Sardjono (1897 – 19 Desember 1948) adalah seorang tokoh pergerakan nasional.
Sardjono dikenal sebagai Ketua Umum Partai Komunis Indonesia, dan ketua organisasi Serikat Indonesia Baroe (SIBAR), sebuah organisasi nasionalis Indonesia di Australia pada masa Perang Dunia II. Setelah kegagalan Peristiwa Madiun,
Sardjono ditangkap bersama tokoh-tokoh FDR lainnya dan dieksekusi mati.
Kehidupan awal
Sardjono lahir di Sumenep pada tahun 1897. Dia menjalani pendidikan dasar di Sekolah Kelas Satu (kelak berkembang menjadi HIS) di Sukabumi.
Sardjono kemudian bekerja sebagai juru tulis di sebuah pabrik mesin, lalu pindah ke kantor kotamadya (gemeente) juga sebagai juru tulis.
Sardjono aktif di Sarekat Islam dan pernah menjabat sebagai ketua cabang SI di Sukabumi pada tahun 1922. Kemudian, dia juga menjadi seorang guru di sebuah sekolah SI, sebelum dilarang oleh Residen Priangan untuk mengajar selama setahun pada tahun 1923 karena dianggap menyebarkan "pemikiran yang tidak diinginkan".
Awal aktivisme di PKI
Sardjono terpilih sebagai ketua PKI di Batavia, menggantikan Aliarcham pada Desember 1924 setelah perdebatan panjang dalam tubuh partai mengenai posisi Sarekat Rakyat dalam PKI. Pada tahun 1925,
Sardjono pergi ke Bangkok untuk mengikuti sebuah konferensi dengan para delegasi Soviet di sana. Saat kantor pusat PKI dipindah dari Batavia ke Bandung pada tahun 1926,
Sardjono juga ikut pindah dan menetap di sana.
Sardjono adalah tokoh sentral yang menyusun pemberontakan di Jawa pada tahun 1926. Ia merupakan tokoh kunci di samping Winanta dan Herujuwono. Namun, menjelang pemberontakan, pada 10 November, kantor pusat PKI cabang Bandung dan Priangan melantik Ketua Umum baru yang menentang pemberontakan, yakni Suprodjo. Tetapi, semuanya sudah terlambat sebab tak lama kemudian, pemberontakan pecah di Jawa pada malam 12 November 1926 dan di Sumatera pada 1 Januari 1927.
Pengasingan dan hidup di Australia
Pemberontakan berhasil diredam oleh satuan kepolisian dan tentara Hindia Belanda.
Sardjono ditangkap dan ia diasingkan ke Boven Digoel hingga era Perang Dunia II. Saat di pengasingan, pada tanggal 28 April 1933,
Sardjono terpilih sebagai anggota parlemen Belanda bersama dengan Alimin, mewakili Partai Komunis Belanda.
Setelah perang pecah, Belanda membawa para tahanan ke Australia, salah satunya adalah
Sardjono. Di Australia, dengan bantuan mantan Gubernur Jawa Timur Charles van der Plas, pada 6 Agustus 1944,
Sardjono memimpin organisasi pergerakan yang baru dibentuk, yaitu Serikat Indonesia Baroe. Organisasi ini didominasi oleh tokoh-tokoh komunis lama era 1920-an.
Pasca proklamasi hingga Pemberontakan Madiun
Setelah proklamasi,
Sardjono berupaya menggalang dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia di Australia. Pada bulan November 1945, dia menyampaikan sebuah pernyataan yang berisi kutukan keras terhadap aksi Inggris dalam Pertempuran Surabaya dan membandingkannya dengan pengeboman Jerman terhadap Coventry dan Rotterdam semasa Perang Dunia II. Pernyataan tersebut disiarkan melalui radio.
Sardjono juga menyeru kepada kaum buruh di Inggris dan Belanda untuk secara tegas mengecam agresi yang dilakukan negara mereka terhadap Indonesia.
Pada awal tahun 1946,
Sardjono kembali ke Indonesia dan disambut oleh berbagai tokoh yang dahulu mengenalnya. Pada Maret 1946, kepemimpinan Mohamad Jusuf dalam PKI goyah akibat kegagalan pemberontakan PKI di Cirebon dan digantikan oleh
Sardjono.
Sardjono juga memimpin front rakyat yang terbentuk setelah ditangkapnya tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan, yaitu Konsentrasi Nasional. Front ini bertujuan untuk menggabungkan kekuatan partai-partai politik dalam menentang kebijakan lunak pemerintah republik. Menjelang Peristiwa Madiun,
Sardjono sedang tidak di dalam kota. Namun posisinya menjadi terancam ketika kabar mengenai jatuhnya Madiun kembali ke tangan Siliwangi menyebar,
Sardjono terpaksa harus melakukan long march dengan tokoh-tokoh lainnya seperti Amir Sjarifoeddin, Maruto Darusman, dan lainnya.
Kematian
Ia berhasil ditangkap pada 26 November 1948, dan akhirnya dibawa ke Solo pada 19 Desember 1948 untuk dieksekusi, bersama dengan Amir Sjarifoeddin dan tokoh-tokoh lainnya.
Referensi
Daftar Pustaka
McVey, Ruth T. (2006). The Rise of Indonesian Communism. Jakarta: Equinox Publishing. ISBN 979-3780-36-3.
Poeze, Harry A. (2011). Madiun 1948: PKI Bergerak. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-602-433-834-3.
Poeze, Harry A. (2011). Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 2: Maret 1946-Maret 1947. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-730-4.
Poeze, Harry A. (2014). PKI SIBAR: Persekutuan Aneh antara Pemerintah Belanda dan Orang Komunis di Australia 1943-1945. Depok: Komunitas Bambu. ISBN 978-602-9402-47-6.