Muhammad Yassir Abdul Rahman Abdul Rauf
Arafat al-Qudwa (bahasa Arab: محمد ياسر عبد الرحمن عبد الرؤوف عرفات القدوة; 24 Agustus 1929 – 11 November 2004), lebih dikenal sebagai
Yasser Arafat (bahasa Arab: ياسر عرفات , Yāsir `Arafāt) atau dengan kunyah Abu Ammar (bahasa Arab: أبو عمار , 'Abū `Ammār) adalah seorang negarawan Palestina. Ia merupakan Ketua Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Presiden Otoritas Nasional Palestina (PNA), pemimpin partai politik dan mantan pasukan milisi Fatah, yang ia dirikan pada tahun 1959.
Arafat menghabiskan sebagian besar hidupnya menentang Israel atas nama hak penentuan nasib rakyat Palestina. Awalnya bersikap menentang keberadaan Israel, dia mengubah sikapnya pada tahun 1988 ketika menerima Resolusi 242 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Arafat dan gerakannya beroperasi dari beberapa negara Arab. Pada akhir 1960-an hingga awal 1970-an, Fatah berhadapan dengan Yordania dalam sebuah perang sipil. Diusir keluar dari Yordania dan terpaksa mengungsi ke Lebanon,
Arafat dan Fatah merupakan target utama invasi militer Israel atas negara tersebut pada tahun 1978 dan 1982.
Selanjutnya,
Arafat terlibat dalam serangkaian perundingan dengan Israel untuk mengakhiri konflik yang berlangsung selama satu dekade antara negara tersebut di PLO. Di antara perundingan-perundingan ini adalah Konferensi Madrid 1991, Perjanjian Oslo, dan pertemuan di Camp David pada tahun 2000. Lawan-lawan politiknya, seperti kaum Islamis dan faksi kiri PLO, sering menuduhnya sebagai seorang yang korup atau terlalu tunduk kepada persyaratan-persyaratan yang diberikan oleh Israel. Pada saat-saat itu, Hamas dan organisasi-organisasi militan lainnya mulai naik daun dan menggoyahkan pemerintahan yang telah dibangun oleh Fatah dibawah
Arafat di Palestina. Pada akhir 2004, setelah diisolasi secara efektif oleh tentara Israel di rumahnya sendiri di Ramallah,
Arafat jatuh sakit, mengalami koma dan wafat pada tanggal 11 November 2004, dalam usia 75 tahun. Penyebab penyakit dan kematiannya masih menjadi bahan perdebatan hingga hari ini.
Hingga hari ini,
Arafat masih dikenang sebagai seorang tokoh kontroversial yang warisannya kerap dipertanyakan. Mayoritas rakyat Palestina, tanpa mengenal ideologi politik, melihatnya sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang heroik dan martir yang menyimbolkan jeritan hati rakyatnya, sementara banyak warga Israel mengenalnya sebagai seorang teroris yang tidak pernah menyesali perbuatannya. Beberapa kritikus menuduh
Arafat adalah seorang pemimpin yang korup, secara rahasia menghimpun kekayaan pribadi sebesar 1,3 miliar dolar Amerika Serikat tanpa memedulikan kondisi ekonomi rakyat Palestina yang mayoritas hidup di tengah kemiskinan.
Nama
Nama panjang
Arafat adalah Mohammed Abdel Rahman Abdel Raouf
Arafat al-Qudwa. Mohammed Abdel Rahman adalah nama pertamanya, Abdel Raouf adalah nama ayahnya, dan
Arafat adalah nama kakeknya. Al-Qudwa adalah nama suku
Arafat dan al-Husseini adalah nama klan induk al-Qudwa. Klan al-Husseini berasal dari Gaza, dan harus dibedakan dengan klan lain asal Yerusalem yang terkenal namun tidak berkaitan, al-Husayni.
Karena
Arafat dibesarkan di Kairo, menanggalkan nama Mohammed atau Ahmad adalah sesuatu yang dianggap lazim di sana; tokoh-tokoh Mesir seperti Anwar Sadat dan Husni Mubarak juga melakukannya. Namun,
Arafat juga menanggalkan Abdel Rahman dan Abdel Raouf dari namanya. Pada awal 1950-an,
Arafat mulai menggunakan nama
Yasser. Selama bergerilya, dia mulai memakai Abu Ammar sebagai nom de guerre-nya. Kedua nama ini terkait dengan Ammar bin Yasir, salah seorang sahabat Nabi Muhammad. Walaupun menanggalkan sebagian besar nama aslinya, dia memilih tetap memakai nama
Arafat karena pengaruh nama tersebut dalam tradisi Islam.
Kehidupan awal
= Masa kecil
=
Arafat dilahirkan di Kairo, Kerajaan Mesir. Ayahnya, Abdel Raouf al-Qudwa al-Husseini, adalah seorang Palestina dari Kota Gaza, yang beribukan warga Mesir. Ayah
Arafat berjuang selama dua puluh lima tahun di pengadilan Mesir untuk mengklaim tanah keluarga mereka di Mesir sebagai bagian dari warisannya, tetapi tidak berhasil. Ia bekerja sebagai seorang pedagang kain di distrik El-Sakakini, sebuah distrik yang ditinggali orang-orang dari berbagai macam agama.
Arafat adalah anak kelima dari tujuh bersaudara, dan satu dari dua (bersama adiknya Fathi) anak keluarga itu yang dilahirkan di Kairo. Ibunya, Zahwa Abul Saud, lahir dari sebuah keluarga yang berasal dari Yerusalem. Ia wafat karena menderita penyakit ginjal pada tahun 1933, saat
Arafat masih berusia empat tahun.
Kunjungan pertama
Arafat ke Yerusalem terjadi saat ayahnya, yang tidak mampu membesarkan tujuh orang anak sendirian, mengirimnya dan Fathi ke keluarga ibu mereka di Kampung Maroko, yang terletak di dalam Kota Lama. Kedua bocah itu tinggal bersama paman mereka, Salim Abul Saud selama empat tahun. Pada 1937, ayah mereka memanggil pulang keduanya untuk dibesarkan oleh saudara perempuan mereka, Inam.
Arafat mengalami hubungan yang kurang harmonis dengan ayahnya. Saat ayahnya wafat pada tahun 1952,
Arafat tidak menghadiri pemakamannya, dan juga tidak mengunjungi makamnya setelah kembali ke Gaza. Saudara perempuan
Arafat, Inam, mengatakan kepada sejarawan Inggris Alan Hart, bahwa dia dipukul oleh ayahnya karena mengunjungi permukiman Yahudi di Kairo. Ketika ia bertanya pada
Arafat alasannya tidak berhenti mengunjungi permukiman itu, dia menjawab bahwa dia ingin mempelajari mentalitas orang-orang Yahudi.
= Pendidikan
=
Pada 1944,
Arafat masuk ke Universitas Raja Fuad I dan lulus enam tahun kemudian. Dia mengatakan bahwa pemahamannya tentang Yudaisme dan Zionisme-nya semakin meningkat setelah terlibat dalam diskusi dengan beberapa orang Yahudi.
Arafat juga membaca karya-karya yang ditulis oleh Theodor Herzl dan tokoh Zionis lainnya. Pada saat yang sama, dia menjadi seorang nasionalis Arab dan mulai memasok senjata untuk diselundupkan ke wilayah-wilayah bekas Mandat Britania atas Palestina, untuk digunakan oleh pejuang-pejuang non-reguler Komite Tinggi Arab dan milisi-milisi Tentara Perang Suci.
Selama Perang Arab-Israel 1948,
Arafat meninggalkan kampusnya dan berusaha memasuki Palestina bersama pemuda-pemuda Arab lainnya, bergabung dengan pasukan Arab yang sedang bertempur melawan tentara Israel. Tetapi, ketimbang bergabung dengan fedayeen,
Arafat memilih bertempur dengan pasukan Ikhwanul Muslimin, walaupun dia tidak bergabung dengan organisasinya. Dia ikut serta dalam pertempuran di sekitar Gaza (yang menjadi padang tempur utama pasukan Mesir selama perang). Pada awal 1949, kemenangan mulai condong ke pihak lawan, dan
Arafat memilih pulang ke Kairo karena pasokan logistik yang menipis.
Setelah kembali ke kampusnya,
Arafat melanjutkan kembali kuliah teknik sipil-nya dan terpilih menjadi ketua umum Persatuan Mahasiswa Palestina dari tahun 1952 hingga 1956. Pada tahun pertamanya sebagai ketua umum persatuan tersebut, universitasnya berubah nama menjadi Universitas Kairo setelah sebuah kudeta militer berhasil menurunkan Raja Farouk. Saat itu,
Arafat telah bergelar sarjana teknik sipil dan dipanggil untuk ikut bertempur bersama pasukan Mesir di Krisis Suez; tetapi, dia tidak pernah benar-benar ikut bertempur. Beberapa waktu kemudian, dalam sebuah konferensi di Praha,
Arafat terlihat mengenakan keffiyeh putih bersih (berbeda dengan versi bercorak jaring ikan, yang baru dipakainya kemudian di Kuwait), yang kelak menjadi lambangnya.
Mendirikan Fatah
Setelah krisis di Suez pada tahun 1956, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser mengizinkan Pasukan Darurat Perserikatan Bangsa-bangsa untuk beroperasi di Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza, menyebabkan pengusiran seluruh pasukan gerilya fedayeen di sana, termasuk
Arafat. Dia awalnya berusaha untuk memperolah visa menuju Kanada dan Arab Saudi, tetapi tidak berhasil. Pada tahun 1957,
Arafat mengirimkan permohonan untuk mendapat visa ke Kuwait (saat itu masih berstatus protektorat Inggris), dan dikabulkan karena latar belakangnya sebagai seorang insinyur teknik sipil. Di sana dia bersahabat dengan dua orang Palestina, Salah Khalaf ("Abu Iyad") dan Khalil al-Wazir ("Abu Jihad"). Keduanya merupakan anggota Ikhwanul Muslimin cabang Mesir.
Arafat telah bertemu dengan Abu Iyad sebelumnya ketika masih kuliah, dan dengan Abu Jihad di Gaza. Keduanya kelak menjadi tangan kanan
Arafat dalam dunia politik. Abu Iyad berangkat bersama
Arafat ke Kuwait pada akhir 1960; Abu Jihad, seorang guru, telah tinggal di sana sejak 1959. Setelah tiba di Kuwait, Abu Iyad membantu
Arafat untuk memperoleh pekerjaan sementara sebagai seorang guru sekolah.
Sementara
Arafat mulai bergaul dengan para pengungsi Palestina (sebagian telah pernah dia temui saat tinggal di Kairo), dia dan lainnya secara bertahap mendirikan sebuah pergerakan bernama Fatah. Tanggal pasti pendirian Fatah tidak diketahui. Pada 1959, keberadaan kelompok ini diliput oleh sebuah majalah nasionalis Palestina, Filastununa Nida al-Hayat (Palestina Kami, Panggilan Hidup), yang ditulis dan diedit oleh Abu Jihad. FaTaH adalah akronim terbalik dari nama Arab Harakat al-Tahrir al-Watani al-Filastini, yang berarti "Pergerakan Pembebasan Nasional Palestina". "Fatah" juga merupakan kata yang digunakan pada masa-masa kekhalifahan Islam untuk "penaklukan."
Fatah bertujuan untuk membebaskan Palestina lewat perjuangan bersenjata yang dilakukan oleh orang-orang Palestina sendiri. Ini membuatnya berbeda dengan organisasi politik dan gerilya Palestina lainnya, yang sebagian besar meletakkan harapan pada sebuah perjuangan bersama oleh bangsa Arab. Di bawah pimpinan
Arafat, Fatah tidak pernah mengikuti ideologi negara-negara Arab pada umumnya saat itu. Ini berbeda dengan mayoritas faksi lainnya, yang sering menjadi boneka negara lain seperti Mesir, Irak, Arab Saudi, Suriah, dan lainnya.
Sesuai ideologinya,
Arafat kerap menolak bantuan yang diberikan oleh negara-negara Arab lain, untuk menjaga independensi Fatah dari campur tangan mereka. Walau bagaimanapun,
Arafat tidak ingin mengabaikan mereka, dan berusaha untuk mendapatkan dukungan dengan menghindari persekutuan dengan faksi-faksi berideologi beda. Meskipun begitu,
Arafat bekerja keras di Kuwait, untuk mendirikan basis finansial Fatah pada masa depan dengan mengumpulkan sumbangan dari orang-orang kaya Palestina yang bekerja di sana dan di negara-negara Teluk lainnya, seperti Qatar (di mana dia bertemu Mahmoud Abbas pada 1961). Pengusaha dan karyawan-karyawan perusahaan minyak ini menyumbang dengan tulus untuk Fatah, dan
Arafat meneruskan usahanya mengumpulkan dana ke negara lain seperti Libya dan Suriah.
Perjuangan bersenjata
= Suriah
=
Pada 1962,
Arafat dan sahabat-sahabat dekatnya pindah ke Suriah (negara yang berbatasan darat dengan Israel), yang baru saja melepaskan diri dari persatuan dengan Mesir pimpinan Nasser. Fatah telah mempunyai kira-kira tiga ribu anggota pada saat itu, tetapi tidak ada seorangpun yang merupakan petempur. Di Suriah, dia berusaha untuk merekrut anggota dengan menawarkan penghasilan tinggi bagi mereka, untuk mewujudkan cita-cita perjuangan bersenjatanya ke Israel. Kekuatan Fatah meningkat lagi setelah
Arafat menawarkan penghasilan yang lebih tinggi kepada para rekrutan baru daripada anggota Tentara Pembebasan Palestina, sayap militer Organisasi Pembebasan Palestina, yang didirikan oleh Liga Arab pada tahun 1964. Pada 31 Desember, satu regu dari al-Assifa, sayap militer asli Fatah, berusaha untuk menginfiltrasi ke wilayah Israel, tetapi mereka berhasil dihalangi dan ditangkap oleh pasukan keamanan Lebanon. Beberapa serangan dari pasukan bersenjata Fatah yang tidak terlatih dan kekurangan persenjataan menyusul infiltrasi ini. Beberapa percobaan berhasil, tetapi yang lain gagal dalam misi mereka.
Arafat kerap memimpin serangan-serangan ini secara langsung.
Arafat ditahan di penjara Mezzeh di Suriah ketika seorang perwira Angkatan Darat Suriah asal Palestina, Yusef Urabi, terbunuh. Urabi telah memimpin sebuah pertemuan untuk meredakan ketegangan antara
Arafat dan pemimpin Front Pembebasan Palestina Ahmed Jibril, namun keduanya menolak hadir dan mengirim perwakilan masing-masing. Terdapat perselisihan apakah Urabi terbunuh pada saat pertemuan atau setelahnya. Atas perintah Menteri Pertahanan Hafez al-Assad, seorang kawan dekat Urabi,
Arafat ditahan, dinyatakan bersalah oleh tiga orang juri dan dijatuhi hukuman mati. Tetapi, dia dan para koleganya diberikan pengampunan oleh Presiden Salah Jadid sesaat setelah vonis tersebut. Insiden ini membuat hubungan Assad dan
Arafat tidak harmonis, yang kelak mengemuka setelah Assad menjadi Presiden Suriah.
= Perang Enam Hari
=
Pada 13 November 1966, Israel melancarkan serangan atas kota as-Samu di wilayah Tepi Barat yang diperintah oleh Yordania, sebagai pembalasan untuk Fatah akibat bom-bom tepi jalan yang mereka pasang berhasil menewaskan tiga orang anggota pasukan keamanan Israel di dekat sebelah selatan perbatasan Garis Hijau. Beberapa anggota pasukan keamanan Yordania tewas dan 125 rumah dihancurkan. Serangan ini menjadi salah satu penyebab pecahnya Perang Enam Hari pada 1967.
Perang Enam Hari dimulai setelah Israel melancarkan serangan udara atas Angkatan Udara Mesir pada 5 Juni 1967. Pertempuran berakhir dengan kekalahan di pihak Arab dan pendudukan Israel atas beberapa wilayah yang sebelumnya menjadi wilayah negara Arab, termasuk Tepi Barat dan Jalur Gaza. Meskipun Nasser dan sekutu-sekutu Arabnya terkalahkan,
Arafat dan Fatah dapat mengklaim kemenangan, terutama karena mayoritas rakyat Palestina yang saat itu masih berfaksi dan bersimpati kepada negara-negara Arab tertentu, mulai memilih solusi "Palestina oleh Palestina" yang ditawarkan oleh
Arafat. Banyak faksi politik utama Palestina, seperti Pergerakan Nasionalis Arab pimpinan George Habash, Komite Tinggi Arab pimpinan Mohammad Amin al-Husayni, Front Pembebasan Islam dan beberapa organisasi yang didukung oleh Suriah, nyaris bubar setelah kekalahan negara yang mereka dukung. Sekitar seminggu setelah kekalahan itu,
Arafat menyamar melintasi Sungai Yordan dan memasuki Tepi Barat, di mana dia mendirikan pusat perekrutan anggota baru di Hebron, sekitar Yerusalem, dan juga Nablus, dan mulai menarik simpati pejuang dan penyumbang pada saat yang sama.
Pada waktu yang sama, Nasser menghubungi
Arafat lewat mantan penasihatnya Mohamed Hassanein Heikal, dan Nasser mendeklarasikan
Arafat sebagai "pemimpin bangsa Palestina." Pada Desember 1967, Ahmad Shukeiri mengundurkan diri dari posisinya sebagai Ketua Organisasi Pembebasan Palestina, dan Yahya Hammuda menggantikannya. Hammuda mengajak
Arafat untuk bergabung dengan organisasi tersebut, dan Fatah mendapat 33 dari 105 kursi di Komite Eksekutif, sementara 57 kursi sisanya dialokasikan untuk beberapa faksi perjuangan lainnya.
= Pertempuran Karameh
=
Sepanjang 1968, Fatah dan kelompok bersenjata Palestina lainnya menjadi sasaran operasi tentara Israel di desa Karameh di Yordania, di mana terdapat markas Fatah dan sebuah kamp pengungsi Palestina berukuran sedang. Nama desa tersebut berarti "kehormatan", yang menaikkan simbolismenya di mata bangsa Arab, terutama setelah kekalahan bersama mereka pada 1967. Operasi ini merupakan pembalasan dari serangan-serangan kelompok Palestina, termasuk serangan roket dari Fatah dan milisi lainnya yang menyasar Tepi Barat. Menurut Said Aburish, pemerintah Yordania dan beberapa komandan Fatah memberitahu
Arafat bahwa Israel sedang menyiapkan operasi militer besar-besaran untuk menyerang desa itu. Kabar ini membuat grup fedayeen, seperti Front Populer Pembebasan Palestina (PFLP) pimpinan George Habash dan sempalannya, Front Demokratik untuk Pembebasan Palestina (DFLP) pimpinan Nayef Hawatmeh, menarik pasukan mereka dari sana. Walaupun disarankan untuk menarik mundur pasukannya ke perbukitan terdekat oleh seorang komandan divisi Yordania yang pro-Fatah,
Arafat menolak,
Arafat menyatakan, "kami ingin meyakinkan dunia bahwa ada satu kelompok di dunia Arab yang tidak akan mundur atau melarikan diri." Aburish menulis bahwa pasukan Fatah bertahan di desa tersebut atas perintah
Arafat, dan Angkatan Darat Yordania setuju untuk membantu mereka jika terjadi pertempuran hebat.
Pada malam 21 Maret, Israel menyerang Karameh dengan persenjataan berat, kendaraan berlapis baja, dan jet tempur. Pasukan Fatah bertahan di posisinya, sesuatu yang mengejutkan pasukan Israel. Setelah Israel mengintensifkan serangan, pasukan Yordania mulai memasuki arena tempur, mengakibatkan Israel untuk menarik pasukannya untuk menghindari konflik meluas. Setelah pertempuran berakhir, sekitar 150 milisi Fatah terbunuh, dan sekitar jumlah itu pula yang ditawan. Sekitar 44 tentara Yordania dan 28 pasukan Israel juga terbunuh. Meskipun kematian lebih banyak diderita pihak Fatah dan Yordania dan fakta bahwa pertempuran tersebut berakhir setelah Israel menarik diri, Fatah menganggap mereka memenangi pertempuran tersebut karena penarikan diri Israel. Beberapa orang menduga bahwa
Arafat sendiri yang memimpin pasukannya di medan pertempuran, namun detail keterlibatannya sendiri tidak jelas. Namun, sekutu-sekutunya (dan juga Mossad) mengonfirmasi bahwa
Arafat terus mendesak anak buahnya untuk tetap bertahan di posisi mereka dan terus melawan.
Pertempuran ini diliput secara mendetail oleh Time, dan wajah
Arafat muncul di sampul edisi 13 Desember 1968, mengorbitkannya ke pentas dunia untuk pertama kali. Di tengah suasana pasca-perang, citra
Arafat dan Fatah naik oleh titik balik penting ini, dan dia mulai dianggap sebagai seorang pahlawan nasional yang berani menghadapi Israel. Dengan dukungan massal dari dunia Arab, sumbangan finansial melonjak naik, dan persenjataan dan perbekalan militer Fatah bertambah. Jumlah anggota organisasi ini mulai bertambah dengan bergabungnya banyak pemuda Arab, termasuk ribuan yang bukan berasal dari Palestina.
Ketika Dewan Nasional Palestina bertemu di Kairo pada 3 Februari 1969, Yahya Hammuda menyatakan pengunduran dirinya dari jabatan ketua PLO.
Arafat terpilih menggantikannya pada keesokan harinya. Ia menjadi komandan tertinggi Angkatan Revolusioner Palestina dua tahun kemudian, dan menjadi kepala departemen politik PLO pada 1973.
= Yordania
=
Padan akhir 1960-an, ketegangan antara warga Palestina dan pemerintah Yordania mulai memuncak; kelompok-kelompok bersenjata Palestina telah membuat keadaan "negara dalam negara" di Yordania, dan menguasai beberapa posisi strategis. Setelah memproklamasikan kemenangan di Karameh, Fatah dan milisi Palestina lainnya mulai menguasai kehidupan publik di Yordania. Mereka menghambat jalan-jalan, mempermalukan kepolisian Yordania secara terbuka, melecehkan kaum perempuan dan memungut pajak-pajak ilegal: semuanya dibiarkan atau diabaikan oleh
Arafat. Raja Hussein menganggap aksi-aksi sepihak ini sebagai ancaman yang berkembang terhadap kedaulatan dan keamanan negaranya, dan berusaha untuk melucti persenjataan para milisi. Namun, dalam upaya menghindar konfrontasi fisik dari pasukan-pasukan tersebut, Hussein mencopot beberapa anggota kabinetnya yang anti-PLO, termasuk beberapa anggota keluarganya sendiri, dan menawarkan jabatan Perdana Menteri Yordania kepada
Arafat. Tawaran ini ditolaknya, atas alasan kepercayaannya bahwa harus ada sebuah negara Palestina yang dipimpin oleh orang Palestina sendiri.
Meskipun Raja Hussein berusaha menghalanginya, aksi milisi di Yordania berlanjut. Pada 15 September 1970, PFLP pimpinan George Habash membajak lima pesawat dan mendaratkan tiga di antaranya di Dawson's Field, terletak 30 mil (48 km) sebelah timur Amman. Setelah para penumpang dipaksa keluar dari pesawat, ketiga pesawat tersebut diledakkan. Peristiwa ini menjatuhkan citra
Arafat di dunia Barat, termasuk Amerika Serikat yang menganggapnya bertanggungjawab mengendalikan faksi Palestina di PLO.
Arafat, dibayangi tekanan oleh negara-negara Arab, secara terbuka mengutuk pembajakan tersebut dan membekukan PFLP dari aksi-aksi gerilya selama beberapa pekan; tindakan yang sama dilakukannya setelah PFLP menyerang Bandar Udara Internasional Athena. Pemerintah Yordania bergerak untuk mengambil alih wilayahnya, dan keesokan harinya, Raja Hussein mengumumkan keadaan darurat militer. Pada hari yang sama,
Arafat menjadi panglima tertinggi PLA.
Sementara perang berkecamuk, negara-negara Arab lainnya berusaha untuk menegosiasikan perjanjian damai. Sebagai bagian dari usaha ini, Gamal Abdel Nasser memimpin sebuah KTT Liga Arab di Kairo pada 21 September. Pidato
Arafat mengundang simpati dari pemimpin-pemimpin Arab yang hadir. Kepala negara lainnya mengambil sikap berseberangan dengan Hussein, termasuk di antaranya Muammar Gaddafi yang mencemoohnya dan ayahnya yang menderita skizofrenia, Raja Talal. Gencatan senjata disepakati oleh kedua belah pihak, namun Nasser meninggal dunia karena serangan jantung beberapa jam setelah konferensi selesai, dan konflik dimulai lagi segera setelah itu.
Pada 25 September, tentara Yordania telah mengambil alih dominasi, dan dua hari kemudian
Arafat dan Raja Hussein menyetujui gencatan senjata di Amman. Militer Yordania menyebabkan ribuan warga Palestina menjadi korban, termasuk warga sipil. Angka korban mencapai 3,500 orang. Setelah berbagai pelanggaran gencatan senjata dari kedua belah pihak,
Arafat akhirnya menyerukan penggulingan Raja Hussein. Yordania membalas dengan memerintahkan pengusiran seluruh pejuang Palestina dari wilayah utara negara itu pada Juni 1971. Pengusiran tersebut itu berhasil, dan
Arafat beserta para tangan kanannya terpaksa menyingkir ke sudut-sudut utara Yordania. Mereka menyingkir ke kota Jerash, yang terletak dekat dengan perbatasan Suriah. Dengan bantuan Munib Masri, seorang anggota kabinet Yordania pro-Palestina dan Fahd al-Khomeimi, duta besar Arab Saudi untuk Yordania,
Arafat berhasil memasuki Suriah bersama sekitar dua ribu pejuangnya. Tetapi, karena hubungan buruk antara
Arafat dan Presiden Hafez al-Assad (yang sebelumnya mengudeta Salah Jadid), para pejuang melintas batas sekali lagi, dan memasuki Lebanon, di mana mereka bergabung dengan pejuang PLO setempat dan mendirikan markas baru.
= Pengakuan resmi
=
Karena pemerintahan pusat Lebanon yang lemah, PLO dapat menjalankan pemerintahan virtual di wilayah tersebut. Pada masa-masa ini, beberapa faksi kiri PLO mengangkat senjata melawan Israel, melakukan serangan-serangan terhadap warga sipil dan juga menyasar militer, baik di dalam maupun luar Israel.
Dua peristiwa utama terjadi pada 1972. Organisasi cabang Fatah, Black September membajak sebuah penerbangan Sabena dalam perjalanan ke Wina, dan memaksanya mendarat di Bandar Udara Internasional Ben Gurion di Lod, Israel. PFLP dan Tentara Merah Jepang melakukan penembakan di bandar udara yang sama, membunuh dua puluh empat warga sipil. Israel kemudian mengklaim bahwa pembunuhan juru bicara PFLP Ghassan Kanafani merupakan pembalasan atas keterlibatan PFLP dalam merancang serangan sebelumnya. Dua hari kemudian, berbagai faksi PLO membalas dengan meledakkan sebuah terminal bus, membunuh sebelas warga sipil.
Tujuan dasar kami adalah untuk membebaskan wilayah dari Laut Mediterania hingga Sungai Yordan. Kami tidak peduli dengan apa yang terjadi pada Juni 1967 atau mengeliminasi konsekuensi perang pada bulan Juni. Apa yang menjadi kepedulian utama revolusi Palestina adalah mencabut akar-akar entitas Zioinis dari tanah kami dan membebaskannya.
Pada Olimpiade Musim Panas 1972 di München, Black September menculik dan membunuh sebelas atlet Israel. Beberapa sumber, termasuk Mohammad Oudeh ("Abu Daoud"), salah satu otak serangan dan Benny Morris, seorang sejarawan Israel, menyatakan bahwa Black September adalah sayap bersenjata Fatah yang digunakan untuk operasi-operasi paramiliter. Menurut buku Abu Daoud yang diterbitkan pada 1999, "
Arafat diberi penjelasan mengenai rencana penculikan di München." Dunia internasional mengutuk serangan ini. Pada 1973–74,
Arafat membubarkan Black September, dan memerintahkan PLO untuk menghentikan aksi kekerasan di luar Israel, Tepi Barat, dan Jalur Gaza.
Pada 1974, Dewan Nasional menyetujui Program Sepuluh Poin yang dirumuskan
Arafat dan para penasihatnya, dan mengusulkan sebuah kompromi dengan Israel. Dewan menyerukan pendirian sebuah otoritas nasional Palestina sebagai pemerintah setiap wilayah "bebas" Palestina, yang merujuk pada wilayah-wilayah yang dikuasai pasukan Arab pada perang 1948 (Tepi Barat, Yerusalem Timur dan Jalur Gaza). Ini menimbulkan ketegangan di antara beberapa faksi PLO; PFLP, DFLP dan beberapa faksi lainnya mendirikan organisasi sempalan, Front Penolak.
Israel dan Amerika menduga bahwa
Arafat juga terlibat dalam serangan kedutaan Arab Saudi di Khartoum pada 1973, di mana lima orang diplomat dan lima lainnya terbunuh. Sebuah dokumen Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tahun 1973, yang dibuka pada 2006, menyimpulkan bahwa "operasi di Khartoum dirancang dan dilaksanakan dengan pengetahuan penuh dan persetujuan pribadi dari
Yasser Arafat."
Arafat menolak keterlibatan apa pun dalam serangan ini, dan menyatakan bahwa operasi tersebut dijalankan sendiri oleh Black September. Israel mengklaim bahwa
Arafat mengendalikan penuh organisasi ini, dan dituduh telah tidak sepenuhnya meninggalkan cara-cara perjuangan bersenjata.
Hari ini saya datang membawa sebuah ranting zaitun dan senapan pejuang kebebasan. Jangan biarkan ranting zaitun jatuh dari tangan saya.
Tetapi, beberapa orang berpengaruh di Departemen Luar Negeri Amerika juga memandang
Arafat sebagai seorang diplomat ulung dan negosiator yang dapat mengumpulkan dukungan dari negara-negara Arab. Dokumen lain bertanggal Maret 1973 menunjukkan bahwa
Arafat berusaha untuk mengatur sebuah pertemuan antara Presiden Irak dan Emir Kuwait untuk menyelesaikan sengketa mereka.
Pada 1974, PLO dideklarasikan sebagai "satu-satunya perwakilan rakyat Palestina yang sah" dan mendapatkan keanggotaan penuh Liga Arab pada KTT di Rabat.
Arafat menjadi perwakilan organisasi nonpemerintah pertama yang berbicara di sidang paripurna Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa. Dalam pidatonya di PBB,
Arafat mengutuk Zionisme, tetapi juga membahas mengenai perdamaian. Ia memakai sarung pistol selama berpidato, walaupun tidak membawa senjata apapun. Pidatonya meningkatkan simpati dunia internasional terhadap Palestina.
Setelah pengakuan resmi tersebut,
Arafat menjalin hubungan dengan berbagai pemimpin dunia, termasuk Saddam Hussein dan Idi Amin.
Arafat bahkan menjadi pengiring Amin saat pernikahannya di Uganda pada 1975.
= Perang Saudara Lebanon
=
Walau awalnya ragu-ragu untuk ikut dalam perang ini,
Arafat dan Fatah memainkan perang penting selama Perang Saudara Lebanon. Mengalah pada tekanan dari organisasi-organisasi cabang PLO seperti PFLP, DFLP dan Front Pembebasan Palestina (PLF),
Arafat membawa PLO bertempur di pihak komunis dan Gerakan Nasional Lebanon (LNM) yang berhaluan Nasseris. LNM, dipimpin oleh Kamal Jumblatt, yang mempunyai hubungan baik dengan
Arafat dan pemimpin PLO lainnya.
Presiden Suriah Hafez al-Assad pada awalnya mendukung Fatah, tetapi kemudian berbalik menentang mereka karena ketakutan akan kehilangan pengaruh di Lebanon. Assad mengirim tentaranya sendiri, diikuti faksi Palestina as-Sa'iqa yang disponsorinya dan Front Populer untuk Pembebasan Palestina - Komando Umum (PFLP-GC) yang dipimpin oleh Ahmed Jibril untuk bertempur bersama radikal Kristen sayap kanan, berhadap-hadapan dengan PLO dan LNM. Unsur-unsur utama barisan Kristen adalah kaum Falangis Maronite yang setia pada Bachir Gemayel dan Tigers Militia yang dipimpin Dany Chamoun, putra mantan presiden Camille Chamoun.
Pada Februari 1975, seorang anggota parlemen Lebanon pro-Palestina yang berpengaruh, Maarouf Saad, ditembak dan tewas, diduga oleh Angkatan Darat Lebanon. Kematiannya, dan pembantaian 27 orang Palestina dan Lebanon yang bepergian menggunakan bus dari Sabra dan Shatila ke kamp Tel al-Zaatar oleh pasukan Falangis, memicu pecahnya pembalasan demi pembalasan.
Arafat enggan menanggapi dengan kekuatan, tetapi banyak anggota Fatah dan PLO lainnya merasa sebaliknya. Contohnya, DFLP melakukan beberapa serangan terhadap angkatan darat Lebanon. Pada 1976, persekutuan milisi-milisi Kristen yang didukung pemerintah Lebanon dan angkatan darat Suriah mengepung kamp Tel al-Zaatar di sebelah timur Beirut. PLO dan LNM membalas dengan menyerang Damour, basis kekuatan Falangis. 684 orang dibunuh dan lebih banyak yang terluka. Tel al-Zaatar jatuh ke tangan milisi Kristen setelah pengepungan enam bulan, menyebabkan ribuan pengungsi Palestina terbunuh.
Arafat dan Abu Jihad menyalahkan diri mereka sendiri karena gagal menyusun sebuah rencana penyelamatan pengungsi.
Serangan lintas batas PLO atas Israel meningkat pada akhir 1970-an. Salah satu yang paling berbahaya, dikenal sebagai pembantaian Coastal Road, terjadi pada 11 Maret 1978. Sekitar selusin pejuang Fatah mendaratkan perahu mereka di dekat sebuah jalan pesisir yang menghubungan kota Haifa dan Tel Aviv. Di sana mereka membajak sebuah bus, menembak di dalamnya dan ke kendaraan lain yang sedang lewat, membunuh tiga puluh tujuh warga sipil. Sebagai balasannya, Israel melancarkan Operasi Litani tiga hari kemudian, dengan tujuan merebut kendali atas wilayah selatan Lebanon hingga Sungai Litani. Israel berhasil menang, dan
Arafat menarik pasukannya ke utara, menuju Beirut.
Setelah Israel menarik diri dari Lebanon, konflik lintas batas antara PLO dan Israel berlanjut, meskipun antara Agustus 1981 hingga Mei 1982, PLO mengadopsi kebijakan sepihak untuk menolak merespon provokasi. Beirut dikepung dan dibombardir oleh Israel; dan
Arafat mendeklarasikan kota itu sebagai "Hanoi dan Stalingrad untuk tentara Israel." Fase pertama perang berakhir dan
Arafat (yang tengah memimpin pasukan Fatah di Tel al-Zaatar) berhasil menyelamatkan diri dengan bantuan diplomat Saudi dan Kuwait. Menjelang berakhirnya pengepungan, Amerika dan negara-negara Eropa mengusahakan sebuah persetujuan untuk menjamin keamanan
Arafat dan PLO, dikawal oleh sebuah pasukan multinasional beranggotakan delapan ratus prajurit Korps Marinir Amerika Serikat didukung oleh Angkatan Laut, menuju pengasingan di Tunis.
Arafat kembali ke Lebanon setahun setelah dia meninggalkan Beirut, kali ini membangun basisnya di kota wilayah utara Tripoli. Kali ini
Arafat diusir oleh seorang kolega Palestina yang bekerja di bawah Hafez al-Assad.
Arafat tidak kembali lagi ke Lebanon setelah kepergian keduanya, meskipun banyak pejuang Fatah yang kembali.
= Tunisia dan Intifada pertama
=
Hingga 1993, pusat operasi
Arafat dan Fatah terletak di Tunis, ibu kota Tunisia. Pada 1985, dia selamat dari percobaan pembunuhan dari tentara Israel ketika beberapa F15 membombardir markasnya di sana sebagai bagian dari Operation Wooden Leg.
Pada tahun 1980-an,
Arafat menerima bantuan keuangan dari Libya, Irak, dan Arab Saudi, yang dapat membantunya membangun kembali PLO yang terserak karena perang. Bantuan ini terbukti berguna saat pecahnya Intifada Pertama pada Desember 1987, yang dimulai sebagai sebuah kebangkitan rakyat Palestina menentang pendudukan Israel atas Tepi Barat dan Jalur Gaza. Kata "intifada" dalam bahasa Arab secara harfiah berarti "getaran", tetapi secara umum dipakai untuk menyebut sebuah kebangkitan atau revolusi.
Fase pertama Intifada dimulai dengan sebuah insiden di pintu perbatasan Erez, di mana empat warga Palestina dari kamp pengungsi Jabaliya terbunuh dalam sebuah kecelakaan lalu lintas yang melibatkan seorang pengemudi Israel. Kabar merebak bahwa kematian tersebut merupakan aksi balas dendam dari kejadian pembunuhan seorang Israel yang tengah berbelanja di Gaza oleh seorang Palestina empat hari sebelumnya. Kerusuhan massal meledak sepanjang pekan, dan sebagian atas permintaan Abu Jihad,
Arafat berusaha mengarahkan revolusi baru ini, yang berlanjut hingga 1992–93. Abu Jihad sebelumnya ditugaskan sebagai pemimpin komando PLO di wilayah Palestina dan menurut biografer Said Aburish, mempunyai "pengetahuan luar biasa mengenai kondisi setempat" dalam wilayah-wilayah yang dikuasai Israel. Pada 16 April 1988, saat Intifada tengah membara, Abu Jihad dibunuh di rumahnya di Tunis, diduga oleh regu tembak Israel.
Arafat memandang Abu Jihad sebagai penyeimbang dari PLO pada kepemimpinan setempat di Palestina, dan memimpin prosesi pemakamannya di Damaskus.
Taktik paling umum yang digunakan oleh rakyat Palestina selama Intifada adalah melempar batu, bom molotov, dan membakar ban. Beberapa pemimpin setempat di kota-kota Tepi Barat melakukan protes tanpa kekerasan terhadap pendudukan Israel dengan menolak membayar pajak dan memboikot barang-barang Israel; Israel kemudian merespon dengan merampas sejumlah besar uang dalam razia rumah ke rumah rakyat. Di saat Intifada mulai akan selesai, kelompok bersenjata Palestina baru muncul, terutama Hamas dan Jihad Islam Palestina, yang mulai melancarkan serangan terhadap Israel menggunakan taktik bom bunuh diri. Kecamuk internal antara rakyat Palestina meningkat secara dramatis.
Perjuangan damai
= Perubahan haluan
=
Pada 15 November 1988, PLO memproklamirkan kemerdekaan Negara Palestina. Pada pidato-pidatonya tanggal 13 dan 14 Desember,
Arafat menyatakan menerima Resolusi 242 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, hak Israel untuk "hidup dalam kedamaian dan keamanan", dan menolak "terorisme dalam seluruh bentuknya, termasuk terorisme yang didukung oleh negara." Pernyataan
Arafat disambut baik oleh Amerika Serikat, yang telah lama mendesak pernyataan seperti ini sebagai titik mulai perundingan resmi antara Amerika dan PLO. Kata-kata
Arafat ini juga mengindikasikan bahwa PLO telah meninggalkan salah satu dari tujuan utamanya: penghancuran Israel (seperti yang dinyatakan secara eksplisit dalam Piagam Nasional Palestina), dan menuju pendirian dua entitas yang berbeda: sebuah negara Israel dengan garis perbatasan 1949, dan sebuah negara Arab di Tepi Barat dan Jalur Gaza.Pada 2 April 1989,
Arafat dipilih oleh Dewan Pusat Dewan Nasional Palestina, badan tertinggi PLO, untuk menjadi Presiden Palestina yang pertama.
Sebelum Perang Teluk pada 1990–91, ketika arus Intifada mulai melemah,
Arafat mendukung invasi Saddam Hussein atas Kuwait dan menentang serangan koalisi pimpinan Amerika atas Irak. Dia mengambil keputusan ini tanpa melibatkan pemimpin Fatah dan PLO lainnya. Tangan kanan
Arafat, Abu Iyad, menyatakan tetap netral dan menentang sebuah persekutuan dengan Saddam; pada 17 Januari 1991, dia dibunuh oleh organisasi Abu Nidal.
Keputusan
Arafat ini juga memperburuk hubungan dengan Mesir dan negara-negara Arab penghasil minyak lainnya, yang mendukung koalisi pimpinan Amerika. Banyak warga Amerika juga menganggap posisi
Arafat terhadap Irak sebagai alasan untuk tidak menganggapnya sebagai rekan untuk perdamaian Palestina. Setelah berakhirnya perang, banyak negara Arab yang mendukung koalisi memotong dana bantuan ke PLO dan mulai menyumbang ke organisasi rivalnya seperti Hamas, dan juga faksi Islamis lainnya.
= Perjanjian Oslo
=
Pada awal 1990-an,
Arafat dan para pemimpin Fatah lainnya mulai terlibat dalam serangkaian perundingan rahasia dengan Israel, yang membuahkan Perjanjian Oslo pada 1993. Persetujuan ini menyetujui implementasi pemerintahan Palestina yang berdaulat di Tepi Barat dan Jalur Gaza selama lima tahun, diikuti pembatalan dan pemindahan secara bertahap seluruh permukiman Israel di sana. Perjanjian ini mengamanatkan pendirian sebuah pasukan keamanan Palestina yang beranggotakan warga lokal dan perantauan, untuk menjaga keamanan Palestina. Pemerintahan sementara Palestina bertanggungjawab atas pendidikan, kebudayaan, kesejahteraan sosial, pajak, dan pariwisata. Kedua belah pihak juga menyetujui pendirian komite kerja sama dan koordinasi dalam bidang ekonomi, termasuk infrastruktur, industri, perdagangan, dan komunikasi.
Sebelum penandatangan perjanjian,
Arafat sebagai Ketua PLO dan perwakilan resminya, menandatangani dua surat yang secara resmi menanggalkan perjuangan dengan kekerasan dan mengakui Israel secara resmi. Perdana Menteri Yitzhak Rabin, mewakili Israel, juga secara resmi mengakui PLO.
Tahun berikutnya,
Arafat dan Rabin dianugerahkan Hadiah Nobel Perdamaian, bersama Shimon Peres.
Reaksi rakyat Palestina umumnya campur aduk. Front Penolak di PLO yang bersekutu dengan kaum Islamis mengambil sikap menentang. Perjanjian itu juga ditolak oleh sebagian besar pengungsi Palestina di Lebanon, Suriah, dan Yordania, dan juga oleh banyak intelektual Palestina dan pemimpin setempat di wilayah Palestina. Tetapi, warga Palestina sendiri secara umum menerima perjanjian ini, terutama karena janji
Arafat untuk perdamaian dan kesejahteraan ekonomi.
= Membentuk Otoritas Nasional
=
Sebagai implementasi dari perjanjian Oslo,
Arafat diminta untuk mendirikan otoritas PLO di Tepi Barat di Jalur Gaza.
Arafat bersikeras bahwa dukungan finansial untuk otoritas baru ini adalah sangat penting, dan dia memerlukannya untuk mengamankan dukungan atas perjanjian itu dari warga Palestina yang tinggal di daerah-daerah yang akan diperintah oleh otoritas. Namun, negara-negara Arab di Teluk (yang biasanya mendukung
Arafat dan menyediakannya dana) tetap menolak untuk memberi PLO dana dalam bentuk apapun karena dukungan
Arafat kepada Iraq dalam Perang Teluk pada 1991. Ahmed Qurei, salah satu negosiator PLO di Oslo, mengumumkan bahwa PLO telah bangkrut.
Pada 1994,
Arafat pindah ke Kota Gaza, salah satu wilayah yang dikendalikan oleh Otoritas Nasional Palestina (PNA), entitas pemerintahan sementara yang terbentuk hasil Perjanjian Oslo.
Arafat menjadi Presiden dan Perdana Menteri PNA, Panglima Tentara Pembebasan Palestina, dan Ketua Dewan Legislatif Palestina. Pada bulan Juli, setelah PNA dideklarasikan sebagai pemerintahan resmi Palestina, Basic Laws of the Palestinian National Authority dipublikasikan dalam tiga versi yang berbeda oleh PLO.
Arafat bergerak terus dengan menciptakan struktur pemerintahan PNA. Ia mendirikan Komite Eksekutif PLO, sebuah kabinet yang beranggotakan dua puluh orang.
Arafat juga memanfaatkan kekuasaan barunya ini untuk mengganti dan menunjuk para wali kota dan anggota dewan kota untuk kota-kota besar seperti Gaza dan Nablus. Dia mulai mengatur organisasi-organisasi nonpemerintah yang bekerja di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial di bawah otoritasnya dengan mengganti pemimpin dan direktur mereka dengan pejabat-pejabat PNA.
Arafat kemudian mengangkat dirinya sendiri sebagai ketua organisasi keuangan Palestina yang didirikan oleh Bank Dunia untuk mengendalikan dana bantuan untuk entitas baru Palestina ini.
Arafat mendirikan sebuah kepolisian Palestina, dinamai Preventive Security Service (PSS), yang mulai bertugas pada 13 Mei. Kepolisian ini kebanyakan beranggotakan tentara-tentara Palestina dan sukarelawan asing di Palestina.
Arafat menunjuk Mohammed Dahlan dan Jibril Rajoub untuk mengetuai kepolisian ini.
Selama November hingga Desember 1995,
Arafat berkeliling di beberapa kota Palestina yang telah dibebaskan dari pasukan Israel, seperti Jenin, Ramallah, al-Bireh, Nablus, Qalqilyah, and Tulkarm, dan mendeklarasikan bahwa kota-kota tersebut telah dibebaskan. Pada saat yang sama, Otoritas Nasional juga merebut kendali atas layanan pos di Tepi Barat.
Pada 20 Januari 1996,
Arafat terpilih sebagai Presiden Otoritas Nasional, dengan meraih suara mayoritas 88,2% (kandidat lainnya adalah pengorganisir acara amal Samiha Khalil). Namun, karena Hamas, DFLP, dan pergerakan oposisi lainnya memilih untuk memboikot pemilihan ini, pilihan kandidat presiden menjadi terbatas. Kemenangan mutlak
Arafat ini memastikan pula dominasi Fatah di Dewan Legislatif, di mana mereka menguasai 51 dari 88 kursi. Setelah
Arafat terpilih, dia mulai kerap dipanggil "Ra'is', (secara harfiah berarti "presiden" dalam bahasa Arab), meskipun dia sendiri menyebut dirinya sebagai "jenderal". Pada 1997, Dewan Legislatif menuduh cabang eksekutif PNA telah melakukan salah urus keuangan negara, sehingga menyebabkan pengunduran diri empat anggota kabinet
Arafat, meski dia sendiri menolak mengundurkan diri dari posisinya.
= Perjanjian damai lainnya
=
Pada pertengahan 1996, Benjamin Netanyahu terpilih menjadi Perdana Menteri Israel dengan selisih suara hanya satu persen. Hubungan Palestine-Israel semakin memanas, buah dari konflik yang berlanjut. Meskipun adanya perjanjian antara Israel dan PLO, Netanyahu menolak status negara Palestine. Pada 1998, Presiden Amerika Serikat Bill Clinton berusaha membujuk kedua pemimpin ini untuk bertemu. Hasil pertemuan tersebut adalah Memorandum Wye River, yang merinci langkah-langkah yang akan diambil oleh kedua belah pihak untuk menyempurnakan proses perdamaian.
Arafat melanjutkan negosiasi dengan pengganti Netanyahu, Ehud Barak, pada pertemuan di Camp David, bulan Juli 2000. Dipengaruhi oleh ideologi politik (Barak berasal dari Partai Buruh yang berideologi kiri, sedang Netanyahu berasal dari partai sayap kanan Likud) dan karena desakan kompromi oleh Presiden Clinton, Barak menawarkan
Arafat sebuah negara Palestina yang terdiri atas 73 persen dari Tepi Barat dan seluruh Jalur Gaza. Persentase kedaulatan Palestina atas Tepi Barat akan bertambah sampai 90 persen dalam jangka waktu sepuluh hingga dua puluh lima tahun. Barak turut menawarkan pemulangan pengungsi dalam jumlah kecil dan kompensasi untuk mereka yang tidak diperbolehkan kembali. Otoritas Palestina juga akan mempunyai hak "penjagaan" atas Al-Haram asy-Syarif, kedaulatan atas seluruh situs suci umat Islam dan Kristen, serta tiga perempat atas Old Quarter di Yerusalem.
Arafat menolak tawaran ini, dan tidak memberikan tawaran balasan dengan segera. Dia memberitahu Presiden Clinton bahwa "seorang pemimpin Arab yang bersedia menyerahkan Yerusalem belumlah lahir."
Setelah pecahnya Intifadhah al-Aqsha pada bulan September 2000, negosiasi berlanjut di Pertemuan Taba pada Januari 2001; kali ini Ehud Barak tak menghadiri pertemuan untuk berkampanye di pemilihan umum Israel. Pada Oktober dan Desember 2001, pengeboman buuh diri oleh kelompok militan Palestina mulai intensif, disusul serangan balasan dari Israel. Setelah terpilihnya Ariel Sharon pada bulan Februrari, negosiasi damai mulai melangkah mundur. Pemilihan umum Palestina yang dijadwalkan pada bulan Januari 2002 ditunda, dan alasan yang diberikan adalah keadaan darurat yang disebabkan oleh Intifadha, sehingga tidak memungkinkan adanya kampanye terbuka dan pemilihan umum. Pada bulan yang sama, Sharon memerintahkan pengepungan
Arafat di markas Mukata'a-nya di Ramallah, setelah sebuah serangan atas kota Hadera di Israel; Presiden Amerika Serikat George W. Bush mendukung langkah Sharon, seraya menyebut
Arafat sebagai "pengganggu perdamaian".
Akhir hayat
Laporan terawal tentang menurunnya kondisi kesehatan
Arafat dirilis pada 25 Oktober 2004, setelah ia muntah dalam sebuah rapat. Keadaannya menurun dalam beberhapa hari selanjutnya. Setelah kunjungan oleh dokter lain (termasuk tim dokter dari Tunisia, Yordania, Mesir), Israel setuju untuk memberikannya izin untuk menjalani perawatan di luar negeri.
Arafat dibawa ke Prancis dengan menggunakan pesawat dari pemerintah Prancis, dan dirawat di rumah sakit militer Percy di Clamart, pinggiran Paris. Pada 3 November, kondisinya semakin menurun menjadi koma.
Arafat diumumkan meninggalkan dunia pada pukul 3:30 AM UTC pada 11 November 2004, dalam usia 75 tahun. Tim dokter Prancis yang merawatnya menyatakan pendarahan hebat pada penyakit serebrovaskular sebagai penyebab kematiannya.
Pada awalnya, rekam medis
Arafat tidak dirilis oleh para pejabat tinggi Palestina, dan istrinya meminta agar tidak diselenggarakan otopsi. Tim dokter Prancis juga menyatakan bahwa
Arafat mengalami kondisi pendarahan yang disebut disseminated intravascular coagulation, meskipun tidak dapat dipastikan gangguan tersebut juga menyebabkan kematiannya.
Ketika berita kematian
Arafat diumumkan, rakyat Palestina berkabung duka; dengan bacaan Al-Qur'an dari pengeras suara di masjid-masjid sepanjang Tepi Barat dan Jalur Gaza, dan pembakaran ban di jalanan. Otoritas Palestina dan kamp-kamp pengungsi di Lebanon mengumumkan masa berkabung selama 40 hari.
= Pemakaman
=
Pada 11 November 2004, sepasukan Garda Kehormatan Angkatan Darat Prancis menyelenggarakan upacara penghormatan militer singkat untuk
Arafat, dengan keranda jenazahnya diselimuti dengan bendera Palestina. Sebuah band militer memainkan lagu kebangsaan Prancis dan Palestina, dan mars pemakaman Chopin.
Presiden Prancis Jacques Chirac berdiri di samping keranda
Arafat selama sepuluh menit untuk memberikan penghormatan terakhir pada seseorang yang ia sebut sebagai "lelaki yang penuh keberanian".
Keesokan harinya, jenazah
Arafat diterbangkan dari Paris dalam sebuah pesawat pengangkut milik Angkatan Udara Prancis menuju Kairo, Mesir, untuk upacara pemakaman militer singkat di sana yang dihadiri sejumlah kepala negara, kepala pemerintahan, dan menteri luar negeri. Ulama besar Mesir Sayed Tantawi memimpin salat jenazah sebelum upacara pemakaman tersebut.
Israel menolak keinginan
Arafat untuk dimakamkan dekat dengan Masjid al-Aqsa atau di mana saja dalam kota Yerusalem, mengkhawatirkan faktor keamanan. Israel juga mengkhawatiri bahwa pemakamannya akan memperkuat klaim Palestina atas Yerusalem Timur. Selepas upacara di Kairo,
Arafat kemudian dimakamkan sementara di Mukataa di Ramallah; puluhan ribu rakyat Palestina menghadiri upacara ini.
Arafat dimakamkan dalam sebuah keranda, dan juru bicara Otoritas Saeb Erekat mengatakan bahwa ia akan dimakamkan kembali di Yerusalem Timur setelah berdirinya sebuah negara Palestina. Setelah Sheikh Taissir Tamimi menemukan bahwa
Arafat tidak dimakamkan dengan baik (ia dimakamkan dengan keranda, yang menyalahi aturan pemakaman Islam), jenazahnya dimakamkan kembali pada pagi hari tanggal 13 November, sekitar pukul 3:00 dini hari.
Pada 10 November 2007, menjelang ulang tahun ketiga peringatan kematian
Arafat, Presiden Mahmoud Abbas meresmikan sebuah mausoleum yang didedikasikan untuknya.
Kehidupan pribadi
Pada 1990,
Arafat menikahi Suha Tawil, seorang Kristen Palestina. Dia berusia 61 tahun dan Suha 27 tahun pada saat pernikahan tersebut. Sebelumnya, ia bekerja sebagai sekretaris
Arafat di Tunis, setelah ibunya memperkenalkannya dengan
Arafat di Prancis. Sebelum menikah,
Arafat telah mengadopsi sekitar lima puluh anak yatim Palestina.
Pada 25 Juli 1995, Suha melahirkan putri mereka di Neuilly-sur-Seine, Prancis. Anak tersebut diberi nama Zahwa, yaitu nama mendiang ibu
Arafat.
Selama pernikahannya, Suha beberapa kali berusaha meninggalkan
Arafat, tetapi tidak diizinkan oleh suaminya. Ia menyesali pernikahannya dengan
Arafat, dan mengatakan jika ia diberi satu peluang lagi, ia tidak akan menikahinya.
Arafat pernah nyaris tewas pada 7 April 1992, yaitu ketika pesawat Air Bissau yang ditumpanginya jatuh di Gurun Libya akibat terserang badai pasir. Seorang pilot dan seorang insinyur meninggal dunia; sedangkan
Arafat hanya mengalami memar dan syok.
Sumber
= Catatan kaki dan referensi
=
= Bacaan lanjut
=
Aburish, Said K. (1998).
Arafat: From Defender to Dictator. New York: Bloomsbury Publishing. ISBN 978-1-58234-049-4.
Gowers, Andrew; Tony Walker (2005).
Arafat: The Biography. Virgin Books. ISBN 978-1-85227-924-0.
Hart, Alan (1994).
Arafat. Sidgwick & Jackson. ISBN 978-0-283-06220-9.
Karsh, Efraim (2003).
Arafat's War: The Man and His Battle for Israeli Conquest. New York: Grove Press. ISBN 978-0-8021-1758-8.
Livingstone, Neil (1990). Inside the PLO. Reader's Digest Association. ISBN 978-0-7090-4548-9.
Rubin, Barry M.; Judith Colp Rubin (2003). Yasir
Arafat: A Political Biography. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-516689-7.
Rubenstein, Danny; Dan Leon (1995). The Mystery of
Arafat. Steerforth Press. ISBN 978-1-883642-10-5.
Sela, Avraham. "
Arafat,
Yasser." The Continuum Political Encyclopedia of the Middle East. Ed. Sela. New York: Continuum, 2002. pp. 166–171.
Wallach, Janet (1990).
Arafat: In the Eyes of the Beholder. Lyle Stuart. ISBN 978-0-8184-0533-4.
Pranala luar
Situs web resmi
Biography of
Yasser Arafat at Nobelprize.org
Yasser Arafat (1929–2004) Diarsipkan 2012-02-29 di Wayback Machine. at PASSIA
A Life in Retrospect:
Yasser Arafat Diarsipkan 2013-05-21 di Wayback Machine., Time
Life and times of Yassir
Arafat, Profile: Yassir
Arafat, The Times
Kemunculan di C-SPAN
Yasser Arafat di IMDb (dalam bahasa Inggris)
(Inggris) Karya atau profil mengenai
Yasser Arafat di perpustakaan (katalog WorldCat)
Yasser Arafat collected news and commentary at The Jerusalem Post
(Inggris)
Yasser Arafat - Berita dan komentar di The New York Times
(Inggris)
Yasser Arafat di Notable Names Database
Yasser Arafat di Curlie (dari DMOZ)
Booknotes interview with John and Janet Wallach on
Arafat: In the Eyes of the Beholder, 23 December 1990. Diarsipkan 2014-10-17 di Wayback Machine.