorang tokoh yang bersih dari korupsi, dan dikenal sebagai seorang yang jujur, berintegritas, dan terus terang. Menurut wartawan Rosihan Anwar,
Syafruddin merupakan seorang idealis dengan pandangan sosialisme religiusnya sebagai seorang Muslim yang dapat dibandingkan dengan sosialisme Sutan Sjahrir. Rosihan juga mengatakan bahwa selama masa tua
Syafruddin, ia melihat Indonesia seolah-olah dijajah oleh bangsa sendiri. Rosihan menyebut komentar tersebut didasari pengalaman
Syafruddin setelah periode PRRI, ketika jasanya selama masa PDRI diabaikan dan dirinya tidak dianggap oleh masyarakat.
Pada 8 November 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional Indonesia kepada
Syafruddin Prawiranegara, setelah pengajuan
Syafruddin sebagai Pahlawan Nasional sempat ditolak pada tahun 2000 dan 2009. Pencalonan
Syafruddin sebelumnya ditentang oleh pihak TNI, tetapi setelah Natsir dijadikan pahlawan nasional pada 2008, panitia pengusulan memobilisasi dukungan melalui penyelenggaraan seminar dan peluncuran buku pada peringatan 100 tahun
Syafruddin. Dukungan ini pada akhirnya mendorong presiden untuk menganugerahi gelar Pahlawan Nasional. Pada 2015, nama
Syafruddin disematkan pada salah satu gedung kembar kantor Bank Indonesia. Sejumlah tokoh-tokoh politik Indonesia modern seperti Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan, Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin, dan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menyatakan dukungan atas pengakuan
Syafruddin sebagai Presiden Republik Indonesia kedua.
Keterangan
Catatan kaki
Daftar pustaka