Saronen adalah musik rakyat yang tumbuh berkembang di Madura. Harmonisasi yang dinamis, rancak, dan bertema keriangan dari bunyi yang dihasilkannya memang dipadukan dg karakteristik dan identitas masyarakat Madura yang tegas, polos, dan sangat terbuka mengilhami penciptanya. Nama
Saronen meminjam nama alat musik tiup sejenis Serunai di kebudayaan Melayu, yang di kebudayaan Batak disebut Serune dan di Lombok disebut Sarone .
Awal mula
Saronen sejatinya adalah sebuah alat musik tiup yang berasal dari Timur Tengah. Alat musik itu di daerah asalnya dikenal dengan beraneka ragam nama, yaitu surnai, sirnai, sarune, shahnai. Namun di Madura alat ini sudah dimodifikasi bunyinya.
Sering berkunjunganya penguasa Sumenep Arya Panoleh ke tempat kakaknya Batara Katong yang berkuasa di Ponorogo untuk bersilaturahmi. Saat di ponorogo, rombongan dari sumenep di sambut dengan persembahan reog dan atraksi memukau yang dilakukan oleh orang-orang berpakaian hitam. Dari sinilah awal mulanya Selompret pada gamelan reyog dikenal oleh rombongan sumenep yang kemudian dikenal dengan nama
Saronen.
Selain gamelan reyog yang di terapkan di Sumenep, juga pakaian warok serba hitam dengan kaos bergaris-garis, makanan seperti Sate yang awalnya dari tusuk lidi dan angklung yang hanya dapat di temukan di sumenep saja di seluruh dataran madura. Dengan begitu, Sumenep yang merupakan kiblat orang madura, budaya dari ponorogo yang di terapkan di sumunep mulai menyebar ke seluruh madura. Tetapi bagaimanapun juga setelah di terapkan di madura, masih terdapat perbedaan anatara budaya dari tanah budaya Ponorogo dengan budaya madura.
Kemudian seorang Kyai Khatib Sendang (cicit Sunan Kudus) bertempat tinggal di Desa Sendang Kecamatan Pragaan ratusan tahun silam menggunakan musik ini sebagai media dakwah dalam mensyiarkan Agama Islam dengan jalur budaya, yaitu menggunakan selompret untuk mengumpulkan masa. Konon setiap hari pasaran yang jatuh pada setiap hari senin, Kyai Khatib Sendang dan ipara pengikutnya menghibur pengunjung pasar disertai penari berpakaian ala badut dengan mengenakan topeng Bujang Ganong. Setelah para pengunjung pasar pada berkumpul, mulailah Kyai Khatib Sendang berdakwah memberi pemaparan tentang Islam dan kritik sosial. Gaya dakwah yang kocak humoris tetapi mampu menggetarkan hati pengujung membuat masyarakat yang hadir tertarik langsung minta baiat masuk Islam.
Saronen di jawa umumnya dapat di temukan di wilayah tapal kuda untuk mengiringi berbagai kesenian seperti jaran kencak, macanan kaduk, tari-tarian adat Madura. Namun karena keterbatasan alat dan personil, biasanya suara
Saronen justru di gantikan oleh suara selompret seniman reyog ponorogo yang dibunyi nadakan madura sehingga memunculkan nada khas yang baru, karena dalam angka kesenian di tapal kuda sendiri lebih banyak kesenian Ponorogo dibandingkan kesenian madura.
Ciri khas
Ciri khas musik
Saronen ini terdiri dari sembilan instrumen yang sangat khas, karena disesuaikan dengan nilai filosofis Islam yang merupakan kepanjangan tangan dari kalimat pembuka Alqur'anul Karim yaitu " BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM " yang kalau dilafalkan terdiri dari sembilan keccab. Kesembilan instrumen musik
Saronen ini terdiri dari: 1
Saronen, 1 gong besar, 1 kempul, 1 satu kenong besar, 1 kenong tengahan, 1 kenong kecil, 1 korca, 1 gendang besar, 1 gendang dik-gudik (gendang kecil).
Yang menarik dan menjadi jiwa dari musik ini satu alat tiup berbentuk kerucut, terbuat dari kayu jati dengan enam lubang berderet di depan dan satu lubang di belakang. Sebuah gelang kecil dari kuningan mengaitkan bagian bawah dengan bagian atas ujungnya terbuat dari daun siwalan . Pada pangkal atas musik itu ditambah sebuah sayap dari tempurung menyerupai kumis, menambah kejantanan dan kegagahan peniupnya. Alat tiup yg mengerucut ini berasal dari Timur Tengah yang dimodifikasi bunyinya. Pada perhelatan selanjutnya musik
Saronen ini dipakai untuk mengiringi lomba kerapan sapi, kontes sapi sono', upacara ritual, resepsi pernikahan, kuda serek (kencak) dll.
Rujukan dan Pranala luar
Hélène Bouvier. 2002. Lèbur: seni musik dan pertunjukan dalam masyarakat Madura. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-420-3, 9789794614204